Share

MSB 7 - NATHAN ERLANGGA

AUTHOR POV

Anastasia terlihat bahagia berlarian dipinggir pantai bersama Arcila, mereka berlarian menghindari ombak sambil sesekali tertawa menertawakan ekspresi lucu satu sama lain.

Pantai, merupakan hal terfavorit untuk Anastasia. Dia memiliki angan-angan suatu hari nanti, akan menikah dibawah sinar bintang, dengan ditemani suara deburan ombak dan angin yang tak henti menerpa wajahnya. Impian seorang gadis akan pernikahan idamannya.

Seketika gelak tawanya berhenti, saat melihat seseorang Anastasia membeku. Dia bahkan tidak menghindar saat ombak besar menerpa betisnya. Dari kejauhan bisa dilihat bagaimana ekspresi bahagia Anastasia sirna dalam sekejap, senyumnya perlahan menghilang saat ia melihat laki-laki yang pernah menjadi masa lalu gilanya.

Laki-laki yang dulu dia fikir akan menikahinya,

Laki-laki yang diharapkan mengwujudkan impiannya,

Laki-laki yang menjadi alasan untuk setiap mimpi dimasa depannya,

Nathan Erlangga.

-

ANASTASIA POV

"Auntie."

Panggilan Arcila mengejutkanku, Aku tersenyum menunduk kearahnya, "Yes Sweety." Dia berdiri beberapa meter didepanku, berkacak pinggang seakan protes dengan perubahan mood-ku yang mendadak.

"Kok Auntie diam aja, ayo dong kejar Cila."

"Cila udahan yuk mainnya." Aku berjalan beberapa langkah kearahnya, "Auntie, capek banget." aku merasa badanku tidak enak, teras lemas dan nafasku terasa berat.

"Auntie, masuk angin ya?" Tanya Alcila dengan wajah polosnya.

Aku tersenyum sekilas, mengangguk lemah seakan mengiyakan tebakkannya, "Iya nih, kamu sih larinya kecepatan." ujarku sedikit meledeknya,

Arcila meraih tanganku, "Ayo, pulang. Cila nda mau Auntie sakit."

Aku tersenyum sekali lagi, membiarkan bocah 5 tahun itu menggandeng tanganku menuju balkon vila, tempat dimana laki-laki dan pendampingnya masih bercengkrama dengan sanak saudara yang ada.

Menarik nafasku dalam, berharap jika nafasku bisa kembali teratur seperti sebelumnya.

Aku bisa melihat beberapa keluarga-ku berbincang dibalkon vila, dan aku masih belum bisa mengalihkan pandanganku dari laki-laki dan perempuan pengantin baru yang baru saja datang untuk bergabung.

Sepertinya mereka baru sampai, melihat koper berukuran sedang masih berada disamping laki-laki itu, dia tersenyum cerah menanggapi berbagai pertanyaan yang sulit kudengar.

Pikiranku mengatakan untuk lari sekarang juga, lari sejauh yang aku bisa tapi hati dan tubuhku menolak.

Seperti biasanya, aku melangkah mendekatinya.

Dia seperti magnet yang menarikku mendekat.

Sesuatu yang tidak bisa aku hindarkan, suka atau tidak aku mengakui jika aku merindukannya.

Aku semakin berjalan mendekati balkon vila, dadaku semakin sesak. Dibimbing Arcila yang masih mengenggam tanganku erat.

"Mommy!"

Teriakkan Arcila menghentikan aktivitas perbincangan seru mereka, Arcila melepaskan tanganku dan berlari pada Mbak Rini yang duduk disamping suaminya.

Aku menahan nafas-ku, saat mata hitam legam itu menatapku setelah sekian lama.

Mata yang selalu menatapku teduh,

Mata yang dulu selalu kukecup ringan.

Pandangan kami bertemu, aku mencoba dengan sekuat tenaga agar terlihat biasa saja dan tidak berpengaruh.

Berharap usaha kerasku berhasil, untuk kesekian kalinya tidak ada yang bisa aku lakukan selain terlihat baik-baik saja.

"Mommy, Auntie Ana masuk angin." Kata Arcila setelah berdiri tepat didepan Mbak Rini.

Mbak Rini bangkit dari Kursinya, berjalan kearahku dengan langkah lebar, meraih tanganku, "Kamu masuk angin, muka kamu juga pucat banget. Mbak bilang apa, kamu tuh pakai baju jangan minim begini." Kata Mbak Rini memukul pelan lenganku, "Angin sorenya lagi kencang banget kamu malah pakai baju kaya gini."

Aku tersenyum, berusaha tidak menghiraukan tatapan tajam dari laki-laki yang ada disebrangku.

Dia memang tidak pernah suka jika aku berpakaian minim,

Melihat bagaimana reaksinya, aku yakin aku masih mempengaruhinya,

Hal itu membuatku senang.

