Share

2. Tersenyum Jahat

Penulis: Ayaa Humaira
last update Terakhir Diperbarui: 2023-04-01 07:10:35

Aku tersemyum sambil berlalu masuk ke kamar untuk mengemasi pakaianku. Terdengar suara mereka semakin jauh. Aku rasa Bang Fahmi sudah membawa anak-anak ke warung Mbak Nana, warung langgananku, sekaligus tempatku berbagi cerita.

Tujuanku adalah ke rumah ibu mertua. Tadi sebelum Bang Fahmi pulang ke rumah, ternyata dia mampir ke rumah ibu terlebih dahulu. Aku tahu karena ibu sempat mengirimkan pesan jika tak lama lagi Bang Fahmi akan pulang.

Tempo hari, ibu memberiku wejangan agar aku memeberikan anak-anak pada Bang Fahmi semua agar dia bisa merasakan bagaimana mengasuh anak-anak seorang diri.

"Kalau Fahmi ngusir kamu, berikan anak-anak sama dia, Mir. Biarkan dia merasakan bagaimana jadi kamu selama ini. Ibu gedek banget sama itu anak. Udah punya istri cantik, baik. Malah selingkuh sama anak SMA. Duh ... Ibu malu sama kamu, Mir."

"Tapi kasihan, Bu. Mirna tidak tega harus pisah dari anak-anak," tolakku.

"Percaya sama ibu, Mir. Paling dua hari dia sudah angkat tangan," ujar Bu Anna--mertuaku.

"Terus Mirna tinggal di mana, Bu. Jujur Mirna saat ini benar-benar tidak ada tabungan sama sekali. Uang yang Bang Fahmi kasih setiap bulan saja kadang tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari."

Selama ini memang ibu sering memberi kami uang tambahan untuk jajan cucu-cucunya. Kadang ibu juga membawakan diapers untuk Fauzan dan Faisal.

Ibu mertua sendiri mempunyai usaha katering, pelangganya sudah banyak. Usahanya memang cukup maju. Sementara bapak mertua sudah meninggal sebelum aku dan Bang Fahmi menikah.

"Kamu tenang aja, Mir. Tidak usah di pikirkan. Ibu ada rumah yang ibu bangun waktu masih gadis dulu. Awalnya memang ibu kontrakan, tapi sudah dua bulan belum ada yang mengisi. Kamu bisa tinggal di sana."

Aku menggenggam tangan ibu mertua yang serasa ibu kandung ini. Untukku, beliau adalah malaikat yang di kirim Allah untuk menjaga dan melindungiku.

"Terimakasih banyak, Bu. Ibu sudah sayang sama Mirna."

"Buat ibu, menantu ibu hanya kamu, Mir. Tidak ada yang lain." Sudut mataku berembun ketika melihat kasih sayang yang tulus dari ibu mertua.

"Yeee ... Es cim, es cim." Celoteh anak-anak di luar membuyarkan lamunanku. Segera aku kemasi baju-baju yang aku perlukan saja. Kata ibu, di rumah ibu sudah lengkap perabotnya, jadi aku hanya membawa pakaian saja.

"Mirna! Mau kemana kamu?" bentak Bang Fahmi ketika melihatku menyandang tas berisi pakaian.

"Lho, rumah ini kan sudah kamu minta, ya aku pergilah dari rumah ini. Untuk apa juga aku masih di tinggal di sini, kecuali kalau kamu mau tagihan yang 1,5 M itu bertambah. Karena beres-beres rumah, cuci baju, ngasuh anak itu nggak ada yang gratis Bang."

"Kamu tidak serius kan, minta kembalikan apa yamg kamu minta tadi?" ujar laki-laki itu tak seberingas tadi.

"Abang sendiri serius nggak minta semua yang sudah Abang berikan untukku?"

"Ya seriuslah. Itu kan hakku. Kamu makan selama ini dari uangku semua. Lah kamu minta yang nggak masuk akal."

