Share

Chapter 03

Tanpa menunggu lama aku segera membuka ikon balon pesan yang ada di ponsel. Dengan sekali sentuh, tampilan layar ponsel membawaku ke kanal pesan pribadi. Kubaca untaian kata yang Ditha kirimkan untukku.

“Sena, udah ada kelompok buat tugas Bahasa Inggris nanti?”

Aku tertegun sejenak. Mataku memandang langit-langit kamar putih. Mencoba menembus lautan ingatan dalam kapasitas yang kecil di kepalaku. Aku berusaha mencari-cari informasi tentang tugas kelompok yang Ditha sebutkan berusan. Namun tetap saja aku tidak menemukannya.

Tampaknya aku melupakan hal itu. Lucu. Kata orang, apa yang kau lupakan adalah hal yang tidak penting bagimu. Apa aku memang kelewat bodoh atau malas sampai-sampai menganggap tugas sekolah tidak penting?

Terkadang aku ingin memukul diri sendiri. Sikap yang setengah-setengah seperti ini seolah berada di situasi hidup enggan mati pun tak mau. Aku memiliki mimpi mengenyam pendidikan hingga ke bangku kuliah. Tapi semangat belajarku malah tak ada ubahnya dengan calon pengangguran. Kalau terus begini, aku penasaran akan jadi apa aku di masa depan nanti.

Kembali ke topik, meski aku tak mengingatnya sama sekali, namun jika Ditha berkata seperti itu artinya benar.

“Belum, kenapa?” balasku dalam kanal pesan.

“Mau ikut kelompokku? Kurang dua orang, kamu bisa ajak Zidan, kok.”

“Boleh juga. Nanti aku bilang juga ke dia.”

“Terima kasih,” balas Ditha disertai emotikon senyum yang ada gambar hatinya.

Mendadak aku tersentak. Bukannya kami berdua tidak pernah berbalas pesan sama sekali. Sesekali memang kita berkontak, tak jarang pula saling melempar emotikon. Tapi yang membuatku bahagia bukan kepalang kali ini adalah emotikon yang ia kirim. Ini adalah pertama kalinya ia mengirim seperti itu. Biasanya ia hanya mengirim emotikon orang tertawa atau ngantuk.

Pikiranku langsung membayangkan Ditha yang tersenyum manis kepadaku, dengan tatapan penuh cinta dan sarat makna, sembari mengucapkan kata terima kasih. Senyum miliknya memang kualitas nomor satu, namun jika dipenuhi emosi seperti itu pasti akan membuatnya tak ternilai. Andai saja hal itu terjadi, aku pasti akan senang bukan main. Tanpa sadar membayangkan halusinasi itu membuatku tersenyum sendiri.

“Kamu kenapa, Sena? Kok kaya orang gila senyum-senyum sendiri?” tanya bapak sembari memandang aneh pada anaknya.

“Mau tau aja apa mau tau banget?” jawabku ketus. Kemudian berdiri dan membawa piring kotor ke wastafel, lalu masuk ke dalam kamar sembari melempar badanku ke atas kasur.

Kubaca sekali lagi isi pesan dari Ditha. Entah mengapa setiap kali kubaca ulang pesan darinya, selalu berhasil membuatku kegirangan dan tersenyum sendiri. Tampaknya aku harus berhenti saat ini juga. Jika dibiarkan mungkin aku akan tenggelam dalam dunia halusinasi dan tak bisa kembali ke dunia nyata.

Untuk mengalihkan pikiran ke hal lain, aku mencoba untuk bermain game di ponsel. Dengan harapan dapat melupakan tentang Ditha untuk sementara waktu. Namun sepertinya tidak berhasil. Meski telah bermain game pun, pikiranku sebagian terbagi karena membayangkan halusinasi bersama gadis itu.

Tampaknya memang sulit untuk menyingkirkan seseorang jika sudah terpatri dalam hati. Aku rasa semua orang setuju dengan hal itu.

***

Satu malam telah berlalu. Kini Sang Surya sudah mulai menyingsing dari ufuk timur. Awan-awan gelap yang menggantung di angkasa tempak menyala karena tersiram sinar mentari. Dari arah datangnya matahari, langit kian cerah setiap detiknya.

Aku melihat ke arah jam dinding, sekarang pukul 5.30 pagi. Aku yang baru saja bangun dan menyelesaikan ibadah, duduk di depan teras ditemani secangkir kopi panas dan beberapa potong kue. Ini sudah menjadi kebiasaanku setiap pagi. Untuk memulai aktivitas sehari-hari, alangkah baiknya jika kita memulainya dengan bersantai dan menenangkan pikiran, bukan? Jadi kita bisa menjalani hari ini dengan baik.

