Share

Empat

"Ada apa, Silvi? Kenapa wajahmu tiba-tiba lesu?" tanya Kak Gema seraya mengernyitkan keningnya.

Apa sebegitu terlihatnya di wajahku tentang kegelisahan yang tengah kuhadapi ini?

"Kenapa? Cerita padaku, kamu sedang bertengkar dengan Dio? Apa Dio bersikap tidak baik padamu? Atau ... dia selingkuh? Jangan bilang kalian sedang pisah ranjang, Silvi!" Kak Gema memberondongku dengan pertanyaan. Raut khawatir terlihat jelas di wajahnya.

"Silvi, jangan pikir kamu bisa menyembunyikannya dariku, aku tidak akan tinggal diam jika Dio menyakitimu!" tegas Kak Gema kali ini sambil menatapku sungguh-sungguh.

Sepertinya aku memang harus memberitahukan padanya, walau sebenarnya aku sangat menghindari membahas masalah rumah tangga dengan Kak Gema. Sebisa mungkin ingin membuktikan bahwa aku bahagia menjadi istri Mas Dio walau dalam keterbatasan.

Masih teringat jelas di benak saat Kak Gema pernah mengatakan ingin menjadikan aku istrinya walau dengan nada bercanda. Hal itulah yang membuatku segera mendesak Mas Dio untuk segera menikahiku walau dia hanya seorang pengangguran kala itu. 

Aku tak mau hubungan dengan Kak Gema menjadi canggung karena ia menaruh harapan padaku. Walau bagaimanapun Kak Gema adalah saudaraku, meski statusnya hanya anak angkat dari budeku.

"Hubunganku dengan Mas Dio baik kok, Kak. Tapi ... gak tau kenapa aku curiga dengan pekerjaannya ...." Akhirnya aku beranikan diri untuk menceritakan semuanya. Kukatakan satu persatu hal yang menjadi kecurigaanku pada Kak Gema.

Lelaki berkaca mata di hadapanku itu mencerna semuanya dengan seksama. Kulihat dia menghembuskan nafas berat sambil melipat kedua tangannya ke dada seraya menyandarkan diri ke sofa. "Mencurigakan memang," ujarnya dengan raut serius.

"Mungkin ... aku bisa bantu menemukan Dio dengan mencari keberadaannya melalui GPS lalu kita dapat mencari tahu semua kebenarannya. Besok aku akan mulai mencoba melacak di mana keberadaan Dio sebenarnya!"

Rasanya seperti menemukan secercah harapan. Beruntung Kak Gema mau membantuku. Kenapa hal ini tak terpikan olehku sebelumnya?

"Kau tunggu saja di rumah. Besok aku akan mengabarimu setelah mendapatkan kepastian alamatnya!" ujar Kak Gema menenangkan ku.

****

Keesokan harinya, walau Kak Gema sudah menjanjikan akan mencari alamat Mas Dio, aku memutuskan untuk tetap mencari tahu di mana mertuaku kini tinggal. Antisipasi jika Kak Gema tak berhasil mendapatkan alamat Mas Dio.

Aku berencana akan menanyakan langsung pada Pak Slamet, besar kemungkinan dia tahu di mana orang tua Mas Dio tinggal.

Pagi-pagi sekali aku berangkat, berharap Pak Slamet belum berangkat kerja. Dita kupakaikan jaket tebal, khawatir ia masuk angin karena ikut pulang pergi naik motor pagi-pagi seperti ini.

Kulihat rumah mertuaku yang sedang di renovasi masih sepi dari orang. Itu berarti Pak Slamet harusnya masih ada di rumahnya. Segera saja aku parkirkan motor tepat di depan rumah Pak Slamet yang berada persis di sebelah rumah mertuaku.

Kuketuk pintu dan mengucapkan salam. Berharap pemilik rumah akan segera keluar. Tak lama  seorang wanita yang sudah cukup berumur membuka pintu. Bu Sarah, istri Pak Slamet menyambutku dengan pelukan hangat. Tak lupa kuberikan sebuah bingkisan makanan yang telah kusiapkan sebelumnya untuk ia nikmati.

"Apa apa Neng Silvi, tumben main kesini?" tanyanya ramah.

Kusampaikan saja maksud dan tujuanku kemari. Termasuk tentang ketidaktahuanku terkait renovasi rumah mertuaku itu.

"Pantas, kemarin Ratno marah sekali karena aku ngobrol sama kamu, Silvi!" ujar Pak Slamet setelah ikut bergabung bersama aku dan Bu Sarah.

