Ia meraih handphone yang terselip di bawah bantal. Mengetik pesan pada Meli, memintanya untuk menanyakan perihal denda untuk kontrak kerja yang ia batalkan.Lima menit. Tak ada balasan dari Meli. Padahal pesan yang Alina kirim sudah bertanda centang biru.Sepuluh menit. Rasa sabar seperti terkikis, Alina mulai gelisah.“Telepon aja, deh!”Alina menekan nomor yang bertera nama Meli di sana.“Halo Mel, kok gak diangkat, sih?”“Halo,” jawab Meli dari seberang.“Pesan Gue sudah Lo baca?”“Sudah, Al, tapi ... tapi anu ...,” ucap Meli menggantung.“Kenapa, sih, jadi gagap begitu? Gimana, bisa apa nggak?”Hening. Tak ada jawaban dari Meli.“Mel!”“Lo tanya gak pada waktu yang tepat, Al.”“Kenapa? ‘Kan waktunya istirahat sekarang? Memangnya lo di mana?” tanya Alina beruntun.“Di ruangan pak Fatih.”“Hah!”Seketika, Alina langsung memutus sambungan teleponnya.“Matilah! Pasti Meli diinterogasi sama mas Fatih. Jangan-jangan, dia sudah tau kalau aku hamil,” gumamnya.Ia terlonjak dan duduk di te
“Menangis adalah caraku mengungkapkan kesediaan di saat bibir ini tidak mampu lagi menjelaskan tentang rasa sakit.” Alina Putri.Pasrah, sementara cara itulah yang bisa dilakukan Alina, sepulang dari apartemen yang ditempati Fatih.Sekuat apapun menahan rasa sakit, tetap tidak bisa membelokkan kenyataan bahwa Fatih dan Anita telah mengkhianatinya. Perih yang tak terkira, membuat tubuh Alina lemah. Bahkan semalaman, ia hanya makan sepotong roti dan segelas susu. Itupun terpaksa ia telan karena tidak ingin anak dalam rahimnya kelaparan.Pagi hari, sakit pada kepalanya semakin menjadi, hingga membuat Alina terpaksa meminta izin untuk absen bekerja.“Aku gak bisa seperti ini terus. Percuma berusaha mengejar simpati mbak Nita dan mas Fatih, mereka tidak akan memperdulikan aku. Pantas saja mereka berusaha menyingkirkan aku.”Kepala enggan berpindah dari bantal. Rasa sakit di hatinya tentu tidak bisa diabaikan. Ia hanya bisa pasrah.“Kira-kira, bisa gak ya, kontrak kerjanya dibatalkan? Aku g
Fatih terdiam tanpa menimpali. Membiarkan Alina menangis dan mengumpat. Sudah seharusnya Alina mengetahui hubungannya dengan Anita.“Silahkan membenci. Aku dan mbakmu sudah lama saling mencintai jauh sebelum mengenalmu. Jadi, perasaan kami tidak mungkin bisa hilang dalam hitungan hari.”Alina menutup telinga, dadanya terasa panas oleh pengakuan yang Fatih baru saja ia dengar.“Kenapa kalian nggak ngomong sebelum kita menikah?”“Karena papamu sakit. Apa kamu nggak lihat bagaimana ibu berusaha meyakinkan papamu kalau sebaiknya tidak melanjutkannya perjodohan itu?”“Aku nggak tau. Kalau aku tau kalian saling mencintai, aku nggak mungkin menyetujui perjodohan itu.”“Bulshit! Kamu keliatan tenang-tenang saja tanpa berusaha bertanya pada mbakmu yang berusaha menutupi luka batinnya.”“Aku benar-benar nggak tau kalau mbak Nita sering menangis karena masalah itu.”“Cukup! Tak perlu membahasnya lagi. Toh tidak akan mungkin mengembalikan keadaan seperti semula,” ucap Fatih dengan nada ketus.“Ak
Dalam perjalanan pun, Fatih dan Alina masih saja berdebat. Alina yang tak berdaya dengan perintah Fatih, akhirnya mengikuti perkataan Fatih untuk berpindah dari kosan itu.“Kalau nanti rumahnya tidak membuatmu nyaman, kamu boleh mengubah semua tatanan di sana sesuatu seleramu biar kamu betah, ucap Fatih sambil menjalankan mobil.“Kenapa nggak sekalian dibuat sesuka hati Mas Fatih saja? Aku jadinya nggak perlu memilih ini dan itu. Buat apa jika ujung-ujungnya apapun pilihanku tidak dianggap.” Alina menanggapi.“Aku nggak mau berdebat lagi. Capek,” balas Fatih.“Aku lebih capek lagi. Hidup dibikin mainan sama kalian berdua.”“Sebaiknya kamu diam mulai sekarang.”“Jika aku diam dan mengalah, bukan berarti pasrah. Aku butuh jeda demi menata hati,” ucap Alina.“Sudah, dong, Al. Aku hanya ingin kalian mendapat tempat tinggal yang layak. Jangan berlebihanlah!”“Kemarin Mas bilang, kalau aku harus mandiri, harus bisa menyelesaikan masalah sendiri, dan jangan tergantung kepada orang lain.”“Bi
