Share

Bab 9

last update Last Updated: 2021-08-07 11:43:18

Bab 9

 

      "Mbak, tolong ambilkan aku minum? Aku haus nih baru pulang kerja."

 

     Terdengar suara permintaan dari Naura. Ika yang sedang membalas pesan-pesan pelanggan yang masuk di ponselnya, merasa risih dengan permintaan Naura.

 

     "Apa kau tidak bisa mengambilnya sendiri ke dapur Naura?" Sahut Ika.

 

     Naura tidak suka mendengar jawaban kakak madunya.

 

     "Masa cuma ambilkan aku minum saja susah? Apa gunanya Mbak di rumah kalau cuma diam nongkrong. Padahal aku baru pulang dari banting tulang cari uang untuk makan kita. Supaya mulut mbak bisa makan. Ini aku cuma minta ambilkan minum saja mbak keberatan." Suara Naura kian keras.

 

     Ika bangkit dari duduknya, terus terang Ika tak suka dibilang demikian oleh Naura.

 

     "Naura, aku sama sekali tidak pernah minta makan sama kamu. Jadi tolong jaga ucapanmu. Jangan bicara sembarangan..! Satu lagi jangan hanya menganggap aku ini berdiam diri saja di rumah tanpa melakukan apa-apa. Aku sudah cukup berbaik hati selama ini melayanimu di rumahku sendiri. Aku mencoba untuk hidup damai berdampingan denganmu. Tapi bukan berarti aku harus melayanimu bak seorang nyonya."

 

     Ika berkata dengan tetap menjaga ketenangan. Walaupun jujur di dalam hatinya kesal luar biasa. Darahnya bergemuruh.

 

     "Mbak Ika,  sudah sepantasnya Mbak Ika melayani aku dan Arsyad. Di rumah ini kami yang menjadi tulang punggung. Kamu cuma menikmati hasilnya saja. Menikmati uang kami." Naura terus saja melanjutkan omongan pedasnya.

 

     Muka Ika memerah. Rasa tidak terima menguasai hatinya.

 

     "Naura, jangan kau bilang aku menikmati uang kalian. dan jangan kamu percaya diri mengatakan kau tulang punggung yang menafkahiku. Sekarang coba kau katakan apa yang kau lakukan di rumah ini? Apa yang pernah kau beli di rumah ini? Atau apakah pernah kamu membeli kebutuhan dapur?"

 

     "Kau pikirkan baik-baik sekarang. Adakah secuilpun dari pernak-pernik dan perabotan di rumah ini yang dibeli dengan uangmu? Ada apa tidak? Kalau kau merasa ada, coba katakan apa sajakah itu?"

 

     Kali ini balik Naura yang terdiam dan membisu. Bingung mau menjawab apa. Karena memang apa yang Ika sebutkan tadi benar adanya.

 

     Belum sempat Naura menjawab Ika kembali melanjutkan kata-katanya,

 

     "Dan juga kau bilang sebagai tulang punggung untukku, aku tanya sama kamu apakah kamu pernah membeli kebutuhan rumah tangga seperti membayar listrik, air, dan wi-fi? Jelaskan Naura?"

 

     Naura kelabakan, 

 

     "Mbak terlalu sombong. Tentu saja aku belum sempat membeli apa-apa. kalau saja aku mau, aku bisa membeli furniture-furniture mahal melebihi yang ada di rumah ini. Bahkan dengan pernak-pernik nya juga. Tentu saja bukan barang murahan yang akan kubeli. Kulihat di rumah ini tidak ada satupun barang yang mahal-mahal dan bermerek. Semuanya hanya kw kw." Rupa masam mengiringi ucapan Naura.

 

     Sembari bicara, Naura juga menunjuk-nunjuk kursi pajangan dinding dan juga vas bunga di depannya.

 

     "Lihat ini vas bunga, vas bunga ini harganya tidak lebih dari pada seratusan ribu. Dan ini kursi-kursi ini bukanlah barang bagus. Ini yang Mbak Ika sombongkan? Duduk saja di sofa ini rasanya sudah membuat badanku pegal. Hahaa ... Kenapa rasanya aku ingin tertawa melihat seisi rumah ini."

 

     Naura tertawa lepas.

 

    "Dan juga lihat isi dapurmu. Semua perabotannya bukan barang bermutu. Itu yang membuat aku malas berkutat di dapur bersamamu. Barang-barang itu hanya akan mengotori tanganku saja."

 

     Ika menghela nafas panjang. Sifat Ika sungguh diluar dugaannya. Ucapan yang begitu pahit menggigit. Sama sekali tidak mengerti etika dalam berbicara. sambil berbicara pun tangannya tidak segan-segan menunjuk-nunjuk kesana kemari mengekspresikan ucapan pedasnya.