"Oke kalau kamu ngotot, sekarang kembalikan keperawananku seharga 500 juta, itu sudah aku diskon lima puluh persen. Pelayanan di ranjang selama tiga tahun, 500 juta. Biaya ngasuh anak selama dua tahun 90 juta dua anak, itu juga sudah aku potong tiga puluh persen. Biaya laundry, biaya beres-beres rumah di tambah biaya untuk mengembalikan bentuk badadanku seperti gadis, aku bulatkan menjadi 500 juta. Jadi totalnya semua 1,5 M 90 juta.

Aku potong sembilan puluh jutanya untuk ngembalikan nafkah dari kamu yang tak seberapa itu, bayar handphone jadul yang aku pegang ini dan uang mahar dari kamu yang hanya bisa digunakan untuk membeli motor second!"

Kurang baik apa aku sama kamu, Bang. Sudah aku diskon sebanyak itu."

"Ka-kamu tidak serius kan?"

"Sangat serius!" tekanku sambil berlalu keluar dari rumah.

"Tega kamu ninggalin anak sendiri," teriaknya lagi.

"Lho, bukannya kamu tadi ngancam untuk memisahkan aku sama anaknya? Kenapa sekarang kamu kelimpungan, Bang?

Laki-laki itu mencoba mencekal tanganku, namun aku buru-buru menepisnya. Sementara kedua anak kami sudah berlalu ke dalam rumah dan menikmati es krim mereka.

"Nggak usah senggol-senggol, Bang. Kita sudah bukan suami-istri lagi. Haram untuk kau sentuh!"

"Cih ... Sombong sekali kamu Mirna."

"Bukannya somobong, Bang, tapi memang seperti itu hukum Islam. Kamu pasti nggak pahamlah, makanya belum nikah udah kumpul kebo sama perempuan lain," sindirku.

"Jaga bicaramu, Mirna. Aku tidak kumpul kebo!"

"Terus apa namamya dong. Kalau udah tinggal serumah, tapi belum nikah? Ngekost? Lucu kamu Bang. Dah ah ... Selamat mengasuh anak-anak."

Aku berlalu meninggalkan laki-laki itu dengan wajah yang masih memerah. Tangannya mengepal dan rahangnya mengeras. Aku tak peduli dengan teriakannya yang membuat telingaku berdengung.

Tak berapa lama aku masih terdengar teriakan kedua bocah di dalam rumah tengah berantem. Aku yakin mereka pasti berebutan es krim. Aku tersenyum miring mendengar kegaduhan di dalam.

"Nikmati, Mas!" gumamku.

Ojek online yang kupesan tadi menunggu di seberang jalan. Setelah aku naik di atas motor, pengendara ojek online itu lantas melajukan motornya mengikuti map yang tertera di aplikasi.

[Ibu tunggu di depan gang Perdamaian ya, Mir. Kalau ibu yang jemput pasti Fami curiga] pesan dari ibu mertua. Segera aku membalas dengan jawaban iya.

Sesampainya di depan gang yang ibu maksud, aku turun dan membayar ongkos ojek online yang aku tumpangi tadi.

Ibu langsung menggandeng tanganku dan membawanya masuk kedalam mobil peninggalan mendiang bapak mertua.

Aku sangat salut dengan ibu, beliau tidak pernah merepotkan anaknya. Bahkan ketika Mbak Jesika--anak pertama ibu meminta tinggal di rumahnya, namun ibu menolak, dengan alasan tidak mau merepotkan.

Di rumah, ibu tinggal bersama asistennya yang beliau perkejakan sedari Mbak Jesika masih bayi. Bisa dibayangkan, betapa setianya Mbok Minah dengan ibu. Sudah puluhan tahun bekerja dengan ibu.

