Butuh beberapa saat bagi Puspita untuk mencerna semuanya setelah Pram mengucapkan kalimat itu dan berbalik pergi, kembali ke kamar Prily didampingi Imel yang tersenyum puas.
Kemudian, gadis itu menghapus air matanya dengan kasar setelah dapat menguasai dirinya.
Ia sempat terjebak dalam keterkejutan dan ketidakpercayaan yang mendalam akibat tuduhan Pram yang keji dan kata talak yang menyusul kemudian. Tidak percaya kalau pandangan Pram padanya masih sama seperti dulu, memandang Puspita sebagai orang miskin yang dangkal, dan tidak bisa dipercaya.
Tidak peduli Puspita sudah berusaha keras menjalankan amanat Soraya sekuat tenaga. Menelan sakit hatinya setiap hari.
Puspita tidak menyangka justru Pramlah yang akan mengingkari janjinya pada Soraya secepat ini. Membuangnya.
Ini terlalu menyakitkan. Jika pun Pram ingin menceraikannya, kenapa harus dengan cara seperti ini? Kenapa harus menuduhnya dulu?
Puspita menarik napas dalam-dalam. Mencoba melonggarkan rongga dada yang sesak. Lalu setelahnya menegakkan punggung dan mengangkat dagunya.
Gadis itu berjalan dengan langkah-langkah pasti menuju kamar rawat Prily. Menyusul Pram. Ia bahkan tidak peduli Imel yang menatapnya dengan merendahkan, di depan kamar. Puspita langsung menghampiri Pram di samping ranjang Prily.
“Ada apa lagi?” tanya Pram saat melihat Puspita masuk. “Bukankah aku sudah menyuruhmu pergi?”
“Pak Pram. Tolong ulangi sekali lagi.” ucap Puspita dengan tatapan lurus. Tak ingin terlihat lemah. “Apakah saya benar-benar diceraikan?
Ekspresi Pram mengeras. “Ya, aku sudah menceraikanmu, Puspita Ayudia. Apa kata-kataku kurang jelas? Apa perlu aku mengulang kata talak itu?”
Puspita menelan ludah. Meski sudah menguatkan hati, tetapi rasa perih tetap ada. Bahkan tidak ada nada bersalah sedikit pun dalam suara pria itu.
“Bapak mengatakannya dengan kesadaran penuh? Tidak lupa dengan amanat Ibu Soraya?”
Pram mendengkus dan membuang muka dengan kasar. “Perbuatanmu yang membuat amanat Soraya gugur dengan sendirinya. Aku tidak mengkhianati istriku, ingat itu!”
“Tapi saya tidak melakukan apa yang Bapak tuduhkan.”
“Omong kosong! Kenyataan yang bicara. Lihat anakku!” Pram menunjuk Prily yang masih terbaring lemah dengan mata terpejam. “Kalau bukan karena perbuatanmu, ia tidak akan seperti ini. Kamu–” Kini telunjuk Pram mengarah ke wajah Puspita. “Kamu hampir membunuh anakku! Dan itu, tidak termaafkan!”
Puspita menahan napasnya. Tuduhan itu terlalu menyakitkan, apalagi diucapkan dengan berulang-ulang.
“Jadi Bapak tidak percaya pada saya?”
“Buktinya sudah jelas.” Mata Pram memicing, senyum sinis tersungging. “Kenapa, Puspita? Apa uangku terlalu menarik hingga kamu tidak terima kuceraikan? Bukankah di luar sana kamu bisa menjadi istri ketiga atau keempat dan mendapatkan uang lebih banyak?”
Napas Puspita tersendat. Sekali lagi, ia merasa harga dirinya diinjak-injak.
“Baik kalau begitu, Pak.” Dengan menahan sakit yang sudah tak bertepi di hatinya, Puspita tetap bicara tegas. Dagunya diangkat untuk membuktikan jika ia tidak ingin terlihat hancur karena semua ucapan Pram. “Saya akan pergi karena Bapak yang menghendaki. Kata talak Bapak menjadi bukti bukan saya yang mengkhianati amanat Bu Soraya. Semoga beliau di alam sana tidak menyalahkan saya.”
Hening sejenak.
