Share

Mendadak Menjadi Kakak

My StepBrother, I Love U.

Bagian 5

MENDADAK MENJADI KAKAK

~Nggak ada mirip-miripnya~

🍁

"Den." bi Asri memanggil sembari mengetuk pintu kamar bercat coklat tempat Zian berada. "Papa manggil buat makan."

"Aku nggak makan, bi. Mau langsung tidur aja." Zian menyahut dari dalam.

"Tapi, tadi siang kan aden nggak makan." bi Asri berucap dengan cemas.

"Udah makan, kok. Bareng Danu." Zian berbohong. Dia sebenarnya lapar, hanya saja malas jika harus bertemu lagi dengan Rere. Dia tidak suka gadis itu.

"Yaudah, bibi kasih tau Papa aden."

Zian tidak menjawab. Setelahnya, bi Asri langsung pergi.

Zian menjatuhkan diri di atas ranjang yang empuk. Dengan kedua tangan menopang kepala, dia menatap langit-langit kamarnya. Menghela napas beberapa kali sebelum akhirnya memejamkan mata.

Dia masih kesal soal Papanya yang membawa orang asing ke rumah. Terlebih, orang asing itu tiba tiba saja menjadi adiknya. Jelas Zian tidak bisa menerima kenyataan itu begitu saja. Apa lagi, mulut Rere benar-benar tidak sopan. Akan sangat sulit bagi mereka untuk saling menyesuaikan.

"Hah..." dia menghela napas cukup panjang.

Semoga saja, tidak ada hal buruk yang akan terjadi di rumah ini setelah kedatangan Rere.

🍁

"Zian, Zian!" Seorang pemuda berteriak di luar gerbang rumah Zian. Memakai seragam SMA lengkap dengan dasi yang rapi, dia menaiki motor sport CB150R Street Fire berwarna hitam gotik.

"Bentar!" Zian tergesa-gesa berlari dari dalam rumahnya. Kedua tangannya sibuk memasang dasi, sementara bi Asri turut berlari di belakang, hendak memasukan kotak makan siang ke dalam ranselnya.

"Bi, Zian berangkat dulu." dia berbalik dan mencium tangan bi Asri secepat kilat. Kemudian berlari menuruni tangga dan menghampiri Danu yang sudah menunggunya.

"Buruan," Danu menyodorkan sebuah helm padanya.

"Iya, iya." Zian beringsut memakai helm sembari duduk di jok belakang motor. "Cus, berangkat." serunya dengan menepuk bahu Danu setelah selesai memakai helm.

"Okey !!" ramaja tinggi itu mengambil ancang-ancang kemudian memutar pedal gasnya dalam-dalam. Sampai sampai motor itu nyaris saja terbang.

"Woo~."

🍁

"Eh, katanya ada anak baru ya? Cewek!" para gadis di kelas 12 A Sosial berkumpul di barisan belakang kelas dan mulai bergosip tentang desas desus anak baru yang akan datang hari ini.

"Kata Pak Budi sih gitu. Dia daftar ke sini kemaren. Dan katanya bakal masuk ke kelas kita." timpal yang lainnya dengan semangat.

"Wih, asik dong. Ada pemandangan baru." seorang lelaki menghampiri mereka dengan gaya tengilnya. "Bosen gue liat muka kalian mulu tiap hari." lanjutnya sambil merangkul salah satu gadis di sana.

"Bosen pantat Pak Budi! Tiap hari lo godain kita, sok-sokan bilang bosen." gadis yang di rangkul Riko itu mencibir sembari menyingkirkan tangan Riko dari bahunya.

"Tobat lo. Anak baru jangan lo embat juga."

"Ya, gue sih nggak ada niat ya. Cuma, kalo nanti dianya yang suka sama gue. Gue gak mungkin dong diem aja." cetus Riko dengan bangganya menarik-narik kerah seragam. Kemudian menggoyangkan alis.

"Gaya lo." seseorang mencibir. "Udik!"

"Salah.." dia meralat. "Bukan udik tapi keren." sekali lagi, Riko menggoyangkan alisnya. Gaya tengil itu sukses membuat para gadis muntah massal.

"Eh, itu Zian?"

Mendengar nama itu di sebut hampir setengah penghuni kelas memalingkan wajah ke arah pintu masuk. Di mana ada dua remaja tampan dan berkarisma tengah berjalan masuk ke dalam kelas.

"Akhirnya lo sekolah juga!" Riko bangkit dari tempatnya lalu menghampiri kedua sahabatnya itu.

"Zian, apa kabar lo?"

"Lo kemana aja, sih?"

"Udah seminggu lebih lo nggak masuk kelas."

Hampir semua siswa menyapa dan melayangkan pertanyaan kepadanya. Zian menggaruk kepala karena kebingungan sendiri, pertanyaan mana yang harus ia jawab lebih dulu.

"Woy, gue kan dateng bareng dia. Kenapa kalian nggak nyapa gue juga?" Danu melayangkan protes. Seketika semua orang meneriakinya.

"Nggak penting banget nanyain lo."

"Anak-anak." seorang pria dengan setelan dinas guru masuk dan membuat semua murid buyar berhamburan menempati tempat duduk mereka masing-masing.

Dia tidak sendiri, ada seorang gadis dengan seragam lengkap berjalan mengekor di belakangnya. Membuat semua mata tertuju kepadanya tak terkecuali dengan Zian. Mungkin dia lah yang paling melongo diantara yang lain. Pasalnya, gadis itu adalah gadis yang sama yang kemarin datang ke rumahnya dan tiba tiba saja menjadi adiknya, Rere.