"Sebentar lagi kita sampai, Mir. Nggak jauh kok." Aku mengangguk dan tersenyum. Dan benar, sekitar dua ratus meter, ibu membelokkan mobilnya ke halaman rumah yang tidak terlalu besar. Namun cukup untuk tinggal keluarga kecil.

"Bagus rumahnya, Bu," Pujiku.

"Dulu, rumah ini rencananya mau ibu tempati setelah ibu menikah, tapi Alhamdulillah, bapak juga ternyata sudah menyiapkan rumah tempat kami bernaung. Karena nggak ada yang nempatin, ibu sewakan aja."

"Terus sekarang kenapa kosong?"

"Penyewanya ditugasin di luar kota. Jadi mereka pindah. Ibu nggak ada niat untuk cari penyewa lain, soalnya takut nggak cocok kayak yang sebelumnya," papar ibu mertua. Tangan halusnya sibuk memutar anak kunci di daun pintu.

"Ayo, masuk!" ajaknya. Aku mengikuti pergerakan ibu. Beliau memperlihatkan satu persatu ruangan di rumah ini.

Seluruhnya ada empat ruangan, dua kamar, ruang tamu dan dapur yang menyatu dengan ruang makan, dan sebelah dapur terdapat kamar mandi.

"Kebutuhan kamu, sudah ibu siapkan, ini uang untuk belanja kamu dan anak-anak nanti." Ibu menyodorkan sejumlah uang, yang jika aku taksir nominalnya lebih dari satu juta.

"Tidak usah Bu. Mirna di izinkan tinggal di sini saja udah bersyukur," tolakku.

"Ssttt ... Ngomong apa toh kamu. Nanti kalau kita sudah selesai memberi pelajaran untuk Fahmi, kalian tinggal sama ibu aja ya. Biar ibu ada temannya."

"MasyaaAllah, Bu. Ibu baik banget sama Mirna." Aku menyeka sudut netraku yang sudah tergenangi air bening.

"Sudah, nggak usah nangis. Anak-anak nanti ada yang mantau, kamu jangan khawatir. Ibu pulang dulu ya, soalnya satu jam lagi ibu mau antar ketering," sambung Bu Anna.

"Mirna bantu ya, Bu."

"Sudah, kamu istirahat saja. Ibu sudah ada yang bantu. Kalau kamu ke rumah ibu nanti, rencana kita bisa gagal." Aku mengangguk dan menuruti perkataan ibu.

Aku percaya, ibu wanita cerdas yang bisa di andalkan. Seharusnya aku tak perlu khawatir dengan beliau, ataupun anak-anak yang aku tinggalkan bersama papanya.

Malam hari, aku cukup kesulitan untuk memejamkan mata. Karena sudah terbiasa dengan teriakan kedua balitaku.

Aku meraih gawai untuk mengusir bosan. Sepertinya biasa, aku membuka aplikasi berlogo huruf F dan meilhat berita-berita yang berseliweran. Disalah satu postingan temanku, dia membagikan cerita yang menarik. Aku langsung klit profil pembuat cerita. Dan benar ceritanya semua bagus.

Tengah asyik membaca cerita. Tiba-tiba ada nomor baru yang mengirimkan sebuah video. Aku langsung klik dan memutar video itu.

Aku tersenyum bahagia ketika aku lihat dalam video itu terlihat seseorang tengah kerepotan mengasuh dua orang anak.

"Rasakan kamu, Bang! Kamu belum tahu bagaimana aktifnya kedua anakmu."

