"Kau ambil alih selubung ini Wira. Gabungkan energimu dengan Agnimaya. Pertahankan selubung ini sampai aku selesai.""Apa yang akan kau lakukan, Nay?" tanya Agni. "Lihat saja nanti." Nay menyentuhkan telapak tangannya pada punggung Wira. Meneruskan selubung energi padanya. Sejurus kemudian telapak tangan Wira dan Agnimaya telah bersatu. Nay bersimpuh. Tangannya meraba tanah. Dia sedang membaca banyak energi pohon-pohon di Rimba Arana. Dia ingin mengunci mereka ke dasar bumi agar Palaka tidak bisa membuat mereka tercerabut dari tanah. Tangan kiri Nay mengirimkan energi ke dalam tanah. Menyebarkannya ke seluruh rimba. Saling bertalian mengikat akar-akar pohon di sana. Dengan satu mantra pengunci mereka akan tetap tertancap di tanah. Palaka yang sedang sibuk melakukan serangan tidak lagi sempat memperhatikan gerak-gerik Nay. "Kalian berdua bersiaplah melepaskan selubung ini. Aku akan melepaskan energi penuh untuk menghancurkan batang-batang pohon ini. Melesatlah ke udara secepat yang
Agnimaya merubah bentuknya menjadi naga, begitupun teman-temannya kembali ke bentuk samaran. Agnimaya melingkar di atas batu besar tak jauh dari tubuh Palaka yang sudah tidak bernyawa. "Agnimaya." Salah satu dari makhluk yang datang menyapa. "Cendra Dewi ... lama tidak berjumpa. Hormatku untukmu." Agnimaya membungkukkan tubuhnya. Makhluk cantik itu tersenyum membalas penghormatan Agni.Mereka berbincang-bincang dengan bahasa yang tidak Nay mengerti. Mata Wira tidak berkedip melihat makhluk cantik yang disebut Agni dengan nama Cendra Dewi itu. Bagaimana tidak, matanya yang membulat bening dengan dagu yang runcing begitu sempurna membuat mata tak ingin berpaling.Di punggungnya terdapat sayap kupu-kupu berwarna hijau bergradasi dengan corak hitam dan kuning yang terlihat serasi dan menawan, dengan sepasang kakinya yang jenjang. Sungguh perempuan cantik yang sedap dipandang. "Cantik ya, Wira?" Nay sengaja menggoda Wira. "Nanti aku tanyakan apakah dia masih jomlo. Jarang-jarang kita ke
"Maaf bila mengganggu kalian. Aku hanya mampir sebentar. Di luar hujan." Tidak ada jawaban. Semua hening. Sepertinya mereka tidak berani mendekat. "Nayara." Akhirnya satu dari mereka bersuara."Iya, aku. Kalian mengenalku?""Tentu. Makhluk seperti kami banyak yang pernah bersinggungan denganmu, dan itu menyebar dari mulut ke mulut." Perempuan berambut panjang tergerai melayang mendekati Nay. "Semoga kedatanganmu ke sini bukan untuk mengusir kami," sambungnya lagi. "Sudah kukatakan tadi, aku hanya mampir." Nay melangkah ke ruang tengah. "Lumayan besar juga tempat ini. Aku mau lihat-lihat saja. Sepertinya ada sesuatu di sini dan aku ingin tahu. Oh iya nama kamu siapa?" tanya Nay pada perempuan yang membuntutinya. "Aku Sarah. Sudah lama di sini, bahkan sebelum rumah ini ada." "Oh, begitu." Nay membalas singkat. Kakinya terus melangkah sampai pada ruang paling belakang rumah itu. Nay merasakan ada energi yang berbeda di sudut dapur. "Jangan ke sana!" Sarah setengah berteriak mencega
Tanpa membuang waktu mahluk itu menyerang Nay dengan menghunuskan tombaknya. Gerakan makhluk itu sudah terbaca oleh Nay. Dia bisa menghindar dengan cepat. Nay meraih batu seukuran tangannya yang banyak tergeletak di sekitar kubangan. Kini dua telapak tangan Nay mencengkram lempengan batu. Ujung tombak pasti tidak bisa menembusnya. Satu serangan kembali dilakukan, lebih tinggi dari serangan pertama. Ke arah kepala Nay. Dengan perhitungan kecepatan yang tepat mata tombak berhasil Nay patahkan. Dua tangan Nay dengan lempeng batu keras menangkap ujungnya dan saling berbenturan. Bukan hanya tombak yang patah, kedua lempeng pada tangan Nay juga terbelah. Dia membenturkannya sekuat tenaga. Sekarang posisi mereka sama. Tanpa senjata. "Tidak semudah itu bukan?" Kepercayaan diri Nay telah kembali. "Ahhh, jangan banyak bicara!" Sebuah tendangan lurus mendatar mendarat tepat di perut Nay. Namun kedua telapak tangan Nay masih sempat menghalaunya. Dengan kuda-kuda yang kokoh. Tubuh Nay tidak b
