Share

NODA
NODA
Penulis: Novita Sadewa

1. Ingin keduanya

1. Ingin keduanya.

[Nggak usah datang ke persidangan ya, Nye. Supaya proses persidangan lebih cepet]

Kubiarkan saja pesan dari Luna, kekasih Mas Bian yang sebentar lagi menggantikan posisiku sebagai istri Mas Bian itu, tapi kali ini berbeda. Jika aku dinikahi karena uang, dia dinikahi karena cinta.

[Nye?! Kok dibaca aja? Kenapa nggak bales?] Kembali Luna mengirimkan pesannya yang terlihat begitu tak sabaran melihat aku menjadi janda.

[Iya, Luna.]

Berat tangan ini walau hanya membalas dengan dua kata itu. Pesan dari Luna itu semakin membuat diri ini seolah tak berharga saja. Setelah sedemikian rupa dia datang dalam kehidupanku dan Mas Bian, dia juga mengatur jalannya perceraian kami, seolah hanya dia dan perasaannya saja yang penting, sedang perasaanku bak butiran debu yang tersapu angin. Tak berharga.

"Siapa, Nye?" tanya Mas Bian yang duduk di sebelahku. Saat ini kami sedang duduk di bangku belakang rumah, tempat biasa kami menghabiskan waktu sebelum maghrib menyapa.

"Ibu, Mas," jawabku yang tak mau membahas Luna disisa hariku bersama Mas Bian. Biantara Wisnu Wardana. Menikahiku dengan sah secara hukum dan agama enam bulan yang lalu.

Entah, apa yang ada dalam benaknya, hingga mau menikahi aku yang kotor ini. Masih teringat jelas dalam benakku, peristiwa kejam yang aku alami di waktu menjelang maghrib, di mana orang sedang sibuk melakukan ibadah, justru dia, orang yang sampai saat ini belum diketahui siapa dan dimana, malah melakukan hal keji padaku. Merampas kesucian yang amat sangat berharga bagi seorang wanita.

Saat itu aku sedang melakukan bimbingan skripsi bab 3 ku di kampus, hingga pukul 5 sore bimbingan baru selesai.

Aku bergegas menuju halte bis agar Ayah yang kala itu menjemputku tidak perlu masuk ke halaman kampus. Lama aku menunggu hingga suara adzan maghrib berkumandang, namun Ayah tak kunjung datang. Sampai akhirnya Ayah menghubungi dan mengatakan bahwa ban mobilnya pecah, harus diganti.

Aku pun memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kampus untuk beribadah maghrib sambil menunggu Ayah karena tempat ini juga sepi. Baru beberapa langkah aku melangkah sebuah tangan kokoh membekap mulut hingga aku tak sadar. Setelah itu aku tak tahu lagi apa yang terjadi.

Sesaat aku membuka mata dan saat itu pula aku sudah ada di rumah sakit. Terlihat Ayah dan Ibu menunggu dengan wajah menunduk lesu, tangan mereka saling berpegangan seolah saling menguatkan. Ada rasa sakit yang terasa perih pada salah satu bagian tubuhku, namun aku mengabaikannya, saat kulihat air mata di sudut mata Ayah dan Ibu yang menghambur ke pelukanku ketika melihatku sudah sadar.

Saat itu aku masih merasa semua baik-baik saja dan masih sempat melontarkan candaan pada kedua orang tersayangku itu saat mereka menangis tanpa sebab, yang aku tahu mereka menangis karena melihat aku terbaring sakit.

Dokter pun datang dan menyampaikan hasil visum yang menyatakan bahwa aku telah ternoda. Seketika tubuhku lemah tak berdaya, tulang-tulangku seolah patah seperti patahnya cita-cita dan masa depanku menjadi seorang dosen.

Ayah bekerja sama dengan polisi mencari siapa pelakunya setelah kejadian itu, namun beberapa minggu berlalu belum juga ada hasil. Aku kacau dan hancur kala itu, kuliah yang hanya tinggal menghitung hari pun aku tinggalkan begitu saja. Rasanya tak sanggup memperlihatkan wajah di hadapan orang-orang.

