Pagi yang cerah, Alina mengunci pintu kontrakan dengan senyum mengembang sempurna.
“Bismillah. Ini awal kehidupan kita, Nak. Kita berdua saja. Tanpa mereka, kita bisa bahagia.”
Sejak semalam, ia sudah mewanti-wanti dirinya agar tidak lagi tergantung pada Anita maupun Fatih. Ia sudah membuat beberapa agenda untuk hari ini, ia ingin hidupnya lebih tertata rapi.
Alina menjalankan motor dengan santai, sambil bermunajat tentang apa-apa yang menjadi keinginan kecilnya. Tiba-tiba, motor matic yang ia kendarai berhenti perlahan dan mesin mati.
“Ya Allah, kenapa ini?”
Berkali-kali mencoba menghidupkan mesin, tetapi tetap sama. Motornya tetap mati. Ia mendorong ke pinggiran agar tidak mengganggu pengendara lain yang melintas.
“Aduh, bisa telat ke kantor ini.” Ia menggumam sendiri.
“Ah, Mbak Nita.” Ia mengeluarkan handphone dan mencari nomor wanita itu di daftar panggilan. Nama Anita terpampang paling atas, menandakan bahwa Anita selalu ia hubungi.
Alina hendak memencet nama itu, tapi urung. Mendadak teringat ucapan Anita tempo hari. Ia menyimpan handphonenya kembali.
“Aku pasti bisa tanpa Mbak Nita,” ucapn Alina. Ia duduk di atas motor, mengetuk-ngetuk jari pada badan motornya, mencoba mencari akal.
“Ngapain di situ?”
Alina menoleh ke arah sumber suara di belakangnya.
“Mas Fatih!” Mendadak, Alina merasa canggung.
“Kenapa berhenti di situ?” Fatih mengulang pertanyaannya.
“Mogok,” jawab Alina.
Fatih menuruni mobil dan mendekati Alina.
“Kenapa mogok?” Fatih memeriksa motor milik Alina dan mencoba menghidupkan mesin. Sama seperti yang dilakukan Alina, motor itu tetap tidak mau hidup.
“Nggak tau.”
Fatih membuka jok dan memeriksa bensin.
“Astaga, Al. Kamu gak nyadar kalau bensinnya habis.”
“Hah, masak, sih!” Alina memperhatikan ke dalam tangki yang di buka Fatih. Isinya ... kosong.
“Mau sampai kapan kamu seperti ini? Mandiri, dong, Al. Kamu terbiasa mengandalkan orang lain, makanya hal sepele seperti ini malah jadi masalah besar buat kamu.”
Mendengar ocehan Fatih, mendadak kepalanya berdenyut, dadanya terasa sesak.
“Sini.” Alina menyambar kunci motor di jemari Fatih. Kesal dan jengah dengan sikap Fatih membuat Alina enggan berlama-lama di hadapan pria itu.
“Mau ke mana?”
“Cari bensin.” Alina mendorong perlahan motornya.
“Kamu mau dorong motor sejauh satu kilo?” Ucapan Fatih menghentikan langkahnya.
“Tunggu di sini,” ucap Fatih. Ia kemudian mengendarai mobilnya menuju arah pom bensin.
Alina menatap badan mobil mantan suaminya itu dengan perasaan hancur. Sedih, ingin marah dan juga ingin mengumpat.
“Al ...!
Seseorang meneriakinya dari seberang jalan. Seorang laki-laki pengendara mobil berkacamata hitam, samar-samar seperti sosok yang Alina kenal.
“Siapa, ya?” gumam Alina.
“Al, bengong aja. Ini Gue!” Laki-laki itu membuka kacamatanya.
“Rey, masya Allah ...!”
Laki-laki bernama Rey itu mendekati Alina.
Rey menelisik Alina juga motornya dengan penuh tanya.
“Ngapain di sini? Kenapa motornya?”
“Mogok, kehabisan bensin.”
“Lo mau ke mana?”
“Kerja.”
“Wow! Alina Putri kerja sekarang.” Ucap Rey yang terdengar seperti olokan.
“Apaan, sih!”
“Oke-oke, sebentar!” Rey mengeluarkan handphone dari balik saku jasnya.
“Bro. Ada kerjaan sekarang juga. Datang ke jalan Anggrek 2, depan ATM B**. Sekarang, gak pake lama!” Rey menutup panggilan.
“Ayo, Al. Keburu telat.” Rey berjalan menuju mobilnya.
“Kemana?”
“Gue antar ke kantor Lo.”
“Motor Gue?”
“Tenang, nanti ada mekanik yang datang benerin.”
