Malam itu, Hendra yang merasa cemas saat mengemudikan mobil menuju rumah Nadia. Sejak pertemuan dengan Surya hatinya menjadi tak tenang.
Hendra tahu bahwa ibunya Nadia sedang sakit. Jadi dia akan menjadikan alasan itu untuk bertemu dengan Nadia dan menanyakan semua.
Ketika tiba di rumah mereka dulu, Hendra melihat ada mobil lain terparkir disana. Pagar terbuka hingga dia memutuskan masuk dan menunggu di luar. Ada sendal lelaki yang membuat hatinya sedikit terusik.
"Apa Nak Surya serius?"
Hendra menajamkan telinga. Rumah ini tak terlalu besar sehingga suara dari dalam terdengar sampai ke luar.
Dulu karena tak direstui menikah dengan Nadia, Hendra tak mendapatkam apa-apa dari keluarga. Sehingga dia hanya mampu membeli rumah kecil.
Setelah menikah dengan Cintia, keluarganya kembali baik. Bahkan papanya menyerahkan perusahaan kepada Hendra.
Apalagi setelah bayi mereka lahir. Ibunya sangat senang dan membelikan rumah baru untuk Cintia. Beserta perabotannya.
"Saya sangat serius dengan Nadia, Bu. Saya juga sudah mapan. Insyaallah bisa memenuhi kebutuhan Nadia dan juga merawat ibu."
Dada Hendra bergemuruh mendengar suara itu. Ternyata Surya selangkah lebih maju mendekati Nadia. Bahkan lelaki itu sudah berani bertemu mantan mertuanya.
"Kalau memang Nak Surya serius. Ibu setuju saja. Yang penting Nadia bahagia."
Hendra merasakan darahnya mendidih. Namun, lelaki itu berusaha menenangkan diri.
Sayangnya, semakin lama hati Hendra semakin panas. Apalagi ketika ada yang menyinggung tentang bantuan yang selalu dikirimnya.
Sehingga Hendra nekat masuk tanpa menunggu Surya pulang.
"Assalamualaikum. Mas datang mau lihat ibu."
Nadia menoleh dan terkejut melihat Hendra. Wanita itu tidak berharap bertemu mantan suaminya dalam situasi seperti ini. Apalagi ada Surya di sana.
"Waalaikumsalam."
"Loh, Mas. Aku nggak tau kalau kamu mau datang."
Nadia mempersilakan Hendra duduk dan berjalan ke belakang untuk mengambilkan minuman.
"Ibu gimana kabar, sehat?" tanya Hendra sopan.
"Alhamdulillah sehat. Makasih Nak Hendra masih bantu buat pengobatan Ibu."
Ucapan itu membuat dada Surya panas. Sementara Hendra tersenyum senang dan merasa bangga.
"Sampai kapanpun saya akan selalu membantu Ibu dan Nadia. Kita tetap keluarga."
Semua orang terdiam dalam kecanggungan. Nadia yang baru masuk ke ruang tamu merasakan ketegangan itu.
"Ibu ke dalam yuk. Istirahat."
Nadia membawa ibunya ke kamar dan memberikan obat. Dia tak mau ibunya melihat permusuhan di antara kedua orang ini.
"Jadi ceritanya mau ngelamar ini?" sindir Hendra.
"Nadia harus melupakan masa lalu dan memulai hidup baru," ucap Surya tegas.
Hendra yang merasakan tantangan dalam nada Surya, berusaha untuk tetap tenang.
"Aku ke sini mau ngeliat ibu yang sakit. Ibu mertuaku," balas Hendra dingin.
Nadia yang keluar dari kamar ibunya segera duduk di dekat mereka.
"Tolong jangan bikin keributan di sini," pintanya.
Nadia berusaha mendinginkan suasana. Sepertinya ini akan panas seperti kemarin di toko.
"Mas boleh ketemu ibu di kamar gak? Ada yang mau diomongin. Gak enak kalau didengar orang lain," tanya Hendra sembari menyindir.
