Share

3. Keputusan

3. Keputusan

Tak kuhiraukan bentakan itu. Kutinggalkan saja Mas Bian sendirian di dapur. Lantas aku membaur bersama Mama, Papa, dan Via di meja makan.

"Mbak, sini, duduk. Kita makan," ajak Via begitu aku datang, menarik kursi yang ada di sebelahnya untukku. Aku pun duduk di sebelah Via, sedang Mama dan Papa di depan kami.

"Mana Bian?" tanya Mama seraya mengambil nasi untukku.

"Ada di dapur."

"Bian!" teriak Papa memanggil Mas Bian tak sabar. Mungkin Papa sudah lapar.

"Iya." Mas Bian datang, masih dengan segelas air di tangannya. Melirik ke arahku sejenak kemudian beralih ke Papa dan Mama sebelum duduk di sebelahku.

Segera kusiapkan nasi di piring Mas Bian, seperti biasa, aku masih setia melayani semua kebutuhan dan keperluannya termasuk melayaninya saat makan, meski aku dan dia akan berpisah. Setidaknya, aku tidak meninggalkan bekas luka jika aku tahu benar, luka itu menyakitkan.

"Mau rendang atau soto, Mas?" tanyaku lembut, anggap saja tak ada apa-apa meski hatiku tidak baik-baik saja.

"Mas bisa ambil sendiri, Nye," tolak Mas Bian, mengambil sendok sayur dari tanganku, tampaknya dia masih marah atas ucapanku di dapur barusan.

"Bian!" sentak Papa.

"Nggak papa, Pa. Mungkin Mas Bian sedang melatih diri tanpa Anye. Lagi pula setelah ini Anyelir akan pulang ke rumah Ibu, jadi Mas Bian harus banyak-banyak latihan, kan dia akan di rumah ini sendiri sebelum pernikahannya dengan Luna," sindirku, cepat Mas Bian meletakkan sendok sayur itu kasar kemudian berdecak kesal.

"Bisa nggak, Nye, nggak bahas Luna! Dan kamu akan tetap tinggal bersamaku sampai anak ini lahir. Toh proses persidangan akan memakan waktu kurang lebih 6 bulan, kan?" sentak Mas Bian menatapku tajam. Dia tidak tahu, apa yang diharapkan dan dititahkan pujaan hatinya padaku tentang proses perceraian kami.

"Akan lebih baik kalau kalian tidak bercerai, Bian!" celetuk Mama.

"Ma ...."

"Ma, Mas, tidak baik berdebat di depan makanan. Lebih baik makan dulu," ucapku menengahi sebelum mereka beradu pendapat di meja makan dan masalah semakin runyam.

"Benar kata Anyelir. Makanlah dulu. Setelah itu Papa mau bicara di ruang tengah," sambung Papa membenarkan ucapanku.

Kami pun makan malam tanpa suara, hanya ada suara sendok dan piring menemani makan malam kami.

***

Seperti perintah Papa, kami berkumpul di ruang tengah, kecuali Via. Mama menyuruh Via untuk pulang ke rumah karena besok harus sekolah. Sedangkan Mama dan Papa rencananya akan menginap dan pulang besok pagi.

Aku dan Mas Bian duduk bersisian di sofa ruang keluarga, sedang Mama dan Papa duduk di depan kami.

Tak lama kemudian Papa pun membuka suara.

"Kalian pasti tahu, apa yang mau Papa tanyakan dan sampaikan. Kalian sudah dewasa. Bian, Papa tahu perceraian ini atas keinginanmu, kamu sudah curang terhadap Anyelir. Kamu bermain api dengan wanita lain. Papa harap kamu sadar dan kembali pada istrimu."

"Papa, Luna bukan wanita lain, Papa tau pasti siapa Luna." Dengan entengnya Mas Bian membela Luna di hadapanku, sadarkah dia bahwa dia telah menyakitiku?