“Tapi motor Gue gak rusak, kok, Cuma kehabisan bensin doang.”
“Mau rusak atau kehabisan bensin, intinya mogok ‘kan? Buruan!” Rey membuka pintu mobil. Akhirnya Alina meninggalkan motor kesayangannya dengan perasaan was-was.
“Tenang, Al. Motor Lo aman!” ucap Rey seperti menangkap kekhawatiran Alina.
“Oke, deh!”
“Nah, gitu, dong.” Rey mulai meninggalkan tempat itu menuju kantor Alina.
“Kok tau arah kantor Gue. Gak nanya dulu, gitu?”
“Hahaha ... apa, sih yang gak Gue tau tentang Lo, Al? Elah ... gak usah heran kali!”
Alina bersungut mendengar sahabat kecilnya ini bertutur.
“Sudah lama kerja di sana?” tanya Rey kemudian.
“Semingguan.”
“Hebat, ya? Seorang Alina yang manja tiba-tiba kerja.” Ucapan Rey baru saja membuka luka yang berusaha ia tutup-tutupi. Ternyata, Rey pun berpikiran sama dengan Anita dan Fatih bahwa ia memang seorang wanita yang manja.
“Hey, jangan bengong, dong! Beberapa masalah yang datang, kadang akan mendewasakan kita, Al.”
“Apaan, sih!”
“Bagaimana kabar suamimu?” tanya Rey menghentikan laju kendaraan karena di depan lampu merah.
“Baik,” jawab Alina dengan menjeda beberapa detik sebelum menjawab. Mendengar nama laki-laki itu disebut, hatinya tiba-tiba berdesir perih.
Setelahnya, Alina hanya diam dan Rey pun tidak berani bertanya-tanya lagi, terlebih Alina seperti berusaha menutup-nutupi sesuatu darinya.
“Sampai, Al.” Rey menghentikan kendaraannya tepat di depan kantor Alina.
“Makasih, Rey.” Alina bersiap-siap menuruni mobil.
“Tunggu, Al.”
Alina menarik tangannya dari pintu.
“Lo masih punya gue, sahabat lo. Jadi jangan merasa sendiri.”
“Ngomong apa, sih, Rey?”
“Gue tau semua tentang lo dan mas Fatih.”
Alina terkejut mendengar pengakuan Rey.
“Hey, jangan terkejut gitu, Al! Ini gue, sahabat lo. Tidak ada satupun tentang lo yang gak Gue tau. Ya sudah, selamat bekerja.”
Ucapan Rey yang terakhir membuat Alina buru-buru mengaburkan keterkejutannya dengan segera menuruni mobil mewah milik Rey.
“Al!” Rey kembali memanggil saat Alina mulai melangkah.
Alina menoleh.
“Karena lo sudah sendiri, gue bakal sering-sering datang kemari buat ngajak makan siang!”
Teriakan Rey di samping pintu cukup keras, membuat beberapa pasang mata menatap keduanya. Walaupun hanya sesaat sambil berlalu, tetapi cukup membuat Alina risih dan malu.
“Jangan keras-keras, malu gue!” Alina mendelik yang akhirnya disertai tawaran keras Rey.Masih dengan sisa-sisa tawaannya, Rey berlalu meninggalkan Alina.
Ketika berbalik, tatapan Alina terpaut pada sosok lelaki yang sudah berdiri tak jauh tempatnya berdiri.
Matanya menyorot tajam, tangannya mengepal kemudian berlalu tanpa mengucap sepatah katapun pada Alina, sang mantan istri.
