Share

1. WHO ARE YOU?

"Aku bukan membencimu. Aku hanya takut mencintaimu."

.....

Satu hari setelah pernikahan..

Bisakah kalian merekomendasikan racun yang cepat untuk melenyapkan nyawa seseorang? Lura ingin memasukkan racun pada minuman ini dan memberikannya pada si gila itu. Biar dia cepat mati dan Lura bisa bebas.

"Lama amat sih lo!" teriak Gerlan dari ruang tamu. Lura menggeram kesal, dengan kasar dia meraih garam dan memasukkannya sebanyak lima sendok teh penuh ke dalam kopi ini.

Lura menyunggingkan senyum miring, dia pun membawa secangkir kopi itu lalu meletakkannya di atas meja, tepat di depan Gerlan yang tengah duduk santai sembari memainkan ponselnya.

Lelaki itu duduk tegak, dia memajukan sedikit tubuhnya lalu menyipitkan matanya menatap kopi hitam itu.

"Lo duluan yang minum," suruh Gerlan.

"Dih, males. Sorry aja nih ye, gue nggak demen kopi," tolak Lura mengibaskan rambutnya ke belakant.

"Lo pikir gue bego? Pasti lo masukin garem, kan?" tebak Gerlan membuat Lura menatapnya cepat. Gadis itu bahkan mengedipkan matanya beberapa kali.

Dia cenayang atau emang terlalu pinter, sih?

"Buat yang baru," titahnya bak raja. Gerlan kembali menyandarkan tubuhnya, membuat Lura bersedekap.

"Heh! Lo siapa nyuruh-nyuruh gue? Mak Bapak gue aja nggak pernah nyuruh gue bikinin kopi! Lo punya tangan, kan? Punya kaki, kan? Apa perlu gue patahin biar nggak ada gunanya sama sekali?!" teriaknya marah. Lura sudah menahan emosinya saat tadi tidurnya terganggu akibat musik keras dari speaker yang tiba-tiba sudah menempel pada telinganya. Badannya juga terasa pegal akibat tidur di sofa karena Gerlan tidak mengizinkannya untuk tidur di atas kasur.

Dan sekarang, Lura tidak bisa menahannya lagi.

Gerlan menyunggingkan senyum miring, dia bangkit berdiri lalu berjalan memutari meja hingga berhenti tepat di depan Lura.

Lelaki yang mengenakan kaus hitam dan celana pendek selutut itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, lalu mendekatkan wajahnya pada gadis yang mengenakan kaus putih oversize dengan hotpants berwarna hitam itu.

"Lo nanya gue siapa?" tanya Gerlan pelan. Ia menaikan sebelah alisnya. Sedangkan Lura menatap lelaki itu tajam dengan tangan terkepal.

"Gue yang punya Apartemen ini, gue yang biayain semua kebutuhan lo, gue yang bertanggung jawab atas hidup lo, dan gue--,"

"Yang bakal bikin hidup lo menderita," lanjut Gerlan dengan wajahnya yang begitu menyebalkan. Karena tak bisa menahannya lagi, Lura pun akhirnya melayangkan kepalan tangannya pada Gerlan.

Namun lagi-lagi, dia selalu berhasil menahan tangan Lura sebelum gadis itu memukulnya.

"Brengsek! Lo nggak berhak atas hidup gue!" marah Lura. Wajahnya sudah memerah karena emosi.

Gerlan melepaskan tangan Lura yang berada dalam genggamannya, dia menegakkan tubuh dan sedikit menunduk menatap gadis itu, "Gue berhak," ucapnya sembari memperlihatkan cincin yang melingkar di jari manisnya.

"Karena gue suami lo."

****

Lana memeluk Lura dan sesekali mengusap rambut anaknya itu, kini mereka tengah berada di Bandara, mengantar Mama dan Papa Lura yang akan pergi ke Jerman.

"Lura sayang. Maafin Mama, ya. Kalau Mama udah sering buat Lura kesal. Mama hanya ingin yang terbaik untuk Lura."

