Share

Manusia Bernama Rere

My StepBrother, I Love U.

Bagian 4

MANUSIA BERNAMA RERE

~Dia anak Papa, adik kamu~

🍁

Di dalam stadion, empat remaja itu duduk di jejeran paling depan. Tak banyak yang menonton pertandingan, mengingat ini hanya turnamen biasa yang selalu di adakan setiap minggu.

"Tunas bangsa! Tunas bangsa!"

"Cakar elang! Cakar elang!"

Sorak sorai para gadis berpom-pom menambah ramai suasana di dalam stadion. Mereka secara bergantian menyoraki kedua kubu yang tengah sengit beradu taktik di lapangan. Grup Cakar elang mengguli skor sementara, di mana mereka mendapat nilai cukup jauh di banding grup lawannya yaitu Tunas bangsa.

Zian tampak menikmati laju pertandingan. Matanya begitu fokus pada seseorang dengan gelar kapten dari kubu berbaju merah, Roni. Sosok lelaki itu menjadi ikonik di lapangan, dengan tubuh tinggi dan kulit kecoklatannya, dia begitu bersinar ketika guyuran keringat di badannya tersorot lampu pijar.

Zian sangat kagum, sekaligus cemburu. Melihat setiap gerak gerik Roni, dia membayangkan dirinya sendiri tengah berada di sana. Menerima bola yang di passing temannya, kemudian berlari dan melakukan shooting dengan gerakan yang sempurna.

Alangkah menyenangkan bila saja hayalannya itu dapat terwujud. Namun, sayangnya impian untuk menjadi seorang atlet basket harus ia kubur dalam-dalam. Dia mestinya berpikir realistis, dengan kekurangan yang ada di dalam dirinya, Zian harus sadar diri dan bangun dari mimpinya yang indah itu. Kembali pada kenyataan dimana dia hanya bisa duduk di bangku penonton.

Ronde terakhir telah berakhir. Pertandingan di menangkan oleh grup cakar elang. Telihat oleh Zian, Roni dan kawan-kawannya begitu bersorak atas kemenangan mereka. Membuat dia ikut tersenyum dan merasakan bagaimana bahagianya mencapai sebuah keberhasilan.

"Udah beres, nih. Nyari makan, yuk." Riko bersuara. Lelaki yang menonton pertandingan dengan terkantuk-kantuk itu akhirnya bernapas lega setelah semuanya berakhir. Sama halnya dengan Surya dan Danu, karena diantara mereka, yang amat menyukai basket hanyalah Zian seorang.

"Gue sih ikut aja." Surya menimpal.

Sementara Danu memandang ke arah Zian, sorot matanya seakan bertanya, anak itu mau ikut atau tidak. Zian diam sebentar lalu menggelengkan kepalanya.

"Gue pulang aja, deh. Tadi pergi nggak pamit soalnya. Takut di cariin."

"Kan bisa telpon bi Asri. Bilang aja lo hang out sama gue." sambar Danu.

Sekali lagi, Zian menggelengkan kepalanya tanpa ragu. "Nggak, ah."

"Kenapa?" Riko bertanya.

"Yaudah, yaudah." Danu kembali memotong. "Gak apa apa. Kalo gitu, kita pulang bareng."

"Lah, kok lo ikut-ikutan pulang, sih?"

Danu memandang kedua temannya secara bergantian. "Zian dateng bareng gue, jadi dia juga harus pulang bareng gue."

Riko mendecak. Cukup kesal, tapi dia masih bisa memaklumi keadaan sahabatnya yang masih berduka itu. Jadi, mau tak mau mereka menerima keputusan Danu.

"Tapi besok lo ke sekolah, kan?" Surya bertanya pada Zian.

Zian diam sembari berpikir, sebenarnya dia belum berencana pergi ke sekolah sekarang-sekarang ini.

"Iya lah! Bareng gue." Danu menyerobot. Dia memiting leher orang di sampingnya itu dan menggoyang alis pada Zian.

Zian tersengih. "Iya, iya. Nanti gue sekolah bareng lo."

🍁

"Gue jemput pagi-pagi, yak!" Teriak Danu saat Zian berlari menuju rumahnya. "Jangan telat!"

"Iya!" Zian menyahut dengan suara yang sama kerasnya. Dia kemudian membuka pintu depan dan masuk ke dalam.

Tiba-tiba dia mematung saat melihat di ruang tamu ada beberapa pasang mata memandang ke arahnya. Ada bi Asri, Papanya, dan satu orang gadis yang tidak ia kenali.

Arga menghampiri anaknya yang masih terdiam. Dia menepuk kedua bahu Zian dengan menggulum seulas senyuman. "Duduk dulu, yuk. Sebentar."

Zian ingin sekali bertanya, ada apa, dan gadis itu siapa. Tapi, nampaknya Papanya akan menjelaskan itu sendiri. Jadi, Zian hanya mengangguk dan pergi duduk di dekat bi Asri. Dan Arga duduk di sofa seberang.

"Zian," pria berkaca mata itu berkata dengan ragu. "Ngh ... Papa belum sempat kasih tau kamu sebelumnya. Ini, Rere." Arga memperkenalkan gadis cantik dengan rambut panjang di depannya kepada Zian. "Dia anak Papa, adik kamu."

Seketika, Zian cengo.

