Laki-laki itu kemudian membawa kembali anak-anak masuk ke dalam mobilnya. Entah mau di bawa kemana mereka, ke kantor atau malah pulang ke rumah.
Ingin rasanya aku mengikuti mereka, ingin melihat bagaimana seharian ini Bang Fahmi di repotkan dengan kedua anaknya yang sangat aktif.Segera aku keluar kamar dan bersiap mengikuti mereka. Namun sampai di depan pintu ibu menahanku."Mau kemana? Kok buru-buru gitu?'"Mau ngikutin Bang Fahmi, Bu.""Duduk manis di sini aja, Mir. Bantuin ibu. Sudah ada Ammar.""Oh, iya. Kan ada Ammar ya." Aku baru ingat kalau ada Ammar yang memata-matai Bang Fahmi. Segera aku kirim pesan untuk bujang setengah lapuk itu.[Tolong ikuti Bang Fahmi dan anak-anak]Pria itu terlihat online, dan pesanku juga sudah dia baca, tetapi dia tak membalasnya. Sekitar sepuluh menit berlalu, pria itu terlihat sedang mengetik[Tidak usah kamu kirim pesan, aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan, jadi kamu nggak usah ngatur-ngatur aku kayak tadi. Aku sudah tahu tugasku. Kamu cukup duduk manis di rumah, nanti aku pasti kirim hasilnya. Paham!]"Astaghfirullah, ini anak benar-benar nggak ada sopan-sopannya sama sekali," gerutuku."Kenapa, Mir?" tanya ibu heran."Ini si Ammar, ngeselin banget. Orang Mirna kirim pesan minta tolong ikutin anak-anak kok malah ngomel-ngomel," sungutku."Anak itu memang kayak gitu. Udah nggak usah dimasukkan ke hati." Aku mengangguk, menuruti saran dari ibu mertua. Walaupun hatiku masih sangat dongkol.Sekitar lima menit, Ammar mengirimku beberapa video yang membuat terkejut dan naik darah. Ingin rasanya aku menyudahi permainan ini. Bagaimana tidak, di video pertama memperlihatkan kedua anakku main di luar sendirian, sementara tak terlihat Bang Fahmi menjaga mereka.Tak berapa lama, anak-anak menghidupkan air kran yang ada di depan rumah, hingga depan halaman depan rumah terlihat banjir, belum lagi mereka yang main di kubangan air itu.Di video kedua memperlihatkan keadaan di dalam rumah disana terlihat Bang Fahmi tengah tidur di sofa ruang tamu, tapi video yang kedua ini bukan diambil dari kamera ponsel, tetapi seperti kamera CCTV, karena dari gambar dan konsistensi videonya yang tenang serta bidikan dari arah atas yang membuatku menyimpulkan kalau itu kamera CCTV, tapi kapan Ammar pasang semua CCTV itu?Cukup lama Fauzan dan Faisal bermain di kubangan air hingga tubuh mereka penuh dengan tanah, bahkan tanah. Baju yang mereka pakai sudah tidak berupa baju lagi.Ingin rasanya aku tertawa, tapi aku juga merasa kasihan dengan anak-anakku yang bermain tanpa pengawasan orang tua. Bagaimana kalau ada orang jahat dan menculik mereka, apalagi saat ini sedang musim penculikan anak-anak, bahkan beberapa waktu yang lalu sudah sampai di sekolah anaknya temanku."Kenapa lagi, Mir? Kok gelisah gitu?""Lihat nih, Bu! Mirna udah nggak sanggup ngelanjutin permainan ini, kasihan anak-anak main air begini tanpa pengawasan orang tua." Aku memperlihatkan video yang baru saja dikirim oleh Ammar.Bukannya prihatin dengan perasannku yang di rundung dilema, ibu malah tetawa terpingkal-pingkal melihat