Atlanta tidak bisa menahan rasa harunya saat mendengar janji suci yang Dylan janjikan kepadanya dan janjinya kepada Tuhan. Kini giliran Atlanta yang mengucapkan janji suci pernikahan mereka.
“I Nyx Atlanta, take you Dylan Jordan to be my husband. I promise to loving and honor you. Ftom this day forward, for better, for worse, for richer, for poorer, in sickness or in health. All the day of my life until death do us apart.”
“Do you Dylan Jordan take Atlanta to be your wife?”
“Yes, I do,” jawab Dylan mantap.
Sang pendeta kini beralih kepada Atlanta. “Do you Nyx Atlanta take Dylan Jordan to be your husband?”
“Yes, I do.” Dalam hidup Atlanta, ini adalah pertama kalinya Atlanta memutuskan sesuatu tanpa ada keraguan.
“Sekarang kalian adalah pasangan menikah. Silahkan melakukan ciuman pernikahan,” ujar sang pendeta mempersilahkan.
Dylan maju satu langkah mendekati Atlanta, kemudian Dylan menarik tengkuk Atlanta dan menyatukan bibir mereka. Ciuman yang mereka lakukan tidak terburu-buru dan tanpa nafsu yang menggebu-gebu. Tepuk tangan dari para hadirin semakin mewarnai pernikahan mereka.
Setelah melepaskan pangutan mereka, Dylan berbisik tepat di samping telinga Atlanta.
“Selamat datang Nyonya Jordan.”
***
Atlanta menoleh kanan kiri di penghujung acara pernikahan mereka, mencari batang hidung yang tak menampakkan diri sejak awal acara.
“Omong-omong kemana adikmu? Apakah dia tidak datang?” tanya Atlanta.
“Sammy tidak menyukai keramaian. Bahkan Sammy tak ingin menghadiri pernikahanku karena terlalu ramai. Tega sekali bukan?”
“Lalu dimana adikmu sekarang?”
“Dia berada di Apartemen kita, dia sedang membenahi dua kamar di Apartemen menjadi satu kamar utama dan satu ruang kerja untukmu.”
Atlanta membulatkan mata. Terkejut karena Dylan baru memberitahunya hal sepenting ini. Bahkan Atlanta saja tidak akan membiarkan Dylan menyentuh barang pribadi miliknya. Bisa-bisanya orang asing menyentuh barang Atlanta.
“Kenapa kau baru memberitahuku?”
“Aku berencana memberimu kejutan tapi terlanjur memberitahumu. Maaf.” Dylan menyengir tak berdosa.
Setidaknya Dylan berhasil memberikan Atlanta kejutan walau bukan kejutan yang di maksudnya. Kini Atlanta sudah panik tak karuan memikirkan ransel hitamnya yang akan di sentuh oleh orang lain.
“Sayang, sebenarnya aku sedikit tidak enak badan sejak tadi. Bolehkah aku pulang duluan? Lagi pula acara inti sudah selesai bukan?” pinta Atlanta.
Sontak Dylan langsung merangkul Atlanta, memandang istrinya dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Kau tidak enak badan? Kenapa baru memberitahuku sekarang? Aku akan mengantarmu ke rumah sakit sekarang.”
Atlanta refleks menggenggam lengan Dylan erat. “Tidak perlu ke rumah sakit. Aku hanya ingin pulang duluan. Bolehkah?”
“Baiklah, tunggu sebentar, aku akan menyelesaikan acara ini—”
“Tidak perlu,” potong Atlanta cepat. “Setidaknya kau harus menyelesaikan acara ini sesuai acara. Aku akan merasa bersalah jika kita mengakhirinya begitu saja hanya karena kondisiku.”
Dylan menghela napas. “Jadi maumu bagaimana sekarang?”
“Aku pulang saja menggunakan taksi. Aku akan menunggumu di rumah. Bagaimana?”
“Tidak. Setidaknya biarkan Orion mengantarmu. Kali ini kau tidak bisa membantah.” Dylan memberikan syarat dengan tegas.
“Baiklah. Maafkan aku telah merepotkanmu.”
***
Sepanjang perjalanan menuju Apartemen, Atlanta tidak bisa berhenti gelisah. Tanpa sadar Atlanta menggerakan jari-jari tangannya sebagai suatu kebiasaan. Di tengah perjalanan, Orion sesekali mencuri pandangan pada Atlanta melalui kaca dahsboard mobil.
“Atlanta, ada apa? Kenapa kau tampak tidak tenang? Ada apa dengan jari-jarimu?” singgung Orion.
