"Kembalikan semua yang pernah aku belikan untukmu! motor, rumah, handphone dan uang belanja yang aku beri ke kamu selama tiga tahun jangan sampai terlewat!" ujar laki-laki tampan yang ada di hadapanku.
"Lah, kamu sudah gil* ya Bang, aku ini mantan istri kamu, kok bisa-bisanya Abang minta semua. Seharusnya malah kita bagi harta gono gini," protesku"Ck ... Tidak ada harta gono gini, semua biaya kehidupan kamu selama tiga tahun, dari uangku semua. Kamu hanya berpangku tangan saja di rumah," dengus laki-laki yang enggan lagi kusebut namanya itu.Aku tidak tahu dengan jalan pikiran Bang Fahmi--mantan suamiku. Laki-laki itu yang sudah pergi meninggalkan rumah selama satu bulan itu kembali pulang ke rumah dan meminta semua yang dia berikan selama tiga tahun untuk dikembalikan, entah kesurupan sentan apa laki-laki itu.Sebelum dia pergi, laki-laki itu secara tidak langsung sudah menjatuhkan talak padaku."Kamu pulang saja ke rumah ibumu. Tidak usah menungguku. Karena setelah aku kembali, aku bawakan surat cerai untukmu," ucapnya kala itu."Rumah ini dibangun menggunakan seluruh uangku, kamu tidak pernah menyumbang sepeserpun!" bentak Bang Fahmi, membuat aku terperanjat. Laki-laki itu mengobrak-abrik isi lemari."Mana sertipikatnya?""Tidak ada, sudah kugadai!" balasku tak kalah sengit. Laki-laki itu mendekat dan meraih kerah bajuku."Dasar wanita tak tahu diuntung! Sudah dikasih uang belanja masih juga gadaikan rumah!" Aku menepisnya dengan kasar."Uang belanja yang kamu kasih itu hanya satu juta! Mana cukup?" bentakku."Kamu itu pemboros, satu juta saja tidak cukup, sedangkan Nina saja cukup!""Sanjung terus selingkuhanku itu, Bang. Aku tidak peduli!" Aku berlalu meninggalkan laki-laki yang sudah menjadi mantanku.Runtut kejadian itu bermula ketika Bang Fahmi ketahuan selingkuh dengan anak SMA. Ibu mertua sangat mendukungku untuk mengerjai Bang Fahmi, beliau bahkan setuju jika aku pergi meninggalkan anak-anak untuk sementara waktu, hanya untuk membuat Bang Fahmi kerepotan mengurus dua anak dalam satu waktu."Kenapa Ibu mendukungku? Padahal Bang Fahmi anak kandung Ibu?" tanyaku waktu ibu membisikkan suatu rencana untuk mengerjai anaknya."Karena ibu tahu, Fahmi salah. Walaupun dia anak ibu, ibu akan tetap menyalahkan tindakannya."Energiku mendadak full ketika mendapat dukungan dari ibu mertua. Beliaulah satu-satunya orang tua yang kupunya selain bulik, adik kandung ayah, kedua orang tuaku sudah meninggal semenjak aku masih kecil, dan aku dirawat adik dari ayah.Sebelum menikah, aku sebenarnya kerja di toko buku, setelah punya anak aku disuruh Bang Fahmi berhenti bekerja agar aku bisa mengurus anak kami, terlebih anak keduaku lahir ketika anak pertama baru genap umur satu tahun.Selama ini Bang Fahmi bekerja di salah satu perusahaan besar yang bergerak di bidang perbankan. Jabatan terakhirnya sebagai manager funding.Umur kami memang masih terbilang muda, belum menyentuh angka tiga puluh di tahun ini. Setelah dua tahun Bang Fahmi lulus menjadi karyawan tetap di bank, dia langsung menikahiku, dan tak lama setelah kami menikah, aku hamil anak pertama yang Bang Fami beri nama Fauzan.Belum enam bulan umur Fauzan, aku hamil anak kedua, anak keduaku bernama Faisal. Ya ... Kedua anakku diberi beri nama oleh Bang Fahmi, dan keduanya berawalan huruf F seperti namamya.Sebenarnya setelah lahirnya Fauzan aku ingin mengikuti program keluarga berencana, tapi enam bulan setelah aku melahirkan Fauzan, ternyata aku tidak datang bulan sama sekali. Menurut keterangan teman dan juga tetangga, itu artinya aku bisa KB alami, karena aku tidak datang bulan.Karena ketidaktahuanku itu akhirnya tumbuhlah anak kedua di rahimku tanpa aku ketahui. Selama hamil muda anak kedua, aku tidak merasakan tanda-tanda