Share

Bab 2

Ovie menggelengkan kepalanya sekali lagi, berharap Buk Ranti menarik lagi keputusannya itu. Namun apa daya, Ovie tetap tak bisa berbuat apa-apa di sini. Dia, bukanlah siapa-siapa. Bisa saja mereka mengusirnya dan dia harus hidup seperti gelandangan. 

Dara mengeluarkan sebuah gelang, "Ikhlasin aja ya, Vi."

"Kak Dara! Jangan dulu, kak! Aku bisa kerja, nanti aku cari uang-"

"Kamu bicara apa?" Buk Ranti menukikkan sebelah alisnya, kerjamu kan cuma di laundry mana bisa beliin dia hape. Lagian ya, itu gelang juga gak ada gunanya disimpan-simpan, lho. Bagusan dijual lagi, kita semua bisa makan."

Bunyi pintu terdengar menyusul, keluarga sepupunya itu meninggalkan Ovie sendiri. Di dapur yang luasnya tak seberapa serta nyamuk yang terus berterbangan. Ovie berjongkok, menyembunyikan wajahnya di antara kedua kakinya.

"Mama..." Tangisnya pelan, berusaha menyembunyikannya isak tangisnya. Entah pada siapa dia harus mengadu. Tidak ada siapapun yang bisa melepaskannya dari keluarga ini. Dia seperti terkukung. 

"Andai aku bisa pergi dari sini... Ya Allah, kuatkan hati hamba..." Ovie menyapu air matanya dengan punggung tangan, berusaha tegar dalam segala cobaan. Meski bibirnya bergetar saat mengingat satu-satunya barang peninggalan orang tuanya telah diambil, dia harus tetap ikhlas. 

Menjelang pagi Ovie meringkuk di atas kasurnya, masih agak subuh Buk Ranti sudah menggedor-gedor pintu kamarnya.

"Ovie! Bangun, cepat buatin sarapan!!"

"I-iya Buk..." Ovie merangkak di atas kasurnya, membersihkannya sebentar. Suara teriakan buk Ranti kembali terdengar memekakkan telinga. Ovie segera menyahut berharap wanita itu tidak marah, dia takut tetangga terganggu mendengarnya.

Seperti biasanya Ovie harus menyiapkan sarapan mereka sekeluarga, keringat mulai membasahi pelipisnya di pagi itu. Ovie menjerit saat cipratan minyak panas tumpah ke tangannya.

"Apa sih kamu ini, kena dikit aja nangis!"

"Tapi buk, ini tanganku terkelupas." Bela Ovie pada dirinya sendiri, dia tidak berbohong, bekas kemerahan mulai muncul di tangannya.

"Alahh alasan, supaya saya kerjain kerjaan kamu kan? Jangan banyak ngeluh, siapin semuanya cepat! Suami saya udah mau pergi kerja nih, ini hari pertama dia masuk."

Ovie mengangguk kecil, sadar tak ada hasilnya memberi alasan pada Buk Ranti. Dia sakit pun Buk Ranti takkan peduli, mungkin saat Ovie mati sekalipun justru Buk Ranti malah senang melihatnya.

Makanan telah selesai dihidangkan, Ovie memegang perutnya yang keroncongan. Melihat Ovie berdiri di dekat pintu dapur Buk Ranti kembali mengoceh.

"Kamu ngapain di situ?"

"Buk, aku belum makan dari kemarin."

Buk Ranti mendengus keberatan, lalu mengisi sesendok nasi di piring plastik dan terasi. Tidak menambahkan apapun di sana, sama sekali tidak, padahal lauk yang dihidangkan di atas meja cukup banyak bahkan takkan habis dimakan oleh mereka bertiga.

Hati Ovie kembali berdenyut perih, matanya pun turut memanas mendapatkan perlakuan seperti itu. 

"Nih, makan. Habis ini jangan lupa cuci kereta dulu sebelum kamu kuliah."

Ovie tidak kunjung menerimanya, masih terdiam murung di dekat pintu. Membuat Buk Ranti jelas marah melihatnya. "Tunggu apalagi-!? Ini ambil makanannya!"

"Buk, lauk hari ini pakai uang hasil jual gelang mama Ovie, kan?"

"Iya, terus kenapa?" jawab Buk Ranti sedikit nyolot, matanya menatap Ovie sangat tajam seperti sedang mengintimidasi. 

"Lauknya... Cuma ini aja? Itu kan pakai uang Mama.."

"Oh..." Buk Ranti bangkit dari kursi. "Udah pandai memprotes kamu, ya?"