“Semoga Bapak tidak menyesali keputusan ini.” Puspita mengakhiri ucapannya.
“Menyesal?” Pram tersenyum miring. “Jangan terlalu percaya diri, Puspita.”
Puspita mengangguk. “Baiklah, Pak. Saya harap Anda tidak menyesali semuanya. Jangan mencari saya di kemudian hari apa pun yang terjadi. Karena saya tidak akan kembali meski Bapak meminta dengan menangis darah sekali pun.”
Kalimat itu diucapkan Puspita dengan penuh penekanan, disertai tatapan tajam, sebelum akhirnya ia berlalu.
Meninggalkan Pram dan semua yang akan ia buang dari ingatan meski hatinya akan terluka karena perpisahannya dengan Prily.
Gadis itu bergegas pulang dan mengemasi barangnya yang tidak seberapa, lalu memanggil ojek.
Sekali lagi Puspita menatap bangunan dua lantai yang selama tiga tahun terakhir menjadi tempatnya bernaung. Di rumah itu, ada banyak kisah tergores dalam lembaran hidupnya.
Bertemu majikan baik hati yang menganggapnya lebih dari seorang pembantu. Soraya. Segala kebaikan wanita itu tidak akan pernah ia lupakan.
Di rumah itu, hidupnya lebih dari layak. Gaji di atas rata-rata, fasilitas yang memadai, majikan yang memanusiakan, dan entah masih banyak lagi kenangan indah yang tercipta sejak Soraya membawanya ke sana.
Sayangnya, kenangan indah bersama Soraya mulai ternoda saat wanita yang sakit-sakitan itu mulai memintanya menjadi adik madu.
Sejak saat itu lebih banyak kenangan pahit yang tercipta. Terlebih setelah Pram menikahinya. Hidupnya tidak setenang dan senyaman sebelumnya. Hingga hari ini, di mana ia harus pergi dari sana, rasanya lebih banyak rasa pahit yang ia jalani.
Puspita menarik napas panjang saat ojek online yang menunggunya kembali bertanya, “Berangkat sekarang, Mbak?”
Puspita mengerjap, lalu mulai berjalan menjauhi gerbang rumah mewah itu. Meski hatinya sangat berat, tetapi ia tidak berdaya. Pram sudah menceraikan dan mengusirnya.
Saat ojek yang membawanya mulai melaju menjauhi gerbang rumah itu, ia hanya menjerit dalam hatinya.
‘Selamat tinggal, Prily. Maaf, Bu Soraya, saya tidak bisa mengemban amanat Ibu lebih lama. Selamat tinggal semuanya.’
Satu titik air mata terjatuh bersamaan dengan kepalanya yang akhirnya menengok ke depan setelah beberapa saat tetap menatap bangunan itu.
**
Sudah beberapa minggu berlalu sejak Puspita pergi dari kediaman Pramudya.
Prily sudah pulang dari rumah sakit dan sudah mendapatkan pengasuh baru. Semuanya berjalan normal seperti sedia kala–meskipun semuanya menyadari absennya Puspita dalam kehidupan mereka.
Termasuk Pram.
Terutama Pram.
Sebelum Soraya meninggal, Puspita memang sudah mengurusi semua keperluannya dan Prily, serta membantu urusan rumah. Sehingga saat Soraya akhirnya berpulang pun, Puspita sudah terbiasa mengurus semuanya. Pram tidak menyadari itu semua karena ia terlalu sibuk dengan rasa kehilangannya.
Baru ketika Puspita tidak ada di sana lagi, Pram merasa semuanya berantakan.
Puncaknya adalah sore itu. Pram yang baru kembali ke rumah langsung disambut dengan keributan. Hasna sedang memarahi pengasuh baru Prily yang dianggap tidak becus.
“Ada apa lagi ini, Bu?” tanya Pram sambil menatap bergantian pada sang ibu, Prily yang menangis, dan pengasuhnya yang menunduk.
"Pram, kamu sudah pulang?” sapa Hasna sebelum dilanjutkan dengan ucapan penuh keterkejutan. “Astaga, lihat dirimu! Ibu heran denganmu sekarang. Ada apa denganmu, Nak?”
Pram mengerutkan kening. Pertanyaannya sama sekali tidak dijawab. “Maksud Ibu?” balasnya kemudian.