 

     "Kalau kamu merasa pegal duduk di sofa rumah ini, maka aku juga tidak minta kau untuk duduk. Silakan kamu berdiri. Dan juga kalau kamu menganggap seisi dapurku tidak berbobot. Lebih baik kau tidak usah makan dan minum lagi di rumah ini." Kali ini Ika bisa juga mengucapkan kata-kata pahit kepada istri kedua suaminya tersebut.

 

     Tentu saja Naura sangat tidak suka dengan jawaban balasan yang diucapkan kakak madunya.

 

     "Rumah ini bukan rumahmu, Mbak. Tapi rumah Arsyad." 

 

     "Aku tidak bilang rumah ini rumahku atau rumah Arsyad. Terlepas dari itu, yang pasti ini bukan rumahmu. Kau tahu itu kan?" Sahut Ika menatap kedua mata Naura tajam.

 

     Kekagumannya terhadap sosok Naura benar-benar hilang tidak bersisa. Kalaupun dulu Ika menganggap Naura perempuan yang begitu lembut, dan dari kerudung beserta busananya yang anggun, Ika membayangkan Naura adalah sosok wanita sholehah. Sehingga berpikir memang wajar apabila Arsyad seiring waktu benar-benar jatuh cinta padanya.

 

     Namun nyatanya, setelah mengetahui sifat asli dari perempuan itu, Ika bisa menyimpulkan, Naura bukanlah seindah sosok yang ia dibayangkan dahulu.

 

     "Dan jika kau mau, kau juga boleh memilih untuk meninggalkan rumah ini." Lanjut Ika kembali.

     

     "Mbak, Mbak tidak bisa berkesimpulan seperti itu. Arsyad itu adalah suami ku juga. tentu saja rumah ini milikku juga jadi aku bebas sebebas-bebasnya di rumah ini."

 

     "Kalau kau ingin rumah berjuanglah dahulu. Tidak usah mengaku-ngaku. Seharusnya kau malu, spalagi kalau kau sadar diri jika kau hanya menumpang." Ucap sikap tegas.

 

     "Aku tetap akan tinggal di rumah ini."

 

     "Kalau kamu masih mau tinggal seatap dengan ku, seharusnya kau bisa menjaga sikap sebagai sesama perempuan."

 

     Naura terlihat mengulum senyum. Entah apa yang ia pikirkan, Ika tidak mengerti.

 

     "Oooh, Mbak bilang sesama perempuan?  Itu pasti menyangkut perasaan Mbak Ika yang sakit karena diduakan, ya?"

 

     Ika mengernyitkan dahi, heran dengan tanggapan yang Naura berikan.

 

     "Apa maksudmu Naura?"

 

     Naura mendekat.

 

     "Mbak aku mengerti perasaanmu, kau pasti merasa tersaingi karena kehadiranku bukan? atau mbak sedikit khawatir jika dalam waktu tidak lama lagi aku akan segera hamil putra dari Arsyad? Yang bisa membuat Mbak iri."

 

     Ika semakin tidak mengerti dengan cara berpikir Naura.

 

     "Itu hanya anggapanmu saja Naura. Justru aku mengizinkan Arsyad menikahimu supaya kamu bisa melahirkan putra untuknya."

 

     Kembali Naura tergelak tipis. Ia memainkan jari-jemarinya di atas meja kaca  di hadapannya. Sehingga terdengarlah bunyi ketukan-ketukan kecil.

 

     "Bicaramu seperti meyakinkan. Seperti bijak sekali. Tapi seperti yang mbsk bilang tadi, sesama perempuan aku bisa menebak perasaan Mbak. hati siapa yang tidak sakit jika suaminya ingin berbagi hati. Apalagi itu dengan perempuan yang lebih cantik, lebih energik, lebih mudah, lebih pandai dan lebih berkarir dibanding dengan istri tuanya."

 

     Berdetak jantung Ika lebih cepat. Ucapan Naura membakar emosinya. 

 

     "Hentikan ucapanmu itu Naura. Tahu apa kau akan perasaanku."

 

     "Sudahlah, Mbak Ika tidak usah menyembunyikannya. Aku sudah tahu. Lihat saja nanti, sedikit demi sedikit aku akan bisa merebut Arsyad sepenuhnya dari Mbak Ika."

 

     "Tidak usah kau rebut. Ambil saja dia. Aku sudah tidak peduli dengan kalian." Ika terbawa emosi. Sehingga suaranya terdengar sedikit membentak. Bersamaan dengan itu pintu terbuka.

