Share

Kegamangan

last update Last Updated: 2022-10-27 19:00:13

Jika hidup seorang diri, maka akan mudah bagi Alina untuk melanjutkannya tanpa menoleh ke belakang. Namun, di rahimnya kini telah menetap janin buah cintanya dengan Fatih. Suka atau tidak, ia ingin agar Fatih mengetahui bahwa ada generasi penerusnya.

Alina berjalan gontai menuju parkiran motor. Tubuh yang lemah akhir-akhir ini, membuatnya ingin segera pulang. Ia mulai mengeluarkan motor, tetapi pandangannya tertaut pada seorang yang juga tengah berada di parkiran. Bedanya, ia berada di parkiran mobil.

Alina terus menatapnya, ingin sekali berlari, memeluk dan menumpahkan kerinduan, tetapi tertahan oleh sebab ketidakberdayaan. Ia hanya mampu memandang sosok itu hilang dalam badan besi kendaraannya. Tanpa mampu di cegah, Alina memutar motornya dan mengikuti arah ke mana mobil hitam itu melaju.

Rasa bersalah menyelimuti diri karena tidak mampu menjadi bagian penting dalam hidup Fatih. Rasa rindu akan sentuhan-sentuhan lelaki itu, membuat rasa penasaran menuhi isi kepalanya. Tentang alasan kenapa Fatih memilih berpisah, kenapa tidak memberinya kesempatan memperbaiki diri dan kenapa tiba-tiba pergi menghindar. Sederet pertanyaan yang menuntut jawab ingin segera ia tuntaskan.

Alina mengikuti mobil Fatih hingga memasuki sebuah apartemen.

“Jadi ... mas Fatih tinggal di sini,” gumamnya. Baru saja memarkirkan motor, handphone dalam tasnya berdering.

Mbak Nita calling ....

“Assalamualaikum, Mbak.”

“Waalaikumsalam. Di mana kamu? Aku sudah menunggu di kontrakan ini.”

“Tapi aku—“

“Pulang sekarang, Al. Bukankah jam kerja sudah habis?”

“Baik, Mbak.”

“Aku tunggu sepuluh menit.”

Panggilan terputus.

Alina menghela nafas kesal. Baru saja memulai misi, sudah ada arang melintang yang mengganggu. Ia mengamati mobil hitam milik Fatih masih terparkir di sana.

“Kita datang lagi besok, Nak. Yang penting, kita sudah tau tempat tinggal papamu.”

Alina memutar motornya dan berlalu menyisakan tanya yang belum terjawab.

Di depan sebuah kontrakan, Anita duduk dengan raut wajah masam. Beberapa kali melirik jam tangan, memastikan berapa lama lagi harus menunggunya Alina.

“Lama amat, sih!” rutuknya. Baru kemudian, Alina tampak memasuki halaman.

“Lama amat!” Anita menyambut dengan kesal.

“Maaf. Mbak sudah lama nunggunya?”

“Sudah ... gak usah banyak tanya. Cepetan di buka pintunya. Panas ini!”

“Iya-iya, sebentar.” Alina mengeluarkan kunci, kemudian membukanya.

Anita langsung masuk, mencari tempat di mana Anita meletakkan kulkas.

“Kamu nggak punya kulkas, Al?” tanyanya dengan pandangan mengitari ruangan sempit itu.

“Boro-boro, Mbak.”

“Ck.” Anita berdecak dan terpaksa menuju dispenser yang teronggok di atas meja kecil, mengambil gelas dan menuangkan air ke dalamnya. Satu menit kemudian, air di dalamnya habis tak bersisa.

“Mbak dari mana?” tanya Alina sambil menjatuhkan bobot tubuh di kasur.

“Makam papa.”

“Kayaknya, Alina bakal lama nggak bisa datang ke sana.” Alina menjelaskan yang kemudian disambut dengan pandangan menyelidik oleh Anita.

“Kenapa?”

“Aku hamil, Mbak.”

“Apa?” Seketika, Anita seperti dihantam balok kayu tepat mengenai dadanya. Sesak dan sakit tiba-tiba menghimpit.

“Kok kamu bisa ceroboh!”

“Ceroboh bagaimana, Mbak? Aku dan mas Fatih kan pasangan sah?”

“Kan Mbak sudah pernah bilang kalau gak cinta, ya ... tidak perlu sejauh itu kan?”

Mendadak, Alina terdiam, menunduk dan detik kemudian berjatuhan air matanya.

“Kamu menyukainya? Kamu suka Fatih, Al. Jawab!”

“Gak hanya suka, Mbak. Aku sangat mencintainya.”

“Astaga, Al!”

“Mas Fatih juga mencintaiku. Dia pernah ngomong sebelumnya, tapi aku masih bingung, kenapa dia berubah secepat itu?”

“Fatih hanya kasihan sama kamu, Al. Dia tidak pernah mencintaimu.”

“Nggak mungkin. Aku bisa merasakan kalau mas Fatih sayang sama—“

“Cukup! Tapi kenyataannya, dia pergi demi wanita lain.”

