Share

Bab 4

Sejurus tatapan kami masih saling terpaku hingga akhirnya aku membuang muka, Noctis juga ikut memandang langit dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan. 

"Yah, kau tidak perlu percaya apakah omonganku nyata atau tidak. Suatu saat, manusia akan menciptakan sebuah benda bernama satelit, dan benda itu akan mengawasi bumi dari tempat yang jauh di atas sana."

"Satelit? Apa sihir itu diciptakan oleh orang terhebat di muka bumi?" Noctis semakin terpana, aku tertawa kecil. Mengingat dulu saat kecil saat mendengar NASA, alien, dan juga bintang begitu terkesimanya aku. Sama halnya seperti Noctis, semesta memiliki daya tariknya sendiri.

"Bukan sihir, tetapi sains. Ilmu yang sangat hebat. Dengan sains semua bisa kau lakukan dengan mudah. Satelit itu diciptakan para manusia untuk mengetahui segala sesuatu yang ada di luar jangkauan sana."

"Lalu apa kau tahu apa saja yang ada di luar sana?"

Lagi-lagi aku hanya bisa mengulum senyuman tipis. Malam itu aku menceritakan segala hal tentang black hole, galaksi, tentang meteor dan bahkan tentang peristiwa big bang yang terjadi miliaran tahun lalu.

 Dia seperti percaya begitu saja dengan perkataanku, hingga pada akhirnya salah seorang pelayan menemukan kami. Dan meminta Noctis kembali ke kamarnya sebelum Ayahandanya mengetahui hal ini.

Aku meletakkan jari telunjuk di bibir, "Ingat yang tadi itu cuma rahasia kita berdua, janji jangan memberitahukannya pada siapapun."

"Baiklah, aku akan berjanji jika kau juga berjanji untuk menceritakannya lebih banyak lagi nanti."

Tanpa berpikir panjang aku segera mengiyakannya, "Oke, janji!"

"Kalau begitu, selamat malam," tandas Noctis sembari melambaikan tangannya, meskipun suasana temaram di taman ini membuat pencahayaan begitu gelap aku masih bisa melihat senyuman yang sangat berbeda dari yang selalu diperlihatkannya. 

Senyuman yang akan membuat siapapun jatuh cinta kepada pangeran tersebut.

Apakah aku telah mengambil senyuman yang seharusnya diperuntukkan bagi si tokoh utama? 

*

Siang hari sangatlah terik, aku terbangun di sebuah kamar yang sangat asing. Berbeda dengan kamarku yang amburadul dan banyak pakaian kotor di mana-mana, ruang berwarna pastel dengan gaya klasik ini terlihat sangat berkelas. Aku baru teringat akan kejadian yang menimpaku kemarin dan semuanya adalah nyata, bukan mimpi belaka.

Seorang pelayan mengetuk pintu dengan lembut, setelah memanggil namaku dia masuk ke dalam dengan sopan. 

"Nona Kara, air hangatnya telah disiapkan. Mandilah karena sebentar lagi akan ada acara penyambutan di ruang tamu." 

Pelayan itu sedikit terlihat aneh sewaktu mengangkat kepalanya, dia menatapku sebentar dan kembali menunduk karena takut. Mungkin karena penampilan acak-acakan yang lebih terlihat seperti gembel daripada anak bangsawan. 

Pintu kamar telah terkunci kembali, aku menarik napas dalam-dalam.

"Acara, ya? Lagian untuk apa aku juga hadir?" ucapku pelan, sedikit terdengar menggerutu. Namun tak disangka ternyata ada seseorang yang mendengar dan dia menyilang kan kedua lengannya di depan pintu.

"Cih, memang gadis yang tidak tahu diri. Sudah baik hati ditawarkan untuk menginap, kau malah mengumpat di sini?"

Aku tak jadi bergerak, mata terkunci pada pemuda dengan anting perak itu. Tatapannya yang sadis dengan garis senyuman sinis, dibandingkan Kara mungkin Aldebaran lebih cocok dijadikan karakter jahat. 

Sesaat kutarik napas, biar bagaimanapun diriku 10 tahun lebih tua dari dia. "Bukan maksudku begitu, hanya saja saat ini aku tak punya hak apa-apa untuk menghadiri acara penyambutan itu ...." jelasku sepelan mungkin. Akan tetapi Aldebaran tetap menyangkal.