Hasna menghela napas penuh rasa khawatir. “Lihat dirimu sekarang, Pram.” Wanita itu menunjuk tubuh Pram dari kepala hingga kaki dengan kedua tangannya.
“Kamu sangat menyedihkan, Anakku. Kamu ini masih muda, Pram. Kamu juga pria mapan pemilik sebuah perusahaan. Tapi kondisimu sekarang sangat memprihatinkan!”
Ah. Itu lagi. Pram mulai jengah.
“Kalau kamu kesulitan, bilang ke Ibu. Jangan apa-apa diurus sendiri.” Hasna kembali berkata.
Padahal, meski ibunya berkunjung nyaris setiap hari ke rumah ini, Hasna tidak membantu apa-apa. Wanita paruh baya itu malah kerap kali memantik konflik dengan para asisten rumah tangga dan pengasuh Prily, seakan-akan sedang mencari kesalahan.
“Kalau kamu tidak mau merepotkan Ibu, turuti saran Ibu. Menikahlah dengan Imel.”
Langit begitu cerah siang itu. Awan tipis berarak pelan seakan ikut merayakan pencapaian besar yang tengah dirasakan Puspita.Setelah acara inti wisuda selesai di aula yang megah, semua orang bergerak ke luar ruangan. Dan di sana, suasana jauh lebih riuh. Gelak tawa, sorak-sorai, dan bunga-bunga yang memenuhi tangan para wisudawan menjadi pemandangan sejauh mata memandang.Taman kampus yang luas, dihiasi dengan tenda-tenda putih dan hamparan bunga musim semi yang bermekaran, menjadi tempat sesi foto dan perayaan kecil-kecilan yang diatur oleh pihak kampus.Puspita mengenakan toga kebanggaannya, senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Tangannya masih menggenggam buket bunga yang diberikan Pramudya begitu ia turun dari podium. Pram, lelaki yang menjadi suaminya, ayah dari anaknya, dan juga satu-satunya pelabuhan hidupnya—berdiri di sampingnya, mengenakan batik biru senada dengan putra kecil mereka.Tiba-tiba kerumunan kecil masuk ke area taman. Prabu datang bersama keluarganya. Ia terliha
Lima tahun kemudian …Pelukan itu hangat. Nyaman. Namun juga sedikit menyebalkan.“Mas …,” desis Puspita sambil berusaha melonggarkan lengan kekar suaminya yang melingkar erat di pinggangnya. “Lepas dulu, aku belum selesai pasang jarum pentul hijab ini, tahu nggak?”Puspita berdiri di depan cermin, tangannya cekatan merapikan kerudung satin warna krem yang selaras dengan kebaya brokat yang membalut tubuhnya yang kini sedikit berisi. Ia menghela napas, menyelipkan anak rambut yang bandel ke balik ciput. Hari ini adalah hari besar—hari di mana ia akhirnya menyandang gelar Sarjana Hukum setelah lima tahun perjalanan yang berliku. Tak mudah, tapi akhirnya sampai juga.Sejak tadi Pram terus saja mengganggunya. Tak membiarkan istrinya berdandan dengan tenang. Hanya karena menurutnya Puspita terlalu cantik. Seharusnya tidak bermake-up saja agar tidak menarik perhatian kaum Adam.Pram menatap pantulan cermin. Matanya teduh, bibirnya tersenyum. Wajah Puspita yang bermake-up flawless membuat na
“Kamu iri sama Puspita?” tanya Prabu hati-hati. Ia menatap luruh wajah Andini yang malam ini lebih banyak diam daripada biasanya.“Kalau kamu mau, kita juga bisa segera punya anak. Kita bisa lepas IUD kamu kapan saja,” lanjut Prabu seraya menggenggam tangan sang istri.“Besok kita ke dokter, ya? Aku yakin Oma juga akan melakukan hal yang sama ke kamu kalau kamu hamil.”Andini tersenyum, lalu menggeleng—cepat dan pasti.“Aku belum siap, Mas. Raja masih kecil. Aku belum ingin menjalani kehamilan. Belum sekarang. Rasanya… berat. Aku belum sanggup.”“Tapi aku bisa menambah babysitter kalau kamu mau. Aku tidak akan membiarkan kamu kerepotan mengurus anak-anak.”“Bukan itu, Mas. Lebih ke mental aku saja. Aku benar-benar belum siap menambah anak. Aku takut lebih cenderung ke anak yang lahir dari rahimku. Sedangkan anak-anak Mbak Irena juga butuh ibu. Aku takut tidak bisa adil, Mas. Kasihan mereka—sudah ditinggal ibu kandungnya, masa ibu barunya hanya sibuk dengan anak kandungnya? Tolong, ber