***
“Ingin sekali pergi dan menghindar, saat tak ada lagi bahu untuk bersandar. Kemana akan berserah diri? Di kala jawaban yang masih bertanya, tentang kebenaran jati diri cinta.”Tidak ada yang lebih menyakitkan saat melihat seseorang yang sangat kita rindukan berada dalam jangkauan, tetapi terasa sangat jauh. Itu yang dirasakan Alina.Ia menapaki tangga menuju lobi dengan langkah sedikit goyah. Ia sangat kecewa oleh karena niat baik tidak selalu mendapat imbal balik yang sepadan. Berniat memperbaiki diri, tetapi tetap saja aral melintang menjadi sandungan.“Al, cepat sini. Keburu telat,” panggil Meli di depan lift.Senyumnya mengembang melihat Meli melambai. Alina memasukkan handphone yang semula dalam genggaman ke dalam tas sambil berjalan. Buru-buru memasuki lift yang sudah terbuka. Ia mengangkat wajah, seketika senyumnya meluruh bersamaan dengan tatapan seseorang di dalam lift.Fatih.Alina terkejut ketika tangan kekar itu menyentak hingga ia masuk. Keadaan yang tidak siap membuatnya
“Mas,” kejut Alina. Sendok terjatuh tanpa sadar.“Setelah ini, temui aku ke ruanganku.”Fatih meninggalkan Alina dengan semua keterkejutannya. Ia ingin memanggil pria yang hanya tampak punggung itu, tetapi batal karena tidak ingin menjadi pusat perhatian. Terlebih Fatih menginginkan dirinya tidak mengungkit jati dirinya di kantor ini.“Jangan-jangan, mas Fatih mendengar percakapan tadi,” gumam Alina resah.Akhirnya, Alina memilih menutup bekal dan berjalan cepat mengejar Fatih.Disaat yang bersamaan, muncul Anita yang akhirnya berjalan menjajari langkah Fatih.Alina memperlambat langkahnya, berharap Fatih menoleh ke belakang, lalu menemukannya, mengajak berbicara berdua saja dan mengungkapkan keresahannya.Ah, hanya angan. Terlebih, keberadaannya satu kantor dengan Fatih, malah semakin memperjelas status Alina sebagai atasan dan bawahan. Bukan lagi suami dan istri.Alina kembali ke meja kerja, tanpa berniat kembali lagi ke kantin. Melupakan Meli yang sudah memesan jus untuknya.Hingga
Ia meraih handphone yang terselip di bawah bantal. Mengetik pesan pada Meli, memintanya untuk menanyakan perihal denda untuk kontrak kerja yang ia batalkan.Lima menit. Tak ada balasan dari Meli. Padahal pesan yang Alina kirim sudah bertanda centang biru.Sepuluh menit. Rasa sabar seperti terkikis, Alina mulai gelisah.“Telepon aja, deh!”Alina menekan nomor yang bertera nama Meli di sana.“Halo Mel, kok gak diangkat, sih?”“Halo,” jawab Meli dari seberang.“Pesan Gue sudah Lo baca?”“Sudah, Al, tapi ... tapi anu ...,” ucap Meli menggantung.“Kenapa, sih, jadi gagap begitu? Gimana, bisa apa nggak?”Hening. Tak ada jawaban dari Meli.“Mel!”“Lo tanya gak pada waktu yang tepat, Al.”“Kenapa? ‘Kan waktunya istirahat sekarang? Memangnya lo di mana?” tanya Alina beruntun.“Di ruangan pak Fatih.”“Hah!”Seketika, Alina langsung memutus sambungan teleponnya.“Matilah! Pasti Meli diinterogasi sama mas Fatih. Jangan-jangan, dia sudah tau kalau aku hamil,” gumamnya.Ia terlonjak dan duduk di te
“Menangis adalah caraku mengungkapkan kesediaan di saat bibir ini tidak mampu lagi menjelaskan tentang rasa sakit.” Alina Putri.Pasrah, sementara cara itulah yang bisa dilakukan Alina, sepulang dari apartemen yang ditempati Fatih.Sekuat apapun menahan rasa sakit, tetap tidak bisa membelokkan kenyataan bahwa Fatih dan Anita telah mengkhianatinya. Perih yang tak terkira, membuat tubuh Alina lemah. Bahkan semalaman, ia hanya makan sepotong roti dan segelas susu. Itupun terpaksa ia telan karena tidak ingin anak dalam rahimnya kelaparan.Pagi hari, sakit pada kepalanya semakin menjadi, hingga membuat Alina terpaksa meminta izin untuk absen bekerja.“Aku gak bisa seperti ini terus. Percuma berusaha mengejar simpati mbak Nita dan mas Fatih, mereka tidak akan memperdulikan aku. Pantas saja mereka berusaha menyingkirkan aku.”Kepala enggan berpindah dari bantal. Rasa sakit di hatinya tentu tidak bisa diabaikan. Ia hanya bisa pasrah.“Kira-kira, bisa gak ya, kontrak kerjanya dibatalkan? Aku g
