Share

Chapter 05

Gadis itu mengangguk setuju seraya melempar senyum manis. Di mataku Ditha begitu bersinar, sepasang sayapnya mengembang indah mengalahkan kecantikan burung merak yang terkenal sebagai hewan terindah di dunia. Sungguh, dia bagaikan malaikat penolong yang datang di saat-saat kritis.

Ditha duduk di bangku sebelah, kemudian tangannya membuka tas lalu mengambil sebuah buku tulis yang kemudian dia serahkan padaku. Aku bisa melihat wajahnya dari dekat. Paras gadis berambut sebahu itu begitu memukau sampai membuatku lupa bernapas, apalagi berkedip. Hingga tanpa sadar aku telah memandangnya begitu lama.

“Sena?” tanya Ditha sembari melihatku dengan aneh. Mungkin tatapanku terlalu kuat hingga membuatnya tidak nyaman. “Kok bengong?”

“Ah, maaf! Cuma kepikiran, kenapa bisa ada malaikat baik hati di kelas ini.”

“Ya ampun, kamu bisa aja ngelucunya.” Gadis itu tertawa renyah, dengan gaya menutup mulut yang membuatnya tampak manis. “Ya udah, cepet kerjain! Nanti keburu bel, loh.”

“Oke deh,” jawabku dengan senang.

Ditha membawa tas lalu menuju ke bangku miliknya. Saat ia berjalan di samping bangku, harum tubuhnya menyeruak menusuk ke dalam lubang hidung. Aku menarik napas dalam-dalam seakan hendak menghisap seluruh wangi tubuhnya. Tentu kulakukan sepelan mungkin karena tidak ingin dipergoki oleh Ditha. Seperti biasa, ia memakai parfum berbau manis yang entah apa namanya. Kau tau bau manis gula? Ya, kurang lebih seperti itu wanginya, namun agak kental.

Gadis itu pintar juga memilih parfum. Tatkala indera penciumku menangkap wanginya, terasa begitu menenangkan dan menyegarkan pikiran. Mungkin itulah yang membuat orang-orang suka berada di dekatnya.

Ingin sekali kuhabiskan waktu di pagi ini untuk memikirkannya, tapi waktuku sebelum bel masuk tidak banyak. Jadi aku segera memulai menyalin tugas Ditha ke buku tulisku. Aku beruntung sekali. Kalau kukerjakan ulang seperti rencana awal, tidak akan mungkin selesai dalam waktu kurang lebih setengah jam.

Belum ada lima menit menyalin tugas, suara derap langkah kaki yang kencang terdengar di luar koridor. Itu berasal dari Zidan yang menyeret seorang lelaki dengan paksa. Kasihan sekali murid itu, ia diseret bagai kerbau yang dicucuk hidungnya. Tanpa bisa melawan, murid itu hanya bisa mengikuti ke mana Zidan membawanya.

Mereka berdua berhenti di salah satu bangku, lalu Zidan memaksanya untuk membuka isi tas. Setelah lelaki malang itu mengeluarkan bukunya, Zidan langsung menyambarnya tanpa terima kasih. Dia berlari ke arahku sembari mengangkat benda yang baru saja didapatnya tinggi-tinggi.

“Sena, gue dapet contekannya!” pekiknya tak tahu malu sampai jadi perhatian murid sekelas.

Zidan datang ke samping bangku dengan lelaki pendek itu. Saat mereka berdiri berdampingan, perbedaan tinggi badan antara keduanya begitu mencolok. Dibandingkan dengan Zidan, murid itu hanya sebahunya saja. Tak jarang Zidan sering mengeluh lehernya sakit saat berbicara dengannya. Itulah Reza, teman satu kelas yang juga teman nongkrongku dan Zidan.

“Bisa-bisanya ngga ngerjain PR dari Bu Riana. Kuat juga lu berdua, ye!” sindir Reza, mendapatiku yang tengah menyalin di buku tulis.

“Bukan nggak ngerjain, tapi salah ngerjain. Jangan samain gue sama si tolol ini!” balasku dengan ketus, sembari menunjuk ke arah Zidan. Tentu saja aku tidak ingin disamakan dengan orang yang bahkan tak mau berusaha sedikit pun.

“Apa bedanya? Sekali bodo, ya bodo! Ga usah cari alesan segala.”

Reza si Cebol itu menaikkan kaca mata yang sempat turun dengan jari tengahnya. Kemudian bersedekap tangan bak bos besar yang memandang rendah pada bawahan. Senyum sombong muncul di wajahnya, membuatku ingin muntah dan gatal ingin menghajar muka seseorang. Barangkali ia bersikap tinggi seperti itu karena pikirnya aku akan menyalin tugas darinya.