"Ternyata kamu memang tidak tahu apa-apa ya soal renovasi rumah milik Teguh itu?" Lanjutnya lagi sambil mengangguk-angguk. Teguh adalah nama bapak mertuaku.

"Iya, Pak. Aku tak diberi tahu sama sekali soal renovasi itu. Mas Dio tak pernah menceritakan apa pun," terangku.

"Aneh juga ya, kenapa mereka harus merahasiakannya darimu?" Pak Slamet tampak berpikir keras. Pertanyaan yang sama seperti yang aku tanyakan.

"Aku juga tidak tahu kenapa, Pak. Makanya aku ingin mencari tahu sekarang ini dengan bertanya langsung pada mertuaku," jelasku.

"Sebenarnya, Teguh juga tinggal tak jauh dari sini kok. Dia tinggal di rumah milik Pak Rahmat yang dikontrakan itu, loh. Kamu ingat, kan? Itu loh, Pak Rahmat yang juragan beras " terang Pak Slamet lugas. 

Aku mencoba mengingat-ingat rumah Pak Rahmat yang dimaksud. Ada beberapa rumah dalam benakku. Tapi tiba-tiba aku teringat sebuah rumah besar di pinggir jalan utama yang memang milik Pak Rahmat.  Rumah itu sebenarnya tidaklah jauh. Bahkan bisa ditempuh dengan berjalan kaki saja. Tapi Mas Dio juga Mas Ratno tak mau menunjukkannya, malah berpura-pura seakan tempat tinggal orangtuanya berada jauh sekali.

"Tapi kamu jangan bilang-bilang tahu dari kami, ya! Aku tak mau Ratno marah lagi padaku," tegas Pak Slamet, yang segera saja ku iyakan.

Setelah mendapat unformasi yang kubutuhkan, aku pun berpamitan. Khawatir jika berlama-lama Mas Ratno akan menyadari keberadaanku di rumah Pak Slamet.

Sebelum menuju rumah yang diberi tahu Pak Slamet, aku dan Dita sarapan dulu di pinggir jalan.  Semangkuk bubur ayam aku santap agar nanti kuat saat menghadapi mertuaku. 

Setelah di rasa cukup kenyang kami pun segera menuju rumah  di mana mertuaku tinggal. Perjalanan membutuhkan waktu tak kurang dari sepuluh menit, dengan kecepatan sedang.

Hingga akhirnya aku sampai  di depan rumah yang dimaksud Pak Slamet. Sebuah rumah yang cukup besar dengan desain klasik. Yang kutahu rumah ini sebelumnya selalu diisi oleh orang-orang kota. Biaya sewa yang mahal membuat tak sembarang orang dapat mengontrak rumah ini. 

Sepertinya benar, keluarga Mas Dio tinggal di sini kini.  Karena di halaman rumah terebut kulihat sebuah motor vespa butut yang dulu menjadi kebanggan bapak mertuaku terparkir dengan cantik.

Dengan perlahan aku mengajak Dita turun dan segera masuk. Jantungku rasanya tak karuan. Penasaran atas respon dari keluarga Mas Dio mendapati aku sudah mengetahui keberadaan mereka.

Kuketuk pintu rumah dengan keras. Berharap akan segera ada yang membuka pintu. Cukup lama aku harus menunggu hingga tiba-tiba pintu pun dibuka.

Kak Desi tersentak kaget melihat diriku. Sebisa mungkin aku mencoba memasang senyum terbaik dan wajah polos agar mereka tak curiga.

"Si- Silvi ... ba-bagaimana kau bisa tahu kami ada di sini?" tanya Kak Desi tergagap. 

Tanpa menjawab pertanyaan darinya aku segera memeluk wanita berusia tiga puluhan itu. "Kak Desi ..., ya ampun ..., akhirnya kita bisa ketemu lagi ya, aku kangen banget sama kakak!" ujarku antusias. Yang dipeluk tetap tak berkutik

"Desi ..., siapa yang datang bertamu pagi-pagi begini?" Tiba-tiba kudengar suara Ibu mertua mendekat. 

Tak lama dapat kulihat sosoknya berjalan menghampiri kami. "Nenek ...," Tanpa di perintah, Dita segera berlari kearah neneknya dan segera memeluknya. Membuat Ibu mertua seketika tersentak kaget. Ia menatapku dan Dita bergantian. Wajahnya ketakutan seperti baru saja melihat hantu. Ia tampak tak percaya kami ada adi hadapannya.

"Ka-kamu Silvi? Ke-kenapa bisa tahu kami ada di sini?" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status