Apa sebegitu terlihatnya di wajahku tentang kegelisahan yang tengah kuhadapi ini?
"Kenapa? Cerita padaku, kamu sedang bertengkar dengan Dio? Apa Dio bersikap tidak baik padamu? Atau ... dia selingkuh? Jangan bilang kalian sedang pisah ranjang, Silvi!" Kak Gema memberondongku dengan pertanyaan. Raut khawatir terlihat jelas di wajahnya.
"Silvi, jangan pikir kamu bisa menyembunyikannya dariku, aku tidak akan tinggal diam jika Dio menyakitimu!" tegas Kak Gema kali ini sambil menatapku sungguh-sungguh.
Sepertinya aku memang harus memberitahukan padanya, walau sebenarnya aku sangat menghindari membahas masalah rumah tangga dengan Kak Gema. Sebisa mungkin ingin membuktikan bahwa aku bahagia menjadi istri Mas Dio walau dalam keterbatasan.
Masih teringat jelas di benak saat Kak Gema pernah mengatakan ingin menjadikan aku istrinya walau dengan nada bercanda. Hal itulah yang membuatku segera mendesak Mas Dio untuk segera menikahiku walau dia hanya seorang pengangguran kala itu.
Aku tak mau hubungan dengan Kak Gema menjadi canggung karena ia menaruh harapan padaku. Walau bagaimanapun Kak Gema adalah saudaraku, meski statusnya hanya anak angkat dari budeku.
"Hubunganku dengan Mas Dio baik kok, Kak. Tapi ... gak tau kenapa aku curiga dengan pekerjaannya ...." Akhirnya aku beranikan diri untuk menceritakan semuanya. Kukatakan satu persatu hal yang menjadi kecurigaanku pada Kak Gema.
Lelaki berkaca mata di hadapanku itu mencerna semuanya dengan seksama. Kulihat dia menghembuskan nafas berat sambil melipat kedua tangannya ke dada seraya menyandarkan diri ke sofa. "Mencurigakan memang," ujarnya dengan raut serius.
"Mungkin ... aku bisa bantu menemukan Dio dengan mencari keberadaannya melalui GPS lalu kita dapat mencari tahu semua kebenarannya. Besok aku akan mulai mencoba melacak di mana keberadaan Dio sebenarnya!"
Rasanya seperti menemukan secercah harapan. Beruntung Kak Gema mau membantuku. Kenapa hal ini tak terpikan olehku sebelumnya?
"Kau tunggu saja di rumah. Besok aku akan mengabarimu setelah mendapatkan kepastian alamatnya!" ujar Kak Gema menenangkan ku.
****
Keesokan harinya, walau Kak Gema sudah menjanjikan akan mencari alamat Mas Dio, aku memutuskan untuk tetap mencari tahu di mana mertuaku kini tinggal. Antisipasi jika Kak Gema tak berhasil mendapatkan alamat Mas Dio.
Aku berencana akan menanyakan langsung pada Pak Slamet, besar kemungkinan dia tahu di mana orang tua Mas Dio tinggal.
Pagi-pagi sekali aku berangkat, berharap Pak Slamet belum berangkat kerja. Dita kupakaikan jaket tebal, khawatir ia masuk angin karena ikut pulang pergi naik motor pagi-pagi seperti ini.
Kulihat rumah mertuaku yang sedang di renovasi masih sepi dari orang. Itu berarti Pak Slamet harusnya masih ada di rumahnya. Segera saja aku parkirkan motor tepat di depan rumah Pak Slamet yang berada persis di sebelah rumah mertuaku.
Kuketuk pintu dan mengucapkan salam. Berharap pemilik rumah akan segera keluar. Tak lama seorang wanita yang sudah cukup berumur membuka pintu. Bu Sarah, istri Pak Slamet menyambutku dengan pelukan hangat. Tak lupa kuberikan sebuah bingkisan makanan yang telah kusiapkan sebelumnya untuk ia nikmati.
"Apa apa Neng Silvi, tumben main kesini?" tanyanya ramah.
Kusampaikan saja maksud dan tujuanku kemari. Termasuk tentang ketidaktahuanku terkait renovasi rumah mertuaku itu.
"Pantas, kemarin Ratno marah sekali karena aku ngobrol sama kamu, Silvi!" ujar Pak Slamet setelah ikut bergabung bersama aku dan Bu Sarah.
"Ternyata kamu memang tidak tahu apa-apa ya soal renovasi rumah milik Teguh itu?" Lanjutnya lagi sambil mengangguk-angguk. Teguh adalah nama bapak mertuaku.
"Iya, Pak. Aku tak diberi tahu sama sekali soal renovasi itu. Mas Dio tak pernah menceritakan apa pun," terangku.
