Share

Tiga

Author: shinwira
last update Last Updated: 2022-06-10 23:58:54

[Mas, tadi aku ke rumah Ibu, ternyata sedang di renovasi, ya? Kata Pak Slamet kamu yang biayai, apa benar, Mas?] 

Setelah mempertimbangkan banyak hal, aku memutuskan untuk menanyakan langsung terkait renovasi rumah yang katanya suamiku-lah yang membiayainya. Ingin tahu juga apa dia akan mengatakan yang sebenarnya padaku, atau memilih kembali tidak jujur.

Semenjak Mas Dio bekerja di luar kota, komunikasi kami tidak lancar. Aku harus menunggu lebih dari satu jam untuk menunggu balasan darinya. Bahkan sering juga ia baru membalas di tengah malam.

Jika aku mau menelepon pun, aku harus membuat janji terlebih dahulu. Sudah seperti menghubungi orang penting saja. 

Pernah aku tanyakan kenapa ia jarang membalas pesanku, katanya ia tidak diperbolehkan membawa ponsel saat bekerja. Ia harus bersembunyi dulu di kamar kecil jika mau melihat ponselnya.

Sambil menunggu jawaban dari Mas Dio, aku membuka warung kecil-kecilanku. Kebetulan banyak anak-anak yang sedang bermain. Pasti akan ramai pembeli. Dita pun meminta izin untuk ikut bermain bersama teman-temannnya.  

Sudah tiga jam berlalu dan masih belum juga ada jawaban dari Mas Dio. Sampai bosan aku berulang kali mengecek ponsel hanya untuk memastikan apa sudah ada balasan atau belum.

Saat sedang melayani pembeli, tiba-tiba ponsel di saku berdering. Setelah selsai melayani pembeli tersebut gegas aku membuka pesan yang memang benar dari Mas Dio.

[Oh, iya, memang rumah Ibu sedang di renovasi. Rumah itu sudah terlalu tua. Aku ikut menyumbang sedikit saja dari sisa gaji.] 

Aku mendecih kesal membaca pesannya. Sedikit saja katanya, sungguh sangat berbeda dengan apa yang dikatakan Pak Slamet pagi tadi.

Tak mau kehilangan momen segera aku membalasnya lagi. Berharap Mas Dio akan segera meresponnya.

[Waah ... ternyata gaji kamu besar juga ya, Mas, sampai bisa ikut menyumbang renovasi rumah? Kukira hanya sepuluh juta itu saja yang kau berikan padaku.]

[Ya, alhamdulillah lumayan.]  Sesuai harapanku, Mas Dio membalas segera pesan dariku.

[Memang berapa sih tepatnya gaji kamu sebenernya, Mas?]

[Tidak banyak, Silvi. Aku hanya memberikan dua juta tiap bulannya pada Ibu.]

Dua juta rupiah katanya? Aku tak percaya sama sekali. Aku malah lebih percaya pada ucapan Pak Slamet dibanding ucapan suamiku sendiri.

Aku merasa sia-sia saja terus bertanya padanya, Mas Dio tak akan pernah mengatakan yang sebenarnya. Sebaiknya sekarang aku tanyakan saja dimana orang tuanya tinggal. Masih berharap ibu akan keceplosan dan memberi tahu yang sebenarnya tentang Mas Dio. 

[Oh ya, Mas, di mana Bapak dan Ibu tinggal selama rumah di renovasi? Dita merengek ingin bertemu kakek. Kangen katanya.]

Terpaksa aku berbohong membawa nama Dita, hanya itu harapanku agar ia mau mengatakan dimana orang tuanya tinggal. 

[Mereka ngontrak rumah di kampung sebelah, aku gak tahu nomor berapa dan RT berapa. Nanti saja kita bawa Dita bertemu Bapak kalau aku pulang.]

Seperti dugaanku, sama seperti Mas Ratno, ia tak mau mengatakannnya. Bahkan untuk memberitahukan dimana orang tuanya tinggal saja sekarang dia tak bisa berkata jujur. 

[Sudah dulu, ya, Silvi. Aku mau kembali bekerja. Ingat, jangan terlalu capek, dan makan yang banyak, ya!]