"Bagaimana kalau Wira dan Gantari serta orang-orang yang kau cintai semua meninggalkanmu?""Setiap ada yang datang pasti akan ada yang pergi. Aku pasti akan sedih. Menangis berhari-hari mungkin. Tidak mengapa. Seperti kata Bu Mien, tidak perlu takut sendiri, nanti mati pun kita sendiri.""Kau terlalu percaya diri, Nay!""Bukankah ini tujuanmu membawaku ke sini? Agar aku percaya pada diriku sendiri. Tidak harus selalu bergantung pada orang lain. Iya, kan?"Perempuan itu tidak menjawab. Dinding labirin yang mengelilingi Nay perlahan menghilang. Kini dia telah berdiri di tempat semula. Tangga ke bawah kini terarah ke atas. Nay mendongak. Terlihat sebuah portal untuk kembali. Nay tidak buru-buru menaiki tangganya. Dia masih penasaran siapa perempuan di balik suara-suara itu. "Sudah selesai kah ini?" tanya Nay dengan suara lantang. "Sudah, Nay." Suara perempuan itu terdengar dari belakangnya. Dia menoleh lalu mendekat memandangi perempuan itu. "Kenapa? Kau melihat apa?""Kau adalah dirik
Wira mendudukkan Nay pada batu itu. Membetulkan posisinya agar tubuh Nay tetap tegak. Dia duduk mengambang di depan Nay. Menahan tubuhnya seperti yang dilakukannya tadi. "Bertahanlah, Nay." Wira membetulkan rambut Nay yang berantakan. Mata Nay terus terpejam. Tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Tubuhnya tidak bergerak sama sekali. Raja Affandra duduk mengambang dengan posisi bersila. Dia memperhatikan luka mengangga di punggung Nay, kemmudian menyentuhnya. Terlihat mulutnya merapal sesuatu. Sepertinya ia sedang membuat suatu energi. "Bagaimana batu Astramaya bisa mengenai, Nay?" tanya raja Affandra pada Wira."Nay terhisap ke sebuah portal dimensi lain. Kami tidak bisa berkomunikasi dengannya. Jadi kami tidak tahu hal apa yang terjadi di sana.""Lalika," ucap raja Affandra pelan."Apakah yang Mulia mengenalnya? Nay sempat menyebut namanya tadi," tanya Wira. "Dimensi mimpi. Lalika membawanya ke sana. Sepertinya dia sengaja melakukan ini agar Nay tahu seperti apa hebatnya ba
Saat memasuki toko tidak ada yang aneh. Wajar selayaknya sebuah toko dengan aktivitas jual beli pada umumnya. Mungkin kabar burung itu hanya sekedar berita yang dibesar-besarkan. Pak Rahmat membawa Nay ke belakang toko. Di sana ada sebuah rumah yang cukup besar dengan desain minimalis yang cukup apik. Warna abu-abu mendominasi rumah itu. “Ini rumah yang mau direnovasi.” Pak Rahmat menunjuk rumah di depan mereka. “Mumpung yang ngontrak baru saja pindah. Saya mau bikin tampak depan yang berbeda dari ini. Lantai rumah dan susunan ruang juga mau saya rubah. Supaya kelihatan beda saja.”“Padahal ini sudah bagus loh, Pak,” sahut Nay. “Tidak apa, saya suka dengan suasana baru. Ini kuncinya. Tidak apa ya saya tinggal. Nanti pegawai saya menyusul ke sini menemani, Mbak Nay.” “Gak apa, Pak. Saya berani sendiri kok. Nanti kalau saya sudah selesai saya kembalikan ke Bapak kuncinya.” Nay, memasukkan kunci rumah itu ke dalam tas selempangnya. “Baiklah, kalau ada apa-apa langsung telepon saya.
Siapa dia?” Pak Rahmat berusaha menutupi keterkejutannya. “Saya tidak pernah mendengar perempuan baju merah.” “Kok, Bapak tahu si baju merah itu perempuan. Tadi saya tidak menyebutnya.”Pak Rahmat terjebak dengan kalimatnya sendiri. “Kata orang-orang sini memang perempuan. Saya sendiri belum pernah melihatnya.” Dia mencoba berkilah. “Banyak orang di luar sana menjadikan Bapak sebagai panutan. Kedermawanan Bapak sudah sangat melekat di hati masyarakat. Kalau mereka tahu tentang ini. Karir Bapak akan hancur. Hukuman sosial itu berat, Pak.”“Saya tidak mengerti apa yang kamu maksudkan.” Pak Rahmat masih berpura-pura pada Nay. “Sudahlah, Pak. Berhenti bersikap seolah saya tidak tahu. Tidak perlu saya jabarkan semua di hadapan Bapak, bukan?”“Jangan sembarangan kalau bicara! Saya panggil satpam!” gertak Pak Rahmat.“Kalau Bapak bersikap kasar bisa saja kebusukan Bapak saya bongkar. Saya akan keluar sendiri, tidak perlu panggil satpam. Saya sudah menghafal di mana pintu keluar. Satu saj