Share

3. Buli Terus

Siang itu kantin sesak akan para murid, suara ibu dan bapak kantin saling bersautan dengan murid-murid yang haus dan lapar.

Semua meja nampak penuh. Di SMA Bina Bakti, semua angkatan berkumpul di kantin yang sama. Disediakan pintu untuk setiap angkatan dari kelas 10-12.

Nadira tentu saja duduk di meja satu gengnya, bukan dalam artian geng motor atau geng yang ada di otak pintar kalian. Hanya gerombolan anak bermasalah.

Erlan, si ketua kelas tentu saja termasuk salah satunya, Nadira dan Nindia adalah murid kelas 11 sedangkan yang lima orang lainnya adalah kakak kelas dan dua adik kelas cowok, dalam empat meja yang disatukan mereka bersembilan duduk bersama.

"Dir, gua denger lu dihukum sama pak Irwan buat hormat ke pak Rio, gimana rasanya?" Asep bukan Septian ya, namanya Aseprudin, kakak kelas Nadira, bertanya.

Nadira yang ditanya seperti itu langsung saja manyun, kesal sekali kalau mengingat guru nyebelin yang kalah ganteng dari ayah Arga. Namun, dua detik setelahnya dia kembali berbinar mengingat si cowok yang dia duga adalah seorang mafia.

Teman-temannya reflek saling tatap- menatap, bingung.

"Njir, gue ketemu cowok keren," ucapnya penuh nada kekaguman.

"Byuuurrr." Reflek, Erlan yang baru saja memasukan kuah bakso ke dalam mulutnya menyembyur. Naasnya, Ridho si adik kelaslah yang tersembur.

"Anjing lu, bang. Muka ganteng gua, huaaa," rengek Ridho mengelap wajahnya yang terkena semburan Erlan, dia hampir saja menangis ketika mencium bau menjijikan kuah tersebut.

Erlan hanya memberikan dua jarinya kehadapan Ridho sebagai salam perdamaian.

Tak jauh dari Erlan yang menyembur, Nindia yang duduk di samping Nadira melongo dengan tidak etisnya, segumpal mie masih menggantung dimulutnya.

Di samping Nindia, Alex tersedak ketika mendengarnya, yang lainnya masih bisa di kategorikan normal, melotot atau mengerjap takjub akan ucapan Nadira.

Hei, tentu saja mereka akan bereaksi seperti itu. Pasalnya Nadira tidak pernah mengakui jenis jantan keren, ganteng atau semancam lainnya selain sang ayah.

Brak!

"Daebak, uhuyy, catat oyy hari ini tanggal berapa?"Bima dengan semangat mengebrak meja, di sampingnya, Lea mengangguk bodoh dan mengeluarkan buku kecil yang selalu dia bawa ke manapun, dengan berbinar mencatat hari kejadian.

"Kalian kenapa?" Nadira bertanya bingung melihat ekspresi teman-temannya, berkali-kali dia mengerjab dan berpikir, apa yang salah?

"Anjir, lu masih nanya kita-kita kenapa?" tanya Erlan dengan ekspresi tak habis pikir, dia bahkan mengabaikan Ridho yang telah siap menerkamnya saat itu juga.

Nadira hanya mengangguk polos sebagai jawaban.

"Demi apa? Hei, Dir. Lu baru aja bilang ada cowok keren selain ayah Arga loh." Nindia yang baru selesai minum ikut bicara, takjub akan sahabatnya itu.

Yang lain ikut mengangguk setuju, dalam satu tahun mengenal Nadira, baru kali ini mereka mendengar Nadira memuji cowok lain selain sang ayah.

"Emang ada yang salah? Asal lu semua tau ya, tuh cowok keren abis, lu tau, Nin? Suaranya tuh kek suara mafia yang gue tonton semalam. Gila! Gue yakin sih pasti tuh cowok salah satu mafia di indonesia, huaaa Nindi, gue harus tau nama tuh cowok siapa," cerocos Nadira menggoyangkan bahu Nindia di sampinganya kuat.

Semua orang di meja itu kembali melongo, tapi sialnya, Nindia tersiksa karena digocang tanpa perasaan.

"Heh ngke, jangan gue juga yang lu jadiin goncangan, lu kira gue pohon?" sentak Nindia kesal. Nadira hanya menyengir, dan setelahnya tidak mempedulikan teman-temannya yang masih setia menatapnya penuh kagum, Nadira asik membayangkan wajah cowok itu dan suaranya yang masih tergiang.

"Weh bocah, lu keabisan obat apa gimana?" lukas, si kakak kelas bertanya, badannya membungkuk ke depan hanya untuk mengulurkan tangan, memeriksa suhu tubuh Nadira.

"Gila sih!" tiba-tiba saja Nadira berucap agak lantang, menarik perhatian hampir seluruh penghuni kantin. Lukas yang baru akan menarik tanganya terkejut dan terjatuh karena tidak bisa menyeimbangkan diri.

"Sue lu, anjing," makinya.

Tidak memperdulikan cowok itu, Nadira kembali berucap. "Huaaaa ndaaa Dira pengen denger suara tuh co--"

"Heh lu denger enggak sih? Minggat dari tempat duduk lu, gue mau duduk!"

Ucapan Nadira terpotong begitu saja oleh sentakan tak jauh dari tempatnya duduk.

Semua mata juga menoleh ke arah yang sama.