Persetan dengan statusnya!

"Oh come on Mbak, ini gak minim kok. inikan bukan bikini." Aku meliriknya sekilas, ekspresinya masih sama, dan aku merindukannya. "Aku memang lagi gak enak badan aja."

Mbak Rini lagi-lagi menepuk tanganku pelan, "Ya kalau gitu istirahat, ayo Mbak antar ke kamar kamu." Mbak Rini menoleh pada Arcila yang sudah ada dipangkuan Daddy-nya, "Cila nanti gak boleh ganggu Auntie dikamarnya ya. Jangan ajak main Auntie-nya dulu, Auntie mau istirahat."

"Iya Mommy, Auntie cepat sembuh ya, minum obat nanti kalau gak sembuh dikerokin Mommy loh." Sahut Arcila dengan polosnya,

Aku tersenyum sekenanya menanggapi perkataan polos Arcila, lalu aku melihat laki-laki yang membuat kondisi fisik dan mood-ku drop beberapa saat sebelum beralih pada wanita yang menunggu kusapa.

Dia masih terlihat sama, bagaimana aku bisa melihat kekhawatirannya setiap kali berhadapanku.

Aku tahu, dia tidak bahagia.

Tapi aku tidak tahu bagaimana membantunya,

Tidak ada jalan lagi untuk kembali dengannya.

"Hi Mbak Katherine, Apa kabar?" Sapaku dengan senyuman selebar yang kubisa, aku harus tetap menghargainya,

Genggaman tangan Mbak Rini menengang, aku bisa merasakan bagaimana Mbak Rini menekan jemarinya ditanganku. Aku tidak menghiraukannya.

Dengan senyum canggung Katherine menyahutiku, "Baik, Kamu gimana? Lama ya kita gak ketemu."

Lama ya, kita gak ketemu.

Tanpa sadar aku mengulangi kata-katanya dikepalaku.

Lagi-lagi Aku tersenyum berusaha tulus, "Iya, Mbak Katherine sih gak nge-Save nomor aku. Aku kira, Mbak gak datang."

"Yaudah lanjut nanti ya ngobrolnya." Kata Mbak Rini menyahuti saat Katherine berniat membuka mulatnya untuk menimpali perkataanku sebelumnya, "Ana kamu gak bisa sakit, lusakan kamu harus jadi pengiring Daddy kamu."

"Aku antar Ana kekamarnya dulu ya." Kata Mbak Rini langsung menarikku pergi,

Aku tersenyum samar saat menyadari bagaimana atmosphere keluarga-ku tadi, jika saja Daddy ikut bergabung. Aku yakin semua orang memilih untuk mencari cara agar pergi dari situasi itu.

"Ana." Mbak Rini membuka suara saat sudah sampai didepan pintu kamarku, dia tidak tahan untuk menceramahiku.

Aku tersenyum jahil, "Apa sih Mbak?" Sahutku dengan nada manja, "Mbak mau tanya aku butuh dikerokkin atau engga?"

Mbak Rini menepuk bahuku pelan lagi, "Kamu ini.." tersenyum mendengar perkataanku.

Aku berhasil mencairkan suasana.

"Ih Mbak, mukul-mukul mulu, lama-lama sakit tau Mbak." Protesku.

"Kamukan cantik." Mbak Rini mengusap wajahku penuh kasih sayang.

Iya, bisa dibilang Mbak Rini satu-satunya orang yang paling deket-ku dari keluarga Daddy. Walaupun dia sudah memiliki seorang anak tapi sebenarnya kami seumuran. Mbak Rini hanya berhenti untuk meraih gelas pasca sarjana dan menikah.

"Duh pasti ujungnya Zonk nih." Sahutku jahil,

Kali ini Mbak Rini hanya tersenyum, "Sudah cantik, pintar, baik-"

"Rajin menabung gak?" Selaku, masih berusaha untuk bercanda,

Jujur saja, aku bisa menebak kata apa yang akan keluar selanjutnya dari Mbak Rini.

Dan itu tidak membuatku merasa lebih baik,

"Ih kamu, gak pernah bisa diajak serius." Rajuknya.

Aku meraih tangan Mbak Rini, mengusapnya perlahan. "Aku tahu, Mbak mau ngomong apa, aku sudah biasa aja kok Mbak, jadi Mbak gak perlu khawatir."

"Jangan bohong, Mbak bisa lihat dari cara kamu natap Nathan kaya tadi." Mbak Rini menghusap rambutku, "Mbak gak mau kamu kecewa lagi."

"Iya aku paham kok." Aku meraih kenop pintu kamarku, tidak mau berlarut-larut dalam percakapan ini, "Aku istirahat dulu ya Mbak."