kedua cucunya berlumurkan tanah yang sudah berubah jadi lumpur."Kok Ibu malah tertawa," rajukku."Cucu-cucu ibu lucu, Mir." Ibu semakin terkekeh ketika mereka mulai mengambil tanah dan membalurkannya ke dinding rumah."Tapi mereka main sendirian, Bu. Bang Fahmi tidur di dalam. Gimana kalau ada orang jahat mau nyulik mereka. Tak disangka, tawa ibu semakin pecah ketika aku adukan kekhawatiranku."Kenapa itu tambah tertawa?" sungutku. Aku merajuk seperti anak kecil yang minta mainan pada ibunya."Kamu lucu, Mir. Terus kamu anggap apa orang yang mengambil video itu? Hahahaha ....""Astaghfirullah, iya juga. Kan ada Ammar." Aku garuk-garuk kepalaku yang tak gatal."Sudah sana pakai jilbab, antar ibu ke sekolahan, mau antar katering." Ibu berlalu ke dapur dengan tawanya yang masih terdengar, bahkan telihat di sudut netranya hingga mengeluarkan air bening.Sementara aku masuk ke kamar yang biasanya aku dan anak-anak pakai ketika menginap di rumah ibu, masih senyum-senyum tak jelas."Mir, udah kamu dandanya? Lama banget, nggak dandan saja banyak laki-laki klepek-klepek sama kamu," ledek ibu mertua. Wanita yang masih terlihat cantik itu memang suka sekali meledeku. Padahal aku ini masih menantunya."Ibu nih. Ngeledekin melulu, nama Ban Fahmi aja masih utuh tertera di buku nikah.""Dahlah, Mir. Pusing ibu kalau mikirin Fahmi. Malu ibu sebenarnya sama kelakuan Fahmi, Mir. Beruntung ibu punya mantu kayak kamu.""Terimakasih ya, Bu." Hatiku mendadak mellow."Udah ah, ibu nggak mau nangis-nangis. Yuk berangkat. Ini kunci mobil." Aku meraih kunci mobil yang ibu berikan, kemudian berjalan menuju mobil yanh sudah terparkir di teras rumah.Semua katering sudah masuk kedalam mobil, para ibu-ibu tetangga komplek yang membantu ibu, memang sangat gesit dan rapi dalam bekerja. Itu alasan yang membuat mereka bertahan lama bekerja dengan ibu. Apalagi ibu juga sangat loyal terhadap para karyawannya.Aku masuk kedalam mobil dan duduk di balik setir, sementara ibu duduk di sampingku. Sebenarnya aku masih sering gugup kalau haru mengendarai mobil sendiri, tapi ibu sering memberiku semangat."Suami itu kalau nggak di ambil wanita lain ya di ambil Allah, makanya kita sebagai wanita harus bisa mandiri, Mir, tapi bukan berarti kita meremehkan suami kita. Di depan suami kita tetap harus manja dan jadikan suami merasa kita sangat membutuhkan dia. Padahal apapun itu kalau kepepet pasti kita bisa lakukan semua. Contohnya saja angkat galon. Sebenarnya kita kuat angkat galon sendiri, tapi kalau ada suami, biarakan suami yang angaktin. Jangan membuat suami kita menjadi tidak berguna karena kemandirian kita.""Tapi itu semua nggak berlaku untuk Bang Fahmi kan, Bu. Soalnya semakin Mirna manja-manja sama dia, semakin dia menganggap Mirna yang nggak berguna.""Oh iya ya. Kecuali satu laki-laki itulah, Mir." Lagi-lagi ibu terkekeh panjang. Akupun menimpali dengan tawa terbahak.Sekitar sepuluh menit berkendara, kami sudah sampai di halaman gedung Sekolah Dasar Islam Terpadu Bakti Bunda. Aku bergegas turun untuk membatu menurunkan dua ratus boks katering.Ibu hanya