Mas Dio pun mengakhiri percakapan kami melalui pesan itu begitu saja dan membuatku makin bertanya-tanya.

****

Saat sedang membereskan rumah kudengar suara pintu diketuk. Gegas aku pun membukanya. Betapa terkejutnya aku ketika mendapati sesosok lelaki yang sudah lama tak kujumpai, berdiri di balik pintu dengan senyum manis khasnya.

"Hay... anak jelek!" sapanya sambil menahan tawa jahilnya.

Dia adalah Kak Gema, anak angkat dari budeku, yang juga sahabat dekat Mas Dio. Karena Kak Gema-lah aku bisa mengenal Mas Dio hingga akhirnya kami menikah.

"Kamu, kok perasaan makin kurus aja, sih?" tanya Kak Gema sambil mengernyitkan keningnya, memerhatikan penampilanku dari kepala hingga ke kaki.

"Hei, gak sopan ngeliatin cewek kayak gitu!" Dengan mulut cemberut kupukul kepalanya dengan gagang sapu yang memang berada di genggamanku. Lelaki yang sudah seperti kakakku sendiri itu hanya terkekeh geli karena perbuatanku.

Kupersilahkan Kak Gema untuk masuk, sambil menyiapkan minuman untuknya, kulihat Kak Gema memberikan beberapa mainan untuk Dita. Tentu saja Dita amat bersemangat, ia memekik kegirangan karena mainan yang dibelikan Gema adalah mainan yang ia inginkan.

"Tumben datang ke sini, biasanya lupa sama aku!" sindirku sambil menyajikan segelas air teh untuknya.

"Ya ampun, judes amat. Gak boleh apa gue mampir ke rumah adik gue?" tanyanya sambil memasang raut cemberut yang dibuat-buat. Seketika membuatku tertawa geli, karena mendengar dia mengatakan 'gue' dan malah  terdengar sangat aneh.

"Aduuuh ... gak pantes tau kak, pake gue-gue kayak gitu. Geli aku dengernya," ejekku sambil masih terbahak. 

Kak Gema hanya menggaruk lehernya sambil tertawa malu. "Masa? Tapi kok temen-temenku di Jakarta ga ada yang protes ya?" belanya sendiri.

Kak Gema memang bekerja di Jakarta, setelah lulus kuliah ia mendapat pekerjaan jadi ahli IT di salah satu perusahaan besar. Bude begitu bangga padanya, berkat kegigihannya Kak Gema bisa tetap berkuliah walau dalam keterbatasan ekonomi, dan kini ia tinggal meraup kesuksesannya yang juga membuat perekonomian bude meningkat.

"Sebenarnya aku datang ke sini ingin bertemu Dio, tapi sepertinya dia gak di rumah ya?" ujar Kak Gema setelah kami puas saling mengejek dan tertawa.

"Mas Dio sekarang kerja di luar kota, Kak," jawabku singkat. Entah kenapa ada rasa enggan membahas suamiku saat ini. Masih merasa kesal karena kebohongan demi kebohongan yang dia lakukan padaku.

"Oh, ya? Berarti benar yang kulihat beberapa hari yang lalu di Jakarta itu Dio, ya? Seharusnya aku menyapanya waktu itu, tapi sayangnya aku sedang meeting dengan klien," ujarnya seperti takjub.

"Entahlah, bisa iya, bisa juga tidak. Mas Dio sih bilang dia kerja di Bekasi. Jadi sekuriti," jelasku dengan malas.

"Mmmh ..., sebenarnya yang kulihat kemarin memang mirip Dio, tapi dia mengenakan pakaian jas dan keliatan necis banget. Bukan style Dio yang selama ini aku kenal," jelasnya.

"Sayangnya aku gak punya nomor ponsel Dio, jadi aku juga tak bisa menghubunginya langsung saat itu juga. Tapi, bisa jadi bukan Dio, ya? Apalagi katamu dia jadi sekuriti di Bekasi," lanjutnya lagi, menerka-nerka.

