"Silvi ..., kunci mobilnya ada gak?"
Suara panggilan dari Mas Dio di luar membuatku tersadar bahwa mereka sedang menungguku di luar sana. Gegas saja aku menutup kembali dompet kunci itu, tak ingin sampai ketahuan jika aku telah mengetahui bahwa Mas Dio-lah pemilik mobil itu.
Sebenarnya ingin sekali aku langsung menanyakan padanya soal semua ini, tapi pasti ia akan mengelak dan mencari alasan untuk menutupinya. Memang seperti itu kan cara kerja seorang pembohong, mereka akan terus melakukan kebohongan untuk menutupi kebohongan lainnya yang sudah mereka buat
Jika memang Mas Dio tak berniat menyembunyikan apa pun, seharusnya dia jujur sejak awal, bukan malah berbohong seperti ini. Sepertinya untuk saat ini aku harus mencoba mengikuti permainan mereka dan berusaha mencari tahu sendiri tentang apa yang mereka sembunyikan dariku.
"Ini Mas, kunci mobilmu!" Sengaja aku memberikan kunci itu pada Mas Dio, ingin tahu apa reaksinya ketika aku mengatakan bahwa itu mobilnya. Tapi sepertinya Mas Dio sedang tidak fokus, buktinya ia bersikap biasa saja seperti tak mendengar apa pun.
Sementara itu kulihat malah Dewa yang menjadi salah tingkah. Sekilas ada raut ketakutan di wajahnya. Ia pun menggaruk tengkuknya lalu dengan cepat mengambil kunci mobil dari tangan Mas Dio.
"Ayo, Kak, cepat kita pergi, nanti takut kemalaman sampai rumah."
Dewa seketika menarik tangan kakaknya keras. Tak menghiraukan ucapan Mas Dio yang katanya ingin sekali lagi berpamitan dan memeluk Dita.
Sikap Dewa barusan kentara sekali menunjukan jika memang ada yang mereka sembunyikan dariku.
Dengan tetap mencoba tenang, aku mengikuti langkah kakak beradik itu yang berjalan tergesa menaiki mobil h*nda j*azz yang tampak mentereng di depan sana.
Melihat mobil itu lagi, beribu pertanyaan kembali mencuat di pikiran. Apa sebenarnya yang dilakukan Mas Dio sampai bisa mendapatkannya?
Aku sungguh takut di luar sana dia melakukan hal yang dilarang oleh agama. Menjadi pencuri, penadah barang gelap, berjudi, atau jangan-jangan ia sudah melakukan hal musyrik untuk mendapatkan kekayaan instan?
Naudzubillah, sepertinya aku harus bergerak cepat untuk mencari tahu apa yang ia dan Dewa lakukan sehingga bisa menghasilkan banyak uang dalam waktu singkat.
"Silvi, aku pergi dulu, ya! Ingat jangan terlalu kecapekan, jika uang yang kuberi kurang bilang saja, biar nanti aku tambah," ucap Mas Dio saat telah duduk di mobil.
Aku hanya mengangguk mengiyakan, rasanya tak bisa berkata-kata apa pun kini karena menahan sesak di dada saking banyaknya pikiran jelek tentang lelaki yang kupanggil suami itu.
Lalu tiba-tiba saja mobil pun segera melaju kencang begitu saja tanpa aba-aba. Meninggalkan aku dan Dita yang bahkan belum melambaikan tangan pada Mas Dio.
****
Selepas kepergian Mas Dio aku memutar otak mencari cara bagaimana untuk membongkar semuanya. Namun, rasanya semua buntu, bahkan aku tak tahu di mana suamiku tinggal kini.
Jalan satu-satunya yang dapat kulakukan mungkin hanya mencari info dari mertuaku, ibunya Mas Dio. Ia selalu bercerita apa pun pada semua orang. Tak pernah bisa menyaring sesuatu yang rahasia sekali pun.
Kebetulan juga sudah cukup lama aku tak mengunjungi orang tua Mas Dio. Hampir empat bulan lamanya aku tak menginjakkan kaki ke rumah di mana suamiku tumbuh itu. Semoga saja ia tak akan curiga bahwa aku datang untung mengorek informasi darinya.