Dia tidak mengerti dengan apa yang baru saja di katakan ayahnya. Adik? Bukankah adiknya sudah meninggal 4 tahun yang lalu?

Zian memiliki seorang adik perempuan saat usianya 6 tahun. Namanya Nayra. Dan adik kecilnya itu meninggal karena sakit keras di usiannya yang ke delapan. Lantas, siapa Rere ini? Gadis itu terlihat seumuran dengannya, mana mungkin dia adalah adiknya jika mereka sepantaran?

"Zian?" panggilan Papa membuat pikiran semrawutnya membuyar.

"Papa pernah cerita kan sama kamu? Papa punya dua istri dan Rere ini anak dari istri Papa yang kedua." Arga menjelaskan.

Zian berkedip. Sekarang, semuanya masuk akal.

Rere ternyata adalah saudara tirinya.

Tapi, mereka sama sekali belum pernah bertemu, belum pernah saling mengenal dan belum pernah saling mencari tahu. Lantas, mengapa tiba tiba Rere ada di rumahnya? Di kenalkan oleh Papanya.

"Mulai sekarang, dia akan tinggal di sini."

"Hah?!" lelaki tirus itu terperangah. Dia memandang Papanya dengan wajah bingung.

"Mamanya Rere pergi bekerja ke luar negeri. Di rumah, Rere cuma sendirian. Sebagai ayah, Papa nggak bisa mengabaikan dia. Jadi, Papa harap kalian bisa rukun di rumah ini."

"Pa!" Zian menekuk wajah karena jengkel. "Kok seenaknya gitu, sih."

"Papa minta maaf. Papa nggak ngasih tau kamu sebelumnya, Zian. Tapi Rere nggak punya siapa-siapa di sana."

"Ya, Papa bisa nyewa pembantu atau siapa kek gitu. Nggak tinggal di sini juga, Pa!"

"Heh," gadis yang sedari tadi diam itu berdiri, matanya menyorot tajam pada Zian. "Lo pikir gue mau tinggal sama lo?"

Zian mendengkus. Gadis ini ternyata bernyali tinggi. "Terus kenapa lo mau di bawa ke sini?" dia menatap tak kalah sengit.

"Gue di paksa! Sorry, gue juga ogah tinggal di tempat kayak gini. Apalagi kalo ada manusia songong kayak lo." Rere sesungutan. Gadis yang tadinya terlihat anggun dan cantik itu berubah seperti nenek sihir saat sifat aslinya keluar.

Zian melongo mendengar betapa tidak sopannya mulut si adik tirinya ini. Dia ikut berdiri dan mendekatkan wajah. "Yaudah. Pergi sana. Nggak ada yang mau nerima lo juga di rumah ini." sengit Zian dengan menunjuk pintu keluar.

"Den ... nggak boleh gitu." bi Asri mengusap bahunya menenangkan.

Arga menghela napas penat. Apa seperti ini anak muda jaman sekarang? Baru satu menit bertemu sudah saling adu mulut.

"Zian, Rere. Duduk." Arga berusaha menengahi.

"Papa bilang duduk." ulangnya.

Dengan berat hati, keduanya mau tak mau duduk kembali di tempat masing-masing. Meskipun dengan saling memalingkan wajah.

"Denger baik-baik. Papa akan bekerja di luar kota selama 4 bulan kedepan. Papa nggak bisa sering-sering pulang buat nengok kalian. Jadi, Papa harap kalian bisa menyesuaikan diri selama Papa nggak ada." Arga berujar dengan kedua tangan menopang dagu. Dia menatap dua anaknya secara bergantian.

Dia tahu, ini bukan momen yang tepat untuk mempertemukan kedua anaknya. Apalagi, ibu Zian baru saja tiada. Pasti sulit bagi remaja itu untuk menerima orang baru di kehidupannya. Tapi, Arga juga tidak punya banyak pilihan. Dia tidak bisa menyewa orang asing untuk mengurus Rere atau membiarkan gadis perawannya itu tinggal sendirian. Jadi, mau tak mau dia harus membawa Rere ke rumah ini. Tentu saja Arga tidak khawatir karena ada bi Asri dan mang Amin yang akan menjaga mereka berdua.

Zian mendengus dan menggeleng tak terima. "Papa bener-bener, yah ..." dia bangkit dengan kesal lalu melengos pergi ke kamarnya.

Sementara Rere hanya berdecak jengkel. Dia sadar dia tidak punya suara di rumah ini untuk menolak keputusan Papanya. Jadi, meskipun enggan dia tetap harus menurut.

Arga menghela napas sebelum kembali bersuara. Kini, dia hanya menatap Rere. "Biar bi Asri anter kamu ke kamar. Kamu bisa istirahat dulu sebelum makan malam nanti."

Arga kemudian memberi kode pada bi Asri. Wanita itu mengangguk dan mengambil koper yang ada di samping Rere untuk dia bawa.

"Ayo, non." ajak bi Asri. Rere mau tak mau mengikuti langkah wanita paru baya itu walaupun sedikit misuh-misuh.

Dari tempat duduknya, pikiran Arga di penuhi kebimbangan. Ini memang mendadak tapi dia harap kedua anaknya itu tidak berselisih terlalu lama dan dapat saling menerima satu sama lain saat dia tidak ada.

🍁

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status