"Boleh aja. Mas masuk ke kamar belakang. Ibu lagi rebahan," jawab Nadia.
"Temani Mas ketemu Ibu, Nad," pinta Hendra.
"Memangnya kamu gak bisa pergi sendirian?" tanya Surya tak tenang. Kemarin dia sudah mengalah, tetapi hari ini lelaki itu tak terima.
"Kamu kan bisa tunggu sebentar. Aku yang membiayai pengobatan Ibu. Tentunya aku mau ditemani Nadia ke dalam," balas Hendra sengit.
"Astagfirullah."
Nadia begitu frustrasi melihat ketegangan mereka. Wanita itu memberi kode agar Surya tak menganggapi ucapan Hendra.
"Saya lebih dulu datang ke sini."
Surya tidak mau mundur. Dia merasa keberadaan Hendra hanya akan membawa masalah.
"Tapi aku yang lebih dulu ada di kehidupan Nadia. Aku bertanggung jawab kepada mereka."
Hendra mulai merasa emosi yang terpendam selama ini meledak.
"Tanggung jawab? Jangan menggunakan itu sebagai alasan. Padahal kamu cuma mau mengontrol Nadia."
Hendra mendekati Surya, menyuarakan ketidakpuasannya. Melihat itu, Surya ikut berdiri. Kali ini mereka saling mengadu kekuatan.
"Kamu gak tahu apa-apa tentang kami. Aku masih peduli sama mereka."
Nadia merasa terjebak di tengah, dengan hati yang bergejolak.
"Cukup! Kalian berdua gak perlu berdebat di sini. Ini tentang ibu, bukan tentang kalian!"
Suasana semakin memanas. Tak ada yang mau mendengarkan ucapan Nadia. Dua lelaki itu tak ada yang mau mengalah.
Surya tidak mau Hendra terus menerus mencampuri hidup Nadia. Sementara Hendra tak rela mantan istrinya didekati lelaki asing.
"Kalau kamu peduli, tolong hormati keputusan Nadia untuk hidup tanpa kamu. Dia tidak butuh lagi campur tanganmu."
Hendra tidak bisa menahan amarahnya lagi. Lelaki itu mengepalakn tangan karena geram. Surya seperti hendak menantangnya.
"Kamu gak berhak mengatur hidupku atau hidup Nadia. Aku mantan suaminya!"
Mendengar itu, Surya semakin tersulut emosi. Lelaki itu merasa peluangnya untuk mendapatkan Nadia menjadi sulit karena Hendra terus menganggunya.
Bagi Surya, Hendra harusnya ikhlas melepaskan Nadia karena lelaki itu yang menceraikan. Lagipula dia sudah memiliki istri baru dan hidup bahagia.
"Mantan suami yang egois! Kamu gak bisa terus-menerus mengganggu kehidupan Nadia."
Hendra melangkah maju, mendekatkan wajahnya ke Surya.
"Kalau kamu gak bisa menghormati hubungan kami, lebih baik kamu pergi!"
Surya yang sudah terbakar emosinya menolak mundur.
"Aku gak akan pergi. Aku di sini untuk mendukung Nadia, bukan untuk bersaing denganmu!"
Dan dalam sekejap, semuanya terjadi. Surya mengangkat tangannya dan memberikan pukulan keras ke wajah Hendra.
Hendra terhuyung mundur, memegangi wajahnya yang berdarah. Lelaki itu tak terima, tetapi masih menahan diri untuk tak membalas. Dia malah mengusap sudut bibirnya yang pecah.
Nadia berteriak, berusaha melerai perkelahian itu. Namun, keduanya seperti tak peduli.
Surya kembali menyerang Hendra, sehingga lelaki itu terjatuh ke lantai sembari memegang perut.
"Surya, stop! Hentikan!"
Namun, Surya sudah terlanjur terbawa emosi.