"Maa..," rengek Lura. Dia melepaskan pelukan dan menatap Mamanya dengan tatapan memohon. Jika saja suara hatinya dapat terdengar, Lana pasti sudah tahu jika Lura mengatakan,

"Ma, bawa Lura sama kalian. Lura nggak mau di sini. Lura tersiksa, Ma. Lura nggak bisa hidup sama si gila itu."

Tapi sayangnya, itu banya bisa dia katakan dalam hatinya saja.

Lana tersenyum menatap wajah sendu anaknya. Dia pasti sedih karena harus berpisah dengan kedua orangtuanya.

"Sekarang Mama tenang ninggalin kamu. Karena udah ada Gerlan yang jagain," ucap Lana seraya melirik Gerlan yang berada dibelakang Lura.

"Maa.. Nggak mau..," rengek gadis itu lagi. Dia menggelengkan kepalanya.

Louis yang berada disamping Lana pun beralih memeluk anak semata wayangnya, "Lura, kamu harus mandiri. Harus dewasa. Jangan apa- apa harus Mama dan Papa. Kamu sudah punya Gerlan, dia yang akan menjaga kamu," ucap Papanya.

Lura menggeleng dan melepaskan pelukan, "Pa, Papa nggak mau Lura mati muda, kan?"

Louis terkekeh pelan, "Ada-ada saja kamu. Mana ada orang tua yang mau anaknya mati muda."

"Pa, maksud Lura tuh--,"

Pemberitahuan yang berasal dari speaker Bandara terdengar, Louis lantas mengusap singkat puncak kepala anaknya. Lalu beralih mendekati Gerlan, dan menepuk singkat pundak lelaki itu seraya tersenyum hangat.

"Gerlan, tolong jagain putri Papa baik-baik, ya."

Lelaki itu mengangguk dan tersenyum, "Pasti, Pa. Gerlan bakal jagain Lura baik-baik, kok. Papa sama Mama tenang aja," perkataannya itu membuat Lura berdecih sinis. Dia memang pintar sekali mamasang wajah palsu.

"Syukurlah, Papa sudah lebih tenang sekarang, kalau gitu, kami pamit dulu, ya. Jaga diri kalian baik-baik," ucap Louis sedikit melangkah mundur menjauh dari mereka.

"Pa," Lura hendak melangkah mendekat, namun Gerlan lebih dulu merangkul pinggangnya hingga jarak mereka begitu dekat. Lura lantas menatap Gerlan tajam dan bergerak untuk menjauhkan dirinya. Tapi lelaki itu tak membiarkannya ke mana-mana.

Lana dan Louis melambaikan tangan sembari tersenyum simpul, sebelum akhirnya perlahan melangkah menjauh bersama beberapa orang berjas rapi yang membawa barang-barang mereka.

Bahu Lura meluruh ke bawah, menatap jika Mama dan Papanya sudah tak terlihat lagi oleh matanya.

Bisakah Lura memutar waktu? Jika tahu akan begini dia akan menuruti segala permintaan orangtuanya.

Gerlan menarik sudut bibirnya tipis, dia menjauhkan tubuhnya dari gadis itu. Kemudian berucap dengan nada mengejek.

"Kasian, lo nggak punya siapa-siapa lagi di sini," katanya lalu melangkah pergi. Meninggalkan Lura yang menggeram kesal menatap kepergiannya.

****

"Kenapa sih? Kusut amat muka lo," tanya Jean, perempuan dengan rambut lurus berwarna Burgundy itu. Dia heran karena Lura datang-datang sudah memasang wajah kesal. Membuat dia dan juga Gauri penasaran.

"Lo berdua tau, nggak? Dukun yang bisa bikin orang langsung mati? Gue mau nyantet manusia sialan itu," geram Lura. Dia meraih gelas berisi minuman milik Jean, lalu menenggaknya hingga habis tak tersisa. Kini mereka bertiga tengah duduk di pantry, yang tepatnya berada di Cooral Coffee.

Mereka cukup sering berkumpul di sini karena ini merupakan tempat kerja Gauri, perempuan itu bekerja jika sedang tak ada jadwal kuliah. Jadi wajar saja, jika tempat ini adalah tempat favorit mereka.

"Siapa lagi yang buat lo kesel? Leo?" Gauri bertanya, sembari meletakkan satu piring berisi potato wedges itu ke depan Lura, sembari duduk di samping gadis itu.