menerima katering untuk anak-anak kelas satu dan dua, sementara untuk kelas atas dari katering lain.Sebenarnya pihak sekolah menginginkan katering ibu dari kelas satu sampai kelas enam, tetapi ibu menolak karena tidak sanggup jika harus meyediakan setidaknya delapan ratus katering setiap hari."Pembayaran sudah saya transfer ya. Bu," ucap seorang guru pada ibu."Iya, Bu terimakasih," jawab ibu dengan ramah.Setelah berbasa-basi sebentar, kemudian kami pamit untuk pulang.Di dalam mobil aku mengecek gawaiku yang sudah di penuhi oleh pesan dari Ammar. Ada lima video baru masuk dalam aplikasi perpesanan. Aku lantas membuka satu persatu video yang di kirim oleh Ammar.Seketika tawaku pecah ketika melihat ada seorang perempuan datang dengan pakaian rapi, kemudian anak-anakku yang masih bermandikan lumpur menyambutnya dan langsung bergelendot di tubuh wanita berbadan ramping. Wanita itu tak lain adalah selingkuhan Bang Fahmi."Maaaas ... Lihat anak-anakmu ini!" teriak perempuan itu dengan suara melengking. Dan terdengar juga suara Ammar terkekeh menahan tawa di balik kamera.Kulihat anak-anak semakin menjadi, mereka melempari perempuan itu dengan tanah lembek hingga wajahnya yang full make up itu penuh dengan lumpur."Rasakan," gumamku.****Puas rasanya melihat orang yang telah merenggut laki-laki yang aku cintai dikerjai habis-habisan oleh anakku sendiri.Aku salut dengan Ammar. Aku rasa pria bujang setengah lapuk itu yang memberikan briefing untuk kedua anakku. Mustahil rasanya jika mereka berdua bertindak atas kemauan mereka sendiri.Walaupun mereka sangat aktif, tapi tingkahnya tidak seaktif kali ini. Akupun sebagai ibu, jika mereka bertingkah sangat aktif, sudah pasti aku menyerah. Apalagi Bang Fahmi yang sama sekali tidak pernah menyentuh mereka semenjak mereka bayi.Dari dua hari waktu yang Bang Fahmi berikan untuk kami, mungkin hanya satu jam dia full bersama kami. Selebihnya dia sibuk dengan handphone-nya, teman-temannya dan mungkin juga gundik itu.Sakit saranya kalau mengingat hal itu, aku sudah seperti pembantu di rumah, bukan lagi di anggap istri. Aku sekarang baru sadar jika sikap Bang Fahmi dulu bukan karena dia capai, tapi karena memang dia sudah bosan terhadapku."Mir, kita mampir salon dulu ya." Suara B
Aku terus melenggang anggun melewati mantan suamiku yang kucel itu. Kulihat Tangannya ingin mencekal tanganku, namun buru-buru dia singkirkan. Mungkin dia ingat dengan perkataanku kamarin tentang mahram. Aku hanya tertawa tertahan."Mi-Mirna ...."Aku masuk ke dalam rumah ibu tanpa menghiraukan panggilan dari Bang Fahmi. Laki-laki tadinya selalu bergaya perlente itu tak berkedip ketika aku lewat tepat di depan wajah."Mau apa kamu ke sini?" tanya ibu dengan nada sewot."Lho ini juga kan rumah Fahmi, Bu. Masa Fahmi nggak boleh pulang ke sini.""Siapa bilang? Rumah ini kan yang bangun pakai uang ibu sama ayahmu dulu. Nggak ada sepeserpun uangmu ikut bangun. Jadi jangan seenaknya kamu bilang kalau ini rumahmu juga. Dari mana konsepnya?" papar ibu mertua yang membuat mantan suamiku itu menelan ludahnya."Itu kan yang kamu katakan sama Mirna?"Aku sengaja mendengarkan pembicaraan mereka dari balik jendela. Sementara anak-anak sudah asyik dengan mainannya di ruang tengah."Tapi kan Fahmi an