"Berani membela diri lagi?  Tch, aku sampai tak habis pikir kenapa orang itu sampai membawamu kemari!" tukasnya, "Jika urusanmu telah selesai cepat-cepat kau pulang ke rumahmu!"

Satu detik dua detik, aku masih sabar. Tapi yang dilakukan Aldebaran ini sudah kelewatan. Dia bukan hanya menghinaku tidak tahu diri, tapi juga mengusir secara terang-terangan. Sejak awal Aldebaran telah menunjukkan ketidaksukaannya terhadap Kara dan kata-katanya sedikit membuatku tidak nyaman.

"Baiklah jika itu maumu, bahkan sekarang pun aku juga bisa langsung pulang ke rumahku." Jawaban itu keluar begitu saja, walaupun sebenarnya letak rumah Kara saja entah di mana. Mungkin di hutan belantara atau di kastil terbuang, mungkin aku akan lebih dulu pergi ke kuburan.

Aldebaran mendengus, ku tatap matanya sekali lagi dengan ekspresi kesal. 

"Tunggu apa lagi? Katamu tadi mau pulang?"

Semakin membara emosiku dibuatnya. Tak mau mendebat, kedua kakiku terus melangkah dan pergi menjauh dari sana. Mencari pintu keluar tanpa diketahui oleh Noctis, tapi tampaknya rencana itu sangat sulit. Dapat kulihat pangeran itu sedang berbincang dengan seorang pengawal raja, aku tidak bisa melintas begitu saja di sana.

Tak kehabisan ide aku pergi ke tempat lain dan mendapati sebuah jendela yang bisa menjadi tempat melarikan diri. Hanya saja karena agak tinggi aku membutuhkan sesuatu agar bisa naik. Setelah melirik kanan-kiri tidak ada siapa-siapa, ku putuskan untuk menggeret sebuah kotak kayu dan membuka jendela tersebut.

"Hehehe urusan melarikan diri Kata memang tidak bisa diragukan." Sambil cengengesan ku naikkan kakiku melewati jendela, sedikit lagi untuk bisa keluar dari sana seseorang menginterupsi di sebelah.

"Oi, kau pikir kau siapa masuk ke istana dan melarikan diri seperti pencuri di sini?"

"Eh?" Aku bereaksi bodoh, situasi canggung dengan sebelah kakiku berada di luar. Terlihat seperti monyet di pohon liar. 

"Ah... Ya, hahahaha! Siang ini aku latihan memanjat!"

"Kau melawak?" Pemuda itu memasang bola mata tajam, seratus kali lipat lebih menyeramkan dari manik mata Aldebaran. Aku tak bisa mengenali siapa orang tersebut, terlebih lagi dia tidak memperkenalkan diri sama sekali.

Dia diam dan memaksaku terus berada di situasi kikuk, aku tidak bisa kabur. Dan dia hanya menatapku dengan tatapan mematikan.

"Hei gadis bodoh apa tidak ada sedikitpun rasa malu dilihat orang lain dengan posisi seperti itu?"

"D-diam saja! Lagipula aku bukannya mau melarikan diri, hanya saja-ada yang mengusirku. Jadi aku ingin pulang ke rumah."

Dua detik kemudian aku mengumpati diri sendiri, untuk apa juga aku menjelaskannya pada orang tidak berperasaan sepertinya. Sampai memanggilku gadis bodoh.

"Turun."

"Apa?"

"Turun! Sebelum Ayahanda melihatmu memanjat jendela seperti pencuri!"

Ayahanda? Dia ... Siapa? Pangeran? Aku tercenung, seingatku ada empat pangeran di cerita ini. Pangeran itu Noctis, Aldebaran, Raven dan Hanz. Dari dua pangeran yang belum sempat ku lihat itu, aku tidak bisa menebak yang mana Raven yang mana Hanz. 

"Cih gadis lamban ini ...." Dia menarik tanganku kasar, membuat keseimbanganku goyah dan jatuh terjerembab menghantam kotak kayu. Seketika darahku mendidih, laki-laki mana yang menarik perempuan sekasar itu, dan bukannya menangkap tubuhku dia malah menghindar. 

Jidatku menghantam ujung kotak dan mengeluarkan darah sementara gaun yang ku kenakan robek di beberapa bagian. Orang tersebut tertawa sinis dan pergi begitu saja. Tanpa meminta maaf atau setidaknya membantuku berdiri. 

"Orang itu, tunggu saja kalau aku kembali ke duniaku. Akan ku ubah kau jadi kodok yang jelek! Lihat saja! Arrrgh!!!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status