"Aneh juga ya, kenapa mereka harus merahasiakannya darimu?" Pak Slamet tampak berpikir keras. Pertanyaan yang sama seperti yang aku tanyakan.
"Aku juga tidak tahu kenapa, Pak. Makanya aku ingin mencari tahu sekarang ini dengan bertanya langsung pada mertuaku," jelasku.
"Sebenarnya, Teguh juga tinggal tak jauh dari sini kok. Dia tinggal di rumah milik Pak Rahmat yang dikontrakan itu, loh. Kamu ingat, kan? Itu loh, Pak Rahmat yang juragan beras " terang Pak Slamet lugas.
Aku mencoba mengingat-ingat rumah Pak Rahmat yang dimaksud. Ada beberapa rumah dalam benakku. Tapi tiba-tiba aku teringat sebuah rumah besar di pinggir jalan utama yang memang milik Pak Rahmat. Rumah itu sebenarnya tidaklah jauh. Bahkan bisa ditempuh dengan berjalan kaki saja. Tapi Mas Dio juga Mas Ratno tak mau menunjukkannya, malah berpura-pura seakan tempat tinggal orangtuanya berada jauh sekali.
"Tapi kamu jangan bilang-bilang tahu dari kami, ya! Aku tak mau Ratno marah lagi padaku," tegas Pak Slamet, yang segera saja ku iyakan.
Setelah mendapat unformasi yang kubutuhkan, aku pun berpamitan. Khawatir jika berlama-lama Mas Ratno akan menyadari keberadaanku di rumah Pak Slamet.
Sebelum menuju rumah yang diberi tahu Pak Slamet, aku dan Dita sarapan dulu di pinggir jalan. Semangkuk bubur ayam aku santap agar nanti kuat saat menghadapi mertuaku.
Setelah di rasa cukup kenyang kami pun segera menuju rumah di mana mertuaku tinggal. Perjalanan membutuhkan waktu tak kurang dari sepuluh menit, dengan kecepatan sedang.
Hingga akhirnya aku sampai di depan rumah yang dimaksud Pak Slamet. Sebuah rumah yang cukup besar dengan desain klasik. Yang kutahu rumah ini sebelumnya selalu diisi oleh orang-orang kota. Biaya sewa yang mahal membuat tak sembarang orang dapat mengontrak rumah ini.
Sepertinya benar, keluarga Mas Dio tinggal di sini kini. Karena di halaman rumah terebut kulihat sebuah motor vespa butut yang dulu menjadi kebanggan bapak mertuaku terparkir dengan cantik.
Dengan perlahan aku mengajak Dita turun dan segera masuk. Jantungku rasanya tak karuan. Penasaran atas respon dari keluarga Mas Dio mendapati aku sudah mengetahui keberadaan mereka.
Kuketuk pintu rumah dengan keras. Berharap akan segera ada yang membuka pintu. Cukup lama aku harus menunggu hingga tiba-tiba pintu pun dibuka.
Kak Desi tersentak kaget melihat diriku. Sebisa mungkin aku mencoba memasang senyum terbaik dan wajah polos agar mereka tak curiga.
"Si- Silvi ... ba-bagaimana kau bisa tahu kami ada di sini?" tanya Kak Desi tergagap.
Tanpa menjawab pertanyaan darinya aku segera memeluk wanita berusia tiga puluhan itu. "Kak Desi ..., ya ampun ..., akhirnya kita bisa ketemu lagi ya, aku kangen banget sama kakak!" ujarku antusias. Yang dipeluk tetap tak berkutik
"Desi ..., siapa yang datang bertamu pagi-pagi begini?" Tiba-tiba kudengar suara Ibu mertua mendekat.
Tak lama dapat kulihat sosoknya berjalan menghampiri kami. "Nenek ...," Tanpa di perintah, Dita segera berlari kearah neneknya dan segera memeluknya. Membuat Ibu mertua seketika tersentak kaget. Ia menatapku dan Dita bergantian. Wajahnya ketakutan seperti baru saja melihat hantu. Ia tampak tak percaya kami ada adi hadapannya.
"Ka-kamu Silvi? Ke-kenapa bisa tahu kami ada di sini?"
