Share

Chapter 06

Di tengah kerumunan murid yang berada di kantin, aku dapat dengan mudah menemukan sosok Ditha. Cewek itu memiliki hawa kehadiran yang menonjol di antara orang-orang lainnya. Sebab itulah, aku tak bisa menyalahkan mataku yang kerap tertuju padanya.

Ditha tengah berusaha mengambil bola daging di mangkuknya menggunakan dua sumpit. Hal yang tampak sepele, namun sulit bagi orang yang tak terbiasa memakainya. Berulang kali ia mencoba tapi tidak berhasil, tingkahnya yang lucu membuat hatiku tergelitik dan tidak kuasa menahan senyum kecil. Sampai seorang pria berparas indah yang duduk di depannya menusuk bola daging dengan garpu dan langsung menyuapinya. Keduanya lalu tertawa bersama. Sebuah tawa yang mengasyikkan bagi mereka, namun menyakitkan bagiku untuk dilihat.

Orang-orang di sekeliling yang awalnya acuh, menjadi tertarik dan mulai menggoda pasangan sempurna itu. Muka Ditha memerah, kini ia menolak suapan dari kekasihnya karena tak sanggup menahan malu. Suasana di sekitar keduanya riuh karena suara tawa.

Berbanding terbalik dengan tempatku duduk, sebuah bangku panjang yang terletak di ujung kantin. Dari jarak yang cukup jauh ditambah dengan keramaian di sini, gadis itu takkan melihatku yang terus menatapnya.

Di sini aku hanya bisa melamun dan membayangkan sebuah dunia, di mana aku menggantikan sosok Kak Chandra yang bisa bermesraan dengannya. Sampai suatu ketika sebuah tepukan yang mendarat pelan di atas bahu, membuyarkan dunia di dalam pikiranku.

“Ada apa?” tanyaku pada Zidan yang duduk di samping.

Pria itu hanya menggelengkan kepala dan menutup mata, sembari mendecakkan lidah. “Orang ini udah ga bisa ditolong lagi rupanya.”

“Kasian banget teman kita satu ini, mimpiin sesuatu yang enggak mungkin terjadi,” sambar Reza yang duduk di depanku, matanya menatapku dengan iba.

“Kenapa engga cari yang lain aja? Udah kayak cewek di dunia cuma dia aja!” sindir Nando, yang tengah memakan nasi uduknya di bangku yang sama denganku. Ia adalah teman sebangku Reza, yang juga menjadi teman nongkrongku.

“Ya mau gimana lagi? Gue udah terlanjur suka sama dia.”

“Mau sama ibu gue?”

“Lu stress, Sumpah!” balasku dengan sinis.

Jujur saja, saat ini aku sedang tidak berniat untuk meladeni guyonan macam apa pun. Kalau saja situasinya lebih baik, aku pasti akan menanggapi gurauan Nando. Perasaan di dalam hatiku seperti tengah ada badai besar yang berkecamuk, sehingga tak bisa menangkap hal lain yang masuk.

Di antara banyak teman yang kumiliki, hanya mereka bertigalah yang tahu tentang perasaanku pada Ditha. Tentu karena aku sering bergaul dengan mereka, ketiganya dapat tahu tanpa harus kuberitahu. Untungnya mereka bukan orang menyebalkan yang suka membeberkan rahasia orang lain. Tiga orang itu mengunci informasi ini hanya di antara mereka saja.

Meski terkadang teman-temanku suka menggoda ketika aku sedang mengobrol berdua dengan Ditha, mereka adalah orang yang bisa dipercaya. Setidaknya itulah yang kupikirkan tentang Zidan, Reza, dan Nando.

“Ya udah, kalo masih lu mau lanjut ya terusin aja. Tapi kalo nanti patah hati, jangan ngerasa jadi orang yang paling disakiti. Itu kan pilihan lu sendiri.”

Ucapan Zidan membuatku tersentak. Benar katanya. Entah apa pun akhir ceritanya nanti, aku tidak boleh sampai membenci Ditha. Karena ini adalah jalan pilihanku sendiri yang terus maju meskipun kesempatanku bahagia sangat kecil.

Apabila dilihat dari sisi lain, yang dilakukan Ditha hanyalah berusaha akrab dan berbuat baik ke semua orang. Tidak akan ada yang bisa menyalahkannya jika ada satu atau dua lelaki yang jatuh hati pada gadis itu karena sifatnya. Mau bagaimana pun, aku tak bisa memaksakan perasaanku padanya. Ditambah aku yang belum memiliki keberanian untuk mengungkapkan isi hati pada Ditha. Jika dipikir-pikir lagi, aku tidak berhak protes dengan kondisi ini.