Gauri tidak pernah bertemu langsung dengan Leo, namun Lura sering menceritakannya. Dia mengatakan jika Leo sering mengodanya di The Blue Hill.

"Bukan," balas Lura. Dia ingin menyantet Gerlan karena lelaki itu sudah sangat keterlaluan. Sewaktu di Bandara tadi, dia meninggalkan Lura karena ingin pergi berkumpul bersama teman-temannya. Dan bagaimana Lura tidak kesal? Dia harus menunggu taksi selama hampir setengah jam karena taksi di Bandara itu selalu terisi penuh.

"Btw, lo udah tiga hari nggak masuk kuliah. Ada acara apaan emang? Biasanya juga ngabarin kita kalau mau nitip absen," kata Jean, dengan satu tangan memegang cermin kecil dan satu tangannya lagi memoles liptint tipis pada bibirnya.

Lura tak langsung menjawab, tidak mungkin 'kan dia mengatakan yang sebenarnya? Tidak ada yang tahu jika dirinya telah menikah, karena pernikahan yang selenggarakan kemarin itu hanya dihadiri oleh keluarga saja.

"Gue--gue lagi males aja," alibi Lura sembari mengusap tengkuknya. Bisa habis dia jika ketahuan telah menikah dengan Gerlan. Ck, menyebut namanya dalam hati saja sudah membuat Lura emosi.

Ponsel yang terletak di atas meja pantry berdeting, pertanda ada satu pesan masuk. Lura pun lantas melihatnya.

Gerlanjing

Beli makanan di supermarket

Gue nggak peduli pokoknya pas pulang nanti, kulkas harus terisi penuh. Cari tau sendiri makanan dan minuman kesukaan gue.

Dan kalau nanti lo salah beli, gue nggak mau tau. Beli ulang.

Kalau itu nggak lo lakuin, siap-siap aja kartu kredit lo gue sita.

Lura menatap nyalang layar ponselnya dan mengenggam kuat benda pipih itu. Iblis satu ini hanya bisa mengancamnya saja. Andai dia tak menyetujui surat perjanjian itu, dia pasti tidak akan menuruti permintaan manusia satu ini.

Ya, surat perjanjian yang isinya merugikan Lura. Dia harus menuruti segala permintaan Gerlan, dan dia juga harus melakukan segala pekerjaan rumah. Jika tidak, Gerlan akan melarangnya pergi ke klub atau pun keluar malam-malam. Dan akan menyita kartu kreditnya juga.

Lura tak punya pilihan lain selain menyetujui itu dengan terpaksa. Dia tak menyangka jika lelaki ini benar-benar kejam.

"Kenapa muka lo gitu?" Gauri yang menyadari perubahan raut wajah Lura pun bertanya.

Gadis itu menghela napas dalam-dalam, berusaha untuk mengontrol emosinya sendiri.

Dia lalu menoleh ke arah Gauri dan juga Jean, "Haha, nggak papa. Gue balik dulu ya, besok kita ketemu di kampus. Bye," ucap Lura dengan senyum terpaksa lalu berdiri dan hendak melangkah pergi dari sana.

"Eh makanan lo!" seru Gauri, dia sudah membuatkan makanan untuk Lura.

Gadis itu berhenti saat sudah hampir mencapai pintu, "Aduh! Maaf, Gau! Gue buru-buru, makanannya buat lo aja!" balasnya dan belari keluar dari Kafe.

Gauri menghela napas kasar, "Tuh anak aneh banget belakangan ini," gumamnya sembari mencomot kentang.

Jean meletakkan peralatan make-upnya ke dalam pouch, lalu mengangguk, "Lo juga nyadar? Gue pikir cuma gue aja yang ngerasa aneh."

"Eh btw, Gau. Lo tau Gerlan, kan?" tanya Jean kala mengingat sesuatu. Dia bertanya itu pada Gauri karena gadis itu adalah kupu-kupu, alias kuliah pulang. Jadi siapa tahu saja dia tidak mengenal sosok lelaki yang cukup famous di kampus mereka itu.

"Gerlan? Yang suka buat onar itu? Dia pernah ikut tawuran bulan lalu, kan? Jadi ketua," jawab Gauri, Jean pun mengangguk.