****

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Jee Esmael
Keren sekali ceritanya ini thor.. kisah yg langka diceritain di novel² online. Rasain eloe fami! Hahaha
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • NAFKAH YANG KAU MINTA KEMBALI    38. Mirna Luluh

    Halooo, setelah sekian lama Hiatus, akhirnya dapat wangsit juga buat update. Hihihihi.***Aku sangat geram sekali mendengar perkataan Bang Fahmi. Sepertinya ada gelagat aneh dengan pria itu. Di samping tak biasa dia datang ke rumah ibunya sendi untuk bertemu denganku, Sejak kapan dia peduli dengan anak-anak? Bahkan dia berencana mengajak jalan-jalan ke puncak segala.“Ya Sudah kalau begitu, aku nggak bisa, kalau kamu mau bawa anak-anak ke puncak, silahkan, Asalkan pulang nanti jangan ada yang kurang satu pun, termasuk satu helai rambutnya. Karena aku tahu semua jumlah rambut anak-anak. Sampai berkurang satu helai rambutnya, maka kamu akan membayar dendanya 100 ribu per helai.”“Kok kamu jadi perhitungan begini, sih Mir. Mereka juga kan anak-anakku juga. Aku berhak atas mereka, Mir.”“Mereka juga berhak atas nafkah ayahnya, Bang. Yang lebih dulu hitung-hitungan siapa? Aku kan cuma aku yang kamu buat, Bang.”“Iya, oke, oke. Aku ngaku salah, tolong dong, jangan diungkit-ungkit lagi. Kamu

  • NAFKAH YANG KAU MINTA KEMBALI    37. Ajakan Fahmi

    Aku terus mengomel sepanjang jalan ketika kami pulang dari rumah Paman. Bagaimana tidak, sudah aku bilang bagaimana sifat Paman dan Bibi ketika dihadapkan dengan lembaran kertas bernama uang. Namun bujang setengah lapuk yang sebentar lagi akan menyandang status sebagai suamiku itu justru tak menghiraukan ocehanku.Benar-benar menyebalkan Ammar itu, seandainya dia bukan bosku, sudah kuketok kepalanya. “Kenapa kamu ngomel-ngomel begitu, Mir?”‘Eh, kok dia denger sih?’ batinku.“Keluarin aja, Mir uneg-unegnya.” Ammar menghentikan motornya di pinggir jalan, di bawah pohon yang cukup rindang. Sepertinya di sini tempat orang biasa duduk-duduk atau sekedar melepas penat. karena terlihat berbeda dengan pohon-pohon yang lain.“Kamu itu lho, Ammar, udang dibilang, kalau pamanku itu agal lain kalau masalah duit, kamu malah jor-joran mau kasih seragamlah, perhiasanlah. Bisa ngelunjak nanti kalau dituruti begitu. Seharusnya kamu kasih saya sekedarnya, kasih dua juga saja sudah senang mereka. Ini

  • NAFKAH YANG KAU MINTA KEMBALI    36. Bingung

    Aku tarik tangan Ammar ke luar dari rumah Paman. Rumah yang menjadi saksi bisu bagaimana aku diperlakukan tidak adil oleh mereka.Mereka yang mengaku saudara, mereka yang katanya masih memiliki DNA yang sama dengan ayahku. Namun nyatanya jauh dari kata baik.Jika bisa aku mengulang waktu, sudah pasti aku dulu akan memilih hidup di kostan, daripada harus tinggal serumah dengan paman dan bibi, tetapi mereka hanya memanfaatkan tenagaku saja. Bahkan ketika aku sudah bekerja, hampir semua gajiku diambil Bibi, dengan alasan untuk membeli kebutuhan ku sehari-hari. Bodohnya aku tidak pernah berpikir menyisipkankan gajiku untuk keperluanku sendiri. Mungkin dulu aku terlalu penurut dan polos. Berpikir bahwa merekalah saudaraku satu-satunya.Hingga akhirnya aku bisa keluar dari tempat itu setelah Bu Anna melamarku untuk anak laki-lakinya dan membawaku pergi dari rumah itu. Sejak aku dan Bang Fahmi menikah, Paman memang tidak pernah menuntut apa pun dariku.Belakangan, aku baru tahu jika Setiap