"Papa tahu, tapi yang paling benar sekarang, Anyelir lah istrimu, dia yang lebih penting dibanding apapun. Masih ingatkah kamu, bagaimana kamu memohon untuk menikah dengan Anyelir? Apa kamu lupa?"

"Papa tahu pasti alasannya."

"Kalau begitu kembalikan rumah dan uang Anyelir, Bian!" sambung Mama.

"Ambil juga nyawa Papa, karena Anyelir lah yang menyelamatkannya. Uangnya lah yang menyelamatkan Papa, untuk pengobatan Papa!"

"Oke, Bian akan mengembalikan uang Anyelir."

"Hah, sombong sekali kamu Bian! Apa karena posisi kamu sudah bagus sekarang? Sehingga kamu meremehkan Anyelir?!" Papa bertanya dengan meninggikan suara. Mas Bian hanya melirik sekilas ke arahku lalu menundukkan wajahnya, diam tak menjawab.

"Cukup, Mas, Ma, Pa. Bisakah tidak membahas uang di hadapanku?"

"Nye." Mas Bian meraih tanganku, menggenggamnya erat. Aku pun menepisnya.

"Cukup, Mas. Mas Bian sudah menjalankan janjinya, jika pada akhirnya di tengah jalan Mas Bian terlena, itu semua di luar kendali, kan. Tidak perlu mengembalikan uang, mengembalikannya berarti sama saja menginjak-injak harga diriku yang sudah jatuh untuk kesekian kalinya. Lupakan masalah uang."

Uang? Tidak bisakah mereka meraba betapa sakitnya hatiku? Mengapa harus membahas perkara uang di hadapanku? Rasanya aku sungguh tidak berharga, seolah mereka menekankan bahwa aku dinikahi karena uang. Terjawab sudah pertanyaanku. Rupanya Mas Bian membutuhkan uang saat itu untuk menyelamatkan rumah dan biaya pengobatan Papa.

"Sudah kubilang, Ma, Pa, membahas masalah ini hanya akan membuat hati Anyelir semakin sakit! Biarlah masalah ini Bian sendiri yang menyelesaikan!" bentak Mas Bian. Air mataku pun luruh seketika.

"Nye, maafkan Mama ya, Sayang. Mama sama sekali tidak ada niatan untuk itu. Mama hanya ingin membuka mata Bian, agar sadar akan kesalahannya selama ini," ucap Mama dengan wajah penuh penyesalan. Ya, sebetulnya aku tau maksud Mama baik, hanya saja hatiku ini sudah terlalu sakit sehingga sedikit saja kata-kata tidak mengenakkan di telinga kudengar, bisa berdampak besar.

"Bian, pikirkan kembali keputusanmu sebelum kamu menyesal. Apa kurangnya Anyelir? Cantik, baik, dan selalu taat padamu," ucap Mama beralih pada Mas Bian.

"Nggak usah membahasnya, Anyelir ... tidak mau dimadu!" terang Mas Bian.

"Apa, Mas? Kamu mau menikah denganku tanpa meninggalkan Anyelir?" Tiba-tiba Luna masuk tanpa salam atau permisi. Sama dengan Luna, kami pun terkejut dengan penuturan Mas Bian. Aku kira dia tidak serius dengan celotehnya sehabis maghrib tadi.

"Luna?" Mas Bian beranjak dari sebelahku menghampiri pujaan hatinya. Entah, apa yang dilakukannya di sini. Aku hanya bisa diam, seolah sedang melihat drama romantis, di hadapanku, Mas Bian berusaha menenangkan Luna yang terlihat begitu marah oleh ucapan Mas Bian.

"Jadi wanita seperti ini yang kamu harapkan menggantikan Anyelir, Bian? Pantas saja, masuk ke dalam rumah saja tanpa salam atau permisi makanya mudah sekali baginya masuk ke dalam rumah tangga orang tanpa permisi." Sindiran pedas Mama begitu tajam terlontar untuk Luna. Membuat Mas Bian terlihat sangat marah.

