Share

CHAPTER TWELVE

Atlanta tidak bisa menahan rasa harunya saat mendengar janji suci yang Dylan janjikan kepadanya dan janjinya kepada Tuhan. Kini giliran Atlanta yang mengucapkan janji suci pernikahan mereka.

I Nyx Atlanta, take you Dylan Jordan to be my husband. I promise to loving and honor you. Ftom this day forward, for better, for worse, for richer, for poorer, in sickness or in health. All the day of my life until death do us apart.”

Do you Dylan Jordan take Atlanta to be your wife?”

Yes, I do,” jawab Dylan mantap.

Sang pendeta kini beralih kepada Atlanta. “Do you Nyx Atlanta take Dylan Jordan to be your husband?”

Yes, I do.” Dalam hidup Atlanta, ini adalah pertama kalinya Atlanta memutuskan sesuatu tanpa ada keraguan.

“Sekarang kalian adalah pasangan menikah. Silahkan melakukan ciuman pernikahan,” ujar sang pendeta mempersilahkan.

Dylan maju satu langkah mendekati Atlanta, kemudian Dylan menarik tengkuk Atlanta dan menyatukan bibir mereka. Ciuman yang mereka lakukan tidak terburu-buru dan tanpa nafsu yang menggebu-gebu. Tepuk tangan dari para hadirin semakin mewarnai pernikahan mereka.

Setelah melepaskan pangutan mereka, Dylan berbisik tepat di samping telinga Atlanta.

 “Selamat datang Nyonya Jordan.”

***

Atlanta menoleh kanan kiri di penghujung acara pernikahan mereka, mencari batang hidung yang tak menampakkan diri sejak awal acara.

“Omong-omong kemana adikmu? Apakah dia tidak datang?” tanya Atlanta.

“Sammy tidak menyukai keramaian. Bahkan Sammy tak ingin menghadiri pernikahanku karena terlalu ramai. Tega sekali bukan?”

“Lalu dimana adikmu sekarang?”

“Dia berada di Apartemen kita, dia sedang membenahi dua kamar di Apartemen menjadi satu kamar utama dan satu ruang kerja untukmu.”

Atlanta membulatkan mata. Terkejut karena Dylan baru memberitahunya hal sepenting ini. Bahkan Atlanta saja tidak akan membiarkan Dylan menyentuh barang pribadi miliknya. Bisa-bisanya orang asing menyentuh barang Atlanta.

“Kenapa kau baru memberitahuku?”

“Aku berencana memberimu kejutan tapi terlanjur memberitahumu. Maaf.” Dylan menyengir tak berdosa.

Setidaknya Dylan berhasil memberikan Atlanta kejutan walau bukan kejutan yang di maksudnya. Kini Atlanta sudah panik tak karuan memikirkan ransel hitamnya yang akan di sentuh oleh orang lain.

“Sayang, sebenarnya aku sedikit tidak enak badan sejak tadi. Bolehkah aku pulang duluan? Lagi pula acara inti sudah selesai bukan?” pinta Atlanta.

Sontak Dylan langsung merangkul Atlanta, memandang istrinya dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Kau tidak enak badan? Kenapa baru memberitahuku sekarang? Aku akan mengantarmu ke rumah sakit sekarang.”

Atlanta refleks menggenggam lengan Dylan erat. “Tidak perlu ke rumah sakit. Aku hanya ingin pulang duluan. Bolehkah?”

“Baiklah, tunggu sebentar, aku akan menyelesaikan acara ini—”

“Tidak perlu,” potong Atlanta cepat. “Setidaknya kau harus menyelesaikan acara ini sesuai acara. Aku akan merasa bersalah jika kita mengakhirinya begitu saja hanya karena kondisiku.”

Dylan menghela napas. “Jadi maumu bagaimana sekarang?”

“Aku pulang saja menggunakan taksi. Aku akan menunggumu di rumah. Bagaimana?”

“Tidak. Setidaknya biarkan Orion mengantarmu. Kali ini kau tidak bisa membantah.” Dylan memberikan syarat dengan tegas.

“Baiklah. Maafkan aku telah merepotkanmu.”

***

Sepanjang perjalanan menuju Apartemen, Atlanta tidak bisa berhenti gelisah. Tanpa sadar Atlanta menggerakan jari-jari tangannya sebagai suatu kebiasaan. Di tengah perjalanan, Orion sesekali mencuri pandangan pada Atlanta melalui kaca dahsboard mobil.

“Atlanta, ada apa? Kenapa kau tampak tidak tenang? Ada apa dengan jari-jarimu?” singgung Orion.

“Tidak ada orang sakit yang merasa tenang selain sedang tidur. Perutku terasa sakit, jadi menggerakan jari-jari adalah sebuah refleks. Bisakah kau mengendarai sedikit lebih cepat? Aku sungguh ingin segera tiba di ranjang.”