Entah sudah berapa lama hal ini menjadi rutinitas pagi hari, yang jelas ini semua karena ikut-ikutan bapak. Sejak aku kecil, dia selalu menikmati pagi dengan kopi sebelum berangkat kerja. Karena begitu penasaran dengan rasanya, aku turut menyesapnya. Rasanya? Untuk ukuran bocah delapan tahun, tentu saja rasa kopi hitam tidak mengenakan. Namun demi berlagak dewasa seperti bapak, aku tetap nimbrung ketika ia bersantai sebelum berangkat kerja. Karena itulah meminum kopi sudah menjadi aktivitas keseharianku.

Biasanya kopi hitam adalah favoritku. Karena kehabisan stok, terpaksa aku menyeduh white coffee instan yang menurutku rasanya agak hambar. Namun itu lebih baik dari pada tidak sama sekali. Secangkir kopi  dan beberapa potong kue basah yang kubeli di tukang sayur dekat rumah. Kombinasi dari dua hal itu benar-benar luar biasa dan sulit diungkapkan dengan kata-kata. Untuk siapa pun yang menemukan kopi dan kue, aku sangat berterima kasih.

Selagi aku menyesap kopi, bapak keluar dari pintu dengan segala perlengkapannya sebelum berangkat kerja. Ia mengenakan jaket kulit imitasi yang kedap udara, tas punggung berukuran besar, dan masker tengkorak ala Kopassus. Lengkap dengan sarung tangan hitam dan sepatu boot taktis seperti milik tentara. Penampilan bapakku lebih mirip dengan seorang tentara yang hendak terjun ke medan perang daripada pekerja yang ingin berangkat ke kantor. Andai ia membawa senapan laras panjang di tangannya, orang-orang pasti akan percaya ia anggota tentara.

“Mau pergi ke kantor apa pergi perang?” tanyaku dengan nada bercanda.

“Ke medan perang, dong. Perang melawan tugas-tugas dan atasan di kantor.”

Aku tertawa simpul. “Apa-apaan coba? Masih mau ngopi, ngga?”

“Ngga usah. Kalau berangkat lebih lama lagi bisa-bisa bapak telat,” ujarnya seraya mendekat ke arah motor Supra miliknya.

Sang Tentara Kantor menaiki kendaraan roda dua dan memanaskan mesinnya. Bersamaan dengan suara berisik mesin tua yang bekerja, kepala motor Supranya bergetar-getar. Pemandangan ini lucu. Di mana lagi kau bisa melihat tentara siap tempur yang menaiki motor Supra kuno? Sialnya, aku jadi ingin tertawa. Tapi aku sudah menertawakannya tadi, rasanya tidak etis kalau melakukannya dua kali di saat yang berdekatan. Apalagi dia orang tuaku sendiri.

Mataku memandang sekali lagi ke depan. Mendapati getaran dari kepala motor yang kini merambat ke tubuh bapak. Kepalanya kini berayun-ayun seperti boneka goyang yang jadi pajangan di dashboard mobil. Sontak aku tak bisa menahan tawaku dan pecah begitu saja.

“Kamu kenapa lagi, sih?” tanya bapak dengan bingung.

“Ya ampun! Kenapa sih harus berpenampilan kayak gitu? Sweater polos yang biasanya juga ada, sepatu pantofel juga ada, masker kembang kemarin juga masih bersih.”

“Bapak baru beli kemarin. Emangnya salah kalau dipake?”

“Ya, enggak sih. Cuma aneh aja liatnya,” jawabku yang masih tertawa.

“Iri bilang, Bos!”

Menghiraukan gurauanku, bapak menarik gas sepeda motornya berkali-kali seakan ingin mengintimidasi. Mungkin pikirnya tengah berada di atas Ducati Panigale V4 atau Kawasaki Ninja H2. Bila itu benar adanya, mungkin aku akan berdecak kagum karena suara deru mesinnya. Sayang, yang dikendarainya saat ini ialah Supra butut yang kepalanya bergetar-getar sendiri. Bukannya terkagum, malah ingin melemparnya dengan sendal. Tidak peduli jika ia adalah orang tua sendiri.

“Assalamu’alaikum,” ujar bapak seraya memacu sepeda motornya keluar gerbang rumah. Suara mesin tua khasnya masih terdengar hingga ujung gang, meninggalkan asap buang dari knalpot yang mengepul.

“Wa’alaikum salam,” jawabku sembari menahan tawa melihat tingkahnya.