 

     "Ada apa ini? Ami mengapa bicara bentak-bentak sama Naura?"

 

     Ika terkejut, sedangkan Naura malah tiba-tiba nampak tersedu-sedu. Membuat Ika heran melihatnya.

 

     "Kenapa ini, Mi? mengapa Naura menangis?"

 

     Naura langsung saja menjatuhkan diri ke dalam pelukan Arsyad.

 

     "Istri tuamu ini berbicara singgung-menyinggung. Ucapannya pedas. Mengatakan aku macam-macam. Aku tidak bisa terima, Pa. Tidak bisa. katanya aku tidak pernah mau beli apa-apa selama diam di rumah ini. Sakit hatiku, Pa."

 

     Arsyad menggiring tubuh Ika untuk duduk di sofa. Ika masih diam.

 

     "Mengapa kalian sampai bertengkar? Ika, cobalah untuk mengalah kepada adik madumu, dia belum begitu lama mengarungi kehidupan berumah tangga. Tugasmu adalah membimbingnya."

 

     Ika merasa tindakan Arsyad tidak cukup bijak. Ia merasa Arsyad tidak menyelidiki masalah yang sebenarnya. Langsung saja berbicara seolah Ika yang bersalah.

 

     "Bi, maaf tadi hanya ada kesalahpahaman. Hanya berawal dari Naura memintaku untuk mengambilkan air minum padanya. Kukira itu masalah ringan, apa salahnya dia mengambil air minum sendiri. Bukan malah main perintah-perintah saja."

 

     Arsyad memandang wajah Naura, wajah itu masih tersedu dengan buliran air jatuh dari sudut matanya. Arsyad yang mulai merasa jatuh cinta pada istri keduanya itu, merasa iba.

 

     "Mi, mengambil air itu bukan pekerjaan susah, apa salahnya Ami mengambilkannya. tidak perlu juga menjadi masalah besar apalagi sampai bertengkar. Lihat Naura menangis. Bersikap lebih dewasa, Mi. Kelakuanmu tidak seperti yang Abi lihat selama ini."

 

 

 

Bersambung

 

 

Mau tahu tindakan yang akan di lakukan Ika selanjutnya? Nantikan lanjutannya besok...

     

     

     

 

    

    

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (8)
goodnovel comment avatar
Ris Nadeak Laoly
klo laki2 poligami sih nggak masalah itu haknya yg disesali knp sang istri mau2 aja di poligami sejatinya laki2 baik tak akan mau menduakan istri nya apa lg berbagi hati dan cinta dgn wanita lain apapun alasannya.
goodnovel comment avatar
Anitha Yunitha
tolong dong karakter ika nya dibuat menonjol biar gk diinjak injak terus
goodnovel comment avatar
Margaretha Rafu Dalle
memang di madu, sll istri pertm yg di salahkan, tp kl tabah mnjalani maka akan ada bahagia d akhir dan istri madu dan suami akan dpt azabnya. yg pnting tabah, iklas jalani hdp
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 54 Extra Part

    Bab 54 "Ma, sini Papa yang jemur pakaiannya ya," ujar Erland sembari menarik keranjang yang berisi pakaian-pakaian yang baru saja dikeringkan dari dalam mesin cuci. "Aduh, Pa. Ntar nggak enak kalo di liat orang. Kok Papa yang jemur pakaian?" "Ah nggak apa-apa. Namanya rumah tangga itu harus sama-sama. Apalagi Bik Inah dan Bik Inun sedang tidak ada. Bisa-bisa Mama sakit bila harus mengerjakan pekerjaan rumah sendirian, udah deh, Mama istirahat saja dulu sana. Ntar sakit kalo kecapean. Papa lihat saudari bangun pagi tadi Mama beristirahat. Sambil liat-liat si kembar" ujar Erland dengan senyuman. Erland keluar menuju ke jemuran disamping rumah. Ika mengucap syukur kehadirat Tuhan yang telah menganugerahinya sesosok lelaki yang sudah dianggapnya seperti malaikat Sedangkan Erland mulai sibuk dengan pak

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 53 ENDING

    Bab 53 Beberapa tahun kemudian, Arsyad membanting begitu saja sebuah tas hitam yang berisi segenap berkas di tangannya. "Ada apa, Arsyad?" Bu Melia mendelik heran. "Tidak ada satu perusahaan pun yang mau menerima aku lagi, Bu. Terpaksa Arsyad tetap bekerja di pencucian mobil yang menyebalkan itu. Dengan hasil yang jauh dari standar hidup. Selamanya kita akan terus terpuruk dalam kehidupan yang tidak menyenangkan ini," ucap Arsyad. "Sabar dulu, nanti pasti ada-ada saja perusahaan yang mau menerima kamu. Kerja di perkantoran lebih baik daripada bekerja di tempat cucian mobil." Bu Melia menenangkan. "Perusahaan mana lagi Bu, yang mau menerima seorang pria yang baru keluar dari penjara seperti aku? Bahkan perusahaan kecil pun menolak dengan kasar. Masih untung aku dapat pekerjaan di steam pencucian mobil. Kalau ti