"Ma, Luna tidak seperti itu. Luna kesini juga untuk mengambil dokumen," bela Mas Bian.

"Tidak ada wanita baik yang mau merusak rumah tangga orang lain, Bian. Mereka lebih terhormat jika mengubur dan memendam rasa cinta pada suami orang, dari pada merebutnya!" terang Mama begitu penuh penekanan.

"Aku cinta sama Luna, Ma. Aku hanya mencintai Luna."

"Benarkah? Tidak kah ada rasa untuk Anyelir? Mama nggak yakin, Bian!"

Mas Bian bergeming, aku semakin sesak melihat suamiku yang dengan sigapnya melindungi wanita lain di hadapanku. Menyatakan cinta seolah aku tidak bukanlah siapa-siapa.

"Mas Bian sudah melamar dan meminta saya pada Mama, Tante!" seloroh Luna.

Degh! Degh! Degh! Jantungku berdebar begitu hebat mendengar penuturan dari Luna yang amat mencengangkan. Jadi, sudah sejauh ini Mas Bian bermain di belakangku? Melamar wanita lain pada ibunya saat masih berstatus menjadi suamiku? Tidak sabarkah dia menunggu sampai sidang perceraian? Inikah jawaban dari pertanyaan yang masih aku raba selama ini? Sakit, sangat sakit rasanya menerima kenyataan yang baru saja aku dengar.

"Benar, Bian?!" bentak Papa.

Mas Bian masih bergeming, kediamannya itu sudah cukup menjadi jawaban atas pertanyaan Papa.

"Keterlaluan kamu! Plak!" Tamparan Papa akhirnya jatuh di pipi Mas Bian yang masih saja mematung atas pertanyaan Papa.

Aku beranjak, tak tahan rasanya jika harus terus berada di sana, mual, bahkan rasanya ingin muntah saja mendengar pengakuan Luna.

"Anye permisi. Anye capek, mau istirahat."

"Nye, Anye. Mas bisa jelasin, Nye." Mas Bian menahanku untuk pergi dengan mencekal tangan yang sudah terasa sangat dingin ini.

"Mas!" Suara lantang Luna memanggil Mas Bian, aku tahu dia melarang Mas Bian untuk bersamaku.

"Sebentar, Lun. Aku antar Anyelir masuk dulu, ya."

Aku tersenyum getir. Tak bisa aku percaya, suamiku justru meminta ijin pada wanita lain meski hanya untuk mengantar aku, istrinya sendiri?

"Aku bisa sendiri, Mas. Mas selesaikan saja pekerjaan Mas dengan Luna." Kulepaskan tangannya dari tanganku. Sudah cukup aku menyaksikan hal yang membuat aku semakin sakit dan hancur. Cepat aku melangkah memasuki kamar dengan terus mengucap istighfar, agar amarahku bisa tertahan dan tidak keluar. Aku harus tetap tenang, tetap menjaga harga diri. Sebagai wanita aku sudah terinjak-injak oleh perbuatan mereka, tak mau lagi semakin jatuh dengan marah yang tak akan ada gunanya, karena hanya akan membuatku semakin terlihat tidak berharga, memepertahankan lelaki yang sudah tidak ada keinginan untuk untuk membersamaiku.

Kututup pintu, Air mata pun kembali harus jatuh, lagi-lagi aku harus menelan pahitnya kenyataan bahwa suamiku sudah sangat jauh bertindak, melamar wanita lain di belakangku. Kupegang dada yang terasa sesak, sesak yang teramat menyiksa.

Dengan sempoyongan aku meraih bibir ranjang lantas duduk di sana r dengan air mata yang terus menganak sungai. Aku sakit, hatiku perih, berharap dengan menangis aku bisa lebih lega.

Kuraih benda pipih persegi panjang yang kuletakkan di atas nakas, sudah saatnya aku mengambil keputusan.

Kucari kontak Ibu, kemudian kutekan tombol hijau.

"Halo, assalamualaikum, Sayang," jawab Ibu dari seberang sana, dengan penuh kelembutan.