“Lu pikir gue bakal nyontek PR lu? Liat nih, gue udah dipinjemin PR dari Ditha,” ucapku dengan sombong seraya mengangkat buku tulis milik gadis yang nilainya selalu di atas rata-rata. Yang pastinya memiliki peringkat jauh di atas pria songong ini.

Reza bengong dengan mulut ternganga, tidak mampu berkata apa-apa lagi. Dia berdiri terdiam seribu bahasa, bagai sebuah patung yang melengkapi prasasti kuno. Hanya saja posenya saat ini tak gagah, melainkan mirip kodok bangkong yang hendak menerkam mangsa.

“Kalau gitu, gue ga butuh ini!” Melihat sumber yang lebih dipercaya, Zidan melemparkan buku tulis milik Reza ke sembarang arah. Mungkin lebih tepat jika dikatakan membuangnya.

Zidan segera duduk di sebelahku dan ikut menyalin tugas Ditha. Masih ada lima belas menit lagi hingga jam pelajaran pertama dimulai. Sepertinya akan sempat selesai sebelum waktunya habis. Berbeda dengan mengerjakan sendiri sesuai rencana awal, menyalin tugas seperti ini akan menyingkat waktu. Meskipun harus kuakui menyontek tugas seperti ini bukanlah hal yang patut dilakukan untuk seorang murid sekolah.

Namun peraturan hanyalah sekedar formalitas saja. Jika dipikir-pikir, memangnya ada pelajar yang tidak pernah menyontek selama ia bersekolah? Kalau ada, aku rela menjilat sepatunya setiap hari. Bahkan Ditha yang terbilang murid pintar saja pernah mencontek, walau tidak sesering seperti yang aku dan Zidan lakukan.

Waktu tinggal lima menit lagi, sisa soal yang belum kusalin berjumlah dua nomor. Rumus dan caranya tidak terlalu panjang. Satu menit juga bisa kusalin ini, mah. Sungguh, aku berterima kasih sekali pada Ditha yang sudah bersuka rela meminjamkan buku tugasnya. Hal ini benar-benar membantu kami berdua yang lupa mengerjakannya. Kuralat, seharusnya bertiga, karena Reza yang seharusnya sudah mengerjakan, entah mengapa turut menyalin tugas Ditha.

“Kenapa lo ikut-ikutan nyontek juga, bro?” tanya Zidan dengan penasaran.

“Udah gitu makan tempat lagi!” protesku yang mengeluh karena Reza menumpang duduk di kursiku. Duduk berdua di satu kursi seharusnya jadi hal yang romantis di kisah romantis anak sekolah, tapi tidak jika dengan sesama jenis. Berulang kali aku mengusir si Cebol Kacamata ini, namun ia enggan untuk pindah.

“Gue bukannya nyalin, tapi nyocokin jawaban aja,” balas pria itu.

Kuintip sedikit ke buku tulis milik Reza, di mana banyak sekali coretan baru di atas cairan putih pengoreksi. Coretan dan cairan pengoreksi terlukis hampir seisi halaman.

“Nyocokin kok semua nomer? Udah bego, ya bego aja! Pake banyak alasan segala!” balasku yang mengikuti nada bicara Reza saat mengejekku sebelumnya. Bagaimana? Enak kan rasanya memakan kata-kata sendiri?

Aku dan Zidan tertawa terbahak-bahak di depan hidungnya. Wajah pria itu tampak kesal dan malu bukan main. Tangannya yang tengah memegang pulpen ia genggam erat seakan menahan emosinya. Setelah itu dia tidak berucap sepatah kata apa pun lagi. Reza meneruskan menyalin, ah tidak! Maksudku mencocokkan jawaban dengan milik Ditha untuk semua nomor.

Kami bertiga selesai menyalin tugas tepat waktu sebelum Bu Riana masuk kelas. Karena itu aku terhindar dari murka guru yang amarahnya paling menyeramkan di sekolah ini. Aku sudah sering terkena omelan dan cercaannya karena lupa mengerjakan tugas atau mendapat nilai yang jelek. Tak terbayangkan jika aku kena marah lagi dari Guru Killer itu. Barangkali aku akan dipanggil ke ruangan Bimbingan Konseling dan diceramahi habis-habisan olehnya.

Karena aku bukanlah orang yang tidak tahu diri, aku mengucapkan terima kasih setulus-tulusnya bahkan sampai membungkukkan badan pada Ditha. Gadis itu sudah menyelamatkan nyawaku pagi ini, dan kurasa itu bukanlah hal yang berlebihan. Malah, aku ingin memberikan sesuatu sebagai bentuk rasa terima kasihku.

“Sekali lagi terima kasih, ya!” Aku menundukkan kepalaku seakan meninggikan Ditha setinggi mungkin.