Aku tertawa dalam hati, bisa-bisanya pengecut sepertiku jatuh hati padanya? Takdir mungkin memang menghalangi orang sepertiku agar tidak bisa bersamanya.

Hari-hari berlalu dengan cepat seperti air yang mengalir tanpa disadari. Kegiatanku sehari-hari hanya bersekolah, berdagang, memikirkan Ditha, bermain dengan teman, lalu dihukum guru karena tidak mengerjakan tugas. Hal-hal itu terus berulang setiap harinya seperti lingkaran setan yang tak berujung.

Hingga suatu ketika, datang sebuah hari yang berbeda dari biasanya. Ditha, murid paling rajin yang ada di sekolah ini tidak masuk sekolah. Normalnya, dia pasti akan mengabari wali kelas jika sakit atau berhalangan hadir. Jadi guru yang mengisi mata pelajaran pertama mengumumkan keabsenan dirinya dari daftar kehadiran siswa. Namun kali ini, wali kelas tidak tahu-menahu tentang ketidakhadiran Ditha.

Ini cukup aneh. Ditha adalah orang selalu datang ke sekolah meski terlambat atau hujan badai sekalipun. Jika ia tidak sakit atau terlambat, lantas apa yang membuat dirinya berhalangan hadir pagi ini? Itu cukup menganggu pikiranku, namun kucoba tidak terlalu memusingkannya. Mungkin saja dia sakit dan lupa untuk memberi kabar pada wali kelas.

Keanehan itu berlanjut hingga esok harinya, Ditha masih absen tanpa kabar. Membuat satu kelas keheranan dengan hal ini. Wali kelas masih belum mendapatkan kabar apa pun dari gadis itu. Begitu pula dengan teman-teman dekat perempuannya, mereka sudah mencoba berkabar dan menelepon Ditha, tapi nomornya tidak aktif sejak kemarin. Kendati demikian, aku mencoba untuk tetap berpikir positif. Mungkin saja Ditha sedang memiliki urusan keluarga atau mendadak yang perlu diselesaikan.

Kenyataannya, absennya Ditha terus berlangsung hingga seminggu penuh. Ini sudah bukan aneh lagi, melainkan sangat aneh. Ditha menghilang bak ditelan bumi tanpa kabar. Nomor ponsel miliknya tak aktif sejak lama. Bahkan saat aku mengirim pesan lewat sosial media, status pesanku selalu centang satu yang mengindikasikan pesan tidak pernah diterima. Aku dan beberapa teman sekelas sempat berkunjung ke rumah Ditha kemarin, namun rumahnya kosong tanpa penghuni. Tetangganya pun tidak tahu ke mana satu keluarga itu pergi.

Entah suatu kebetulan atau bukan, Kak Chandra, yang menjadi kekasih gadis itu turut tak masuk sekolah tanpa kabar sejak hari ini. Persis dengan apa yang terjadi pada Ditha, kapten eskul bola basket di sekolah itu tak bisa dihubungi.

“Aneh banget, ya?” ucap Zidan yang tiba-tiba memecah keheningan. “Ini udah lebih seminggu sejak Ditha ngilang tanpa kabar. Kita jadi ngga bisa minjem contekan lagi, loh.”

“HP-nya juga nggak aktif terus. Kemana dia, ya?” sahutku mengabaikan lawakan Zidan yang garing. Lalu memeriksa layar ponselku, berharap status pesan yang kukirim pada Ditha berubah menjadi centang dua.

Namun tidak peduli berapa kali aku memeriksanya, status centang satu tetap melekat di kanal obrolanku. Seakan Ditha sudah berganti nomor atau membuang ponselnya. Informasi waktu terakhir dia daring pun sudah lebih dari seminggu yang lalu.

Mengecek layar ponsel kini sudah menjadi kebiasaanku di tengah aktivitas sehari-hari. Seolah-olah sudah menjadi satu dengan rutinitas lingkaran setanku. Aku sempat mengirim beberapa pesan padanya, berpikir mungkin pesanku gagal terkirim dan mencoba mengirim ulang pesan. Namun harapan hanyalah hal semu yang tak nyata. Tidak pernah muncul tanda-tanda Ditha akan menerima pesanku.

Hingga ahirnya tepat dua minggu sejak Ditha absen, murid satu kelas mendapatkan kabar yang sangat mengejutkan dari wali kelas saat jam pertama dimulai.

“Karena ketidakkadirannya selama dua minggu penuh tanpa kabar, mulai hari ini Ditha sudah resmi dikeluarkan dari sekolah.”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fajarex
aku kangen banget sama karya mu bree... bertahun tahun u ilang akhirnya balik! gas lanjut sampe chap final!!!
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status