Sebenarnya bisa jadi memang Mas Dio yang Kak Gema lihat. Karena kini aku benar-benar tak mengetahui apa pun yang dilakukannya. Bisa jadi Mas Dio memang berada di Jakarta, bukan di Bekasi seperti yang dikatakannya.

Seketika terbersit dalam pikiranku, apa aku ceritakan saja soal ketidakjujuran Mas Dio padaku? Mungkin saja Kak Gema bisa membantu mengungkapkan semuanya tentang suamiku itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Nafkah Sepuluh Juta Perbulan   Lima Puluh Tujuh

    Pak Abi yang masih menggendong Dita pun kemudian menghampiriku. Tersenyum manis sambil menatapku lekat, membuat aku benar-benar merasa malu dan tak bisa menahan senyum di wajahku yang aku tak tahu kenapa.Ia mendekatkan kepalanya pada kepalaku, membuatku makin malu, apa yang akan dilakukannya?"Dita sudah setuju, jadi ... kapan kita resmikan hubungan ini, Silvi?" bisiknya lembut tepat di telingaku yang menimbulkan rasa aneh yang tiba-tiba menggelanyar di hati."Apa Pak Abi kira aku mau?" Aku balik bertanya, karena ada rasa kesal dan juga malu di hati ini."Loh ... bukannya emang mau ya, menikah denganku?" Senyum jahil menghiasi wajahnya."Issh... kapan aku bilang?" Aku memalingkan wajah darinya, berusaha untuk menjaga kesehatan jantungku yang sepertinya mulai kritis ini."Kemarin kan kamu bilang mau menerimaku kalau aku lamar!" Jawabnya penuh percaya diri.Ah ... benar kan, dia mendengar semua pembicaraanku dengan Kak Ge

  • Nafkah Sepuluh Juta Perbulan   Lima Puluh Enam

    Keesokan harinya kami bersenang-senang bersama keluarga di acara gathering yang diadakan perusahaan. Semua orang tampak bahagia bersama orang terkasih mereka sambil menikmati serangkaian acara yang diadakan.Aku bersama Dita pun begitu menikmati acara ini. Momen kebersamaan yang sangat jarang bisa kami dapatkan karena kesibukan dalam pekerjaan yang kadang menyita waktu dan pikiran.Beberapa karyawan ada yang membawa pasangan dan anak mereka. Bagi yang masih single ada yang membawa orang tuanya ada juga yang memilih untuk datang seorang diri karena alasan pribadi.Kulihat di salah satu sisi Kak Gema sedang bercanda bersama ibunya, yang juga budeku. Bude Ani memang beruntung menjadikan Kak Gema anak angkatnya, karena Kak Gema memperlakukan bude layaknya ibu kandung sendiri.Tiba-tiba saja aku jadi rindu kedua orang tuaku terutama bapak yang memang meninggal belum lama ini. Andai mereka masih ada, pasti hari ini akan lebih membahagiakan lagi.

  • Nafkah Sepuluh Juta Perbulan   Lima Puluh Lima

    Sebenarnya ini memang bukan kali pertama kak Gema menyatakan cinta. Dulu, sebelum aku menikah dengan Dio, Kak Gema juga pernah melamarku. "Kak ...." Dengan suara bergetar aku memberanikan diri bersuara."A-aku gak tahu harus mengatakan apa ... tapi ...-""Tapi kalau kamu mau nolak aku juga aku gak apa-apa, kok!" ucap Kak Gema tiba-tiba menghentikan ucapanku."Kak Gema ....""Katakan saja, Silvi. I'm okay! Seenggaknya kalau kamu tolak aku sekarang, aku udah gak penasaran lagi. Mungkin setelah ini aku akan berusaha move on. Mungkin aku mau lamar Nadya, atau Eris," ucapnya sambil sedikit terkekeh, seakan ia sedang bercanda."Kak ... beneran gak apa-apa?" Aku sudah tak tahu lagi apa yang harus kukatakan padanya. Bagiku Kak Gema hanyalah seorang kakak. Dan itu tak akan pernah bisa berubah. Aku menyayanginya, tapi sangat tak mungkin rasa sayang ini akan berlanjut ke pernikahan. Terlalu sulit untuk menerima kenyataan jika harus menika