Saat ini sudah masuk jam istirahat pertama, sebagian murid keluar dari kelas untuk pergi ke kantin atau entah kemana. Awalnya aku juga hendak membeli makanan di sana, namun terhenti karena ingin berterima kasih dahulu pada Ditha. Sementara dua temanku yang tak tahu terima kasih, sudah pergi ke kantin duluan saat bel berbunyi.

“Ngga apa-apa kok, Sena! Biasa aja. Enggak usah sampe segitunya kali.”

“Tapi beneran, loh. Kalo ngga ada kamu, mungkin aku udah digoreng sama Bu Riana. Bisa-bisa badanku gosong,” balasku sembari memaksa sedikit tertawa.

Aku mencoba melontarkan lelucon untuk mencairkan suasana, namun jadinya malah garing dan tidak lucu sama sekali. Ditha melihatku aneh dengan tanda tanya besar di atas kepalanya. Sial, aku malu banget! Ingin rasanya kuhajar diriku sendiri tiga detik yang lalu. Aku menggaruk pipiku guna melenyapkan rasa malu.

“Oh iya, kan kamu udah nolongin aku tadi. Gimana kalau kutraktir makan di kantin?” ajakku penuh harap Ditha akan menyetujuinya. Namanya juga lelaki yang sedang kasmaran, pasti ada saja ide untuk memikat hati perempuan yang disukainya.

“Maaf, Sena! Lain kali aja. Aku udah janji sama Kak Chandra buat makan bareng,” tolak Ditha mentah-mentah. “Nah, itu dia orangnya! Baru aja diomongin.”

Gadis itu melemparkan pandangan ke samping, ke arah sudut koridor terbuka di mana seorang lelaki muncul dari sudut lorong. Sosoknya begitu mencolok, seakan-akan ia adalah protagonis utama cerita dan aku hanyalah figuran semata. Lelaki itu berpostur jangkung, mungkin sama tingginya dengan Zidan. Namun badannya lebih berisi dan sangat ideal. Ditambah paras tampan yang bisa meluluhkan hati semua perempuan yang diliriknya. Inilah Kak Chandra, ketua tim eskul basket sekaligus murid yang berada di top tier sekolahku.

“Maaf ya, udah bikin kamu nunggu lama!” ucap pria itu dengan suara serak basah yang dalam. Suara cowok yang menjadi idaman semua wanita.

“Ngga apa-apa, kok.” Ditha menjawab dengan ekspresi sumringah bahagia. Raut wajah yang tak pernah kulihat ketika berbincang denganku. “Sena, aku duluan, ya!”

“I-Iya, Dit! Sekali lagi makasih yah udah minjemin PR,” jawabku dengan sedikit tergagap. Rasa kesal dan emosi tergumpal dalam hati ketika mendapati atmosfer di antaranya bersatu dengan harmonis. Menjadikanku orang luar yang tak ada sangkut pautnya dengan kisah mereka berdua.

Bersamaan dengan Ditha yang melambaikan tangan, keduanya berjalan berdampingan ke arah kantin. Saling berbincang seru diiringi canda tawa, sembari berpegangan tangan dengan erat. Ingin sekali aku berada di posisi lelaki itu, bisa berada begitu dekat dan menjadi seseorang yang spesial bagi Ditha.

Tak peduli seberapa keras aku mencari cara menarik perhatiannya, mata gadis itu selalu terpaut pada kekasih yang sudah dikencaninya selama dua bulan terakhir. Tidak pernah sekali pun ia melirik dan memberi perhatian khusus padaku.

Jelas saja, mana mungkin aku bisa menang dari Kak Chandra? Lelaki itu punya segalanya yang diidam-idamkan setiap wanita. Bentuk badannya ideal, meski tidak seatletis binaragawan. Dia juga lahir dari keluarga yang terpandang. Paras? Jangan ditanya. Wajahnya paling rupawan dari semua murid pria di sekolah, banyak yang mengatakan ia mirip dengan artis Rizky Nazar. Ditambah sifatnya yang supel dan mudah disenangi banyak orang.

Apa lagi yang kurang baginya? Seakan-akan sebelum lahir ia memilih mode sangat mudah untuk menjalani hidup di dunia.

Bayangkan saja orang seperti itu jika dipasangkan dengan Ditha, gadis pintar berparas cantik nan baik hati. Orang-orang akan setuju menyebut mereka sebagai pasangan ideal atau paling serasi di sekolah ini. Sebuah titel yang menjadi tamparan keras bagiku, yang seharusnya menyadarkanku pada kenyataan dan berhenti mengharapkannya.

Namun apa daya, aku hanyalah manusia lemah yang tak bisa membendung perasaan dan terus maju. Ya, orang seperti itulah aku. Pada akhirnya aku akan menyesal dan merasa paling tersakiti di akhir cerita.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status