Share

Bab 3

Aldebaran menatap lama ke tanganku dan baru sadar sedari tadi terus mencengkram tangan kananku. Memikirkan segala hal buruk yang akan timbul jika orang-orang menyadari bahwa sihirku adalah sihir terkutuk.

Bagaimana pun caranya harus ku sembunyikan sihir ini. Mungkin salah satu pilihan paling bagus untuk menghindari ending di mana kepalaku dipenggal adalah dengan menjauh dari kehidupan sang karakter utama dan pergi ke tempat jauh dari semua adegan yang terjadi dalam cerita. 

Pilihan itu cukup memungkinkan, tapi permasalahannya adalah aku yang masih berumur delapan tahun ini takkan bisa mencari uang sendiri.

Jika diriku yang di dunia nyata akan mencari pekerjaan sebagai karyawan di supermarket, maka anak kecil bernama Kara ini bisa apa? 

"Nona Kara ini sepertinya banyak sekali masalah hidup, Ann. Lebih baik kita kembali, kereta jemputanmu akan tiba sebentar lagi."

"Ta-tapi Al-" Anna tidak terima dirinya diseret, aku sengaja tidak membuka terlalu banyak dialog. Untuk sementara aku belum memiliki rencana, sebelum tindakan ku nanti akan memunculkan masalah. 

Sudah ku putuskan untuk menghadapi ini semua. Tidak akan kabur dari kehidupan sang tokoh antagonis dan setelah mengetahui semua hal dalam cerita ini, kupastikan ending kepala dipenggal itu takkan terjadi pada Kara.

Sekali lagi ku pandangi wajah Kara Lexine di atas pantulan air, matanya yang merah bulat begitu indah. Dan rambut putih sepinggang yang digerai indah, seharusnya aku tidak menjadikannya sebagai karakter yang egois dan bengis. Dia seperti gadis yang sangat lugu dan polos.

 Ku sentuh pipi sambil menatap diriku di pantulan air, aku ingin meminta maaf pada Kara Lexine dari novel yang ku buat sendiri. Seandainya dia tahu di akhir aku membuatnya dibenci semua orang dan mati dalam penghinaan. Dia tidak akan memaafkanku, Kara Reflyn. Orang yang membuatnya menderita seumur hidup dan membuatnya mengalami akhir paling menyedihkan.

Aku berjongkok, menutupi wajahku sambil menangis. Emosi di dalam diriku yang masih berumur 8 tahun memang begitu labil, aku yakin jika diriku yang asli tidak akan secengeng ini. 

Sudahlah Kara... Jangan menangis. pintaku dalam hati.

Tapi tangisku makin menjadi, hingga kali ini lagi-lagi ku dengar suara seseorang yang begitu lembut di belakangku. Dia Noctis, sifatku yang tadi sepertinya membuatnya tersinggung. 

Ah, lagi-lagi aku menimbulkan adegan baru dan tidak bisa ku prediksikan.

Seharusnya tadi aku segera pulang dan meninggalkan kediaman ini, tapi sekarang langit sudah begitu sore dan juga tidak ada siapa-siapa selain aku dan juga Noctis. 

"Noc- maksudku, Tuan Muda Noctis. Maafkan aku soal yang tadi. Aku tidak bermaksud." Tangisku mereda saat dia mengelus kepalaku, benar juga, Noctis dikenal sebagai pangeran dengan sifat yang begitu lembut dan baik hati. 

Namun di balik sifatnya yang baik itu, dia memiliki kepribadian lain yang tidak bisa ditebak, lebih tepatnya Noctis hanya berakting sebagai sosok yang baik karena ibunya yang memaksa. Agar menaikkan citranya sebagai anak raja.

Senyuman yang kini dia perlihatkan padaku pun adalah senyuman palsu, dia terbiasa menggunakan topeng. Namun lambat laun kelembutan hati Anna membuat hati sang pangeran luluh, dan jatuh cinta dengan gadis baik nan lugu itu.

Cih pasaran!

Padahal itu cerita yang kurangkai sendiri, tapi karena sadar posisiku sebagai antagonis di sini semua hal itu membuatku muak.

"Nona Kara, kau menjatuhkan sesuatu tadi. Mungkin jepitan rambutmu."

"Benarkah? Terimakasih, hehehe."

 

"Kau belum dijemput?" Noctis melihat sekitar, seharusnya acara pesta teh telah usai namun sepertinya tidak ada satupun yang mencariku. 

"Sepertinya. Tidak apa. Lagipula kalau tidak dijemput aku bisa pulang sendiri."

"Memangnya kau tau jalan ke rumahmu? Bukannya jauh?"

"Um..." Aku kehabisan kata-kata, seingatku aku tidak banyak menuliskan kehidupan si antagonis. Gawat, aku bahkan tidak tahu Kara pulang naik apa sekarang. 

Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Noctis, melihatku putus asa begini. 

"Seingatku kau datang bersama sepupumu, tapi tadi kulihat kereta mereka telah meninggalkan halaman ...." 

"Begitu, ya," balasku kikuk. Memikirkan bagaimana cara agar aku bisa pulang. Saat ini otakku sama sekali tidak bisa diajak bekerja sama, tidak ada satupun yang terpikirkan. Dan lebih lagi pangeran Noctis masih setia memandangiku.