 Lima menit kemudian Orion memberhentikan mobil di parkiran. Ketika Orion hendak ikut turun untuk membantu Atlanta, dengan cepat Atlanta menepisnya.

“Orion, maaf bolehkah aku minta tolong lagi? Aku baru ingat jika obat sakit perut di Apartemen sudah habis. Bisakah kau membelikannya untukku?”

Tanpa perlu menolak, Orion mengangguk. “Oke. Aku akan membelinya setelah mengantarmu ke atas.”

“Ah, itu terlalu membuang waktu jika kau mengantarku ke atas terlebih dahulu. Perutku sudah tak tahan.” Atlanta menunjukkan raut wajah sedikit memelas.

“Oke oke, aku akan segera membelinya. Kau tahanlah sebentar.” Orion bergegas kembali masuk ke dalam mobil dan pergi dari area Apartemen.

Masih menggunakan gaun pernikahan, Atlanta lari terburu-buru menuju Apartemen untuk menyembunyikan ransel hitamnya yang selalu ia bawa kemana-mana. Terlalu sibuk mengurus pernikahan membuat Atlanta lupa untuk menyembunyikan harta karunnya.

“Atlanta bodoh. Kenapa kau bisa-bisanya lupa menyembunyikan harta karun seperti itu.”

Panik, Atlanta mendobrak pintu begitu masuk. Mata Atlanta sukses dibuat membulat sempurna melihat seorang pria yang hendak membuka risleting ranselnya.

“JANGAN!” teriak Atlanta sembari lompat merebut ransel itu dari tangan Samuel. Atlanta baru bisa menghela napas dengan lega setelah memeluk satu-satunya harta karun miliknya.

Samuel juga tak kalah dibuat terkejut karena kedatangan kakak iparnya yang terlalu tiba-tiba. Apalagi kedatangan Atlanta masih rapih menggunakan gaun pernikahan.

“Bisa-bisanya kau menyentuh barang pribadi wanita.” Atlanta tidak bisa menahan kekesalannya.

“Kakak ipar? Kenapa kau bisa tiba-tiba muncul?”

Teringat alasan yang di gunakannya, Atlanta merintih kesakitan sembari memegang perutnya.

“Aduh, perutku,” ringis Atlanta.

“Kakak ipar kenapa? Ada apa dengan perutmu?”

Atlanta berusaha menahan senyumannya melihat Samuel khawatir.

“Bisakah kau mengambilkanku segelas air hangat?” pinta Atlanta dengan suara memelas.

“Air hangat? Oke, tunggu sebentar, akan aku ambilkan.” Samuel berjalan terburu-buru keluar kamar Atlanta.

Memastikan Samuel sudah pergi, Atlanta memeriksa kelengkapan isi ranselnya sebelum Atlanta bisa merasa lega sepenuhnya.

Dua buah emas batangan, dua puluh tumpuk uang tunai, sebuah laptop, tiga buah diska lepas yang berisi dokumen penting, sebuah rambut palsu, topi hitam, dua puluh tanda pengenal palsu dan beberapa kunci penting. Ini semua adalah alat bantu Atlanta untuk bertahan hidup.

“Dimana aku harus menyimpannya?”

Mendengar suara langkah kaki yang kian mendekat, Atlanta buru-buru menyimpan ranselnya ke kolong ranjang.

“Ini air hangatmu.” Samuel memberikan Atlanta segelas air hangat.

“Terima kasih.” Atlanta segera meminumnya setelah menerima gelas yang Samuel berikan.

“Omong-omong, kau tampak tak asing,” ujar Samuel setelah terdiam cukup lama memperhatikan Atlanta.

“Kau pikir kau pernah melihatku di suatu tempat?” cibir Atlanta. Jelas-jelas ini adalah pertemuan pertama mereka.

“Atau mungkin wajahmu memang terlihat pasaran,” balas Samuel blak-blakan.

Atlanta berdecih sinis mendapati penilaian seperti itu. “Bahkan sekelas Gigi Hadid saja iri dengan wajahku.”

Samuel melayangkan tatapan menggelikan pada Atlanta. “Aku tidak menyangka jika Kakak iparku akan senarsis ini,” gidiknya.

Atlanta mengibaskan tangan dan kembali menghabiskan minumnya. Atlanta kehausan setelah berlarian sepanjang koridor Apartemen tadi.

“Ah, aku baru ingat. Wajahmu mirip seseorang,” Samuel menjentikkan jarinya.

Atlanta mendengus. “Siapa orang yang berani menirukan wajahku?”

“Kau mirip dengan gadis bernama Leona. Hanya saja kau versi dewasanya saat ini.”

Tubuh Atlanta membeku. Terkejut karena ada seseorang di luar dugaan yang bisa mengenalinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status