Keesokan harinya dengan membawa oleh-oleh kue bolu dan buah-buahan, aku dan Dita mengendarai motor yang biasa dipakai Mas Dio mengojek sebelumnya untuk ke rumah mertua. Jarak perjalanan yang seharusnya satu jam kami tempuh lebih lama karena aku mengendarai dengan perlahan saja.
Ketika tinggal beberapa meter saja sampai tujuan aku melihat ada tumpukan bata dan pasir di depan rumah mertua. Apa mereka sedang merenovasi rumah? Tapi kenapa Mas Dio sama sekali tidak menceritakan apa-apa?
Kuparkirkan motorku di sebrang jalan agar bisa leluasa mengamati. Ternyata benar, rumah mertuaku sedang di renovasi secara total. Nampaknya rumah tua itu akan berubah menjadi rumah tingkat karena kini sudah berdiri tiang-tiang di atas lantai satu yang menandakan akan segera diproses ke lantai dua.
Lalu di mana Ibu, Bapak, dan keluarga Kak Desi tinggal kini sementara rumah di renovasi?
Tiba-tiba sebersit pertanyaan pun singgah di benakku, dari mana semua biaya untuk merenovasi rumah ini?
Bukannya merendahkan, tapi memang aku sangat tahu kondisi keluarga Mas Dio. Bapak mertua sudah tak bekerja sejak beberapa tahun lalu karena penyakit struknya. Kak Desi yang merupakan anak pertama mereka masih tinggal menumpang dengan Ibu dan Bapak karena suaminya hanya seorang kuli bangunan yang bekerja jika hanya ada proyek saja. Untuk hidup sehari-hari Ibu dan Kak Desi berjualan kue-kue kering dan menitipkan ke warung-warung di sekitar. Lalu jika siang, Ibu bekerja sebagai buruh cuci gosok di rumah tetangga. Sedang Kak Desi sibuk dengan anak-anaknya yang masih kecil.
"Silvi, ngapain kamu kesini?" Sebuah suara menghentikan lamunanku Ternyata Mas Ratno suami Kak Desi yang tengah menghampiriku. Tampaknya ia turun langsung dalam proses renovasi rumah mertuaku itu.
"Eh, Mas Ratno, tadinya aku mau nengokin Ibu sama Bapak. Tapi sepertinya Ibu dan Bapak ga ada di rumah, ya?"
"Iya, mereka gak ada. Lain kali saja kalau kamu mau main!" jawabnya ketus dengan nafas terengah-engah. Mungkin masih kelelahan bekerja.
"Rumahnya mau diapain emang, Mas?" tanyaku pura-pura polos.
"Sedikit di rombak, kasihan rumah itu sudah hampir roboh," jawabnya singkat.
Sedikit katanya, padahal jelas mereka merenovasi total rumah itu sampai menghancurkan bangunan aslinya.
"Lalu kalian tinggal dimana sementara rumah di rombak? Biar aku menyusul saja kesana, sudah lama gak ketemu Bapak dan Ibu," tanyaku, berharap mendapatkan sebuah jawaban.
"Ada di sana, nanti saja kau kerumahnya, aku tak bisa mengantarkanmu. Banyak kerjaan ini. Biar cepat kelar bangun rumahnya! Sudah ya, aku mau lanjut kerja," jawab Mas Ratno ketus, sambil berlalu meninggalkanku kembali ke pekerjaannya.
Sebenarnya aku kecewa karena Mas Ratno tak mau mengantarkan aku bertemu Ibu. Jika begini bagaimana caranya aku bisa mendapatkan informasi? Sepertinya aku harus memikirkan cara lain agar bisa membongkar semuanya.
Aku pun harus menerima bahwa rencana kali ini tak menghasilkan apa pun. Dita sudah mengeluh kepanasan dan ingin segera pulang. Saat sedang membelokkan motor, aku melihat Pak Slamet, tetangga yang dulu istrinya sempat dekat denganku saat aku tinggal di rumah mertua, menghampiriku.
"Mba Silvi, loh, ada apa ke sini?" tanyanya dengan senyum semringah.
"Mau liat progres rumah mertuamu, ya?" belum juga aku menjawab pertanyaannya, ia sudah menebak jawabannya sendiri.