“Tidak ada orang sakit yang merasa tenang selain sedang tidur. Perutku terasa sakit, jadi menggerakan jari-jari adalah sebuah refleks. Bisakah kau mengendarai sedikit lebih cepat? Aku sungguh ingin segera tiba di ranjang.”
Lima menit kemudian Orion memberhentikan mobil di parkiran. Ketika Orion hendak ikut turun untuk membantu Atlanta, dengan cepat Atlanta menepisnya.
“Orion, maaf bolehkah aku minta tolong lagi? Aku baru ingat jika obat sakit perut di Apartemen sudah habis. Bisakah kau membelikannya untukku?”
Tanpa perlu menolak, Orion mengangguk. “Oke. Aku akan membelinya setelah mengantarmu ke atas.”
“Ah, itu terlalu membuang waktu jika kau mengantarku ke atas terlebih dahulu. Perutku sudah tak tahan.” Atlanta menunjukkan raut wajah sedikit memelas.
“Oke oke, aku akan segera membelinya. Kau tahanlah sebentar.” Orion bergegas kembali masuk ke dalam mobil dan pergi dari area Apartemen.
Masih menggunakan gaun pernikahan, Atlanta lari terburu-buru menuju Apartemen untuk menyembunyikan ransel hitamnya yang selalu ia bawa kemana-mana. Terlalu sibuk mengurus pernikahan membuat Atlanta lupa untuk menyembunyikan harta karunnya.
“Atlanta bodoh. Kenapa kau bisa-bisanya lupa menyembunyikan harta karun seperti itu.”
Panik, Atlanta mendobrak pintu begitu masuk. Mata Atlanta sukses dibuat membulat sempurna melihat seorang pria yang hendak membuka risleting ranselnya.
“JANGAN!” teriak Atlanta sembari lompat merebut ransel itu dari tangan Samuel. Atlanta baru bisa menghela napas dengan lega setelah memeluk satu-satunya harta karun miliknya.
Samuel juga tak kalah dibuat terkejut karena kedatangan kakak iparnya yang terlalu tiba-tiba. Apalagi kedatangan Atlanta masih rapih menggunakan gaun pernikahan.
“Bisa-bisanya kau menyentuh barang pribadi wanita.” Atlanta tidak bisa menahan kekesalannya.
“Kakak ipar? Kenapa kau bisa tiba-tiba muncul?”
Teringat alasan yang di gunakannya, Atlanta merintih kesakitan sembari memegang perutnya.
“Aduh, perutku,” ringis Atlanta.
“Kakak ipar kenapa? Ada apa dengan perutmu?”
Atlanta berusaha menahan senyumannya melihat Samuel khawatir.
“Bisakah kau mengambilkanku segelas air hangat?” pinta Atlanta dengan suara memelas.
“Air hangat? Oke, tunggu sebentar, akan aku ambilkan.” Samuel berjalan terburu-buru keluar kamar Atlanta.
Memastikan Samuel sudah pergi, Atlanta memeriksa kelengkapan isi ranselnya sebelum Atlanta bisa merasa lega sepenuhnya.
Dua buah emas batangan, dua puluh tumpuk uang tunai, sebuah laptop, tiga buah diska lepas yang berisi dokumen penting, sebuah rambut palsu, topi hitam, dua puluh tanda pengenal palsu dan beberapa kunci penting. Ini semua adalah alat bantu Atlanta untuk bertahan hidup.
“Dimana aku harus menyimpannya?”
Mendengar suara langkah kaki yang kian mendekat, Atlanta buru-buru menyimpan ranselnya ke kolong ranjang.
“Ini air hangatmu.” Samuel memberikan Atlanta segelas air hangat.
“Terima kasih.” Atlanta segera meminumnya setelah menerima gelas yang Samuel berikan.
“Omong-omong, kau tampak tak asing,” ujar Samuel setelah terdiam cukup lama memperhatikan Atlanta.
“Kau pikir kau pernah melihatku di suatu tempat?” cibir Atlanta. Jelas-jelas ini adalah pertemuan pertama mereka.
“Atau mungkin wajahmu memang terlihat pasaran,” balas Samuel blak-blakan.
Atlanta berdecih sinis mendapati penilaian seperti itu. “Bahkan sekelas Gigi Hadid saja iri dengan wajahku.”
Samuel melayangkan tatapan menggelikan pada Atlanta. “Aku tidak menyangka jika Kakak iparku akan senarsis ini,” gidiknya.
Atlanta mengibaskan tangan dan kembali menghabiskan minumnya. Atlanta kehausan setelah berlarian sepanjang koridor Apartemen tadi.
“Ah, aku baru ingat. Wajahmu mirip seseorang,” Samuel menjentikkan jarinya.
Atlanta mendengus. “Siapa orang yang berani menirukan wajahku?”