"Waalaikumsalam, Bu. Bu, apa Anye boleh ke rumah Ibu? Kapan Pak Tarjo bisa menjemput Anye?" tanyaku, sebisa mungkin aku tahan agar suaraku tidak bergetar.

"Ke rumah Ibu?"

"Anye lelah, Bu. Anye sudah lelah." Aku tergugu, tak bisa lagi menahan, penat sudah aku rasakan.

"Anye, sudah, Nduk. Kalau tidak kuat, menyerah tidak apa-apa. Jangan terlalu stress, ingat, kamu itu sedang mengandung. Ini rumah kamu, Nduk. Pintu rumah ibu akan selalu terbuka untukmu, kamu anak ibu satu-satunya. Tapi jangan lupa minta ijin suamimu, biar bagaimana pun juga Bian masih berhak atas kamu, Nduk."

"Hem, apa Pak Tarjo senggang besok?"

"Kebetulan besok Pak Tarjo ada kiriman pesanan kue di dekat rumahmu, Nye." Sejak kepergian Ayah beberapa bulan yang lalu, toko kue yang dimiliki Ibu sebelum Ayah meninggal berkembang semakin pesat, tentu karena kerja keras Ibu. Ibu seorang yang pekerja keras, seharusnya uang pensiun Ayah sudah bisa mencukupi kebutuhan Ibu, namun Ibu tak mau berhenti bekerja. Kalau berhenti hanya akan teringat pada Ayah terus katanya. Ya, Ayah mengalami gagal jantung tiga bulan setelah aku dan Mas Bian menikah.

"Ya sudah, suruh Pak Tarjo mampir, menjemput Anye."

"Nye, apa Bian tidak mengantarmu?"

Aku terdiam, bagaimana mau mengantar jika besok saja dia sudah janji mengantar wanitanya.

"Mas Bian sedang sibuk akhir-akhir ini, Anye nggak mau mengganggunya," jawabku beralasan.

"Ya sudah, ibu kasih tau Pak Tarjo. Ingat ya, Nye. Jangan berkecil hati. Ibu selalu ada untukmu, Sayang."

Beberapa waktu yang lalu Ibu menghubungi, sebetulnya aku tidak memberi tahu tentang hal ini terlebih dahulu, namun Mama Lisa, besannya yang tak lain dan tak bukan adalah Mama Mas Bian terlebih dulu menghubungi Ibu dan memberi tahu Ibu tentang masalah kami.

Niat Mama Lisa mungkin ingin mencari solusi bersama, namun semua gagal karena Mas Bian sudah tergila-gila pada wanitanya. Tentu saja awalnya Ibu kaget, tapi lama-lama ibu menerima keputusanku.

"Iya, Bu. Assalamualaikum."

Setelah berbicara dengan Ibu, hatiku merasa lebih tenang. Tak peduli apa yang dilakukan dan terjadi di luar sana. Aku harus tenang, aku sadar menjaga kewarasan itu penting, aku pun membentangkan sajadah, menumpahkan segala keluh kesah di atas sajadah. Aku tahu kemana harus datang dan mengadu saat hati benar-benar dilanda nestapa.

Setelah semakin tenang, aku pun merebahkan tubuhku di ranjang dengan posisi miring. Miring tentu lebih nyaman bagi wanita hamil besar sepertiku. Mas Bian belum juga kembali setelah sekian lama, mungkin saja dia sedang membujuk dan merayu Luna yang merajuk.

Kucoba menutup mata dan telinga, berusaha mengistirahatkan pikiran, namun sulit, hati tak bisa berbohong. Meski ragaku ingin melupakan, akan tetapi hati dan pikiran tetap saja berkeliaran, memikirkan suamiku yang tengah bersama wanita lain.

Lamat-lamat kudengar suara langkah kaki dan pintu di buka perlahan. Segera aku memejamkan mata agar tak ada lagi pembahasan yang bisa saja akan membuat hatiku terkoyak lagi dan lagi

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status