Kepedihan tak hanya berhenti di situ, satu bulan setelahnya aku dinyatakan positif hamil. Aku semakin hancur, begitu pula dengan Ayah dan Ibu.

Pada akhirnya, Ayah memutuskan untuk menggunakan seluruh tabungan selama menjadi pegawai negeri sipil bahkan menjual tanah warisan untuk mencari seorang pendamping bagiku, menikahiku agar janin yang ada di dalam kandunganku bisa mempunyai ayah secara hukum.

Setelah Ayah memutuskan untuk menghabiskan semua uang demi ada yang menikahiku, beliau juga memutuskan untuk menutup kasus yang menimpaku. Ayah tak mau menambah traumaku semakin dalam saat tahu siapa pelakunya. Biarlah semua berjalan seperti ini dan laki-laki bejat itu akan lebih baik tidak muncul di hadapan kami untuk selamanya.

Tak mudah mendapatkan lelaki yang mau menikah dengan orang yang sudah tidak suci, lama kami menanti, hingga akhirnya Mas Bian datang. Mas Bian adalah teman dari suami Mbak Mayang, kakak sepupuku. Ia datang dan menerima tawaran kami, serta berjanji akan menerima aku apa adanya.

Pertama aku melihatnya, dia adalah sosok yang tampan, dan terlihat dari keluarga berkecukupan. Namun, hingga detik ini aku tak tahu kenapa orang seperti Mas Bian mau menutupi aib keluargaku, padahal jika dilihat dari fisik seharusnya dia mampu mendapat yang lebih dariku.

Selama enam bulan pernikahan kami, meskipun tak ada kontak fisik diantara kami, Mas Bian memperlakukan aku dengan sangat sopan dan baik. Menganggap anakku sebagai anaknya sendiri. Bahkan, setiap malam rela memijat kakiku yang semakin hari terasa semakin berat dan pegal. Ya, kami sepakat untuk tidak berhubungan sampai anak ini lahir. Hingga akhirnya, dua minggu yang lalu, ia mengatakan ingin berpisah karena mencintai orang lain. Bukan mencintai, namun masih mencintai masa lalunya yang kandas terhalang oleh restu.

Apa kebaikannya selama ini, karena dia sudah bermain di belakangku? Hah ... entah, aku pun tak tahu.

"Ibu? Biasanya Ibu jarang mengirim pesan, Nye? Apa ada yang penting?"

"Nggak, Mas. Ibu memintaku untuk berkunjung, kangen katanya."

"Oh ... hai anak Papa. Sedang apa, Dek?" Mas Bian mendekatkan wajahnya di depan perutku yang sudah membesar seraya mengusapnya lembut. Benar-benar tak bisa kupercaya, seolah semua hanya mimpi, mimpi buruk saat aku mengingat bahwa sebentar lagi kami akan berpisah. Pria yang nyaris sempurna dan tak pernah meninggalkan kewajiban sebagai muslim ini, nyatanya masih bisa terlena oleh masa lalu.

"Apa dia rewel, Nye. Hari ini?" sambungnya tersenyum menatap lekat pada perutku.

Aku menggeleng. "Nggak, Mas." Singkat aku menjawab, rasanya sudah tak ada yang bisa aku katakan di hadapan lelakiku ini.

"Nye, maafkan mas, yang nggak bisa menahan diri dan perasaan mas pada Luna. Mas ...."

"Jangan menyalahkan diri sendiri, Mas. Lagi pula pernikahan ini sudah salah dari awal, kan? Tidak seharusnya, Mas Bian bertanggung jawab atas janin yang bukan ...."

"Nye! Sudah berapa kali mas bilang, anak ini sudah mas anggap sebagai anak mas sendiri. Setelah ijab kabul itu, bahkan sampai kita sudah tak lagi bersama nanti, anak itu tetap berhak atas diriku. Aku akan tetap menjadi papa untuknya, Nye!" ucap Mas Bian marah. Sifatnya yang begitu peduli dan menyayangi kami itulah yang membuatku tak butuh waktu lama untuk jatuh cinta dan tak rela melepasnya untuk wanita lain. Namun sayang, cintaku tak bersambut. Mas Bian hanya mencintai Luna dan hanya ada Luna di hatinya.