"Ka-kamu Silvi? Ke-kenapa bisa tahu kami ada di sini?" tanyanya tak percaya. Aku hanya tersenyum puas, berhasil membuat kejutan pada Ibu dan Kak Desi."Harusnya kamu bilang kalau mau kesini! Jadi kami bisa siap-siap lebih dulu!" Ujar Ibu setelah Dita kuminta untuk kembali duduk tenang di ruang tamu. Raut wajah Ibu dan Kak Desi tampak tak suka akan kedatanganku. Pastinya, karena mereka memang tak mengharapkanku."Bagaimana aku bisa bilang, Bu? Ibu dan Bapak kan gak ada ponsel, nomor Kak Desi pun gak aktif lagi," jawabku sambil menata kue-kue yang kubawa di piring agar bisa dinikmati bersama."Ada apa perlu apa kemari?" tanya Ibu sambil melipat kedua tangannya di dada, tak sedikit pun menatapku."Dita kangen pada Ibu dan Bapak, sudah lama juga kita gak ketemu!" "Ya sudah kalau begitu, Bapak ada di kamarnya, aku mau keluar dulu sebentar. Kalau mau apa-apa ambil sendiri saja, ya!" ujar Ibu sambil berlalu pergi meninggalkanku begitu saja. Sementara Kak Desi entah berada di mana.Sepertin
Karena merasa makin diabaikan di sini, aku pun memilih untuk pulang saja. Dari pada terus berada di rumah mertuaku dan hanya menjadi obat nyamuk saja. Segera kuajak Dita untuk segera pulang. Untuk apa berlama-lama di sini jika hanya terus memakan hati? Toh ku pun tak bisa mengorek informasi apa pun.Demi sopan santun, aku menghampiri Ibu mertua untuk berpamitan, tapi ia hanya memandangku sekilas, mengangguk mengiyakan, lalu kembali fokus melanjutkan perbincangannya dengan Arni dan Kak Desi.Kembali sebuah rasa sedih menyeruak di dada. Kemana ibu mertuaku yang dulu? Yang walaupun kami tak pernah terlalu dekat, tapi ia masih menganggapku ada. Menghargai aku sebagai seorang istri dari anaknya, walau perhatiaannya hanya sebatas memberikan sedikit bingkisan oleh-oleh untuk kubawa pulang ke rumah.Kuabaikan rasa sakitku. Berjalan keluar rumah berdua saja dengan Dita. Memang aku yang salah, tetap memilih datang padahal jelas mereka tak inginkan kehadiranku."Mba Silvi ...." Tiba-tiba sebuah
Sebenarnya ada hal lain yang aku nantikan hari ini. Yaitu kabar dari kak Gema tentang tempat tinggal Mas Dio yang katanya akan dia cari melalui GPS. Tapi sampai nalam tiba, tak sekali pun Kak Gema menggububgiku.Berulang kali aku mengecek ponsel, menunggu kabar dari Kak Gema. Tapi ponselku tetap saja sepi, tak ada yang menghububgiku sama sekali baik Kak Gema ataupun Mas Dio.[Kak Gema, maafkan aku ganggu malam-mala. Sudah ada hasil pencarian keberadaan Mas Dio belum?] Akhirnya aku memutuskan untuk bertanya pada Kak Gema langsung melalui pesan singkat. Berharap Kak Gema akan segera memberikan jawaban.Cukup lama sampai akhirnya ponselku berdering menandakan ada pesan yang masuk. Gegas aku membukanya, ternyata benar dari Kak Gema. Tapi isi pesan tersebut tak sesuai dengan harapanku.[Maaf Silvi, hari ini aku masih belum berhasil mendapatkan alamat Dio, besok jika sudah ada aku akan menghubungimu!] Kecewa? Tentu saja aku merasa kecewa karena usahaku masih juga belum membuahkan hasil sam
Keesokan harinya, dengan diantar Kak Gema aku berangkat ke Jakarta. Pagi-pagi sekali Kak Gema sudah berada di rumah dengan membawa mobil. Segera aku dan Dita menaiki mobil tersebut. "Mobil siapa ini, kak?" tanyaku penasaran setelah mobil melaju memecah dinginnya pagi.Kak Gema menatapku sambil sedikit tertawa geli. "Gak pantes ya aku punya mobil?" "Eh, punya kak Gema? Waaah ... makin sukses aja nih, kakak kesayanganku!" pekikku. Sungguh aku tak menyangka bahwa ia kini sudah jauh lebih sukses. Masih teringat jelas saat-saat hidup susah kami ketika kecil, bahkan untuk membayangkan bisa menjadi orang kaya pun aku tak berani kala itu.Ayahku dan dan Kakaknya--orang tua angkat Kak Gema-- hanyalah seorang tukang jahit di pabrik tas dan sepatu. Gajinya tentu tak seberapa, itu pun dihitung dari jumlah tas yang berhasil selsai setiap harinya. Jika tidak ada pesanan atau proyek, otomatis orang tua kami tak ada pemasukan. Maka untuk bertahan hidup sehari-hari kami hanya mengandalkan hasil keb