Bapakku sudah memang sudah tua, tapi tingkahnya masih saja seperti anak muda. Dia masih suka mengikuti tren terkini, seperti yang kau bisa lihat barusan. Bapak mengatakan kalimat yang sempat viral di jagad maya akhir-akhir ini. Sebal memang mendengar kalimat itu berkali-kali, namun terasa segar jika bapak yang mengucapkan.

Selain itu yang membuatku tidak habis pikir adalah setelannya. Begitu nyentrik seakan ingin terlihat keren di mata orang lain. Aku tidak melarang orang yang berumur untuk tampil keren, namun setidaknya pilihlah penampilan yang sesuai umur. Sepertinya bapak ingin sekali kembali ke masa muda.

Aku menggelengkan kepala. Yah, biarlah jika dia ingin merasa muda. Ada kalanya seseorang ingin kembali ke masa-masa terbaiknya. Hal yang perlu disyukuri adalah bapak tidak membangkitkan lagi sifat nakalnya.

Dulu bapak pernah bercerita bila masa sekolahnya dipenuhi dengan kenakalan yang tidak ada habisnya. Seperti mencuri barang, membolos, memeras adik kelas, atau memukul guru. Berkali-kali nenekku dibuat pusing olehnya. Berbeda sekali denganku yang kalem, aku hanya sedikit gila jika bersama teman dekatku saja. Mungkin aku lebih memiliki sifat ibuku yang kalem dan tenang.

Aku kembali menyesap kopi yang sudah agak dingin meskipun baru lima menit diseduh. Memang, hawa udara di pagi hari ini cukup dingin. Apalagi tengah malam tadi hujan deras mengguyur seisi kota, yang membuat suasana di pagi ini semakin dingin. Padahal seharusnya bulan ini adalah musim kemarau, tayangan berita di layar kaca pun ramai memberitakan kekeringan di seluruh penjuru negeri. Tapi kota ini sepertinya tak terpengaruh oleh hal itu. Julukan Kota Hujan untuk Bogor memang bukan bualan semata.

Rumahku berada di dekat kaki Gunung Salak. Saat pagi datang, tidak jarang kabut turun disertai hawa dingin yang menusuk tulang. Intensitasnya akan bertambah jika masuk musim hujan. Bagi mereka yang tidak tahan dengan hawa dingin, tinggal di kota ini bukan pilihan yang baik. Namun untuk orang yang lahir dan besar di sini, suasana yang bisa membuat badan mengigil seperti ini sudah menjadi teman sejati. Tapi harus kuakui, suhu pagi ini lebih dingin selama beberapa minggu terakhir.

Aku menoleh ke arah jam yang tergantung di dinding ruang tamu. Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul 5.45 pagi. Sebaiknya aku segera bersiap untuk berangkat sekolah. Memang jarak antara rumah dan sekolahku tidak begitu jauh, hanya setengah jam perjalanan dengan angkutan umum. Aku lebih memilih berangkat awal dan memberi jeda waktu, daripada berangkat dengan waktu yang mepet dan terburu-buru. Siapa yang tahu ada kejadian tak terduga di jalan seperti macet dan membuatku telat?

Mempersiapkan segala sesuatu sebelum kejadian lebih baik daripada panik saat menghadapi hal tak terduga, bukan?

Setelah mengambil handuk yang tergantung di jemuran, aku segera menuju kamar mandi. Kemudian membersihkan badan dengan air keran yang suhunya mungkin di bawah 15O C, rasanya seakan mandi dengan air es saat hujan turun.

Bangsat, dingin banget!

Setelah beberapa menit, aku melangkah keluar dengan tubuh mengigil seusai diguyur air es. Hawa dingin di luar rumah membuatnya tambah buruk. Kugosok-gosokkan kedua tangan pada lengan agar dapat memberi sedikit kehangatan. Meski nyaris tidak ada perubahan, setidaknya lebih baik daripada tidak sama sekali.

Sepuluh menit berlalu, kini aku sudah berpakaian seragam putih abu-abu dengan rapi. Kemudian menyisir rambut dan menyemprotkan parfum pada baju. Meski wajahku tidak terlalu rupawan, seenggaknya aku tidak bau dan membuat orang lain menjauh. Tidak lupa juga kukenakan jam tangan imitasi murah di pergelangan tangan kiri. Oke, aku sudah siap untuk pergi ke sekolah sekarang!

Tepat ketika sepatuku mengambil satu langkah pertama, aku teringat sesuatu. Hampir saja aku lupa mengucap salam pada ibu. Bodohnya aku! Bisa-bisanya lupa berpamitan pada orang tua sendiri. Sepertinya aku benar-benar ingin dikutuk menjadi batu.

