Share

2. Tak mau dimadu

2. Tak mau dimadu

Madu? Apa Mas Bian mengutarakan tentang keinginannya untuk menikahi Luna tanpa menceraikan aku? Mustahil, melihat Luna yang begitu tak sabar bahkan mampu mengatur jalannya persidangan agar cepat selesai maka sudah sangat jelas, jika menunggu proses persidangan saja dia sudah tak sabar, mana mungkin dia mau berbagi.

Aku pun sama, lebih baik berpisah dari pada harus dimadu. Terlebih, madu dari suamiku adalah Luna, wanita cantik, masih perawan, berkarier sangat bagus, setia menunggu Mas Bian, dan tidak menjalin hubungan dengan laki-laki lain. Sampai ayah yang menentang hubungan mereka meninggal pun Luna masih menyendiri sampai akhirnya mereka kembali bersama, sungguh pengorbanan yang sangat luar biasa menurutku. Mungkin itu juga yang membuat Mas Bian semakin mencintainya, kesetiaan Luna teramat besar.

Dari pengamatanku selama ini, cinta mereka terulang saat Mas Bian mendapat tawaran di perusahaan lain untuk menggantikan kepala divisi. Aku dengar mereka berada di bawah naungan perusahaan yang sama, hanya saja berbeda cabang. Tapi saling berhubungan dan akhirnya terjadilah hubungan gelap dan puncaknya adalah dua Minggu yang lalu. Setelah acara tujuh bulan kehamilanku, Mas Bian dengan lugas mengutarakan keinginan untuk kembali pada Luna.

Aku menghela napas, mengusap rambut Mas Bian yang tiba-tiba tidur di pangkuanku. "Mas akan lebih pusing kalau punya dua istri," candaku, entah, dari mana aku mendapat kekuatan sebesar ini. Tetap tenang meski hatiku gundah.

"Aku tau, kamu pasti sangat terluka, Nye. Tapi kamu menutupi. Seandainya, aku bisa sepertimu, menutupi cintaku pada Luna dan bertahan bersamamu."

"Untuk apa bersama jika akhirnya akan ada luka, luka yang hanya menunggu waktu saja untuk datang karena sang empunya memaksakan hal yang tidak mungkin. Mas, juga sudah banyak berkorban untuk orang lain, bukan? Mungkin sudah saatnya memikirkan diri sendiri," ucapku seolah akulah wanita yang paling kuat meski sejujurnya di dalam sana aku rapuh dan hancur.

Namun, menjaga martabat dan harga diri juga penting. Lebih baik mundur dari pada harus memohon dan mengemis cinta. Biarlah kusimpan luka bersamaan kusimpan rasa cinta yang teramat dalam ini sendiri. Tak perlu ada yang tahu, karena cintaku hanya milikku dan cintanya hanya milik Luna. Menyedihkan, tapi akan lebih menyedihkan jika aku memperjuangkan sesuatu yang sudah jelas siapa pemenangnya.

Pembicaraan kami terhenti saat kulihat ponsel Mas Bian yang diletakkan di atas ranjang berpendar. Sempat aku melihat nama Luna di sana sebelum akhirnya ponsel itu mati kemudian berpendar kembali dengan nama yang sama, hatiku pun berdenyut sakit. "Mas, ada yang menghubungi. Anye bantu Mama siapkan makan malam dulu." Mas Bian beranjak, begitu juga denganku. Aku memutuskan untuk segera meninggalkan kamar ini.

Kulihat Mas Bian tak lantas mengangkat dan membiarkan saja telepon itu, sampai aku keluar dari pintu barulah kudengar ia mengangkatnya. Mungkin dia sedang berusaha menjaga perasaanku.

"Halo, Lun, ada apa?"

"Besok? Iya, Sayang aku akan mengantarmu sepulang kerja."

Masih terdengar suara lembut suamiku yang memberi janji pada wanitanya bahwa besok akan bersama padahal besok adalah jadwal rutin periksa kehamilan.

Kupercepat langkah agar tak lagi mendengar perbincangan yang membuat hatiku semakin meronta.