  • Nafkah Sepuluh Juta Perbulan   Lima Puluh Empat

    Setahun kemudian.Acara gathering dari Tathir Corp, perusahaan tempat aku bekerja bersama Kak Gema dan Pak Abi, dilaksanakan untuk pertama kalinya. Kami semua berencana membawa keluarga masing-masing untuk menginap bersama di sebuah tempat pemandian air panas."Kamu mau bawa siapa, Gema?" tanya Pak Abi. Saat kami sedang makan siang.Awalnya hanya aku sendiri yang makan di ruangan rapat ini. Ruangan yang paling nyaman untuk menyendiri. Tapi tiba-tiba Kak Gema menyusul, begitu juga Pak Abi. Akhirnya kami pun berkumpul bersama.Kulihat Kak Gema menatap sinis sahabatnya itu. "Aku bawa kamu! Karena aku tahu kamu gak akan bawa pasanganmu! Iya, 'kan?" jawab Kak Gema sambil melemparkan sepotong kerupuk pada sosok lelaki di seberangnya itu."Iiih ... ogah!" timpalnya sambil bergidik ngeri.Aku yang sedari tadi memerhatikan mereka hanya bisa tertawa menahan geli."Memang kamu mau bawa siapa, Abi?" tanya Kak Gema balik."T

  • Nafkah Sepuluh Juta Perbulan   Lima Puluh Tiga

    Aku tak bisa menjawab apa pun, memang bagiku cukup aneh Arni ada di kampung itu tanpa memberitahukan apa pun padaku. Padahal sebelumnya ia selalu mengatakan kemana pun dia pergi."Aku ingin meminta bantuanmu untuk mencari tahu kebenarannya. Bisa kan?" tanyanya lagi."Untuk apa aku membantumu? Tak ada untungnya untukku!" elakku. Tak mau mengurusi sesuatu yang tidak penting sama sekali."Demi Silvi, Dita dan juga mertuamu! Walau kalian akan segera bercerai tapi walau bagaimana pun mereka pernah ada di hidupmu! Apa kamu tidak kasihan pada mereka?"Ucapannya sedikit mengusik hatiku. Tapi, tetap saja ini bukan urusanku atau pun dia. Polisi saja tidak melakukan penyelidikan. Kenapa harus aku yang malah repot?"Aku tidak mau membantumu! Aku sudah banyak urusan, tak mau lagi pusing dengan masalah lainnya! Kalau memang Arni bersalah, biar saja polisi yang menindaknya!" elakku."Sekarang sebaiknya kamu pergi saja! Jangan ganggu aku lagi!" Aku pun segera mempersilahkannya untuk pergi. Kulihat Ab

  • Nafkah Sepuluh Juta Perbulan   Lima Puluh Dua

    Sungguh, jika tidak ingat ada anak-anak di sini pasti sudah kuhabisi lelaki tak bertanggung jawab sepertinya itu."Kalau begitu, setidaknya kamu berusaha bekerja untuk menghidupi istri dan anak-anakmu! Atau minimal untuk dirimu sendiri. Bukannya ongkang-ongkang kaki begini!""Hei ..., baru seperti ini saja kalian sudah berisik begini! Apa kalian lupa, dulu aku juga suka memberikan hasil kerjaku untuk menghidupi kakakmu dan orang tuamu itu? Cari kerja itu sulit sekarang! Kalau ada proyek juga aku tidak akan tiduran seperti ini, kok!" Mas Ratno memelototiku penuh emosi.Aku hanya bisa menggelengkan kepala, tak habis pikir akan sikapnya itu. Bisa-bisanya ada lelaki sepertinya yang tidak tahu malu sama sekali.Padahal jika dia serius mau menghidupi keluarganya, dia pasti akan berusaha mencari pekerjaan. Bukan hanya mengandalkan proyek dari orang-orang kampung sini saja.****"Bu, bagaimana kalau kita jual saja rumah ini?" ucap Kak Desi tiba-tiba pada ibu saat aku sedang membantunya memper

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status