Share

6. Mandi Lumpur

Laki-laki itu kemudian membawa kembali anak-anak masuk ke dalam mobilnya. Entah mau di bawa kemana mereka, ke kantor atau malah pulang ke rumah.

Ingin rasanya aku mengikuti mereka, ingin melihat bagaimana seharian ini Bang Fahmi di repotkan dengan kedua anaknya yang sangat aktif.

Segera aku keluar kamar dan bersiap mengikuti mereka. Namun sampai di depan pintu ibu menahanku.

"Mau kemana? Kok buru-buru gitu?'

"Mau ngikutin Bang Fahmi, Bu."

"Duduk manis di sini aja, Mir. Bantuin ibu. Sudah ada Ammar."

"Oh, iya. Kan ada Ammar ya." Aku baru ingat kalau ada Ammar yang memata-matai Bang Fahmi. Segera aku kirim pesan untuk bujang setengah lapuk itu.

[Tolong ikuti Bang Fahmi dan anak-anak]

Pria itu terlihat online, dan pesanku juga sudah dia baca, tetapi dia tak membalasnya. Sekitar sepuluh menit berlalu, pria itu terlihat sedang mengetik

[Tidak usah kamu kirim pesan, aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan, jadi kamu nggak usah ngatur-ngatur aku kayak tadi. Aku sudah tahu tugasku. Kamu cukup duduk manis di rumah, nanti aku pasti kirim hasilnya. Paham!]

"Astaghfirullah, ini anak benar-benar nggak ada sopan-sopannya sama sekali," gerutuku.

"Kenapa, Mir?" tanya ibu heran.

"Ini si Ammar, ngeselin banget. Orang Mirna kirim pesan minta tolong ikutin anak-anak kok malah ngomel-ngomel," sungutku.

"Anak itu memang kayak gitu. Udah nggak usah dimasukkan ke hati." Aku mengangguk, menuruti saran dari ibu mertua. Walaupun hatiku masih sangat dongkol.

Sekitar lima menit, Ammar mengirimku beberapa video yang membuat terkejut dan naik darah. Ingin rasanya aku menyudahi permainan ini. Bagaimana tidak, di video pertama memperlihatkan kedua anakku main di luar sendirian, sementara tak terlihat Bang Fahmi menjaga mereka.

Tak berapa lama, anak-anak menghidupkan air kran yang ada di depan rumah, hingga depan halaman depan rumah terlihat banjir, belum lagi mereka yang main di kubangan air itu.

Di video kedua memperlihatkan keadaan di dalam rumah disana terlihat Bang Fahmi tengah tidur di sofa ruang tamu, tapi video yang kedua ini bukan diambil dari kamera ponsel, tetapi seperti kamera CCTV, karena dari gambar dan konsistensi videonya yang tenang serta bidikan dari arah atas yang membuatku menyimpulkan kalau itu kamera CCTV, tapi kapan Ammar pasang semua CCTV itu?

Cukup lama Fauzan dan Faisal bermain di kubangan air hingga tubuh mereka penuh dengan tanah, bahkan tanah. Baju yang mereka pakai sudah tidak berupa baju lagi.

Ingin rasanya aku tertawa, tapi aku juga merasa kasihan dengan anak-anakku yang bermain tanpa pengawasan orang tua. Bagaimana kalau ada orang jahat dan menculik mereka, apalagi saat ini sedang musim penculikan anak-anak, bahkan beberapa waktu yang lalu sudah sampai di sekolah anaknya temanku.

"Kenapa lagi, Mir? Kok gelisah gitu?"

"Lihat nih, Bu! Mirna udah nggak sanggup ngelanjutin permainan ini, kasihan anak-anak main air begini tanpa pengawasan orang tua." Aku memperlihatkan video yang baru saja dikirim oleh Ammar.

Bukannya prihatin dengan perasannku yang di rundung dilema, ibu malah tetawa terpingkal-pingkal melihat kedua cucunya berlumurkan tanah yang sudah berubah jadi lumpur.

"Kok Ibu malah tertawa," rajukku.

"Cucu-cucu ibu lucu, Mir." Ibu semakin terkekeh ketika mereka mulai mengambil tanah dan membalurkannya ke dinding rumah.

"Tapi mereka main sendirian, Bu. Bang Fahmi tidur di dalam. Gimana kalau ada orang jahat mau nyulik mereka. Tak disangka, tawa ibu semakin pecah ketika aku adukan kekhawatiranku.

"Kenapa itu tambah tertawa?" sungutku. Aku merajuk seperti anak kecil yang minta mainan pada ibunya.

"Kamu lucu, Mir. Terus kamu anggap apa orang yang mengambil video itu? Hahahaha ...."