layaknya orang hamil. Tidak mual, tidak muntah tidak juga ngidam.Kehamilan keduaku ketahuan ketika aku membawa Fauzan imunisasi campak umur sembilan bulan. Tak di sangka ketika bidan mengatakan jika aku tangah hamil. Dan ketika di periksa janinku sudah berumur dua belas minggu.Itu artinya aku sudah mengandung selama tiga bulan dan aku tidak tahu sama sekali."Bagaimana saya bisa hamil Bu Bidan, kan saya tidak datang bulan, kok bisa hamil? Kata teman saya itu KB alami," protesku waktu itu."Mbak Mirna, tidak datang bulan setelah melahirkan itu terjadi karena Mbak Mirna menysui secara eksklusif dan hal itu menyebabkan hormon menstruasi berhenti. Saat menyusui, hormon prolaktin di dalam tubuh Mbak Mirna tinggi. Hormon ini tugasnya untuk membuat ASI, tapi di sisi lain menekan hormon reproduksi. Akibatnya, Mbak Mirna bisa tidak haid setelah melahirkan. Jadi walaupun tidak mengalami menstruasi, Mbak Mirna bisa hamil kalau sudah melakukan hubungan dengan suami."Saat itu sebenarnya aku ingin protes dengan keadaan. Selama aku melahirkan, Bang Fahmi tidak pernah membantu mengerjakan pekerjaan rumah, dengan alasan aku tidak bekerja dan dia bekerja sepanjang hari.Namun ketika aku minta dia memperkerjakan orang untuk membantuku di rumah, dia menolak mentah-mentah. Katanya itu pemborosan, karena aku bisa mengerjakan sendiri di rumah.Beruntung, ibu mertua sangat menyayangiku. Beliaulah yang selalu datang membantuku mengasuh Fauzan. Terlebih ketika lahir Faisal, aku semakin kerepotan mengurus rumah.Gaji Bang Fahmi cukup besar, namun dia hanya memberiku satu juta dalam satu bulan, di luar tagihan listrik dan air. Aku tidak tahu sisa gajinya untuk apa? Katanya dia tabung untuk biaya sekolah anak-anak nantinya.Akupun tak pernah mempertanyakan lagi soal gaji. Karena ketika aku menyinggung satu rupiah saja, dia akan memgomel sepanjang hari. Terbalik bukan? Seharusnya istri yang lebih pantas mengomel."Aku beri waktu satu bulan untuk mengembalikan semua yang pernah aku kasih ke kamu, kalau tidak aku pastikan kamu tidak akan pernah bertemu dengan anak-anak lagi!" seru laki-laki itu dengan pongkanya.Aku berpikir sejenak, "oke akan aku kembalikan semua, bahkan semua uang belanja yang sudah kamu berikan ke aku dulu, tapi kamu juga harus mengembalikan keperawananku, dan bentuk tubuhku seperti aku gadis dulu. Kamu juga harus mengembalikan waktuku yang terbuang sia-sia karena melayanimu selama tiga tahun. Kembalikan semua itu!" teriakku berapi-api."Oh iya satu lagi. Ini aku kembalikan kedua anak yang dulu kau titipkan di rahimku." Aku sodorkan kedua anakku yang masih balita kepada ayahnya. sebelumnya aku bisikan di telinga mereka jika papanya akan membelikan es krim.Kedua anak balita itu langsung menyerang papanya dengan sejuta rengekkannya."Papa, es cim Papa," rengek kedua anakku tak berhenti meminta es krimLaki-laki itu membulatkan bibirnya, matanya membulat sempurna."Heh Mirna, kamu sudah gil* ya!" serunya."Aku beri waktu kamu satu bulan. Jumlah yang harus kamu kembalikan sebesar 1.5 M, nanti rinciannya aku kirim melalui pesan . Kalau tidak kamu akan aku tuntut di pengadilan."Laki-laki itu syok dan kejang-kejang, belum lagi kedua anaknya yang merengek-rengek minta es krim.****Aku tersemyum sambil berlalu masuk ke kamar untuk mengemasi pakaianku. Terdengar suara mereka semakin jauh. Aku rasa Bang Fahmi sudah membawa anak-anak ke warung Mbak Nana, warung langgananku, sekaligus tempatku berbagi cerita.Tujuanku adalah ke rumah ibu mertua. Tadi sebelum Bang Fahmi pulang ke rumah, ternyata dia mampir ke rumah ibu terlebih dahulu. Aku tahu karena ibu sempat mengirimkan pesan jika tak lama lagi Bang Fahmi akan pulang.Tempo hari, ibu memberiku wejangan agar aku memeberikan anak-anak pada Bang Fahmi semua agar dia bisa merasakan bagaimana mengasuh anak-anak seorang diri. "Kalau Fahmi ngusir kamu, berikan anak-anak sama dia, Mir. Biarkan dia merasakan bagaimana jadi kamu selama ini. Ibu gedek banget sama itu anak. Udah punya istri cantik, baik. Malah selingkuh sama anak SMA. Duh ... Ibu malu sama kamu, Mir." "Tapi kasihan, Bu. Mirna tidak tega harus pisah dari anak-anak," tolakku."Percaya sama ibu, Mir. Paling dua hari dia sudah angkat tangan," ujar Bu Anna--mer