“Apa? Puspita hamil?” seru Oma dengan suara nyaring, nyaris membuat telinga Pram berdengung dari seberang telepon.Tak lama, terdengar denting gelas jatuh menghantam lantai marmer. Hening sejenak. Tapi bukan kemarahan yang terdengar setelahnya, melainkan... tawa. Tawa haru, yang menggetarkan dada.“Anak itu hamil! Hamil!” serunya lagi, kali ini kepada siapa pun yang ada di dekatnya. “Opa! Pa! Puspita hamil!” Ia berseru lagi, kini sambil berjalan tergopoh-gopoh mencari suaminya. “Kita rayakan malam ini juga! Di restoran paling mewah! Semua harus datang!”Pram belum sempat menjawab saat Oma sudah sibuk mencari Opa dan memerintah asistennya untuk segera memesan ruang VIP restoran bintang lima. Tak tanggung-tanggung, ia ingin semuanya hadir malam itu juga untuk merayakan kehamilan Puspita. Satu lagi calon cicit akan hadir hingga menambah ramai anak keturunan Bimantara.Pram tersenyum lebar setelah menutup sambungan telepon. Ia menjadi orang yang sangat bahagia mendapat kabar ini, meskipun
Matahari siang sudah lebih condong ke barat. Mahasiswa mulai keluar dari gedung-gedung fakultas, sebagian berjalan sambil tertawa, yang lainnya mengeluh soal tugas. Puspita menyampirkan tas ranselnya dan melangkah pelan keluar kelas. Badannya terasa pegal, kepalanya sedikit pening. Mungkin karena ini hari pertama kuliah. Duduk berjam-jam dalam satu posisi membuat tubuhnya sangat lelah.Apa ini karena ia terlalu tua untuk menjadi mahasiswi baru? Atau karena tulang-tulang dan tubuhnya pernah rusak parah hingga sempat lumpuh?Rasanya ia tak bisa menyamai mereka yang masih berusia belasan, yang semangat belajarnya masih sangat tinggi. Atau mungkin, ini hanya soal belum terbiasa?Terkadang, terbersit keinginan untuk berhenti saja. Toh, ia punya suami yang bertanggung jawab. Lebih dari cukup untuk menanggung hidupnya. Ia juga salah satu keturunan Bimantara. Rasanya, tidak akan kekurangan secara materi. Namun, kembali lagi, ia punya cita-cita yang ingin dicapai. Bukankah ia ingin menjadi sese
agi itu, matahari memancarkan sinarnya dengan lembut, menelusup melalui jendela kamar Puspita. Aroma embun dan rumput basah menyusup dari celah ventilasi, membawa suasana segar yang jarang dirasakan Puspita akhir-akhir ini.Dia berdiri di depan cermin, merapikan kerudungnya dengan hati berbunga-bunga. Hari ini adalah hari pertamanya kembali ke bangku kuliah. Setelah semua yang dilaluinya—perjalanan hidup yang berat, pernikahan, hingga lumpuh lama dan sembuh perlahan—kini ia mulai menapaki kembali jalan mimpinya. Menjadi mahasiswi. Kuliah untuk mencapai cita-citanya. Lebih tepatnya meng-upgrade diri meski mungkin ujung-ujungnya tetap di rumah menjadi ibu rumah tangga.Ya, menyadari kodratnya sebagai wanita dan ibu rumah tangga, tentunya kelak ia tetap harus mengutamakan keluarga. Berkaca pada Andini yang meski seorang insinyur perminyakan—pekerjaan yang pasti sulit didapatkan—tapi saat suami menghendaki ia di rumah saja mengurus rumah tangga, ia harus tetap siap.Karena di rumah pun pe