POV Megantara[Kalau ingin berterimakasih dan tidak berhutang budi. Cukup dengan jaga diri dan kondisi. Karena reputasi saya lebih penting dari uang Anda.]Send."Dan kamu, Nye ... kamu yang paling penting. Kesehatan dan keselamatan kamu lebih penting dari apapun," lirihku di dalam mobil setelah pesan kukirim. Mungkin apa yang aku kirim terkesan jahat dan menyakitkan. Namun sejatinya sebaliknya, dia lebih dari apapun dan tak bisa jika hanya dibandingkan dengan reputasi.Melihat Anyelir selalu menundukkan wajahnya di hadapanku di cafe tadi, membuatku merasa jika lebih cepat pergi dari sana akan lebih baik. Ya, wanita memang diharuskan menundukkan wajahnya pada pria yang bukan mahram dan Anyelir adalah salah satunya. Ia adalah wanita yang sangat menjaga kehormatannya.Tak ada balasan dari pesan yang aku kirim. Mungkin dia sedang kesal atau amarah atas kata-kataku. Tapi akan lebih baik seperti itu. Lebih baik membenci daripada harus baik dan akan bisa saja akan terus memupuk rasa yang s
18. Rasa ingin tahu MegantaraSetelah perbincangan mengenai gagal nikah, kami tak lantas membuka kembali omongan melainkan saling diam. Aku fokus pada jalanan dan Anyelir melihat ke arah luar. "Suami mbak kerja? Ini akhir pekan. Kenapa nggak mengantar?" Dengan sangat berat aku pun menumpahkan apa yang mengganjal di dalam sana meski sebenarnya sakit. Tapi harus ditahan.Ia menoleh sekilas kemudian mengangguk samar. "Kerja di mana? Sepertinya sangat sibuk? Sampai weekend pun harus kerja?" Ia mengambil napas lalu menghembuskannya perlahan. "Travel Agent," jawabnya singkat, menoleh pun sekilas lalu kembali memandang ke arah luar jendela.Entah, apa aku sangat menakutkan? Sampai memandang saja dia enggan. Bukankah aku ini tampan? Kata Mama dan mereka yang melihat. Hatiku hanya bisa mendesah pasrah meski seharusnya aku senang Anyelir bisa menjaga pandangan dari lelaki yang bukan mahram, namun tak bisa dipungkiri hatiku seakan tercubit jika itu juga dilakukan padaku dan dia melakukannya u
19. Permintaan Luna diluar batasPOV AnyelirAku tersenyum miring sambil membawa nampan berisi teh yang baru saja kubuat. Mendengar ucapan dokter Megan itu kenapa aku merasa bahwa dia takut sekali jika aku merasakan suka atau cinta padanya. Dia memang tampan dan menggoda, namun aku tidak sama seperti wanita-wanita lain yang akan memujanya. Ya, setelah aku dirawat di rumah sakit kemarin, aku bisa melihat seperti apa dokter Megantara di mata para wanita termasuk pegawai rumah sakit.Di saat hati masih menganga karena luka. Dia justru berpikir kalau aku akan mengira bahwa dia mencintaiku, dia tidak tau saja kalau cinta sudah tak ada lagi di hati Anyelir, yang ada hanyalah luka yang setiap hari semakin bertambah akibat keadaan. Ya, hari ini di mini market, tanpa sengaja aku bertemu dengan wanita itu. Luna, dia dengan ringannya meminta dan mengatakan padaku untuk tidak mengganggu rumah tangganya dengan Mas Bian lagi karena mereka sudah bahagia. Luna, wanita itu tak pernah berkaca bahwa di
20. Kabar DukaHari ini terhitung sudah enam pekan setelah dokter Megan datang ke rumah mengantarku kala itu, yang artinya sudah enam kali pula aku melakukan pemeriksaan dan bertemu dengannya. Dalam pertemuan kami, aku dan dokter Megan tak banyak berbincang hal pribadi, kami hanya membahas masalah kehamilan dan bayiku. Hal lain yang terjadi selama itu adalah apa yang kudengar dari Luna melalui pesan yang dikirim ke Ibu. Dengan percaya dirinya dia mengatakan bahwa aku sudah bisa mengambil akta ceraiku, keputusan pengadilan sudah final dan memutuskan aku telah resmi bercerai dari Mas Bian. Ya, aku tau lah apa maksud Luna, dia tertawa dan ingin menegaskan bahwa dia sudah menang.Ada yang hilang, ada pula yang membuatku tenang. Hilang karena kehilangan suami yang sangat aku dan Ibu harapkan menjadi sosok panutan dan tenang karena semua sudah jelas sehingga tak ada lagi yang mengganjal di dalam sana. "Nye, ada yang mau ibu sampaikan padamu," kata Ibu yang baru pulang dari rumah Bude M