"Rasakan kamu, Bang! Kamu belum tahu bagaimana aktifnya kedua anakmu."Di video itu aku lihat Fauzan dan Faisal lari kesana kemari, sementara Bang Fahmi terlihat kecapaian mengejar mereka. Sesekali dia mengusap peluhnya yang membanjiri wajahnya.Aku tersenyum puas, walaupun aku sangat merindukan kedua buah hatiku, tapi tak apa, biar Bang Fahmi merasakan bagaimana capainya aku mengasuh mereka seorang diri."Sial*n kamu Mirna, awas akan aku balas kamu," umpat Bang Fahmi.Entah darimana pembidik video ini berada, sehingga suara Bang Fahmi sangat terdengar jelas. Ah ... Ibu memang the best.Paginya, aku sengaja pulang ke rumah secara diam-diam untuk memantau keadaan anak-anak. Sebelum aku sampai di rumah, aku mampir terlebih dahulu di warung Mbak Nana."Kamu kemana to Mir, seharian nggak kelihatan. Itu aku lihat si Fahmi kualahan ngasuh anak-anak kalian," adu Mbak Nana."Ssstt ... Memang sengaja Mbak, aku biarkan Bang Fahmi ngasuh anak-anak sendirian, biar dia tahu rasanya jadi aku. Masa
"Pergi kamu tanpa membawa apa-apa!" teriak ibu mertua, sementara aku hanya tersenyum miring di belakang Bu Anna."Apa-apaan in, Mirna? Bang Fahmi mulai menyalahkanku."Bu, ini bukan seperti apa yang Ibu lihat, ini salah paham.""Mirna, tolong jangan seperti itu. Foto siapa yang kamu edit? Jangan fitnah!" Bang Fahmi sebentar lari ke ibu, sebentar lari ke aku. Dia seperti cacing yang kepanasan."Hah? Fitnah? Mataku ini ciptaan Allah Bang. Mana bisa diedit.""Kurang kerjaan bener kalau Mirna mesti edit puluhan foto itu, Fahmi. Dia nggak cukup waktu untuk melakukan hal seperti itu, buang-buang waktu. Sekarang kemasi barang-barang kamu," teriak ibu berang."Bu, Fahmi kan anak kandung, Ibu. Kenapa malah Mirna yang di belain. Ibu nggak tahu kan kalau selama ini Mirna pemboros dan tidak bisa merawat tubuh dia sendiri, makanya Fahmi cari yang bening." Sakit rasanya mendengar penuturan laki-laki yang selama ini aku cintai."Tidak usah banyak bicara Fahmi. Sampai kapanpun menantu ibu, tetap Mirn
Wanita yang aku tebak selingkuhannya itu Terus saja merengek. Berarti semalam perempuan itu tidur di rumah ini. Walaupun Bang Fahmi sudah menjadi mantan, rasanya sakit sekali ketika mendengar rumah yang kami jadikan tempat bernaung selama tiga tahun itu sudah ada pengganti diriku."Astaghfirullah Bang, belum juga menikah sudah dibawa pulang," gumamku."Bawa saja mobil tu. Mas mau antar anak-anak ke rumah ibu. Masih repot nih. Kamu bukannya bantu Mas malah enak-enakan gitu.""Mas, kamu bilang semalam kalau kamu ngundang aku kesini untuk nemenin kamu, karena istri kamu kabur. Eh ... Malah disuruh jagain bocil. Mana itu anak nakal banget. Nggak sanggup aku Mas," seru perempuan itu."Daftar kuliah kan bisa nanti jam sepuluan atau bareng Mas betangkat kerja. Sekarang kamu jagain dulu anak-anak, Mas mau mandi. Udah telat nih. Bisa kena SP Mas nanti. Dan bisa berinbas sama uang jajan kamu.""Huh ... Iya ... Iya."Kini aku pindah posisi dari belakang rumah ke samping rumah, untuk memperjelas