Ditatap oleh pangeran tampan begini, hantu pun bisa salah tingkah. Aku harus tetap tenang. Kucoba menatap wajah Noctis dan kedua mata kami bertemu, bisa kurasakan pipiku memanas seketika.

"Nona Kara, wajahmu memerah. Kau demam?" 

Dengan seenak jidat Noctis malah menempelkan tangannya di keningku, wajahnya pun ikut mendekat. Aku sampai menahan napas seketika.

"Woahh benar-benar merah, kau pasti sedang sakit!" teriaknya.

 "Kalau begitu mau menginap dulu di rumahku? Aku akan meminta Ayahanda agar mengizinkanmu tinggal sementara, lagipula jika menunggu sampai malam kau akan kedinginan."

Aku menolak, tawaran Noctis malah menambah perkara baru. Tapi di sisi lain sepertinya aku tak memiliki pilihan lain. 

"Tapi Noc, bukannya kamu tahu aku siapa?"

"Hum? Siapa? Kamu Nona Kara Lexine, kan?"

Aku memegang lengan kananku, membuang wajah pada pantulan sinar matahari di atas permukaan danau yang tenang. "Aku anak penyihir, ayahku juga seorang pengkhianat. Maka dari itu banyak orang membenciku, yang tadi kau lihat, mereka mengejekku karena hal itu. Dan juga aku ini gadis terkut-" 

Belum sempat ku selesaikan kalimat, Noctis tersenyum tipis. "Itu semua hanya omongan orang dan tidak ada hubungannya dengan dirimu. Lagipula aku bisa melihat kalau kau adalah gadis yang baik."

Tanpa sadar aku malah menggaruk telingaku, kebiasaan dari dunia nyata yang tidak pernah bisa kuhilangkan. Menggaruk leher di saat-saat canggung. "Tapi Ayahmu pasti akan marah, dia tahu benar siapa aku."

"Jika aku menjelaskan situasinya Ayahanda tidak akan menolak, ikut denganku. Kereta tumpangan kita sudah sampai."

Selama di perjalanan aku sedikit diam, sejauh ini aku sudah tidak mengetahui apa yang akan terjadi. Seharusnya aku menulis ulang cerita My Dark Prince itu agar bisa mengingat setiap detail kejadian sebelum ending mengenaskan. Hanya saja aku malah terjebak bersama Pangeran Noctis dan malah dibawa ke kediaman Raja. 

Istana besar terlihat di depanku, seperti kata Noctis, setelah menjelaskan semuanya pada Ayahandanya pria itu mengizinkanku tinggal sementara sebagai tamu. 

Malam tiba, aku tidak biasa tertidur di tempat asing. 

Karena terjaga aku keluar mencari angin, berjalan di lorong istana dan tiba di sebuah taman yang indah. Pada malam hari cahaya bulan begitu terang hingga membuat tempat ini tidak begitu gelap.

"Belum bisa tidur?"

Tiba-tiba Noctis berada di belakangku, lagi-lagi dia muncul di saat seperti ini. Aku mengangguk kecil, dibandingkan tadi siang kini aku sudah tidak sebegitu kaget seperti tadi siang, mungkin saatnya untuk beradaptasi dengan dunia baru.

"Mungkin aku belum terbiasa tidur di rumah asing," jawabku jujur, Noctis tertawa kecil lalu duduk di sebelahku dengan sedikit memberi jarak. Aku kembali menatap langit malam, entah mengapa begitu menenangkan seperti ini.

Noctis bersuara lagi, tampaknya penasaran. "Kau menyukai bintang?"

"Em, ya. Setiap malam aku selalu melihat ke langit, rasanya menenangkan. Ngomong-ngomong kau tau tentang antariksa?"

"Antariksa?" ulang Noctis mengerutkan alisnya, sudah kutebak. Setting jaman dulu ini masih jauh dari peradaban manusia modern. 

"Menurutmu, di luar sana selain bintang ada planet apa saja?"

"Mungkin... " Noctis sepertinya berpikir, aneh juga melihat karakter Noctis yang kubuat di novel dengan sosok yang berbicara denganku saat ini. Mereka berdua masih sama-sama mengagumkan. "Matahari, bulan ...."

"Pintar juga. Ehm, apa kau percaya manusia di masa depan akan menapakkan kaki planet lain selain bumi?"

"Huh? Kau terlalu banyak membaca novel fantasi atau bagaimana?"

Aku mencebik, "Jawab saja dulu!"

Mau tak mau Noctis menjawab. "Tidak mungkin, tidak pernah ada yang berpikir hal seaneh dirimu."

"Kalau begitu percaya tidak, di luar sana ada kemungkinan terdapat semesta lain dan mungkin bumi lainnya yang belum kita ketahui. Sangat jauh, jauh sekali dari tempat kita menatap langit sekarang."

Ketika aku kembali menatap ke sampingku, baru kali ini ku lihat wajah antusiasnya. Benar juga, di novel dia adalah karakter yang menutupi wajahnya dengan topeng. Sangat sulit melihat ekspresi aslinya. Tapi wajah penasarannya itu, tunggu, aku baru teringat. Di beberapa adegan aku sering menggambarkan Noctis yang selalu menatap langit.

Apa dia sebegitu tertariknya dengan langit? Kalau begini terus, jika aku yang berhasil melihat senyuman tulusnya bukankah itu berarti, aku akan mengambil peran penting protagonis dalam mengambil hati Noctis?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status