“Kau mirip dengan gadis bernama Leona. Hanya saja kau versi dewasanya saat ini.”
Tubuh Atlanta membeku. Terkejut karena ada seseorang di luar dugaan yang bisa mengenalinya.
“Kau mirip dengan gadis bernama Leona. Hanya saja kau versi dewasanya saat ini.” Tubuh Atlanta membeku. ‘Apakah Samuel salah satu yang tertinggal di masa laluku? Tapi bagaimana bisa dia mengenaliku? Siapakah Samuel sebenarnuya?’ “Leona?” Atlanta berusaha tetap tenang. “Siapa dia? Mantan kekasihmu?” Mendengar kata ‘mantan kekasih’ Samuel terkekeh. “Bukan. Lebih tepatnya dia—” “ATLANTA!” teriakkan Orion memotong pembicaraan Samuel. Orion masuk terburu-buru dengan sekantung obat di tangannya. “Orion sialan,” rutuk Atlanta pelan, sangat pelan. “Bagaimana sakit perutmu? Aku sudah membawakan obatnya.” Orion mengeluarkan obat sakit perut satu persatu. “Kau pergi terlalu lama hingga sakit perutku sudah membaik,” balas Atlanta sinis. Orion menyodorkan sebutir obat kepada Atlanta. “Maafkan aku. Tetap saja kau harus minum obat supaya sembuh dengan baik. Minumlah.” Samuel berdiri, bersiap hendak pergi. “Bolehkah ak
Atlanta dan Dylan sebagai pengantin baru harus membuang jauh-jauh rencana bulan madu mereka. Padahal tiket pesawat menuju Maldives sebagai destinasi liburan mereka. Sayangnya, mereka harus menunda rencana mereka. Koper yang sudah mereka siapkan harus kembali di bongkar karena mereka tidak tahu penundaan hal ini akan sampai kapan. Sejujurnya Atlanta merasa kecewa karena Dylan harus membatalkan penerbangan mereka hari ini. Terlebih lagi secara mendadak. “Kita sudah membatalkan penerbangan? Kalau gitu aku akan kembali membongkar koper dan mengganti baju.” Pagi ini Atlanta sudah siap menggunakan paLayan berpergian. Selama hidupnya Atlanta tidak pernah pergi ke luar negeri karena terlalu sibuk bersembunyi menggunakan identitas aslinya. Jadi wajar saja jika Atlanta merasa bersemangat untuk berpergian bersama Dylan. “Sayang, maafkan aku. Ini adalah keadaan darurat, tidak ada yang bisa menggantikannya selain aku. Aku harus—” “Aku mengerti,” potong Atl
Sudah hari ke tujuh Dylan pergi bekerja. Selama itu pula Dylan hanya mengirimnya pesan singkat sesekali. Tidak ada telpon. Dikarenakan Atlanta masih berada di masa tidak aktif bekerja, rasa bosan telah membunuh Atlanta selama satu minggu ini. Mendengar suara ketukan pintu, Atlanta segera mematikan komputernya dan pergi membukakan pintu untuk tamu yang datang tanpa di undang. “Samuel? Ada apa datang kemari?” Atlanta sedikit terkejut mendapati saudara iparnya lah yang datang. “Boleh aku masuk?” Samuel meminta izin. Meskipun Atlanta sedikit kebingungan, tapi Atlanta tetap membiarkan Samuel masuk dan duduk manis di ruang tamu. “Mau minum apa?” tawar Atlanta. Samuel bergumam kemudian bertanya, “minuman jenis apa yang Kakakku miliki di rumahnya?” Atlanta berdecak pelan dan duduk manis di sofa. “Aku menyesal telah menawarimu. Ini rumah Kakakmu, ambil minummu sendiri jika haus.” “Hari ini aku datang sebagai tamumu, bukan
Atlanta yang baru saja selesai mandi tidak menemukan batang hidung Dylan di dapur maupun di ruang tengah. Melihat pintu ruang kerjanya yang sedikit terbuka, Atlanta melototkan mata dan cepat-cepat masuk ke ruang kerjanya.“SAYANG!” teriak Atlanta spontak begitu melihat Dylan sedang memegang ransel hitamnya.Atlanta tersenyum dan merebut ransel hitam tersebut secara halus. “Sedang apa kau disini? Apa kita kedatangan paket?” Atlanta berusaha mengalihkan perhatian.“Iya. Aku memesankan beberapa barang untuk kenyamanan ruang kerjamu. Maaf jika tidak memberitahumu terlebih dahulu.” Dylan tersenyum kikuk seraya menunjukkan beberapa barang yang baru saja ia bereskan.Atlanta mendesah pelan. Dylan benar-benar pandai membuatnya merasa bersalah. Selama sepuluh tahun Atlanta bekerja, ini adalah pertama kalinya Atlanta menyesal karena telah memilih pekerjaan seperti itu.Atlanta maju satu langkah, memeluk Dylan dan menendang