Laki-laki itu kemudian membawa kembali anak-anak masuk ke dalam mobilnya. Entah mau di bawa kemana mereka, ke kantor atau malah pulang ke rumah.Ingin rasanya aku mengikuti mereka, ingin melihat bagaimana seharian ini Bang Fahmi di repotkan dengan kedua anaknya yang sangat aktif.Segera aku keluar kamar dan bersiap mengikuti mereka. Namun sampai di depan pintu ibu menahanku."Mau kemana? Kok buru-buru gitu?'"Mau ngikutin Bang Fahmi, Bu.""Duduk manis di sini aja, Mir. Bantuin ibu. Sudah ada Ammar.""Oh, iya. Kan ada Ammar ya." Aku baru ingat kalau ada Ammar yang memata-matai Bang Fahmi. Segera aku kirim pesan untuk bujang setengah lapuk itu.[Tolong ikuti Bang Fahmi dan anak-anak]Pria itu terlihat online, dan pesanku juga sudah dia baca, tetapi dia tak membalasnya. Sekitar sepuluh menit berlalu, pria itu terlihat sedang mengetik [Tidak usah kamu kirim pesan, aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan, jadi kamu nggak usah ngatur-ngatur aku kayak tadi. Aku sudah tahu tugasku. Kamu cu
Puas rasanya melihat orang yang telah merenggut laki-laki yang aku cintai dikerjai habis-habisan oleh anakku sendiri.Aku salut dengan Ammar. Aku rasa pria bujang setengah lapuk itu yang memberikan briefing untuk kedua anakku. Mustahil rasanya jika mereka berdua bertindak atas kemauan mereka sendiri.Walaupun mereka sangat aktif, tapi tingkahnya tidak seaktif kali ini. Akupun sebagai ibu, jika mereka bertingkah sangat aktif, sudah pasti aku menyerah. Apalagi Bang Fahmi yang sama sekali tidak pernah menyentuh mereka semenjak mereka bayi.Dari dua hari waktu yang Bang Fahmi berikan untuk kami, mungkin hanya satu jam dia full bersama kami. Selebihnya dia sibuk dengan handphone-nya, teman-temannya dan mungkin juga gundik itu.Sakit saranya kalau mengingat hal itu, aku sudah seperti pembantu di rumah, bukan lagi di anggap istri. Aku sekarang baru sadar jika sikap Bang Fahmi dulu bukan karena dia capai, tapi karena memang dia sudah bosan terhadapku."Mir, kita mampir salon dulu ya." Suara B
Aku terus melenggang anggun melewati mantan suamiku yang kucel itu. Kulihat Tangannya ingin mencekal tanganku, namun buru-buru dia singkirkan. Mungkin dia ingat dengan perkataanku kamarin tentang mahram. Aku hanya tertawa tertahan."Mi-Mirna ...."Aku masuk ke dalam rumah ibu tanpa menghiraukan panggilan dari Bang Fahmi. Laki-laki tadinya selalu bergaya perlente itu tak berkedip ketika aku lewat tepat di depan wajah."Mau apa kamu ke sini?" tanya ibu dengan nada sewot."Lho ini juga kan rumah Fahmi, Bu. Masa Fahmi nggak boleh pulang ke sini.""Siapa bilang? Rumah ini kan yang bangun pakai uang ibu sama ayahmu dulu. Nggak ada sepeserpun uangmu ikut bangun. Jadi jangan seenaknya kamu bilang kalau ini rumahmu juga. Dari mana konsepnya?" papar ibu mertua yang membuat mantan suamiku itu menelan ludahnya."Itu kan yang kamu katakan sama Mirna?"Aku sengaja mendengarkan pembicaraan mereka dari balik jendela. Sementara anak-anak sudah asyik dengan mainannya di ruang tengah."Tapi kan Fahmi an
"kita harus bicara, Mirna." Laki-laki itu berdiri menyambutku yang baru saja membuka pintu. Sementara anak-anak yang sepertinya masih mengantuk, aku suruh mereka masuk ke dalam rumah."Mau bicara apa?""Aku tidak sanggup mengasuh mereka seorang diri, Mirna. Aku setuju kalau kita bagi harta gono gini." Aku tersenyum miring. Sebatas itukah kemampuan meng-handle anak-anak."Tapi kamu kembalikan dulu nafkah yang aku beri dulu, baru kita bagi harta gono gini.""Astaghfirullah, Bang. Apa lagi sih ini? Kamu belajar hukum di mana? Kenapa seperti ini?bukannya kemarin Ibu sudah menjelaskan panjang lebar ya. Aku kira kamu udah paham. Ternyata makin nge-hank gini sih.""Kan sudah aku turuti permintaan kamu untuk bagi harta gono gini. Sekarang aku juga minta hak aku lah.""Bang, kalau kamu pagi-pagi kesini cuma mau bicara masalah ini, sebaiknya kamu pergi. Aku akan tetap tuntut kamu di persidangan nanti." Aku berbalik badan dan menutup pintu, kumudian menguncinya, tapi ternyata ada yang lupa. La