Aku kembali masuk ke ruang tamu, memandang ke sebuah figur yang terpampang di dinding. Potret seorang perempuan berumur empat puluhan targambar anggun di sana, dengan senyum indah nan memukau dibalut baju kebaya. Dia adalah mendiang ibuku. Ia adalah perempuan terhebat dan tertangguh di dunia ini. Perempuan itu selalu mendidikku agar menjadi orang yang mandiri tanpa bergantung pada orang lain. Mungkin dialah alasan utamaku berniaga untuk mencapai cita-cita yang diinginkan.

Naas, aku sudah tidak bisa mendapatkan kasih sayang dan ilmu darinya lagi. Sekitar lima tahun yang lalu, ibu meninggal dunia karena kecelakaan bus. Kendaraan yang ia tumpangi masuk ke jurang sedalam dua puluh meter. Dari lima puluh orang penumpang dalam bus, hanya enam orang yang selamat. Sayang sekali ibu tidak termasuk ke dalam daftar orang beruntung itu.

Memang menyakitkan ketika ditinggal oleh orang yang sangat kau sayangi, dan takkan lagi bisa bertemu untuk selamanya. Hanya bisa mengingat sosok dan tingkah lakunya dalam kenangan. Mengingat hal itu membuat hatiku sakit. Meski sudah lewat beberapa tahun, rasa kehilangan itu tidak akan pernah hilang sepenuhnya. Tapi aku sudah berjanji pada diriku sendiri, agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Aku yakin ibu yang mengawasiku pun akan berkata sama.

“Aku berangkat sekolah dulu, Bu! Aku tahu ibu melihatku dari atas sana. Tolong do’akan agar aku bisa meraih semua yang kucita-citakan!” ucapku lirih seraya memandangi potret di dinding. Mungkin orang lain akan berpikir aneh melihatku mengobrol dengan sebuah foto. Tapi ini adalah satu-satunya caraku berkomunikasi dan melepas rindu dengan ibu yang telah tiada.

Selepas melakukan ritual keseharian, aku bergegas keluar rumah dan mengunci pintu rumah, lalu melompat ke gang depan rumah. Jam tangan menunjukkan pukul enam lebih tujuh menit. Dari sini, aku harus menuju ke jalan raya. Untung saja kendaraan umum di daerahku terbilang banyak, jadi tidak perlu takut angkot yang jarang lewat atau kepenuhan.

“Mau berangkat ke sekolah, Nak Sena?” tanya seorang wanita tua yang tengah menyirami bunga depan rumahnya. Ia adalah tetanggaku yang hobi berkebun, biasanya kupanggil Nenek Atun.

“Ngga, Nek! Mau sabung ayam,” jawabku dengan bergurau. Padahal sudah jelas aku tengah mengenakan seragam lengkap dengan tas sekolah. Bisa-bisanya ia masih menanyakan hal itu!

“Oh … mau sabung ayam, ya? Nenek do’ain semoga menang, ya!”

“Aamiin. Nanti kalo menang hadiahnya aku bagi dua sama Nenek.”

“Alhamdulillah. Nak Sena emang baik.”

Nenek Atun terbiasa menanggapi gurauanku, makanya wanita tua itu inisiatif mengikuti alur candaan yang kubuat. Tentu saja kami berdua tidak serius. Lagian mana ada siswa sekolah pagi-pagi berangkat sabung ayam, lalu dido’akan menang oleh tetangganya? Kalau betul ada mereka positif sakit, dan harus pergi ke bengkel  untuk mereparasi isi kepalanya.

Meninggalkan Nenek Atun dengan lambaian, kulanjutkan langkah kaki di jalan komplek yang becek. Lubang-lubang di jalanan membuat genangan air seperti kolam kecil, beberapa kali aku harus mengitari untuk melewatinya. Butiran embun menempel pada dedaunan dan semak-semak. Entah mengapa melihat itu membuat mata menjadi begitu segar. Setelah tiba di jalan raya, aku segera menyetop sebuah kendaraan umum yang lewat. Untung saja hari ini kondisi jalan tidak padat, jadi jarak ke sekolah bisa kutempuh dalam waktu lima belas menit saja.

Tidak beberapa lama kemudian, aku tiba di depan sebuah gerbang besi berkarat yang besar. Temboknya sudah retak di beberapa bagian, rumput liar dan lumut tumbuh subur di bawah dinding. Siapa pun yang melihat ini pasti akan berpendapat bila ini adalah bangunan yang tak terurus. Tapi percaya atau tidak, ini adalah SMA Batara Dewangga, sekolah tempatku belajar setiap harinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status