Langkahku kembali terhenti, saat kulihat Mama sedang di dapur menghangatkan makanan yang dibawanya dari rumah. Kuusap air mata yang tak sengaja terjatuh saat kutinggalkan kamar tadi, kemudian mengatur napas yang sempat sesak akibat luka yang baru saja ditorehkan Mas Bian. Panggilan sayang begitu ringan ia ucapkan untuk Luna disaat aku terluka dalam.

"Eh, Nye. Udah selesai sholatnya?" tanya Mama menoleh sejenak ke arahku lalu kembali pada makanan yang terlihat sudah mengepul di atas kompor.

"Udah, Ma. Ada yang bisa Anye bantu?" tanyaku menghampiri.

"Udah, Nye. Mama sudah menyiapkan semuanya untuk makan malam."

"Ya sudah. Anye siapkan piringnya dulu." Tiba-tiba Mama menahan tanganku saat aku hendak mengambil piring.

"Apa Bian melukaimu lagi, Nye?"

"Apa maksud Mama? Nggak kok, Ma."

"Jangan berbohong, Nye. Mama sudah sangat mengenalmu meski baru beberapa bulan menjadi menantu mama, tapi mama sudah hafal betul. Kamu habis nangis, kan?" desak Mama menatapku tajam.

Kutundukkan wajahku. "Anye hanya manusia biasa, Ma ...." Air mataku pun kembali luruh di hadapan Mama yang terus mendesakku untuk jujur.

"Ya Allah, Nye. Maafkan anak mama. Mama tau kamu pasti sangat terluka, Nak." Mama membawaku ke dalam pelukannya. Tangisku pun semakin pecah, membayangkan apa yang terjadi di dalam sana, Mas Bian sedang bermesraan dengan Luna, mengeluarkan kata-kata lembut dan mesra, sedangkan aku di sini lagi-lagi harus terluka. Tak bisa lagi aku berkata, hanya bisa memeluk erat mama yang selama ini menggantikan ibu yang tinggal berjauhan dariku.

"Mama, sudah gagal sebagi orang tua. Biantara sudah ingkar dan lalai. Mama malu padamu dan ibumu, sangat malu," kata Mama terguguk di pundakku.

Mendengar mama yang juga ikut mengeluarkan air mata, membuatku merasa bersalah. Tak seharusnya aku menunjukkan rasa sakit dan hancur di hadapannya.

Aku pun mengurai pelukan. "Anye hanya butuh waktu saja, Ma. Maaf." Kuhapus air mata mama yang mengalir deras di pipi.

"Lupakan semua, Ma. Kita makan malam, Papa dan Via pasti sudah menunggu."

"Nye, kenapa tidak meminta Bian untuk tetap di sisimu? Kenapa menerima keinginannya yang mungkin hanya sesaat dimabuk cinta dan akan sadar pada waktunya nanti?!" Kembali, Mama menahan tanganku yang ingin pergi.

Aku tersenyum sekilas lalu kuusap punggung tangannya. "Cinta mereka sangat besar, mereka berpisah bukan karena saling membenci atau sudah tidak cinta lagi. Tapi karena restu. Penghalang restu mereka kini sudah tiada. Terlalu berat untuk Anye jika harus melawannya seorang diri."

"Ada Mama, Papa, Via yang selalu bersama kamu, Nye."

"Anye bahagia sekali mendapat keluarga baru yang amat baik seperti kalian. Tapi Anye tau betul apa yang akan terjadi jika Anye tetap bertahan." Beberapa kali aku bertanya pada Mas Bian sebelum memasukkan gugatannya ke pengadilan. Namun jawabannya tetap sama, ia tidak bisa jika harus hidup tanpa Luna. Sempat pula aku bertanya, bagaimana denganku? Ia bergeming tak menjawab. Hanya hembusan napas berat saja yang menjadi jawabannya. Setelah cukup aku bertanya akhirnya aku pun memutuskan untuk menerima permintaannya. Berpisah.

Aku juga mengajukan syarat untuk bertemu dengan Luna beberapa hari setelah Mas Bian mengutarakan keinginan pisah itu. Mas Bian pun mengabulkan meski tak langsung meng iyakan dan menunggu beberapa hari baru lah ia menyetujui. Kami pun akhirnya bertemu, bertiga. Di sebuah restoran kami bertemu, awalanya kami saling diam sebelum aku membuka pertanyaan.