Alina terkesiap di tengah cucuran air mata.

“Dari mana Mbak Nita tau?”

Anita terjebak dengan ucapannya sendiri. Ia kini terlihat salah tingkah.

“Ya ... ya, apa namanya kalau bukan karena wanita lain? Tiba-tiba dia pergi tanpa alasan yang jelas.”

“Bisa jadi, sih, Mbak. Tapi aku tetap ingin menemuinya, berbicara dan menyampaikan berita penting ini.”

“Kehamilan kamu?”

“Iya.”

“Nggak usah! Fatih tak perlu tau kalau kamu sedang hamil.”

“Tapi ini darah dagingnya!”

“Terus, kalau dia tau, apa kamu pikir dia akan kembali padamu, begitu?”

Alina terdiam, isakannya semakin menjadi.

“Gugurkan saja. Mbak akan urus semuanya.”

Alina beralih memandang Anita dengan tajam.

“Nggak. Nggak akan, mbak!”

“Anak itu akan jadi beban buat kamu.”

“Apapun yang terjadi, aku gak akan menggugurkannya. Dengan atau tanpa mas Fatih, aku tetap akan merawatnya.”

“Tapi kalau berubah pikiran, aku mau membantu mengurus—“

“Nggak, Mbak! Kenapa Mbak Nita jadi ngotot kepengen aku menggugurkan anak ini?”

“Bukan begitu, Al. Aku nggak mau ... kamu susahin lagi.”

“Mbak ....”

“Aku capek, Al. Kamu selalu tergantung padaku. Belajarlah mandiri dan mengurus urusanmu sendiri. Aku juga butuh ketenangan tanpa selalu kamu ganggu setiap waktu.”

“Mbak, kenapa ngomong begitu? Mbak Nita satu-satunya saudara yang kupunya.”

“Cuma saudara, Al. Gak melulu kamu repotkan.”

“Mbak, aku—“

“Sebentar,” potong Anita. Handphone dalam tasnya berdering.

Adam calling ....

Anita menjauhi Alina dan mengangkat panggilan itu. Hanya hitungan detik, kemudian ia kembali lagi.

“Mbak harus pergi,” pamit Anita.

“Mas Adam?” tanya Alina.

“Bukan urusanmu, Al.”

Alina tersentak.

“Sudahlah, dan ingat baik-baik ucapanku tadi.”

Anita meninggalkan kontrakan Alina dengan perasaan carut marut. Rencana yang ia gadang-gadang akan berhasil sesegera mungkin. Sekarang terancam karena kehamilan Alina.

Sementara Alina masih terpaku di tempat semula. Duduk dengan lesu, sesekali mengusap pipinya.

“Satu persatu orang-orang yang kusayangi pergi menjauh. Aku nggak tau apa masalahnya? Apa hanya karena aku ini tidak bisa mandiri dan selalu merepotkan mereka? Mbak Nita, mas Fatih, pergi dengan alasan yang sama. Ya Allah, kenapa hidupku tidak berguna seperti ini? Sehingga menyebabkan mereka menjauh.”

Alina tidak tau lagi ke mana mencari tempat untuk mengadukan perasaannya yang butuh perlindungan.

Rasa sakit yang bertubi-tubi itu seakan tidak berkesudahan.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Gustiara Gusty
alina terlalu naif atau memang bodoh ......
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Nafkah Terakhir sebelum Ditalak   Meneguk Manisnya Madu

    Fatih mendorong pintu apartemen dengan satu tangan, sedangkan satunya lagi menyeret koper. Ia berdiri di sisi pintu. Tatapannya keluar, menunggu Alina yang masih berdiri mematung.“Buruan masuk. Kejutannya sudah menunggu di dalam.”Alina tersenyum manis, lalu masuk melintasi Fatih tanpa berkata apa-apa.“Mana kejutannya.”Belum sempat menoleh untuk menuntut jawaban, Fatih sudah menutup matanya dari belakang.“Eh, kenapa ditutup sih.”“Namanya juga kejutan,” ucap Fatih. Dengan cepat mendorong tubuh Alina sambil tetap menutup matanya.Fatih menghadapkan Alina ke satu tempat.Alina langsung membuka mata. Di hadapannya terbentang ranjang tanpa kelambu. Kelopak mawar merah bertebaran di atas seprai putih. Ada dua bantal dan dua gulung teronggok di sana.“Ini kejutannya?” tanya Alina sembari menoleh Fatih yang baru saja meletakkan dagu di pundaknya..“Bukan” jawabnya singkat. Ia menoleh, membuat hidungnya yang bangir menyentuh pipi Alina.“Mana? Kayaknya memang ini surprise-nya. Kemarin pas