"Dia perlu tahu batasan! Aku gak akan biarkan mantan suami yang egois ini mengganggu hidup kamu!"
Hendra berdiri kembali, merasakan sakit di wajahnya. Namun, api kemarahan di dalam dirinya tidak padam.
"Kamu pikir kamu bisa datang ke hidup Nadia dan menggantikan aku? Kamu gak tahu apa yang telah kami lalui!"
"Dan kamu gak tahu apa yang dia butuhkan sekarang! Nadia butuh orang yang bisa mendukungnya, bukan yang hanya mengingat masa lalu!"
Bruk!
Kali ini Hendra membalas pukulan yang dilayangkan Surya kepadanya. Hingga membuat Surya terhuyung ke belakang dengan dada sesak.
"Astagfirullah! Stop!"
Nadia mendekati Hendra dan menghalangi mantan suaminya yang hendak menyerang Surya.
"Kalian ke sini buat ngeliat ibu, bukan bertengkar."
Nadia menangis karena tak tahu harus berbuat apa. Melihat itu Hendra malah memeluknya, menunjukkan kepada Surya bahwa wanita itu masih miliknya.
"Sebaiknya kamu pergi. Kalau memang mau mendekati Nadia, coba hormati aku dulu."
Surya menatap Hendra dengan sinis.
Lalu mengambil kunci mobil dan berlalu meninggalkan rumah itu. Dia bahkan tak berpamitan kepada Nadia.
"Ayo masuk dulu, Mas. Aku obat lukanya," pinta Nadia.
"Gak perlu. Aku mau pulang--"
Tiba-tiba saja Hendra ambruk dan jatuh ke lantai. Nadia yang begitu panik mencoba menyadarkannya. Namun, akhirnya wanita memesan taksi dan membawa mantan suaminya ke rumah sakit.
Rasa sakit yang tak tertahankan mulai menyelimuti tubuh Nadia. Napasnya tersengal dengan keringat dingin yang membanjiri pelipis.Nadia menggenggam erat lengan Surya yang duduk di samping ranjang rumah sakit. Wanita itu mencoba menarik napas dalam-dalam. Namun setiap tarikan terasa seperti menggores paru-parunya.Kontraksi datang semakin sering dan wajah Nadia memucat.“Sayang, kamu kuat, ya? Sebentar lagi ketemu bayi kita."Surya mencoba menenangkan Nadia. Meski raut cemas tak dapat disembunyikan dari wajahnya. Lelaki itu berusaha menyeka keringat yang terus membasahi wajah istrinya.“Aku mau lahiran normal, please."Nadia berkata dengan suara lemah. Wanita itu terisak menahan rasa sakit yang berdenyut-denyut di perutnya."Tapi kamu gak kuat, Sayang. Jangan dipaksakan," bujuk Surya."Baiknya jangan
Setelah menempuh perjalanan panjang, mereka akhirnya tiba kembali di Indonesia. Program bayi tabung di luar negeri yang selama ini mereka jalani membawa hasil yang tak ternilai harganya. Ketika pesawat mendarat, Surya meraih tangan Nadia dan menggenggamnya erat.“Sudah sampai, sayang,” bisiknya lembut. “Akhirnya kita pulang.”Nadia tersenyum samar. Namun di balik senyum itu jelas tampak kelelahan yang mendalam. Sejak kehamilannya memasuki minggu keenam, kondisinya semakin melemah.Rasa mual yang datang sepanjang hari, bukan hanya di pagi hari seperti yang sering ia baca di buku-buku kehamilan. Setiap kali mencoba makan, perutnya langsung menolak. Surya terus mengamati wajah istrinya yang tampak semakin pucat.“Apa kamu mau istirahat begitu sampai rumah?” tanya Surya, menatap wajah Nadia dengan cemas.“Ya… mungkin. Aku cuma ma