21. Rahasia yang mulai terkuakPOV MegantaraHari ini aku harus kerja keras. Banyak jadwal operasi yang harus aku lakukan dari pagi dan masih menyisakan beberapa pasien yang akan dilanjutkan lagi sehabis maghrib.Dengan adanya tanggungan operasi aku pun tak bisa pulang ke rumah dan akhirnya harus sholat maghrib di mushola rumah sakit. Setelahnya mengisi perut dengan menu yang sudah kupesan secara online. Usai kembali dari mushola aku pun kembali ke ruangan. Ayam bakar dan kopi terlihat sudah siap di atas meja. Ya, perut juga harus di isi agar tidak lapar dan salah prosedur karena lapar, bahkan aku belum sempat makan dari siang."Bismillah." Kumasukkan ayam dan sambal yang sudah tidak hangat lagi ke dalam mulut, meskipun demikian tetap saja terasa nikmat karena perut sudah sangat keroncongan."Belum waktunya operasi ngapain kesini?" tanyaku pada suster Yeni yang terlihat masuk ruangan tanpa mengetuk pintu. "Eh, Dok, kirain masih di mushola. Ini, Dok. Mau ambil datanya Anyelir."Mende
22. Sebuah rahasia besarJantungku kembali berdegup hebat, saat aku mendengar pernyataan Suster Mayang yang mencengangkan. Anyelir sudah bercerai? Inikah jawaban atas segala pertanyaan yang terus mengusikku selama ini?"Cerai?"Ia mengangguk samar seraya menundukkan wajah."Bercerai tidak berarti tanggung jawab pada anak hilang, Sus. Harusnya suami tetap diberi tahu.""Nggak bisa, Dok.""Nggak bisa? Kenapa? Kalau suster nggak mau kasih tahu, biar saya yang menghubungi. Setidaknya biar bapaknya bisa beli peralatan bayi dan mengurus bayi selama kamu menemani Anyelir nanti.""Dok ... anak itu juga bukan anaknya."Degh! Lagi-lagi dia menuturkan hal yang membuat jantungku kembali berpacu. Apa yang dimaksud dengan bukan anak dari suaminya? Apa artinya Anyelir ...?"Maksud suster?" tanyaku menyelidik. "Dokter, jangan berpikiran negatif terhadap adik saya. Yang pasti anak itu bukan dari hasil perzinahan. Sekarang, dokter tinggal jawab saja. Mau membantu saya menjaga Anyelir atau tidak?" tega
23. Siapa yang mengadzani?"Katakan, Mayang! Siapa yang melakukan?" ucapku bersungut-sungut karena Mayang tak kunjung menjawab pertanyaanku."Mayang!" ulangku dengan nada meninggi."Kami belum mengetahuinya. Ayah Anyelir memutuskan menutup rapat kasus ini demi menjaga perasaan Anyelir dan berharap Anyelir bisa melupakan traumanya.""Lalu, pria itu? Pria yang menikahi Anyelir?" tanyaku yang sudah tak bisa lagi menahan diri.Suster Mayang terlihat menghela napas."Pria itu menikah untuk menutupi aib keluarga dengan imbalan. Sekarang, dia mencintai wanita lain dan memilih menikah dengannya di usia pernikahan mereka yang baru enam bulan, karena tak ada lagi pilihan akhirnya Anyelir pun menerima keputusan itu. Mereka ... memutuskan berpisah."Ragaku semakin lemah mendengar fakta demi fakta yang seolah di luar nalar."Pergilah!" perintahku saat kurasa hatiku sudah mulai tak bisa diajak kompromi. "Hem, saya harap dokter bisa saya percaya. Biar bagaimana pun adik saya tidak dalam posisi yan
*** Berdua aku masuk ke ruang bayi yang berada tak jauh dari ruang bersalin bersama Suster Mayang. Di sana tampak bayi Anyelir sendang di gendong salah seorang perawat, senyuman terpancar di wajah kedua perawat yang sendang memperhatikan bayi tersebut. Namun, kadang mereka saling menatap kemudian mengambil napas dalam."Aduh, anak manis." Senang cepat, Suster Mayang menghampiri dan mengambil bayi Anyelir dari tangan perawat.Setelah itu kedua perawat itu beralih menatapku penuh selidik saat aku masih berdiri di ambang pintu. "Kenapa?" tanyaku bingung seraya melangkah masuk."Anak ini belum diadzani, Dok.""Terus? Kenapa pada lihatin saya?""Dokter," panggil salah satu perawat itu dengan sungguh-sungguh dan raut wajah serius."Ya, Apa?""Apa yang menurut dokter paling baik itu pasti dan harus dilakukan, 'kan?" tanyanya."Ya.""Lebih baik anak ini diadzani sama dokter!""Saya?!" tanyaku tak percaya.Mereka mengangguk cepat. "Semua bayi yang ada di sini sudah mendapat adzan dari aya