“Kenapa? Kamu mau mempermainkan aku?” Anita mulai bernada tinggi.“Tidak untuk saat ini, Nita. Apa kamu nggak tau kalau adikmu itu sedang hamil?”“Ha-hamil!”Anita terkejut, tapi bukan karena mendengar Alina hamil. Melainkan karena mengetahui bahwa Fatih mengetahui Alina sedang hamil.“Alina gak bilang?”“Ng-nggak. Aku sudah empat hari ini gak ketemu Alina.”“Nita dengarkan, kita gak bisa buru-buru menikah. Aku harus menunggu kelahiran Alina dulu.”“Jadi ... harus diundur lagi?”“Nita, hanya sembilan bulan. Bahkan gak nyampe. Aku ingin memastikan kalau Alina dan bayinya dalam keadaan baik sampai lahiran. Aku mengharapkan anak itu.”Fatih menggenggam jemari Anita, meminta agar bersabar.“Aku sudah menunggu bertahun-tahun, Fatih.”“Aku tau. Yang penting, Alina sudah aman di rumah yang baru. Dia pasti akan baik-baik saja.”“Benar dugaanku, kamu membelikannya rumah.”“Tempat tinggal untuk anakku, Nita. Aku nggak mau anakku terlantar. Lagipula, tidak semewah rumah yang akan kita tinggali n
Fatih bukannya tidak tau tentang perubahan sikap Anita yang akhir-akhir ini sering bepergian ke luar kota. Awalnya, Anita memberikan alasan pekerjaan. Padahal saat itu, dari kantor Anita tidak sedang mengerjakan proyek.Kedua, kejanggalan-kejanggalan yang tidak masuk logika.“Aku pergi ke luar kota, Yang, ziarah ke makam saudara papa.”“Oh,” hanya itu respon Fatih. Jika ke makam saudara papanya, kenapa Alina tidak diajak? Bahkan Alina tidak pernah mengunjungi makam itu.Fatih menjalankan mobilnya, mengikut arah mobil Anita yang dikendarai seorang diri. Ia ingin memastikan jika, Anita menuju arah yang sama dalam penyelidikannya.“Halo.” Fatih berucap melalui sambungan telepon.“Ya , pak.”“Mobil warna silver yang berada tepat di depanku.”“Iya, siap!”Fatih menepikan kendaraan. Mengamati dari kejauhan badan kendaraan Anita yang semakin jauh meninggalkannya. Posisi Fatih saat ini digantikan oleh seseorang yang ia sewa untuk menyelidiki keberadaan makam yang sering dikunjungi Anita.Ia m
“Kamu sudah mengenalku hampir satu tahun. Masih juga tersakiti dengan watakku yang seperti ini, Alina-Alina!”“Karena ucapanmu tidak pernah menenteramkan hati. Ucapanmu selalu menghakimiku seolah-olah hanya aku di sini yang bersalah. Aku gak bisa didikte seperti ini, Mas.”“Hey!” Fatih menghentikan aktivitasnya, lalu duduk di samping Alina.“Aku tidak pernah mendiktemu. Kamu dan aku akan melakukan peran masing-masing.”“Tau gak, kamu menyulitkan aku.”“Siapa yang menyulitkan siapa di sini, Al? Aku taukah kamu yang menjadi korbannya, hah!”“Kalau aku mengaku salah, lantas Mas akan melepaskan aku begitu saja?”“Tidak akan. Karena kamu sudah menjadi hal penting di kehidupan anakku nanti.”“Aku capek, kita sudahi saja kesulitan ini.”“Apanya yang mau disudahi, kita tidak pernah memulai.”“Cukup, Mas! Aku nggak bisa jika hidup tertekan seperti ini.”“Alina! Bukan aku yang menekan, tapi sifat manjamu itu yang seolah memenjarakan kamu makin jauh dari kemudahan. Stop menganggap aku penyulit h
“Ini uang untuk satu bulan.”“Untuk apa?” tanya Alina bingung.“Biaya makan.”“Aku masih punya uang yang—““Jangan membantah, ambil saja.” Fatih mendekatkan amlop itu ke tangan Alina.“Biaya makan. Kurasa cukup juga untuk menggaji seorang pembantu.”“Iya, terima kasih.” Alina menarik amlop yang berisi uang itu.“Satu lagi ...,” ucap Fatih menggantung.Alina mengernyitkan dahi menunggu sambungan ucapan Fatih, tetapi lelaki itu diam saja. Malahan, tatapannya mengarah kepada Alina tanpa berkedip membuat Alina salah tingkah, lalu menunduk.“Apa?” tanya Alina akhirnya dengan rasa penasaran.“Karena kita tinggal satu rumah, jadi ... Aku merujukmu menjadi istriku, Alina.”Seketika itu juga, Alina terhenyak. Buliran-buliran bening berjatuhan.“Kenapa menangis? Terharukah?”Pertanyaan Fatih menjadikan hatinya dua kali lebih sakit.“Aku tau hukum. Tidak mungkin tinggal serumah tetapi tidak mejadikan kamu halal bagiku.”“Terserah Mas. Aku sudah capek. Jadi, menurut saja.”“Tumben nggak mendebat,