Hal yang aku tanyakan saat itu adalah sejak kapan mereka berhubungan? Mereka menjawab beberapa bulan setelah aku dan Mas Bian menikah, tepat saat Mas Bian pindah ke tempat kerjanya yang baru. Pertanyaan kedua adalah sejauh mana hubungan mereka, sekedar berkencan, ciuman, atau bahkan sudah tidur bersama. Mas Bian sempat marah saat aku melontarkan pertanyaan itu. Namun, akhirnya Mas Bian hanya menjawab, maaf aku sudah mengkhianati pernikahan kita. Entah, apa maksud dari jawaban itu, yang pasti meski jawaban yang diberikan masih harus aku raba, aku tetap saja merasakan kehancuran saat itu.

Sejak saat itulah aku melawan rasa sakitku. Jujur, aku sudah mencium bau penghianatan beberapa bulan terakhir, tepatnya ketika Mas Bian menyebut nama Luna di tengah tidurnya, tak hanya sekali, namun beberapa kali. Bahkan pernah mengucap 'Aku mencintaimu, Luna' saat matanya terpejam sempurna. Tak ada keberanian untuk bertanya kala itu, karena aku merasa tidak punya hak atas Mas Bian yang menikahi aku demi status hukum anakku. Walau aku sempat merasa kacau dan frustasi kala itu, namun aku memilih untuk menyembunyikannya dan menahannya sedemikian rupa.

"Mama mohon, Nye. Mama tidak ingin ada perceraian."

"Bukan Anye yang menginginkan perceraian, Ma. Tapi Mas Bian. Anye tau, Anye bukan tandingan Luna. Wanita yang sudah ternoda itu cacat dan akan seperti itu selamanya." Kulepaskan tangan Mama dari tanganku. Lelah, aku sudah lelah dengan permainan hati yang hanya akan membuat lukaku semakin parah.

"Nye ...."

"Anye ...." lirih Mas Bian, aku terkejut saat berbalik dan dia sudah berdiri dia ambang pintu.

"Mas, mau minum?" tanyaku melihat tangan Mas Bian yang membawa gelas kosong. Segera kuhampiri dan kuambil gelas dari tangannya, kemudian kutuang air ke dalamnya. Sebisa mungkin aku bersikap tidak terjadi apa-apa dan baik-baik saja.

"Bian, Anyelir. Mama tunggu di meja makan." Mama membawa makanan yang sudah dipanaskan dan meninggalkan kami di dapur.

"Nye."

"Mas mau minum di sini apa di meja makan?" Kuulurkan gelas yang sudah terisi penuh pada Mas Bian yang masih mematung.

"Nye, mas mau bicara, sebentar saja."

"Bicaranya nanti saja, nggak enak kalau Papa dan Mama nunggu lama." Kuberikan gelas itu ke tangan Mas Bian. Entah, hatiku rasanya masih enggan membahas masalah hati lagi. Untuk apa dibahas jika hasilnya tetap sama.

"Nye, Mas tidak pernah membandingkan kamu dengan Luna. Kalian sama-sama penting buat mas. Jangan membahas masa lalu. Berapa kali mas bilang, mas nggak suka kamu bahas masa lalu kamu. Lupakan! Anggap anak kamu itu anak mas. Jangan mengingat hal yang buruk," ucap Mas Bian saat aku sampai di ambang pintu, menghentikan langkahku dan membuatku tersenyum kecut. Anak? Apa dia lupa, bahkan sebelum anak ini lahir, dia sudah memilih meninggalkannya.

"Anak?! Anak ini bahkan sudah kehilangan ayahnya sebelum ia dilahirkan."

"Anye!" bentak Mas Bian, baru kali ini aku mendengar nada tinggi itu selama enam bulan kami bersama.

Tapi aku tak mengapa toh apa yang aku katakan benar adanya, tidak aku tambah atau kurang. Anak ini memang akan kehilangan sosok Mas Bian sebagai penanggung jawab yang begitu dipercaya oleh Ayah.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
yenyen
sedih banget
goodnovel comment avatar
Endang Subyowati
baru episode awal udah bikin baper nih , terimakasih thor ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status