Nadia dan Surya duduk bersebelahan di ruang tunggu bandara Changi. Mereka menanti penerbangan ke Singapura untuk menjalani program bayi tabung yang telah lama di diskusikan.Suasana hening menyelimuti mereka berdua. Hanya suara pengumuman penerbangan dan derap langkah orang-orang yang terdengar di sekitar.Nadia menatap ke depan, matanya menerawang jauh. Surya merasakan kegelisahan istrinya dan menggenggam tangannya lembut.“Kamu tegang?” Surya membuka percakapan dengan nada lembut.Nadia tersenyum samar. “Nggak juga, cuma... ya, mungkin agak cemas. Kita beneran mau program, ya?”Nadia menoleh menatap suaminya, mencoba mencari kepastian.“Iya, Sayang. Tapi kita lakukan ini karena sama-sama mau, bukan karena tekanan atau paksaan,” Surya menenangkan.“Kita sudah sepakat, apa pun hasilnya nanti, kita tetap akan bersama.”Nadia terdiam, lalu mengangguk.&ldquo
Setelah resepsi pernikahan yang berlangsung sederhana dan penuh kehangatan, Surya dan Nadia memasuki suite hotel mereka."Ini kamar kita," ucap Surya di depan pintu."Aku udah gak sabar lihat isi dalamnya," bisik Nadia."Mau aku gendong?" goda Surya."Gak usahlah. Memangnya di film-film."Gelak tawa keduanya menghema di lorong hotel. Surya mengambil kunci yang diberikan oleh resepsionis di saku celananya.Keduanya sudah berganti pakaian. Surya bahkan memakai kaus longgar dan celana jeans. Nadia bahkan sudah menghapus make up. Wanita itu memakai gaun selutut dengan penghiasan lengkap di leher dan jarinya.Mereka berjalan berdampingan, diiringi tatapan penuh cinta dan sedikit rasa canggung."Silakan masuk, Tuan Putri."Ketika pintu suite mereka tertutup dengan lembut di belak
Langit cerah membentang di atas taman yang dipenuhi dengan hamparan bunga-bunga cantik. Pohon-pohon besar menaungi tempat itu dengan teduh. Suara aliran air dari kolam kecil di sudut taman menambah suasana tenang yang romantis.Pernikahan Surya dan Nadia diadakan dengan sederhana tetapi penuh kehangatan. Hanya keluarga dan sahabat dekat yang hadir, membuat suasana lebih intim dan bermakna.Nadia dan Surya duduk di kursi yang dihias bunga mawar putih dan eucalyptus. Wanita itu mengenakan gaun putih sederhana tanpa banyak aksen tetapi tetap elegan.Rambut Nadia disanggul rapi. Senyum hangatnya memancarkan kebahagiaan yang nyata. Surya terlihat gagah dengan setelan jas hitam yang pas di tubuh. Wajah lelaki itu cerah. Matanya berbinar-binar menatap wanita yang sebentar lagi akan menjadi istrinya."Ananda Muhammad Surya Perdana, saya nikahkan engaku dengan Nadia Nur Azizah binti almarhum
Nadia menghembuskan napas panjang sebelum menekan tombol hijau di layar ponsel. Nama Surya tertera jelas.Kali ini Nadia merasa perlu membicarakan sesuatu yang sudah lama mengganjal di pikirannya. Setelah beberapa kali nada sambung, suara hangat Surya terdengar dari seberang.“Halo, Sayang?” Surya menyapa dengan ceria seperti biasanya. Lelaki itu sedang berada di ruangannya di kafe. Namun, dia mengerjakan proyek render gambar sebuah bangunan.“Halo, Sur,” balas Nadia dengan nada lembut. Ada sedikit kegugupan yang terselip di suaranya.“Kenapa? Suara kamu kayaknya aneh," tanya Surya lembut."Nggak apa-apa," lirih Nadia serak."Kamu habis nangis?" tanya Surya lagi."Enggak. Aku cuma lagi kangen aja.""Ada yang mau kamu bicarain?” tanya Surya seperti bisa merasakan ada yang berbe