Share

CHAPTER 6

“Nyx Atlanta, mari kita menikah,” ajak Dylan dengan penuh keyakinan.

Sontak Atlanta langsung tersedak saking terkejutnya. Tidak menyangka Dylan akan melamar dirinya dalam kondisi Atlanta sedang makan bak orang kelaparan. Apalagi pertemuan mereka masih bisa di hitung oleh jari.

Alih-alih menanyakan ‘maukah menikah denganku?’, lamaran Dylan lebih terdengar seperti orang yang sedang mengajak bermain. Bahkan orang yang mengajak kencan pun tak akan sesantai ini.

“Apa kau gila? Kau mengajakku menikah atau mengajakku bermain?” cerca Athen.

Dylan merubah mimik wajahnya menjadi serius. “Aku serius Atlanta. Aku tidak bercanda. Mari kita menikah,” ulangnya.

Atlanta lebih memilih untuk mengabaikan lamaran gila Dylan. Orang gila macam apa yang baru bertemu tiga kali sudah langsung melamar?

“Atlanta,” panggil Dylan karena Atlanta tak menghiraukannya.

“Biarkan aku menghabiskan makanan terlebih dahulu, kau benar-benar membutku kehilangan selera makan.”

Atlanta segera menghabiskan makanannya dengan terburu-buru hingga kembali tersedak. Refleks Dylan langsung menyodorkan segelas air putih sebelum Atlanta kembali melanjutkan makan.

Setelah makanannya habis, Atlanta mengatur napas selagi menunggu Dylan mencuci piring bekas Atlanta makan. Jangankan menikah, pacaran saja Atlanta belum pernah. Selama ini Atlanta tak memiliki waktu untuk berkenalan dan berinteraksi untuk waktu yang lama dengan orang asing.

Lima menit kemudian, Dylan kembali duduk di hadapan Atlanta dengan tenang. Atlanta tidak pernah bisa membaca karakter melalui wajah Dylan saking tenangnya pembawaan pria itu.

“Beritahu aku, mengapa kau ingin menikahku?”

Jika karakter Dylan teliti, maka karakter Atlanta adalah selalu curiga. Karakter itulah yang menjadi alasan mereka bisa unggul dalam bidang pekerjaan mereka.

“Alasannya adalah dirimu. Aku belum tentu akan langsung membuat keputusan seperti ini jika di hadapanku sekarang bukan dirimu.”

“Kemampuan memasakku hanya untuk bertahan hidup, tidak seenak masakanmu. Aku juga tidak pandai bersih-bersih walau aku tinggal sendirian sejak sekolah menengah atas.”

“Aku mencari seorang istri, bukan pembantu.”

“Aku belum pernah berpacaran selama hidupku.”

“Artinya ini akan menjadi pengalaman pertamamu menjalin hubungan asmara. Itu bagus, bukan suatu masalah.”

Atlanta menghela napas. Kehabisan alasan untuk menolak lamaran Dylan.

“Bahkan jika kau saat ini berlutut dan melamarku, belum tentu aku akan menerima lamaranmu,” tolak Atlanta terang-terangan.

“Terima kasih atas makanannya. Aku akan masuk ke kamar.”

Tidak ingin memperpanjang permasalahan ini, cepat-cepat Atlanta masuk ke dalam kamar kemudian mengunci pintu. Barulah Atlanta bisa bernapas dengan leluasa.

“Bagaimana dia bisa mengajakku nikah semudah itu?”

***

“Zunaira, dimana seragam pilot yang aku gunakan untuk tugas bulan lalu? Aku akan membawanya pulang.”

Zunaira mengerutkan dahi melihat rekan kerjanya yang masuk ke kantor secara terburu-buru kemudian langsung mengacak-acakkan barang hanya untuk mencari seragam pilot.

“Tenanglah. Aku menyimpannya di tempat khusus. Kau bisa membawanya pulang setelah kita menangkap target di Bandara besok.”

Teringat sesuatu, Dylan berkacak pinggang pada wanita yang di bawah satu tahun umurnya. “Buatkan seragam pilot dua setel lagi dan kartu identitas pilot atas namaku, Dylan Jordan.”

“Kau berulah apa lagi?” Zunaira melipat kedua tangan di depan dada.

“Kenapa kau tidak menggunakan seragam polisimu saja jika itu untuk urusan pribadi? Seragam polisi milikmu dengan pangkat tinggi lebih membanggakan daripada identitas pilot palsu," sarkasnya.

“Aku akan segera menikah.”

Zunaira berdecih sinis. “Kau gila. Menikah dengan siapa? Kita baru akan menangkap tunanganmu setelah surat perintah keluar.”

“Aku serius. Semalam aku telah melamarnya.”

“Lalu?” Zunaira menaikkan alisnya sebelah. Menantikan jawaban yang dengan mudah ia tebak.

“Dia menolaknya.” Dylan menghela napas.