"Ini loh, sudah hampir lima puluh persen. Alhamdulillah berkat suamimu yang mau merenovasi rumah ini saya jadi kecipratan rejekinya, bisa kerja jadi tukang di sini," jelasnya lagi tanpa kuminta sedikit pun.
Membuatku seketika kembali tersentak, Mas Dio yang merenovasi rumah ini? Apa aku tidak salah dengar?
"Bilangin sama Dio, semoga rejekinya makin lancar, karena secara gak langsung dia sudah membantu beberapa warga sini juga yang ikut serta kerja di rumah ini. Nanti kalau ada proyek lagi, bisa kontek saya gitu ya, Silvi!" ucap Mas Slamet sambil tertawa nyengir, sementara aku masih merasa tak percaya atas semuanya.
"Slamet, ngapain di situ, sini cepet bawa adukan itu!"
Dari seberang terdengar teriakan Mas Ratno memanggil Pak Slamet dengan keras. Dengan tergesa Pak Slamet pun pamitan dan berlari menghampiri Mas Ratno.
Sebuah fakta tentang ketidakjujuran Mas Dio kembali terkuak dan kali ini sungguh membuatku tercengang karena ternyata semakin banyak yang disembunyikannya dariku. Juga kenyataan besar bahwa keluarga besarnya turut andil untuk menyembunyikan semua ini benar-benar menyakitiku.
Aku tak bisa diam lagi, harus segera bertindak atas semua ini.
Pak Abi yang masih menggendong Dita pun kemudian menghampiriku. Tersenyum manis sambil menatapku lekat, membuat aku benar-benar merasa malu dan tak bisa menahan senyum di wajahku yang aku tak tahu kenapa.Ia mendekatkan kepalanya pada kepalaku, membuatku makin malu, apa yang akan dilakukannya?"Dita sudah setuju, jadi ... kapan kita resmikan hubungan ini, Silvi?" bisiknya lembut tepat di telingaku yang menimbulkan rasa aneh yang tiba-tiba menggelanyar di hati."Apa Pak Abi kira aku mau?" Aku balik bertanya, karena ada rasa kesal dan juga malu di hati ini."Loh ... bukannya emang mau ya, menikah denganku?" Senyum jahil menghiasi wajahnya."Issh... kapan aku bilang?" Aku memalingkan wajah darinya, berusaha untuk menjaga kesehatan jantungku yang sepertinya mulai kritis ini."Kemarin kan kamu bilang mau menerimaku kalau aku lamar!" Jawabnya penuh percaya diri.Ah ... benar kan, dia mendengar semua pembicaraanku dengan Kak Ge
Keesokan harinya kami bersenang-senang bersama keluarga di acara gathering yang diadakan perusahaan. Semua orang tampak bahagia bersama orang terkasih mereka sambil menikmati serangkaian acara yang diadakan.Aku bersama Dita pun begitu menikmati acara ini. Momen kebersamaan yang sangat jarang bisa kami dapatkan karena kesibukan dalam pekerjaan yang kadang menyita waktu dan pikiran.Beberapa karyawan ada yang membawa pasangan dan anak mereka. Bagi yang masih single ada yang membawa orang tuanya ada juga yang memilih untuk datang seorang diri karena alasan pribadi.Kulihat di salah satu sisi Kak Gema sedang bercanda bersama ibunya, yang juga budeku. Bude Ani memang beruntung menjadikan Kak Gema anak angkatnya, karena Kak Gema memperlakukan bude layaknya ibu kandung sendiri.Tiba-tiba saja aku jadi rindu kedua orang tuaku terutama bapak yang memang meninggal belum lama ini. Andai mereka masih ada, pasti hari ini akan lebih membahagiakan lagi.