"kita harus bicara, Mirna." Laki-laki itu berdiri menyambutku yang baru saja membuka pintu. Sementara anak-anak yang sepertinya masih mengantuk, aku suruh mereka masuk ke dalam rumah."Mau bicara apa?""Aku tidak sanggup mengasuh mereka seorang diri, Mirna. Aku setuju kalau kita bagi harta gono gini." Aku tersenyum miring. Sebatas itukah kemampuan meng-handle anak-anak."Tapi kamu kembalikan dulu nafkah yang aku beri dulu, baru kita bagi harta gono gini.""Astaghfirullah, Bang. Apa lagi sih ini? Kamu belajar hukum di mana? Kenapa seperti ini?bukannya kemarin Ibu sudah menjelaskan panjang lebar ya. Aku kira kamu udah paham. Ternyata makin nge-hank gini sih.""Kan sudah aku turuti permintaan kamu untuk bagi harta gono gini. Sekarang aku juga minta hak aku lah.""Bang, kalau kamu pagi-pagi kesini cuma mau bicara masalah ini, sebaiknya kamu pergi. Aku akan tetap tuntut kamu di persidangan nanti." Aku berbalik badan dan menutup pintu, kumudian menguncinya, tapi ternyata ada yang lupa. La
Wanita berambut panjang sepinggang itu mengaduh kesakitan. Berulang kali aku pukul pantatnya menggunakan sapu lidi, bak kucing yang ketahuan sedang mencuri ikan di kulkas. Sangat lancang bukan?"Auuu ... Sakit. Berhenti!""Pergi kamu. Ngapain kami tidur di rumah ini? Pergi!" teriakku."Stop! Sakit ini.""Pergi kamu!" Aku terus memukuli wanita tak tahu malu itu."Hei Mbak! Jangan kasar gitu sama orang. Pantas aja suaminya lari ke aku. Orang istirnya aja kayak singa begini," cibir perempuan itu."Sama perempuan seperti kamu mah pantas dikasari." Aku tak berhenti mengayunkan sapu lidi ini ke badan perempuan itu."Udah Mbak! Stop! Aku teriak nanti. Kamu bisa ditangkap karena udah mukulin orang.""Teriak aja sana kalau berani. Ayo teriak!" Aku mendorong wanita itu sampai di pintu kamar. "Ayo teriak!" ujarku menantang wanita gatal itu"Kenapa? Nggak berani? Ayo sana teriak!""Dasar, Nenek-Nenek!" sungutnya."Hei betina! Cepat pergi, sebelum aku teriaki kamu maling, karena ini rumahku!""Ck
Aku tersenyum jahat di dalam mobil. Rasanya puas sekali aku bisa mengerjai kedua pasangan selingkuh itu. "Mirnaaaa," teriak laki-laki itu. Mungkin dia baru sadar jika akulah yang ada di dalam mobil itu. Aku bergegas turun dari mobil untuk membeli kue lupis kesukaannya Tante Anni. Kulihat sekilas laki-laki itu mengejarku. "Mirna, apa-apaan kamu ini. Lihat bajuku dan baju Nina jadi kotor begini. Kamu juga tega-teganya mukulin Nina pakai sapu dan ngusir dia dari rumah!" bentak laki-laki itu setelah mendekatiku."Peduli apa aku sama kalian? Itu rumah anak-anak, jadi aku berhak mengusir perempuan itu! Emang siapa dia, istri kamunjuga bukan kan cuma simpanan!""Gara-gara ulah kamu, aku jadi belikan dia emas.""Lho ... Lho ... Kok jadi gara-gara aku? Gundikmu saja yang matre!""Dia bukannya matre, tapi berkelas! Itu karena kamu mukulin dia, jadi dia merajuk dan minta hadiah emas. Sini ganti rugi! Kamu harus ganti uang untuk membeli emas karena ulah kamu.""Yaa Allah, kemanalah otak laki-l