“Aku tahu itu akan terjadi. Wanita mana yang akan menerima lamaran secara spontan dan tidak romantis,” cibir Zunaira.

“Beritahu aku, siapa orang itu.” Zunaira mendekati Dylan dengan bersemangat. Rasa penasarannya mulai berkoar.

Zunaira dan Dylan telah berteman sejak masih duduk di bangku sekolah. Walau usia mereka terpaut satu tahun, tapi Zunaira dan Dylan berada di angkatan yang sama.

Dylan memberikan ponselnya pada Zunaira, menunjukan identitas Atlanta. Sudah satu menit Zunaira menatapi foto itu, tidak ada respon sama sekali.

“Kenapa kau diam saja? Tidak seperti biasanya,” celetuk Dylan.

“Dia masih hidup?” gumam Zunaira. Terus menatapi foto Atlanta lekat-lekat. “Tidak mungkin, jelas-jelas dia sudah mati karena bunuh diri.”

“Siapa yang bunuh diri?” tanya Dylan membuat Zunaira tersadar.

“Ah tidak ada.” Zunaira mengembalikan ponsel kepada pemiliknya.

“Wanita ini mirip seorang temanku yang sudah lama meninggal,” ujar Zunaira. Memutuskan untuk menganggap hal ini sebagai kebetulan belaka.

Di dunia ini ada tujuh kembaran bukan? Mungkin ini salah satunya,’ batin Zunaira. Masih berusaha menyangkal.

“Cantik bukan?” tanya Dylan dengan nada puas seraya memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.

“Cantik. Kenalkan aku padanya segera. Aku ingin berkenalan,” pinta Zunaira penuh arti.

***

Hari ini Atlanta berada di dalam sebuah mobil dan berkutat dengan layar laptopnya. Sibuk meretas setiap pintu yang Lay lewati karena dilindungi oleh kunci sidik jari.

“Cepatlah Lay, suasana hari ini sangat ramai. Aku tidak bisa menahanmu lebih lama.”

“Aku tidak menyangka jika ruangan Jaksa Grey akan sejauh ini,” bisik Lay.

Atlanta memantau seluruh CCTV yang berada di sekitar Lay untuk memastikan keamanan penyamaran mereka. Tujuan mereka hari ini adalah meretas komputer seorang Jaksa yang menangani kasus penuntutan terhadap Hilton. organisasi yang memperkerjakan Atlanta dan Lay. Mereka hendak merusak bukti.

“LAY! BACK OFF! MUNDUR SEKRANG JUGA! KAU KETAHUAN!” teriak Atlanta panik.

Menyadari ada beberapa orang yang mengejar, Lay segera berlari sekencang mungkin keluar dari gedung kejaksaan. Sementara Atlanta sudah siap duduk di kursi kemudi, menunggu Lay.

Ketika Lay masuk mobil, tanpa sempat menunggu pintu mobil tertutup rapat, Atlanta segera menancap pedal gas dalam-dalam. Mereka berhasil kabur.

***

Bugh! Plak! Plak! Bugh! Bugh!

Atlanta langsung berlutut ketika kakinya di tendang sangat kencang. Pipi Atlanta juga di gampar berulang kali menggunakan dompet kulit hingga ujung bibirnya sobek. Tak sampai disitu, Atlanta berusaha menahan rasa sakit saat tubuhnya di pukul habis-habisan.

“Sia-sia aku memberikanmu julukan agen rahasia terbaik. Bahkan bekerja di balik layar saja tidak becus, tidak bisa merusak bukti mereka! Jika kita tertangkap, bukan hanya aku tapi kau juga akan ikut masuk penjara!”

Mulut Atlanta terbungkam rapat-rapat. Tidak mengatakan sepatah katapun termasuk meringis ketika badannya sudah mendapatkan luka lebam dimana-mana.

“Kembalilah! Akan aku serahkan tugas ini kepada Valeria. Tugasmu selanjutnya adalah mendapatkan data penelitian Kim Hani.”

***

Di tutupi hoodie dan celana panjang berwarna hitam, Atlanta berjalan lesu sepanjang menyusuri jalan. Badannya penuh lebam akibat hukuman atas gagalnya tugas yang Atlanta tangani.

Jika sebelumnya Atlanta tidak mempunyai ‘rumah’ sebagai tempat kembali, kini kaki Atlanta melangkah menuju Apartemen milik Dylan. Membayangkan sup hangat yang Dylan siapkan setiap kali Atlanta pulang malam.

Ah, hanya dengan membayangkannya saja hati Atlanta sudah menghangat.

Berjalan sepanjang dua kilo meter dalam keadaan penuh luka, ketika tiba di depan pintu Apartemen Atlanta tidak sanggup lagi melangkah.

Pada akhirnya, Atlanta jatuh pingsan sebelum membuka pintu ‘rumah’nya untuk ‘pulang’.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status