“Leona. Nama wanita yang telah bunuh diri itu bernama Leona.”Orion menoleh pada Dylan, meminta klarifikasi sebagai karyawan yang telah mengabdikan diri selama lebih dari sepuluh tahun dalam dunia Interpol.“Itu benar, tersangka utama bunuh diri sebelum kasus itu sampai ke tangan Interpol. Kabarnya dia adalah seorang peretas, namanya pernah tercetak dalam sejarah sebagai orang paling muda yang menjuarai kompetisi hacking bank khusus para elite dunia,” jelas Dylan.“Paling muda? Berapa usianya saat itu?”“Lima belas hingga delapan belas tahun. Kemungkinan dia langsung di pekerjakan oleh Hilton sebagai penyerang cyber mereka, karena setelah kemenangan tiga tahun berurut-turut perlahan namanya mulai menghilang.”“Waw, itu sangat keren.” Orion tidak bisa menutupi rasa terkejutnya.“Leona juga menyapu tiga kompetisi utama anti-hacking utama dunia termasuk CTF. Han
Sebelum pergi ke aula, Atlanta pergi ke basement hotel terlebih dahulu. Atlanta berjalan dengan angkuh menghampiri sebuah mobil box berwarna putih yang terparkir di basement.“Berikan aku dua puluh lima persen, maka aku akan memberikan jaminan jika transaksi ini akan berhasil.” Atlanta melipat kedua tangan di depan dada dan bersandar di mobil.Tentu saja supir mereka menunjukkan raut wajah permusuhan kepada Atlanta. “Siapa kau? Jangan berani bermain-main anak kecil,” remehnya.“Aku memberikanmu kesempatan. Hotel ini sedang di jaga ketat oleh Polisi. Jika aku tidak terlibat, aku yakin transaksi kalian akan gagal.”Acara seminar yang di hadiri oleh orang-orang penting mulai dari pejabat hingga pengusaha memang mengundang kesempatan untuk melakukan transaksi. Sudah pasti jika salah satu dari tamu yang hadir hari ini juga bagian dari dalang transaksi narkoba.“Siapa kau bocah?” tanyanya garang.Wal
“Bagaimana dengan pintu Timur?”Dylan terpaku melihat wanita berambut panjang hitam berponi yang sedang meminum sampanye. Postur tubuhnya mengingatkan Dylan kepada seseorang yang berada di rumah.“Elang, bagaimana dengan pintu Timur? Kau dengar aku?” ulang dari sebrang sana.“Aku dengar. Pintu Timur biar aku yang tangani,” jawab Dylan, kemudian melangkah menuju pintu timur aula yang di maksud.“Bagaimana jika Atlanta benar-benar ada disini? Tapi untuk apa? Atlanta bukanlah tipe orang yang suka bersosialisasi, acara ini di hadiri para anggota VIP. Bagaimana jika itu Atlanta sungguhan? Apa yang harus aku jelaskan kepadanya alasan aku bisa disini?” Dylan menjadi bertanya-tanya sendiri sepanjang jalan.“Apakah Atlanta mengganti warna rambut menjadi hitam? Seingatku rambut istriku adalah warna cokelat terang. Tapi postur itu benar-benar postur tubuh istriku. Aku tidak mungkin salah menilai mengenai i
“Kau mau boneka? Aku akan mendapatkannya untukmu.” Suara Dylan membuyarkan lamunan Atlanta.“Boneka?” Atlanta masih belum fokus.Dylan tersenyum dan membayar sejumlah uang kepada penjaga permainan. Dylan memberikan sebuah pistol mainan kepada Atlanta.“Cobalah,” titahnya.Atlanta berdecih sinis. “Kau bilang kau akan mendapatkan bonekanya untukku.”“Setidaknya kau harus mencoba terlebih dahulu.” Dylan masih menyodorkan pistol mainan tersebut kepada Atlanta.“Oke, aku akan coba.” Atlanta menerima pistol yang Dylan berikan. Sebelum Atlanta mulai menembak, Atlanta menatap Dylan dengan tatapan ragu.‘Aku harus berpura-pura bukan?’ pikir Atlanta.Target adalah lingkaran kecil sejajar yang terbuat dari bahan kaleng. Pelanggan harus menembak sepuluh secara berturut-turut supaya bisa mendapatkan hadiah boneka besar.Atlanta sengaja menemb