Fatih terdiam tanpa menimpali. Membiarkan Alina menangis dan mengumpat. Sudah seharusnya Alina mengetahui hubungannya dengan Anita.“Silahkan membenci. Aku dan mbakmu sudah lama saling mencintai jauh sebelum mengenalmu. Jadi, perasaan kami tidak mungkin bisa hilang dalam hitungan hari.”Alina menutup telinga, dadanya terasa panas oleh pengakuan yang Fatih baru saja ia dengar.“Kenapa kalian nggak ngomong sebelum kita menikah?”“Karena papamu sakit. Apa kamu nggak lihat bagaimana ibu berusaha meyakinkan papamu kalau sebaiknya tidak melanjutkannya perjodohan itu?”“Aku nggak tau. Kalau aku tau kalian saling mencintai, aku nggak mungkin menyetujui perjodohan itu.”“Bulshit! Kamu keliatan tenang-tenang saja tanpa berusaha bertanya pada mbakmu yang berusaha menutupi luka batinnya.”“Aku benar-benar nggak tau kalau mbak Nita sering menangis karena masalah itu.”“Cukup! Tak perlu membahasnya lagi. Toh tidak akan mungkin mengembalikan keadaan seperti semula,” ucap Fatih dengan nada ketus.“Ak
Dalam perjalanan pun, Fatih dan Alina masih saja berdebat. Alina yang tak berdaya dengan perintah Fatih, akhirnya mengikuti perkataan Fatih untuk berpindah dari kosan itu.“Kalau nanti rumahnya tidak membuatmu nyaman, kamu boleh mengubah semua tatanan di sana sesuatu seleramu biar kamu betah, ucap Fatih sambil menjalankan mobil.“Kenapa nggak sekalian dibuat sesuka hati Mas Fatih saja? Aku jadinya nggak perlu memilih ini dan itu. Buat apa jika ujung-ujungnya apapun pilihanku tidak dianggap.” Alina menanggapi.“Aku nggak mau berdebat lagi. Capek,” balas Fatih.“Aku lebih capek lagi. Hidup dibikin mainan sama kalian berdua.”“Sebaiknya kamu diam mulai sekarang.”“Jika aku diam dan mengalah, bukan berarti pasrah. Aku butuh jeda demi menata hati,” ucap Alina.“Sudah, dong, Al. Aku hanya ingin kalian mendapat tempat tinggal yang layak. Jangan berlebihanlah!”“Kemarin Mas bilang, kalau aku harus mandiri, harus bisa menyelesaikan masalah sendiri, dan jangan tergantung kepada orang lain.”“Bi
“Kenapa? Kamu mau mempermainkan aku?” Anita mulai bernada tinggi.“Tidak untuk saat ini, Nita. Apa kamu nggak tau kalau adikmu itu sedang hamil?”“Ha-hamil!”Anita terkejut, tapi bukan karena mendengar Alina hamil. Melainkan karena mengetahui bahwa Fatih mengetahui Alina sedang hamil.“Alina gak bilang?”“Ng-nggak. Aku sudah empat hari ini gak ketemu Alina.”“Nita dengarkan, kita gak bisa buru-buru menikah. Aku harus menunggu kelahiran Alina dulu.”“Jadi ... harus diundur lagi?”“Nita, hanya sembilan bulan. Bahkan gak nyampe. Aku ingin memastikan kalau Alina dan bayinya dalam keadaan baik sampai lahiran. Aku mengharapkan anak itu.”Fatih menggenggam jemari Anita, meminta agar bersabar.“Aku sudah menunggu bertahun-tahun, Fatih.”“Aku tau. Yang penting, Alina sudah aman di rumah yang baru. Dia pasti akan baik-baik saja.”“Benar dugaanku, kamu membelikannya rumah.”“Tempat tinggal untuk anakku, Nita. Aku nggak mau anakku terlantar. Lagipula, tidak semewah rumah yang akan kita tinggali n
Fatih bukannya tidak tau tentang perubahan sikap Anita yang akhir-akhir ini sering bepergian ke luar kota. Awalnya, Anita memberikan alasan pekerjaan. Padahal saat itu, dari kantor Anita tidak sedang mengerjakan proyek.Kedua, kejanggalan-kejanggalan yang tidak masuk logika.“Aku pergi ke luar kota, Yang, ziarah ke makam saudara papa.”“Oh,” hanya itu respon Fatih. Jika ke makam saudara papanya, kenapa Alina tidak diajak? Bahkan Alina tidak pernah mengunjungi makam itu.Fatih menjalankan mobilnya, mengikut arah mobil Anita yang dikendarai seorang diri. Ia ingin memastikan jika, Anita menuju arah yang sama dalam penyelidikannya.“Halo.” Fatih berucap melalui sambungan telepon.“Ya , pak.”“Mobil warna silver yang berada tepat di depanku.”“Iya, siap!”Fatih menepikan kendaraan. Mengamati dari kejauhan badan kendaraan Anita yang semakin jauh meninggalkannya. Posisi Fatih saat ini digantikan oleh seseorang yang ia sewa untuk menyelidiki keberadaan makam yang sering dikunjungi Anita.Ia m