"Astaghfirullah, iya juga. Kan ada Ammar." Aku garuk-garuk kepalaku yang tak gatal.

"Sudah sana pakai jilbab, antar ibu ke sekolahan, mau antar katering." Ibu berlalu ke dapur dengan tawanya yang masih terdengar, bahkan telihat di sudut netranya hingga mengeluarkan air bening.

Sementara aku masuk ke kamar yang biasanya aku dan anak-anak pakai ketika menginap di rumah ibu, masih senyum-senyum tak jelas.

"Mir, udah kamu dandanya? Lama banget, nggak dandan saja banyak laki-laki klepek-klepek sama kamu," ledek ibu mertua. Wanita yang masih terlihat cantik itu memang suka sekali meledeku. Padahal aku ini masih menantunya.

"Ibu nih. Ngeledekin melulu, nama Ban Fahmi aja masih utuh tertera di buku nikah."

"Dahlah, Mir. Pusing ibu kalau mikirin Fahmi. Malu ibu sebenarnya sama kelakuan Fahmi, Mir. Beruntung ibu punya mantu kayak kamu."

"Terimakasih ya, Bu." Hatiku mendadak mellow.

"Udah ah, ibu nggak mau nangis-nangis. Yuk berangkat. Ini kunci mobil." Aku meraih kunci mobil yang ibu berikan, kemudian berjalan menuju mobil yanh sudah terparkir di teras rumah.

Semua katering sudah masuk kedalam mobil, para ibu-ibu tetangga komplek yang membantu ibu, memang sangat gesit dan rapi dalam bekerja. Itu alasan yang membuat mereka bertahan lama bekerja dengan ibu. Apalagi ibu juga sangat loyal terhadap para karyawannya.

Aku masuk kedalam mobil dan duduk di balik setir, sementara ibu duduk di sampingku. Sebenarnya aku masih sering gugup kalau haru mengendarai mobil sendiri, tapi ibu sering memberiku semangat.

"Suami itu kalau nggak di ambil wanita lain ya di ambil Allah, makanya kita sebagai wanita harus bisa mandiri, Mir, tapi bukan berarti kita meremehkan suami kita. Di depan suami kita tetap harus manja dan jadikan suami merasa kita sangat membutuhkan dia. Padahal apapun itu kalau kepepet pasti kita bisa lakukan semua. Contohnya saja angkat galon. Sebenarnya kita kuat angkat galon sendiri, tapi kalau ada suami, biarakan suami yang angaktin. Jangan membuat suami kita menjadi tidak berguna karena kemandirian kita."

"Tapi itu semua nggak berlaku untuk Bang Fahmi kan, Bu. Soalnya semakin Mirna manja-manja sama dia, semakin dia menganggap Mirna yang nggak berguna."

"Oh iya ya. Kecuali satu laki-laki itulah, Mir." Lagi-lagi ibu terkekeh panjang. Akupun menimpali dengan tawa terbahak.

Sekitar sepuluh menit berkendara, kami sudah sampai di halaman gedung Sekolah Dasar Islam Terpadu Bakti Bunda. Aku bergegas turun untuk membatu menurunkan dua ratus boks katering.

Ibu hanya menerima katering untuk anak-anak kelas satu dan dua, sementara untuk kelas atas dari katering lain.

Sebenarnya pihak sekolah menginginkan katering ibu dari kelas satu sampai kelas enam, tetapi ibu menolak karena tidak sanggup jika harus meyediakan setidaknya delapan ratus katering setiap hari.

"Pembayaran sudah saya transfer ya. Bu," ucap seorang guru pada ibu.

"Iya, Bu terimakasih," jawab ibu dengan ramah.

Setelah berbasa-basi sebentar, kemudian kami pamit untuk pulang.

Di dalam mobil aku mengecek gawaiku yang sudah di penuhi oleh pesan dari Ammar. Ada lima video baru masuk dalam aplikasi perpesanan. Aku lantas membuka satu persatu video yang di kirim oleh Ammar.

Seketika tawaku pecah ketika melihat ada seorang perempuan datang dengan pakaian rapi, kemudian anak-anakku yang masih bermandikan lumpur menyambutnya dan langsung bergelendot di tubuh wanita berbadan ramping. Wanita itu tak lain adalah selingkuhan Bang Fahmi.

"Maaaas ... Lihat anak-anakmu ini!" teriak perempuan itu dengan suara melengking. Dan terdengar juga suara Ammar terkekeh menahan tawa di balik kamera.

Kulihat anak-anak semakin menjadi, mereka melempari perempuan itu dengan tanah lembek hingga wajahnya yang full make up itu penuh dengan lumpur.

"Rasakan," gumamku.

****

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Jee Esmael
Hahahaa makin seru deh.. bikin ngakak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status