"Ya tuhan." jantungnya melompat ke tenggorokan.

"Cantik boy." Riko bersiul. Seketika perutnya langsung di sikut oleh Surya yang duduk di sampingnya.

"Sutt!"

"Perhatian semua, bapak disini bersama dengan siswi pindahan. Dia akan menjadi teman kelas kalian mulai hari ini. Jadi, bapak harap kalian bisa berteman dengan baik." Guru bernama Ramlan itu menjelaskan.

"Ayo, perkenalkan diri kamu." serunya kepada Rere.

Gadis itu mengangguk patuh lalu melangkah selangkah ke depan. "Perkenalkan nama saya Renata. Kalian bisa panggil saya Rere saja." gadis bermanik abu itu kemudian menunduk.

"Hay, Rere." serempak satu kelas menyapanya, kecuali Zian.

"Rere, bapak dengar kakak kamu juga bersekolah di sini. Boleh di tunjuk siapa orangnya?"

Seketika kelas itu saling memandang satu sama lain. Kemudian berbisik-bisik.

Zian menjadi tegang tiba-tiba. Tubuhnya panas dingin. Sudah pasti dia lah orang yang di maksud oleh pak Ramlan sebagai kakaknya Rere.

Rere diam beberapa saat. Dia menghela napas berkali-kali, enggan rasanya menunjuk lelaki menyebalkan yang duduk di bangku paling belakang itu sebagai kakaknya. Tapi, mau tak mau dia harus melakukan itu. Tangan kanannya mengayun ke depan lalu dengan jari telunjuk dia menunjuk seorang lelaki yang duduk gusar di atas kursinya.

"Zian." ucapnya.

Satu kelas terkejut. Puluhan pasang mata sontak memandang Zian yang kini duduk dengan wajah gelisah.

Riko menganga. Sementara Surya dan Danu memiringkan kepala mereka menatap Zian heran.

Mereka nyaris tak percaya. Pasalnya, yang mereka tahu Zian Nara itu adalah anak tunggal.

"Danu." pak Ramlan memanggil remaja yang duduk di sebelah Zian. Anak itu langsung menoleh. "Kamu pindah. Duduk sama Amelia biar Rere bisa duduk di samping sodaranya."

"Tapi pak.."

"Cepat!"

Remaja jangkung itu membuang napas, mau tak mau dia mengambil tas dan pindah sesuai titah sang guru.

"Kamu bisa duduk." serunya kepada Rere.

Gadis itu mengangguk kemudian pergi dan duduk di sebelah Zian meskipun dengan sedikit rasa canggung.

🍁

Saat bel istirahat berbunyi. Sebagian siswa langsung berkerumun mengepung meja Zian dan Rere. Mereka menatap kedua remaja itu secara bergantian dengan penuh teliti.

"Nggak ada mirip miripnya, lho!" celetuk Riko. Sebagian dari mereka mengangguk setuju. Sementara sebagian lainnya masih sibuk memperhatikan.

Rere dan Zian memang amat berbeda. Bahkan begitu kentara. Gadis belia itu memiliki mata besar bermanik abu sementara 'kakaknya' justru lebih sipit dengan manik coklat sayu. Garis wajah, warna rambut dan bentuk bibir semuanya berbeda. Hanya mungkin hidung mereka sama-sama bangirnya, turunan dari Arga.

"Kalian beneran adek kakak?" Surya bertanya.

"Na, seumur-umur gue temenan sama lo. Gue nggak pernah tau lo punya adek segede ini." Danu menambahkan. Dia menilik-nilik wajah Rere dengan penuh minat. Membuat empunya merasa tak nyaman.

Zian menghela napas. "Tanya bunda lo, dia pasti tau." ucapnya pada Danu. Dia dan Danu adalah sepupu. Jadi, ibu Danu pasti tahu soal istri kedua Papanya dan mengetahui soal Rere juga.

"Bunda?" Danu melongo. "Tapi, dia nggak pernah cerita."

"Ya, karena emang nggak penting." Zian menggeser badannya, dia mulai kepanasan. "Lagian lo pada ngapain ngumpul gini sih, pengap gue." lanjutnya jengkel. Dia mengibaskan dadanya mengurangi hawa panas di sekitar.

Danu dan Riko langsung bergeser memberi remaja itu sedikit ruang.

"Kalian ... bukan adek kakak ketemu gede, kan?" celoteh Amelia, gadis tomboy dengan rambut pendek sebahu. Dia menjulurkan kepala dan merangkul Riko yang ada di sebelahnya.

"Maksudnya?"

"Ya, maksudnya bokap Zian kawin lagi sama janda. Jadi, si Zian punya sodara ketemu gede." dia menjelaskan.

Zian diam tak menjawab. Sama halnya dengan Rere, gadis itu juga tidak berminat mengklarifikasi status hubungannya dengan Zian.

Dengan santainya, dia memasang earphone ke telinga dan mendengarkan musik rock dengan volume cukup kencang.

"Eh, jawab dong. Gila, gue di cuekin." Amelia mengomel. Dia menarik earphone dari telinga Rere, membuat gadis berambut panjang itu memandang ke arahnya dengan tatapan tak ramah.

"Apa?"

"Gue tadi nanya,"

"Kita sedarah." tukas Rere cepat. Tanpa basa-basi.

"Bener bener nggak bisa di percaya." Riko menyandarkan punggung sembari menggeleng masygul.

Bukan hanya teman-temannya, tapi Zian sendiri pun enggan percaya dengan kenyataan ini. Kenyataan bahwa dirinya dan gadis tak baik hati itu adalah saudara.

🍁

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status