"Tapi kan buk, itu kan uang Mama... Apa gak ada sisa gitu?"

"Ini sisanya! Mau makan atau gak?" Buk Ranti mendekatkan piring plastik itu padanya. Ovie menunduk dalam, merasa perlakuan ini sudah terlalu tak adil padanya. 

"Kalo gak mau ya udah gak usah makan!!" Buk Ranti melemparkan piring itu ke arah Ovie, membuatnya pecah berserakan mengenai dinding rumah. Wanita itu mulai emosi. "Masih mending keluarga kami menerima kamu, ya! Masih untung kamu gak kehujanan di luar sana! Gak tahu budi memang, bagusnya kamu tuh dibuang aja! Bikin susah, habisin duit aja! Apa untungnya melihara orang gak tahu terimakasih kayak kamu?!"

Pertengkaran dimulai. Dalam situasi ini biasanya Ovie hanya diam mendengarkan, menerima mentah-mentah tiap kata pedas yang wanita itu lontarkan walaupun sangat sakit. Berkali-kali dia menahan bulir bening di pelupuk matanya agar tidak tumpah.

"Ma-maaf buk, aku cuma–"

"Gak usah banyak cincong ya kamu, maaf-maaf! Gak usah pergi kuliah kamu hari ini, biar langsung aku nikahin aja kamu sak Pak Aris, biar tau rasa kamu sama lelaki itu!"

Bola mata Ovie membulat besar, dia memohon di kaki Buk Ranti dengan mata sayu, tak dapat dibendungnya lagi air mata kali ini. 

"Ibuk... Maafin aku, enggak bakal protes lagi Ovie ke depannya buk, janji..." tangisnya pecah, mengharapkan rasa iba Buk Ranti meski sedikit. 

"Padahal saya masih kasihan, ya liat kamu. Makanya dikasih numpang tinggal di sini. Tapi udah kelewatan juga sikap kamu akhir-akhir ini, Ovie. Mending kamu nikah sama Pak Aris itu, tinggal sama orang aja! Jadi gak perlu lagi saya pikirin beban kayak kamu lagi di keluarga kami!"

"Ampun buk... Ampun!'

Buk Ranti menendang tangan Ovie yang bergelayutan di kakinya, lantas menarik tangan gadis itu dan menyeretnya ke dalam kamar. 

"Hari ini kamu gak usah kuliah, tunggu sampe Pak Aris datang ngelamar kamu. Gak usah nangis pas dia datang! Ingat itu."

Saat pintu ditutup Ovie berusaha mengejar Buk Ranti, menggedor-gedor pintu dari dalam dengan menangis, suaranya mulai serak terputus-putus. 

Siapapun pasti takkan sudi menikah dengan Pak Aris, pria beristri 3 itu kerap kali terdengar melakukan kekerasan dalam rumah tangganya karena tak mampu menafkahi 3 istri dan 12 anaknya. Namun lelaki hidung belang itu masih ngotot ingin menikahi gadis mana saja asal bisa memenuhi hasrat seksualnya.

Saat malam tiba Ovie terbangun dari tidurnya, menangis membuat dia sangat mengantuk. Setelah berhasil mengumpulkan nyawa dan mengingat apa yang terjadi tadi Ovie menegakkan punggungnya. Malam ini Pak Aris akan datang ke rumah ini.

Menikah dengan Pak Aris merupakan mimpi terburuk, Ovie benar-benar tak bisa menerima ini. Bibirnya bergetar, membalikkan badannya ke belakang.

"Aku harus pergi dari sini, atau Buk Ranti bakal nikahin aku sama pak tua itu."

Ovie mengambil langkah berani, meski tak yakin di luar sana hidupnya akan menjadi lebih baik setidaknya keperawanannya tak diambil oleh lelaki mata keranjang seperti Pak Aris. Hal itu takkan terjadi. Dia berjanji pada diri sendiri, apapun yang terjadi setelah ini merupakan keputusannya.

"Papa, Mama... Doain Ovie baik-baik aja, ya.."

Setelah sedikit berkemas mengambil barang-barang yang sekiranya akan dia butuhkan, Ovie memanjati jendela. Terjun ke bawah dengan nekad. 

Sebelum benar-benar mengangkat kaki dari rumah tersebut, Ovie menyempatkan untuk menunduk sebentar.

"Makasih Buk Ranti, udah ngerawat Ovie selama ini, Ovie janji gak akan lupa dengan kebaikan Ibuk selama ini."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status