Sepintas aku ragu apa itu Mas Dio atau bukan, karena meski mirip, penampilannya sangat jauh berbeda dengan Mas Dio yang kukenal. Lelaki itu berpenampilan necis dengan kemeja berwana biru muda yang menempel di badannya.Gegas aku memberi kode pada Kak Gema yang ternyata juga sama sedang memerhatikannya."Silvi, kamu ikuti Dio, jangan sampai kehilangan jejaknya, aku harus membayar makanan ini dulu!" titahnya sambil bergegas berdiri.Tak ingin membuang waktu, aku pun segera membawa Dita sambil sedikit berlari kearah pintu keluar. Berharap tak sampai kehilangan sosoknya.Aku sempat keheranan ketika kulihat para pramusaji yang berpas-pasan membungkuk hormat pada Mas Dio. Apa ia sebegitu dihormatinya di sini? Namun, ternyata saat aku melintasi pramusaji di pintu, ia pun sama membungkuk padaku. Emmh ... mungkin memang begitu cara pramusaji itu menghormati para tamunya.Aku kembali fokus mengikuti Mas Dio sambil tetap berusaha menjaga jarak dengannya. Aku tak tahu apa akan langsung menghampir
"Kak Gema, kurasa aku ingin bertemu dengan suamiku di sini dan menanyakan semua secara langsung padanya," pintaku saat Kak Gema bertanya apa rencanaku selanjutnya setelah mengetahui kebenaran tentang pekerjaan Mas Dio.Aku merasa butuh kejelasan atas semuanya, mendengar dari mulut Mas Dio langsung tentang pekerjaannya kini dan kenapa ia harus berbohong padaku dengan mengatakan hanya menjadi seorang sekuriti."Aku takut dia akan kembali berbohong jika sudah berada di rumah nanti. Jika kita memergokinya langsung di sini, Mas Dio tak akan bisa mengelak lagi, kan?" Lanjutku lagi.Kak Gema mengangguk-angguk setuju atas ideku. "Baiklah kalau begitu! Bagaimana kalau kamu menginap di salah satu hotel milik Granita Gruop? Siapa tahu suamimu juga ada di sana?" usul Kak Gema yang terdengar amat cemerlang sekali. Aku pun dengan antusias menyetujuinya."Tapi ... malam ini aku gak bisa nemenin kamu, Silvi. Aku ada sedikit urusan. Besok pagi baru aku akan menjemputmu dan kita bisa mengatur rencana
"Masa, Mba,? Bisa tolong pastikan lagi? Kamarnya nomor 156, Mba" Pasti ia sudah salah melihat datanya. Tidak mungkin tidak ada namaku di situ."Maaf Bu, sudah saya pastikan berulang kali tapi tidak ada nama ibu di sini. Kamar nomor 156 juga sudah di isi dan bukan atas nama ibu," terangnya lagi dengan sungguh-sungguh.Seketika membuatku makin panik, jika begini bagaimana aku bisa masuk? Bahkan ponselku pun tertinggal di kamat hotel, jadi aku tak bisa menghubungi Kak Gema sama sekali.Ah, iya aku aku telah melupakan sesuatu. Aku lupa bahwa nama kak Gema-lah yang dipakai untuk memesan kamar di sini. Karena tadi kak Gema tidak meminta tanda pengenal apa pun padaku"Mba, maaf saya salah. Nama pemesannya adalah Gema Pratama, dia adalah kakak saya, tadi dia yang mengurus semuanya,""Maaf Bu, saya tidak bisa membantu. Kami hanya bisa memberikan kartu akses cadangan pada tamu yang terdaftar di daftar pemesan yang dapat menunjukkan tanda pengenalnya saja,""Tapi aku benar datang bersama Gema
Aku hanya pasrah saja mengikuti sekuriti tersebut. Sungguh pikiranku amat kalut kini. Aku tidak bisa kembali ke kamar hotel sementara semua barangku berada di sana, tak bisa menghubungi Kak Gema sama sekali karena ponselku juga ada di kamar dan parahnya lagi, sepertinya aku telah salah informasi tentang Mas Dio. Dia bukanlah seorang bos seperti yang dikatakan sekuriti di restoran tersebut. Bahkan tak ada yang mengenalnya sama sekali di hotel ini.Hah ... kedatanganku ke Jakarta ini rupanya sia-sia saja, bukannya mendapat titik terang, malah membuatku mendapat kesialan seperti ini.Kutatap wajah Dita yang masih terlelap di kursi. Kasihan anak itu, harus ikut menanggung semua ini karena ulah ibunya yang kekeuh ingin ke Jakarta."Mohon maaf, sebaiknya Ibu segera pergi dari hotel ini ya setelah anak ibu nanti bangun!" tegas seorang sekuriti yang tadi membawaku pergi dari meja resepsionis."Tega kalian memgusirku? Kalau begitu, biarkan aku membawa barang-barangku, Pak! Minimal ponsel dan