"Gue denger-denger tadi pas di toilet, anak satu jurusan sama dia bilang, kalau dia udah nikah," ucap Jean pelan, dia mendekatkan wajahnya ke arah Gauri.

"Hah? Serius?"

Jean mengangguk semangat.

"Gue pikir ini cuma rumor doang. Karena kek nggak mungkin gitu nggak, sih? Kecuali kalau dia ketahuan ngehamilin anak orang," Jean berucap santai.

"Tapi kalau bener, nggak kebayang gimana nasib istrinya."

"Pfftt," Perempuan yang mengenakan hoodie crop itu menahan tawa mendengar penuturan Gauri.

"Iya, sih. Walaupun tuh cowok ganteng, tajir juga, tapi kalau kelakuannya begitu percuma aja," lanjut Jean. Gadis itu lalu mengangkup kedua pipinya dengan telapak tangan, matanya terlihat berbinar dan senyum yang mulai mengembang.

"Mending baby Maxel, udah ganteng, pinter, baik, perhatian lagi."

Gauri berdecih pelan melihat rona merah pada wajah Jean. Temannya itu sudah bertahun-tahun menyukai Maxel. Namun tak memiliki nyali untuk mengatakannya. Bahkan hanya Gauri saja yang tahu jika Jean menyukai Maxel, karena cuma dia yang peka. Lura tidak.

"Kalau suka itu bilang. Gimana dia bisa tau kalau lo cuma diem aja?"

Jean menghela napas berat, dia menegakkan tubuhnya dan menoleh ke arah Gauri, "Iya kalau dia juga suka sama gue. Kalau enggak?"

"Gue takut ditolak."

****

Gadis yang mengenakan rok abu-abu diatas lutut dengan atasan kaus berwarna hitam itu berjalan menyusuri rak khusus snack, dia mendorong troli yang sudah terisi oleh beberapa minuman kaleng dengan merk yang berbeda.

Sudah berapa kali Lura menyebut segala macam isi kebun binatang dalam hatinya. Ingin rasanya dia bukan pergi ke supermarket, melainkan toko yang menjual racun tikus, sianida, atau pestisida karena memang itu yang cocok untuk Gerlan.

Lura tidak peduli jika dia salah beli, dan dia pun ogah untuk mencari tahu makanan atau minuman kesukaan cowok itu, dia hanya memilih apa yang menurutnya enak saja.

Gadis itu memundurkan sedikit langkahnya sembari berjinjit, snack cokelat itu terletak di rak paling atas, dan Lura pun mencoba mengambilnya dengan susah payah dikarenakan tubuhnya yang tak terlalu tinggi.

Namun sebuah tangan telah terulur untuk mengambil itu, membuat Lura berbalik melihat siapa orang itu.

Seorang lelaki yang mengenakan pakaian serba hitam dan topi hitam itu menyodorkan snack yang diambilnya pada Lura tanpa berbicara apapun, wajahnya tak terlihat karena masker yang ia kenakan. Cukup lama Lura terdiam sebelum akhirnya menerima itu dan mengucapkan terima kasih.

Saat lelaki asing yang tidak dia kenali itu berlalu pergi, Lura lantas berbalik menatap punggungnya dari belakang dengan perasaan aneh.

Mengapa dia jadi teringat akan kejadian pada malam itu?

Lura menggelengkan kepalanya, dia sudah pusing memikirkan mahluk sialan itu, dan Lura tidak ingin menambah beban pikirannya lagi.

Setelah merasa cukup, dia pun berjalan menuju kasir untuk membayar belanjaannya. Lalu setelah itu keluar dari sana dengan membawa satu kantong plastik penuh.

Lura mendengus keras. Dia sudah seperti pembantu yang mau saja disuruh-suruh. Tapi lihat saja nanti, dia akan balas dendam. Tidak mungkin dia akan diam saja diperlakukan seperti ini.

Tangannya lantas merogoh tas untuk mengambil ponsel, dia akan memesan taksi online.

Namun melihat baterai yang tertera pada layar ponselnya itu membuatnya menarik napas dalam-dalam. Tinggal dua persen, dan tidak mungkin Lura tetap memesan taksi.