Tanpa memperdulikan Mbak Rini aku langsung masuk ke kamarku,

Aku lelah membahas masalah ini terus menerus.

Semua beranggapan aku orang jahat, padahal mereka tidak tahu siapa yang merebut siapa disini.

-

EDER POV

Aku berjalan kearah kitchen set, mengambil sebotol air mineral.

Sudah Jam 11 malam, dan semua orang sudah berada dikamar masing-masing untuk beristirahat.

Seharian aku hanya mendekam didalam kamar, berfikir Jika aku tidak perlu berbaur dengan keluarga yang akan menjadi Ayah Tiriku, toh pada akhirnya aku tidak akan tinggal bersama mereka lagi.

Lagi pula aku punya beberapa Video Call dengan Klien-ku, bisa menjadi alibi berdasarkan kenyataan Jika Mommy bertanya kenapa aku tidak ikut berkumpul.

Aku bukan pengangguran, aku punya beberapa hal yang harus kukerjakan dan itu membuatku tidak akan lama di Indonesia, mungkin tersisa satu minggu lagi sebelum aku kembali ke Amerika.

Melangkah keluar, terpaan angin laut langsung menyapaku, aku bisa melihat beberapa bintang bertebaran dilangit. Bali tempat yang Indah, aku menyukainya.

"Kamu anaknya Tante Yuli?"

Seketika Aku menoleh, melihat laki-laki duduk disofa dengan sebatang rokok ditangannya.

Aku menyipitkan mataku, berusaha mengingat apakah dia termasuk anggota keluarga Nugroho yang ikut rombongan tadi siang denganku.

Dan aku rasa, dia tidak ada dirombongan itu.

Dia bangkit setelah menyesap rokoknya dalam, menghembuskannya asapnya, dia mengulurkan tangannya, "Saya Nathan, Nathan Erlangga, Salah satu keluarga jauh Om Nugroho."

Jadi, dia yang namanya Nathan. Batin-ku bersuara.

Aku mengangguk sekilas, menerima tangannya, kami berjabat tangan beberapa saat. "Saya Eder Von Mirrendeff, anak pertama Tante Yuli." Aku merasa suaraku sedikit bergetar saat menyebutkan nama ibuku sendiri, aku harap dia tidak menyadarinya.

"Ah, pantas mukanya mirip Earl." Dia menawarkan sebungkus rokok, "Kamu ngerokok?"

Aku menggeleng, "Not at Night."

Nathan mengangguk, menyimpan kembali sebungkus rokok Marlboro yang sempat dia keluarkan dari saku, "Saya sudah ketemu Earl tadi sore, saya gak lihat kamu ikut kumpul tadi."

Aku tersenyum sekilas, "Iya, ada kerjaan yang harus di handle jadi gak bisa ikut kumpul."

"Bahasa Indonesia kamu fasih juga, pas pertama kali lihat, saya kira, saya harus pakai bahasa inggris untuk nyapa. Ternyata Saya salah."

Aku hanya terkekeh sekilas, Tidak tahu ingin menimpali apa dan hanya berusaha bersikap ramah. Sudah biasa dengan reaksi orang yang berlebihan sepertinya.

Don't judge by cover.

Well, mau tidak mau aku harus mengakui, aku memiliki darah Indonesia dari Ibuku. Jika, aku bisa berbicara dengan baha Indonesia bukankah itu wajar?

"Jadi perkerjaan kamu apa?"

"Saya mengurus bisnis, kalau anda sendiri?"

"Saya pengacara, lebih tepatnya pengacara keluarga besar ini."

Aku mengangguk, kembali mengingat beberapa kata yang tadi tanpa sengaja aku dengar, Dan entah kenapa penasaran muncul memenuhi benakku, aku meliriknya sekilas-

Nathan masih sibuk menghisap rokoknya sambil memandang lautan.

"Berarti anda kenal Anastasia Nugroho?"

Aku pintar membaca ekspresi seseorang, itu sudah bakat naluriah. Dan aku bisa melihat raut wajahnya berubah sendu, matanya menatap hamparan pantai-

Hening seketika, dan aku bisa melihat jika Nathan, dia sedang mengenang sesuatu.

Kali ini senyuman samar terlihat dari balik batang rokok yang masih bertengkreng dibibirnya, dia menyesapnya dalam, lalu menghembuskannya perlahan.

"Saya mengenal Anastasia."

Bohong, Aku tersenyum samar.

Nathan Erlangga, dia bukan hanya mengenal Anastasia, tapi dia sangat mengenal gadis itu.

Ada sesuatu antara mereka berdua dulu,

Mungkin masalalu yang cukup kelam hingga membuat gadis penuh semangat seperti Anastia berubah seketika saat melihat Nathan.

Nathan, cukup berpengaruh padanya.

-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status