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 52

    Bab 52 "Pak Erland, bisakah aku meminta izin untuk pulang lebih cepat?" Suara Ika terdengar serak. Erlan melihat ada yang mengkhawatirkan dari wajah perempuan itu. "Ika, kau terlihat begitu pucat. Apa kau sakit?" Tanya Erland. "Tidak, aku baik-baik saja hanya sedikit pusing, Pak." Jawab Ika. "Baik kalau begitu, biar aku antarkan kamu pulang," Erland bangkit dari duduknya. "Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri. Lagi pulang pekerjaan Bapak belum selesai," "Tidak! Pekerjaanku bisa diselesaikan nanti. Aku khawatir jika kau harus pulang sendiri," ujar Erland. "Terserah Bapak saja kalau begitu. Tapi aku tidak enak terlalu banyak merepotkan Anda, Pak Erland." Ujar Ika sambil terhuyung. Tangannya berpegangan pada dinding. "Ika, kau tidak apa-apa?"

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 51

    Bab 51 Hari demi hari, bulan demi bulan, tidak terasa usia Nada, Putri yang telah Naura lahirkan kian bertambah. Tentu saja kebutuhan yang harus dipenuhi juga bertambah banyak "Bu, Pampers Nada udah habis. Bagaimana ini? Pinjam duit Ibu dulu boleh ya?" Naura mendekati Bu Ema. "Kamu ini bagaimana, Naura? Kamu pikir ibu ini gudang duit apa? Darimana lagi ibu mendapatkan uang. Ibu sudah menghitung-hitung, setiap bulan kita harus mengeluarkan uang berapa, untuk jatah Nada juga berapa." Jawab Bu Ema. "Tapi uang yang ibu serahkan untuk Nada udah habis, Bu." Ujar Naura. "Naura, kondisi keuangan kita sedang sempit. Seharusnya kau tahu cara untuk berhemat, lihatlah rencana ibu untuk membuka usaha baru belum terwujud. Uang hasil gadai rumah kita pun hampir habis, nanti kalau kita tidak bisa menebus rumah ini, bahaimana? Mau kamu rumah in

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 50

    Bab 50"Haaaa ...?" Naura tersentak. "Mahendra menyebut anak kecil itu sebagai anaknya? Apakah selama ini Mahendra sudah menikah?" Naura melongo dengan kedua tangan menutup mulut. "Kurang aj*r...!" Seru Naura seraya berjalan dengan amarah yang naik ke ubun-ubun. Langkah kakinya menuju ke arah di mana Mahendra dan wanita itu berada. "Mahendra...!" Teriak Naura. "Lhoo? Naura...? Kok kamu ada di sini?" Mahendra amat kaget melihat Naura berdiri tepat di hadapannya. "Pa, siapa wanita ini?" Istri Mahendra tidak kalah kaget. "Mmm ... ia bukan siapa-siapa, Sayang." Jawab Mahendra. Mendengar jawaban lelaki yang sejak lama ia kenali tersebut, Naura naik pitam. Hatinya sakit dengan pengakuan palsu Mahendra. "Apa kau bilang? Kau tak katakan jika aku ini

  • Nafkah Istri Pertama   Bab 49

    Bab 49 Karena tindakan yang mereka lakukan, Bu Melia dan Arsyad tidak mampu mengelak dari kenyataan bahwa mereka harus mendekam dalam jeruji besi. Bahkan jasa seorang pengacara yang mereka sewa pun tidak mampu untuk melepaskan mereka dari jeratan hukum. "Mengapa nasibku begini apes? Apa salahku? Huuuh...! Ika...semuanya gara-gara dia...!" Bu Melia terus sesenggukan meratapi nasib. "Bagaimana bisa dia menjadi marketing manager di perusahaan itu, jabatan yang bahkan melebihi jabatan anakku dulu. Apakah selama ini Ika membohongi kami?" dalam isak tangisnya Bu Melia masih sempat untuk mengumpat. Kembali ia teringat penampilan Ika yang ia lihat kemarin, "Sungguh sulit dipercaya, dari mana Ika mendapatkan uang banyak yang bisa merubah penampilannya hingga sedrastis itu? Hu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status