Sebenarnya ini memang bukan kali pertama kak Gema menyatakan cinta. Dulu, sebelum aku menikah dengan Dio, Kak Gema juga pernah melamarku. "Kak ...." Dengan suara bergetar aku memberanikan diri bersuara."A-aku gak tahu harus mengatakan apa ... tapi ...-""Tapi kalau kamu mau nolak aku juga aku gak apa-apa, kok!" ucap Kak Gema tiba-tiba menghentikan ucapanku."Kak Gema ....""Katakan saja, Silvi. I'm okay! Seenggaknya kalau kamu tolak aku sekarang, aku udah gak penasaran lagi. Mungkin setelah ini aku akan berusaha move on. Mungkin aku mau lamar Nadya, atau Eris," ucapnya sambil sedikit terkekeh, seakan ia sedang bercanda."Kak ... beneran gak apa-apa?" Aku sudah tak tahu lagi apa yang harus kukatakan padanya. Bagiku Kak Gema hanyalah seorang kakak. Dan itu tak akan pernah bisa berubah. Aku menyayanginya, tapi sangat tak mungkin rasa sayang ini akan berlanjut ke pernikahan. Terlalu sulit untuk menerima kenyataan jika harus menika
Setahun kemudian.Acara gathering dari Tathir Corp, perusahaan tempat aku bekerja bersama Kak Gema dan Pak Abi, dilaksanakan untuk pertama kalinya. Kami semua berencana membawa keluarga masing-masing untuk menginap bersama di sebuah tempat pemandian air panas."Kamu mau bawa siapa, Gema?" tanya Pak Abi. Saat kami sedang makan siang.Awalnya hanya aku sendiri yang makan di ruangan rapat ini. Ruangan yang paling nyaman untuk menyendiri. Tapi tiba-tiba Kak Gema menyusul, begitu juga Pak Abi. Akhirnya kami pun berkumpul bersama.Kulihat Kak Gema menatap sinis sahabatnya itu. "Aku bawa kamu! Karena aku tahu kamu gak akan bawa pasanganmu! Iya, 'kan?" jawab Kak Gema sambil melemparkan sepotong kerupuk pada sosok lelaki di seberangnya itu."Iiih ... ogah!" timpalnya sambil bergidik ngeri.Aku yang sedari tadi memerhatikan mereka hanya bisa tertawa menahan geli."Memang kamu mau bawa siapa, Abi?" tanya Kak Gema balik."T
Aku tak bisa menjawab apa pun, memang bagiku cukup aneh Arni ada di kampung itu tanpa memberitahukan apa pun padaku. Padahal sebelumnya ia selalu mengatakan kemana pun dia pergi."Aku ingin meminta bantuanmu untuk mencari tahu kebenarannya. Bisa kan?" tanyanya lagi."Untuk apa aku membantumu? Tak ada untungnya untukku!" elakku. Tak mau mengurusi sesuatu yang tidak penting sama sekali."Demi Silvi, Dita dan juga mertuamu! Walau kalian akan segera bercerai tapi walau bagaimana pun mereka pernah ada di hidupmu! Apa kamu tidak kasihan pada mereka?"Ucapannya sedikit mengusik hatiku. Tapi, tetap saja ini bukan urusanku atau pun dia. Polisi saja tidak melakukan penyelidikan. Kenapa harus aku yang malah repot?"Aku tidak mau membantumu! Aku sudah banyak urusan, tak mau lagi pusing dengan masalah lainnya! Kalau memang Arni bersalah, biar saja polisi yang menindaknya!" elakku."Sekarang sebaiknya kamu pergi saja! Jangan ganggu aku lagi!" Aku pun segera mempersilahkannya untuk pergi. Kulihat Ab
Sungguh, jika tidak ingat ada anak-anak di sini pasti sudah kuhabisi lelaki tak bertanggung jawab sepertinya itu."Kalau begitu, setidaknya kamu berusaha bekerja untuk menghidupi istri dan anak-anakmu! Atau minimal untuk dirimu sendiri. Bukannya ongkang-ongkang kaki begini!""Hei ..., baru seperti ini saja kalian sudah berisik begini! Apa kalian lupa, dulu aku juga suka memberikan hasil kerjaku untuk menghidupi kakakmu dan orang tuamu itu? Cari kerja itu sulit sekarang! Kalau ada proyek juga aku tidak akan tiduran seperti ini, kok!" Mas Ratno memelototiku penuh emosi.Aku hanya bisa menggelengkan kepala, tak habis pikir akan sikapnya itu. Bisa-bisanya ada lelaki sepertinya yang tidak tahu malu sama sekali.Padahal jika dia serius mau menghidupi keluarganya, dia pasti akan berusaha mencari pekerjaan. Bukan hanya mengandalkan proyek dari orang-orang kampung sini saja.****"Bu, bagaimana kalau kita jual saja rumah ini?" ucap Kak Desi tiba-tiba pada ibu saat aku sedang membantunya memper