Tante Anni menahanku untuk menginap di rumahnya, katanya dia sangat rindu sekali dengan Fauzan dan Faisal. Tante Anni memang pernah membawa anak-anak nginap di rumah ini, tetapi waktu itu ada ibu mertua yang menemani.Kalau sekarang aku menginap di sini, apa kata orang, sedangkan di sini ada bujang setengah lapuk itu. Duh ... Bisa jatuh harga diriku."Lain Kali aja Tante, lagian nggak enak kalau Mirna ikut nginap di sini, apa kata orang nanti," tolakku."Isssh kepedean, siapa juga yang mau ngajak situ nginap? Orang yang di suruh nginep itu anak-anak kok," cibir laki-laki gondrong itu."Sssttt ... Jangan seperti itu. Dah sana kamu kalau mau ke kampus. Urus skripsi yang udah setahun nggak kelar-kelar," bela Tante Anni. Aku seperti di atas awan.Laki-laki itu berlalu sambil mengepalkan tangan, sementara aku menjulurkan lidahku."Kalian ini seperti anak kecil. Hemmm ...," tegur Tante Anni."Dia itu, Mam ngeledekin terus. Mending bujang lapuk daripada Baru 3 tahun nikah dah cere. Masa masi
Cukup lama aku terbengong mendengar pernyataan Ammar yang sangat mengejutkan. Sementara laki-laki terus menyerocos. Fauzan yang sedang memakan cemilan berlari ke arahku untuk menunjukkan mainan barunya"Mirna!" sentaknya. Laki-laki itu menepuk kedua tangannya tepat di depan wajahku."Heh ... biasa aja gitu kenapa. Pasti kamu syok kan aku terima perjodohan kita?""What? Kamu ngigo ya? Udah sana pulang! Aku capai, mau istirahat!" usirku."Catat baik-baik, Mir. Ini pertama dalam sejarah aku mau dijodohkan sama perempuan.""Jadi selama ini kamu seleranya laki-laki gitu?""Eh. Jangan sembarangan kalau ngomong. Ya ceweklah. Kamu nggak usah jual mahal gitu, kemarin kamu malu aja kan mau terima perjodohan kita.""Stop Ammar. Aku nggak mau dengar lagi ocehan kamu. Sekarang kamu pulang sana. Aku ini masih sah menjadi istri Bang Fahmi. Jadi nggak etis kalau ngomongin perjodohan. Belum tentu juga aku mau sama kamu!"Laki-laki itu mencibirku, lalu dia bangkit. "Kesempatan tidak datang dua kali.""
"Mam, num." Suara Faisal menghentikan aktivitasku. Aku seka sudut mataku yang sudah berembun. Kenapa ini mata tidak bisa diajak kompromi baramg sebentar. Baru lihat begini sajanudah cengeng, rutukku"Iya, Sayang." Aku lantas beranjak menuju dapur untuk mengambilkan air putih untuk Faisal."Sudah makanan, Dek?" tanyaku. Bocah dua tahun itu mengangkat piringnya yang sudah kosong."Kalau sudah, kita berangkat ya." Aku usap kepalanya. Selanjutnya aku bopong tubuh Faisal dan mendudukkannya di car seat. Lantas aku ambil tas yang sudah aku siapkan tadi.Setelah memastikan kompor tidak menyala dan juga jendela dan pintu sudah terkunci, aku langsung masuk ke dalam mobil. Terkadang aku masih suka ceroboh, meninggalkan kompor masih dalam keadaan menyala. Bahkan kemairn pernah aku sedang menghangat sop, kemudian aku tinggal untuk menidurkan anak-anak di kamar dan tak terasa aku tertidur.Saat aku terbangun, panci yang aku pakai memanaskan sop sudah hitam. Air sop sudah menguap tak tersisa. Isi da