Karena tak punya pilihan lain, dia akhirnya memilih untuk berjalan kaki saja. Dikarenakan Apartemen itu tak jauh dari sini. Ya mungkin memakan waktu sekitar sepuluh menit.

Tapi untungnya ada jalan pintas, jadi Lura memilih untuk melewati jalan itu saja. Semoga tidak terlalu sepi, karena jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

Gang ini memiliki lampu jalan yang tidak terlalu terang, beberapa rumah di sini pun sepertinya tak berpenghuni, karena tanpa cahaya. Lura mempercepat laju jalannya, bahkan angin malam yang menusuk kulit putihnya seolah tak terasa karena yang dia pikirkan hanyalah satu.

Perkataan Jean dan Gauri.

"Hati-hati deh lo. Kejadiannya bukan cuma sekali. Sebelum ini juga ada mayat yang ditemukan di dalam mobil, lokasinya juga deket sama klub malam itu."

"Hm, bener. Apalagi nih ya, korbannya perempuan semua. Yaa, mungkin sekitar umur dua puluh tahunan gitu lah."

Lura menggenggam kantong plastik berisi makanan itu dengan erat, dia berusaha menghilangkan pemikiran buruknya dan berusaha untuk memikirkan hal lain. Lagi pula lokasinya kini tidak berdekatan dengan gang waktu itu. Jadi tidak mungkin, kan? Pembunuh itu ada di..

Langkah Lura seketika terhenti. Dia membalikkan badannya ke belakang, tapi tak ada apapun di sana. Hanya jalanan kosong dengan daun kering yang tersapu oleh angin.

Lura menarik napas dalam-dalam, dia kembali melangkahkan kaki walau detak jantungnya sudah mulai tak beraturan. Laju jalannya makin dipercepat karena Lura mendengar ada suara ketukan sepatu dari arah belakangnya. Dia tidak berani untuk melihat ke belakang karena takut.

"Ahh, sialan, tau gini mending gue ngelewatin jalan besar aja." batin Lura menyesal.

Dia lantas buru-buru mengeluarkan ponselnya untuk menelepon seseorang, dengan berlari kecil, dia menempelkan benda pipih itu di telinga.

Sedangkan ditempat berbeda, tepatnya sebuah kedai kopi klasik yang berada di dekat kampus, ponsel Maxel yang terletak di atas meja berdering.

Felix, lelaki dengan rambut model textured crop itu meletakkan gitarnya ke samping, lalu meraih ponsel bercase hitam yang kebetulan berada didekatnya.

"Eh, si Lura nelpon, nih. Maxel mana sih? Dari tadi kagak balik-balik," ucap Felix sembari celingak-celinguk mencari keberadaan satu temannya itu.

Gerlan yang tengah duduk menghisap vapenya itu pun meletakkan ponselnya di atas meja saat mendengar nama Lura disebut. Dia lantas merampas ponsel Maxel dari Felix, dan langsung menerima panggilan.

Suara napas yang tak beraturan terdengar pertama kali, itu membuat Gerlan menautkan kedua alisnya.

"Max, lo--lo bisa jemput gue, nggak? Gue takut banget. Di belakang ada yang ngikutin gue, tapi gue nggak berani ngeliat--,"

"Lo dimana?"

Mendengar suara itu membuat Lura tak melanjutkan ucapannya, dia mengernyitkan dahi dan melihat layar ponselnya. Dia tak salah menelepon, lalu mengapa yang menjawab bukan Maxel?

"Kenapa lo yang ngangkat?" balas Lura jutek.

Gerlan menghela napas pelan, dia memejamkan mata sejenak. "Lo dimana?" ulangnya lagi dengan nada dingin.

"Gue nggak minta tolong sama lo! Gue--," langkah panjang Lura seketika terhenti. Di depan sana tampak bayangan seorang lelaki berpakaian serba hitam yang perlahan berjalan mendekat ke arahnya.

Tangan Lura yang menggenggam ponsel lantas meluruh ke bawah. Napasnya tercekat, dia bahkan mengabaikan suara Gerlan yang berucap dengan nada tinggi dan terdengar...khawatir?

"Jawab gue bego! Lo dimana?!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status