Tapi tak mengapa, aku harus tetap kuat meski hati ini remuk redam, aku harus tetap terlihat baik-baik saja, meski nyatanya luka itu sangat dalam.

"Mbak, Mas, duh, tambah mesra aja." Via, adik Mas Bian yang centil itu tiba-tiba datang dengan menepuk pundak kami, Via berhasil membuat kami terkejut dan terlonjat kaget.

"Via! Anyelir lagi hamil, kalau sampai jatuh karena kaget gimana?" sungut Mas Bian pada adik satu-satunya itu.

"He he, maaf, Mas."

"Sadar juga kalau istri lagi hamil," sambung Via, lirih, namun terlihat begitu jelas lirikan tajam ke arah Mas Bian.

"Sama siapa kesini?" tanya Mas Bian mencubit hidung Via. Mereka memang sangat dekat, Via yang masih duduk di bangku SMA memang berjarak jauh usiannya dengan Mas Bian yang sudah menginjak 28 tahun.

"Nganterin Mama sama Papa, Mas."

"Naik apa?"

"Mobil."

"Sudah mas bilang, kamu belum cukup umur, jangan naik mobil."

"Ya, mau gimana lagi. Kakakku sedang sibuk dengan selingkuhannya, sih," ceplos Via. Nampaknya Via sudah tau masalah kami juga.

"Via!" bentak Mas Bian.

"Mas! Sudah. Via, ayo masuk. Mbak mau ketemu Mama sama Papa," ucapku, sebelum mereka bertengkar dan masalah semakin runyam.

Kugandeng Via masuk ke dalam rumah dan kutinggalkan Mas Bian yang masih mematung. "Bagaimana sekolahnya, Via?" tanyaku mengalihkan pembicaraan saat kulihat Via masih melirik kesal ke arah Mas Bian.

"Aman, Mbak. Mbak sendiri, sehat, kan? Keponakanku rewel nggak?"

"Nggak, Via."

Via, gadis manis itu memang yang paling berani pada Mas Bian. Meski masih muda, namun Via mampu menempatkan diri. Buktinya, dia tau bahwa anak yang aku kandung ini bukanlah anak dari kakaknya, tapi dia tetap menganggap bahwa anak ini keponakannya. Keluarga ini sungguh baik padaku.

Kami masuk dan segera menemui Mama yang sudah duduk di ruang tamu bersama Papa. Kukecup punggung tangan mereka bergantian. "Ma, Pa," sapaku tersenyum, Mama memelukku dan mengusap lembut punggungku.

"Sehat, Nye?" tanya Mama mertuaku tersenyum ramah, tangannya mengusap perut yang hanya tinggal menghitung beberapa bulan untuk lahiran.

"Alhamdulillah, Ma. Mama sama Papa sehat juga?"

"Sehat, Nye. Cuma akhir-akhir ini darah tinggi Papa sering kambuh. Gara-gara mikir suamimu yang tidak tahu diri itu," sahut Papa dengan nada sebal. Papa pernah terkena stroke dan bisa sembuh setelah melalui pengobatan yang cukup panjang. Namun, setelah itu beliau tidak banyak beraktifitas, bahkan untuk mengendarai mobil saja Mama melarang demi keselamatan semua karena tangan Papa sering kram dan kaku mendadak.

Aku hanya bisa tersenyum simpul mendengar penuturan Papa.

"Nye, Mama bawain soto daging. Via bilang kamu mau makan soto. Tinggal diangetin aja, Nye. Mama juga bawa rendang buat Bian," kata Mama menunjuk pada rantang dan tas yang ada di meja.

"Ya ampun, Ma. Harusnya nggak perlu repot-repot."

"Nggak repot kok, Nye. Mama seneng kalau bisa ngurus kamu di kehamilan kamu, Nye." Mama Lisa namanya. Beliau memang hanya seorang ibu mertua, namun kasih sayangnya sama seperti kasih sayang Ibu padaku. Apa nanti saat aku dan Mas Bian berpisah, aku bisa mendapat mertua seperti beliau? Ah, Anye, mikir apa. Siapa yang mau menikah sama seorang Anyelir coba?