Di sana, tiga gadis tengah berdiri di depan meja yang di isi dua gadis cupu. Nadira yakin dua gadis itu adalah adik kelasnya.

"Ta--tapi ka--"

"Minggat lu cupu!!" bentak gadis yang berdiri, lantas dengan santainya menumpahkan kuah bakso milik temannya ke kepala adik kelas itu. Para dayang-dayang gadis yang Nadira kenal sebagai Amira --kang bully-- itu tertawa bahagia.

Nadira tidak suka, terbukti dengan tangannya yang terkepal. Saat hendak melangkah, tangannya di cekal oleh Farid --kakak kelasnya-- "Mau ke mana, lu?" tanyanya mendongak, menatap Nadira yang berdiri.

Nadira menoleh, wajahnya datar ketika melirik tangannya yang dicekal dan wajah Farid. "Mau ke sana, lepasin, bang," pintanya serius.

Reflek, tangan Farid melepasnya. Membiarkan Nadira yang kini melangkah penuh gembira.

Secepat kedipan mata, wajah datar gadis itu berubah kembali ceria.

"Liat muka dia, udah kek sampah." hina Amira penuh ejekan, si adik kelas sudah menangis, dan temannya tidak bisa berbuat apa-apa karena takut.

"Sekarang, mingg--"

"Bully terossssss."

Semua orang menoleh kesumber suara tersebut.

***

Di meja lain, tiga orang cowok mendongak. Ah, hanya dua karena cowok ketiga lebih tertarik bermain game diponselnya.

"Re, liat pahlawan kita udah dateng," ucap Lingga pada cowok di sampingya yang juga memperhatikan potongan serial ection di depannya.

Namanya Reyhan Wijaya, si kapten basket SMA Bina Bakti. Cowok yang dua tahun terakhir tertarik akan aksi-aksi yang menurutnya keren untuk dilakukan cewek seumuran Nadira.

Kembali ke tempat kejadian.

"Wah liat siapa yang datang," Amira mengejek. Di balas Nadira dengan wajah polos yang tentu saja terlihat ingin di ulek.

Nadira dengan kalem duduk di atas meja samping si adik kelas yang terisak, dia melirik sekilas wajah gadis itu dengan kasihan.

"Kakak enggak capek nge-bully adek kelas yang lemah?" tanyanya menatap penuh tanya kakak kelasnya.

"Masalah buat lu?" tanya Amira, kesal.

Nadira dengan santai menggeleng. "Enggak sih, cuma ... humm, kakak jadi ikut keliatan lemah," ucapnya mengerjab, seakan ragu akan kalimat yang barus saja dia lontarkan.

Amira jelas emosi, hendak menjambak rambut terurai Nadira. Tapi dengan cepat Nadira mencekalnya.

"Mau ngapain, Kak? Jambak rambut gua?" desisnya tidak suka, Nadira paling tidak suka tubuhnya disentuh, dia paling tidak ingin kembarannya juga merasakan apa yang dia rasakan. Selama ini, dia tidak pernah membiarkan siapapun menyentunya, karena jika itu terjadi orang itu tidak akan selamat.

Ditatap setajam itu, Amira sedikit takut, pasalnya ini untuk pertama kalinya dia berhadapan dengan Nadira, selama ini dia hanya mendengar dari cerita kakak tingkatnya atau temen-temannya yang lain.

"don't touch me, if you still want to live," bisiknya penuh ancaman, Nadira tidak main-main akan ucapannya.

Di tempatnya Amira bergetar, suara dan kalimat serta tatapan Nadira membuat persendiannya terasa lemas, ada ketakutan di dalam matanya.

"Dan kakak? Astaga liat deh, kasian banget, masa kakak tega nyiram adek kelas pake kuah sih?" secepat itu aura dingin di tubuh Nadira memudar, matanya berkilat penuh kesedihan, dia sudah melepas cekalan tangannya pada lengan Amira, berganti dia menatap Amira dan adik kelasnya itu.

"Kakak enggak mau ngerasain apa yang dia rasain gitu?" tanya Nadira berbinar, tangannya dengan pasti mengambil kuah milik si adik kelas yang tinggal setengah, menatap ke arah Amira yang membeku, kelu saat Nadira kembali menatapnya tajam.

"Nih kak ... gimana rasanya?" Nadira bertepuk tangan, menatap penuh binar kagum ke arah Amira yang baru saja dia tumpahkan kuah mie tersebut.

"Kak?" panggilnya ketika Amira masih diam saja dengan wajah merah padam.

"Shit! ... lu? Awas lu, tunggu aja pembalasan gua," ucap Amira kemudian berlalu dengan malu.

Nadira masih berdiri, mengerjab bingung dengan ucapan Amira barusan. Mengangkat bahu acuh, dia menatap sekeliling yang masih menatapnya. Tersenyum lebar, dia melangkah riang ke arah temannya, bersikap seakan-akan tidak terjadi apa-apa.

Tanpa dia ketahui bahwa auranya hampir membuat murid-murid di sekitarnya sesak napas.

Tanpa dia tahu bahwa di tempat duduknya dua cowok tengah menatapnya, tertarik.

Re menarik senyum, bersiul kemudian menyantap makananya, Lingga hanya menggeleng takjub.

Tanpa mereka berdua tahu, bahwa cowok yang sadari tadi memainkan ponselnya ikut mendongak ketika merasakan aura yang familliar.

Mata abu-abu miliknya mengikuti langkah riang Nadira.

Cewek itu ... menarik--batinnya.

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status