  • NAFKAH YANG KAU MINTA KEMBALI    35. Halangan sebuah pernikahan

    Bang Fahmi berkacak pinggang sambil berjalan memutariku. Sudah seperti detektif saja dia "Kamu nggak paham juga apa yang aku tunjukkan, Mir. Sudah jelas-jelas dia itu nggak bener, masa kamu mau nikah sama laki-laki modelan seperti Ammar." Laki-laki itu berkata dengan pongkah."Memang Abang merasa lebih baik dari Ammar? Selingkuh sama istri orang, menelantarkan anak sendiri, itu yang Abang bilang baik? Seandainya memang yang Abang katakan itu benar, belum tentu juga aku mau rujuk sama Abang. Pastinya aku berpikir seribu kali untuk rujuk sama Abang. Abang pikir ngaapin aku ngurus akta cerai Kemarin kalau ujung-ujungnya untuk rujuk? Capein badanlah, Bang.""Terserah kamu, Mir. Yang penting aku sudah ingatkan kamu bagaimana kelakuan Ammar di luar sana. Seharusnya kamu membuka mata, Mir. Hanya karena kamu ingin menikahi direktur, kamu korbankan anak-anak, kamu korbankan masa depan mereka. Aku sudah berubah, aku sudah minta maaf, seharusnya kamu pikirkan dan pertimbangankan permintaanku un

  • NAFKAH YANG KAU MINTA KEMBALI    34. Ada apa dengan Fahmi?

    Mataku mengerjap, disekelilingku ada Bu Anna, Tante Anni dan Mbak Nana--tetangga sekaligus temanku satu kompleks, mereka terlihat cemas. Aku pun bingung apa yang terjadi sebelumnya. Aku hanya ingat kalah Bu Anna datang hendak mengajakku arisan keluarga."Anak-anak mana, Bu?""Ada di depan sama Ammar dan opanya.""Maaf ya, Mir, kalau kedatangan kami justru membuat kamu syok seperti ini," ucap Tante Anni penuh sesal."Mirna hanya kaget Tan, soalnya benar-benar mendadak, sementara Mirna nggak ada persiapan apa pun untuk menyambut keluarga Tante. Mirna tahunya hanya arisan biasa.""Maaf ya, Mir. Itu si Ammar yang punya ide gila ini, katanya dia udah bilang sama kamu, Mir. Makanya kami santai-santai aja ke sini. Eh ... nggak tahunya kamu malah yang nggak tahu apa-apa. Pantesan Mbak Anna tadi juga terkejut waktu kami datang ke rumahnya kasih tahu kalau Ammar ngelamar kamu," papar Tante Anni panjang lebar.Aku melirik ibu yang sedang berbincang dengan Mbak Nana."Iya, ibu juga kaget, Mir. Am

  • NAFKAH YANG KAU MINTA KEMBALI    33. Kejutan

    "Maaf Pak saya ke toilet dulu."Tanpa menunggu jawaban dari Ammar, aku langsung ngacir ke toilet. Dadaku benar-benar bergemuruh, seperti ombak di lautan yang siap menerkam. Aku keluarkan botol minum dari dalam tas, lalu meneguknya.Apa-apaan Ammar ini? Kenapa dia jadikan aku sekertaris? Aku tidak enak dengan Angel, dia karyawan paling senior di sini, tetapi kenapa aku yang dia jadikan sekertaris, padahal aku baru saja bergabung di sini.Gestur tubuh Angel waktu menyampaikan pendapatnya tentang kinerjaku tadi terlihat sedang menutupi ketidaknyamanannya.Terlepas dari kata-kata yang dia sampaikan tadi. Entah dia jujur dari hati atau hanya karena tidak enak sebab dia sudah mengetahui antara aku dan Ammar sudah saling kenal.Berkali-kali aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Mati-matian aku jaga agar Angel tidak mengetahui hubungan kekerabatan antara aku dan Ammar, tetapi kini dia sudah mengetahui semuanya. Sekarang jabatan yang sudah lama dia inginkan pun harus kand

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status