"Di mana Bian, Nye?" Mama bertanya seraya mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan, membuyarkan semua anganku tentang Mama mertua.

"Aku di sini, Ma." Mas Bian datang dari belakang bersamaan dengan berkumandangnya adzan maghrib. Menghampiri kami dan mengecup punggung tangan kedua orang tuanya.

"Nye, Bian. Kita Sholat maghrib dulu, setelah itu Mama sama Papa mau bicara," kata Mama serius. Aku bisa meraba apa yang akan mereka bahas. Pasti tidak jauh dari masalah rumah tanggaku dan Mas Bian yang sudah tidak bisa lagi dipertahankan.

Aku pun bergegas menuju kamar, menjalankan sholat maghrib dengan Mas Bian. Tenang, hati ini rasanya nyaman tiap kali menjalankan ibadah bersamanya. Tapi sepertinya aku harus membuang jauh-jauh rasa nyaman itu sebelum semua berubah menjadi rasa sakit karena kami harus perpisahan dan rasa nyaman itu semakin besar, bisa dibayangkan seperti apa akibatnya jika aku terus memupuk rasa nyaman ini.

Usai sholat kami jalankan, laki-laki yang ada di hadapanku ini pun tak pernah berubah, meski keinginannya untuk berpisah sudah bulat, ia tetap melantunkan surat Yusuf untuk anak yang ada di dalam kandunganku, yang diperkirakan berjenis kelamin laki-laki. Apa yang ia lakukan semakin membuatku berat untuk melepasnya. Namun apalah daya, hati akan selalu menjadi pemenang. Luna, beruntung sekali wanita itu bisa mendapatkan hati Mas Bian.

Sesaat aku menatap nanar lelaki yang masih setia melantunkan surat Yusuf. Entah, apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. Seharusnya tak perlu berbuat baik sedemikian rupa jika ingin berpisah. Hatiku terluka, hatiku basah, mata pun memanas.

Segera aku beranjak agar air mata tak jatuh di depan laki-laki yang sudah memantapkan hati pada wanita lain. Dia yang sudah mantap untuk meninggalkanku.

"Nye," panggil Mas Bian saat aku berbalik dan hendak melangkah meninggalkan kamar.

Cepat aku menghapus air mata yang masih menggenang, kemudian kutarik napas dalam agar suaraku tidak bergetar. "Ya, Mas."

"Kemarilah, duduklah." Sekuat tenaga aku berbalik, Mas Bian sudah duduk bersila dan mengahadap ke arahku, bergeser sedikit lalu mengulurkan tangannya membantuku untuk duduk. Dengan kondisi perut sebesar ini memang lebih sulit jika harus duduk di bawah.

Kami pun duduk bersama, di atas sajadah yang sama, yaitu milik Mas Bian.

"Nye, maafkan mas, ya. Kamu dan anak ini juga sangat penting untuk Mas, tapi ...."

"Perasaan Mas jauh lebih penting. Sudah cukup Mas mengorbankan perasaan demi menutupi aibku. Insyaallah, Anye ikhlas," sergahku. Hatiku basah, getaran di dalam dada pun semakin hebat. Sekuat tenaga aku mengatakan apa yang bertolakan dengan hati. Sungguh, aku tak rela jika harus berakhir seperti ini. Lelaki baik yang tak pernah sekalipun meninggikan suara meski amarah menyelimuti. Lelaki yang kurasa sempurna untuk dijadikan sebagai panutan keluarga kecilku itu, aku harus rela melepasnya untuk wanita lain.

Hening.

"Apa Mas serakah, kalau Mas mau keduanya?" ucapnya dengan tatapan yang begitu dalam. Tatapan yang menunjukkan adanya luka yang dalam pula. Genggaman tangannya pun terasa begitu kuat, kebimbangan terlihat begitu jelas di wajah tampan itu.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Aniek Oktari Keman
Bagus bngt cerita ini,aku dah tamat bacanya
goodnovel comment avatar
Aduh Lessoh
gemmes banget
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Panggilannya jgn nye np? Jelek tau mendingan anye
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status