  • Nafkah Terakhir sebelum Ditalak   Kado Istimewa

    Alina memasukkan pakaian ke dalam koper. Sebagian masih ia simpan di lemari karena tidak mungkin dibawa sekaligus.Tanpa disadari, seseorang berdiri di depan pintu yang sudah tertutup.“Astagfirullah!” kejutnya. “Mas Fatih. Bikin kaget aja. Salam dulu kek,” rutuk Alina.Fatih terkekeh melihat keterkejutan Alina.“Semangat banget yang mau pindahan. Sampai-sampai mas mengucapkan salam gak dengar.”Fatih berjalan, lalu duduk di tepi ranjang. Ia masih rapi dengan koko dan peci. Sebab, baru saja pulang dari jumatan.“Gak dengar, Mas. Aku tuh, masih kepikiran Rey. Habis tamu-tamu pergi, dia juga ngilang gitu aja.” Alina menghentikan aktivitas setelah kopernya penuh.“Palingan menemui Anisa,” balase Fatih.“Mudah-mudahan mereka baik-baik saja. Oya, jam berapa kita pamitannya?”“Sekarang, dong.”Alina menatap, ingin protes.“Kapan-kapan kan bisa ke sini lagi. Rey pasti maklum kalau kita pergi tanpa pamit sama dia. Lagian ....” ucapan Fatih menggantung membuat Alina didera rasa penasaran.“Lag

  • Nafkah Terakhir sebelum Ditalak   Hati yang Dinanti

    Jum’at pagi yang cerah, Rey sibuk membantu mamanya mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut keluarga Fatih. Persiapan proses ijab qobul yang direncanakan pukul sepuluh itu sudah matang. Rey dan mamanya benar-benar menyiapkan acara itu dengan suka cita, mengingat hari itu juga Alina akan meninggalkan kediaman mereka.Alina sendiri sudah siap dengan busana pengantinnya. Kebaya putih, lengkap dengan hijabnya. Seorang tata rias datang bersama seorang anak buahnya datang untuk menyulap Alina menjadi bidadari sehari.Butuh waktu satu jam untuk menjadikan Alina berubah menjadi sosok yang Dian sendiri sampai tak mempercayainya.“Al, cantik banget. Fatih pasti tak berkedip lihat kamu nanti,” ucapnya saat Alina berdiri, lalu mematut dirinya di depan cermin yang menjulang tinggi, memastikan jika ucapan Dian itu benar.“Masa sih, Tan.”“Serius tante. Oya, nanti kalau sudah di sana, jangan lupa sering-sering ke sini ya? Tante bakal kesepian pasti.”Alina melebarkan kedua tangannya mendengar Di

  • Nafkah Terakhir sebelum Ditalak   Berbesar Hati

    “Hai, Fatih. Akhirnya datang juga. Kirain gak jadi datang.”Pria itu, Rama. Suami Anita. Mereka masuk, tanpa sungkan Fatih tetap menggenggam tangan Alina.“Eh, iya. Mau minum apa? Em ... Alina kan?” tiba-tiba Rama menyebut nama Alina yang terlihat gugup.“Oh, iya. Belum kenalan, ya?” balas Fatih.Rama mengulurkan tangan, Alina menyambutnya dengan ragu. Masih sama, tanpa ekspresi apapun.“Oh, iya. Aku ambil minum dulu.”Tama ke belakang. Untuk sesaat, suasana menjadi hening. Fatih tidak berani memaksa Alina untuk mengubah sikapnya.“Aku mau pulang.”Fatih terkejut, Alina sudah bersiap menegakkan tubuh. Fatih mencegah dengan memegang tangan Alina.“Tunggu sebentar lagi.”Rama muncul dengan membawa nampan.“Maaf agak lama. Pembantu sedang bantuan istri mandiin baby. Ayo silahkan.”“Terima kasih, mestinya gak usah repot-repot. Oya-““Bang ....” Anita keluar dengan menggendong bayinya. “Tolong gendong-“Anita tercekat. Ia menghentikan langkahnya. Dengan tatapan tak percaya menatap dua oran

  • Nafkah Terakhir sebelum Ditalak   Galau

    Rey sudah bersiap mengantar mamanya menggantikan Alina ke panti. Dian tidak mengizinkan Alina keluar rumah, karena sudah mendekati hari pernikahan.“Mama jangan lupa rencana kita,” bisik Rey pada wanita paruh baya itu.“Sip,” jawab Dian santai sambil menyendok nasi dari piring.Alina mengeryit mendengar bisikan keduanya.“Rencana apa, Tan?” tanya Alina penasaran.“Kepo,” jawab Rey sengit.“Ish, gue tanya sama Tante Dian, bukan sama elo.” Alina tak kalah sengit.“Sudah-sudah. Ribut aja.” Dian menengahi. “Si Rey minta ditengahi masalahnya.”“Bilang aja minta dicomblangi.”“Ngeledek terooos.”“Langsung aja samperin ke rumahnya. Kata Mas Fatih, abahnya baik kok.”“Baik sama Mas Fatih, belum tentu baik sama gue, Al.”“Sama saja, sih! Anisa kan sedang menimbang. Nah, itu kesempatan lo datang buat mendekati abahnya.”Rey terdiam. Cukup lama di meja makan dalam keheningan.“Mama sih, terserah Rey aja. Semakin cepat, semakin bagus. Betul tuh usulan Alina. Gak ada salahnya datang ke rumahnya. G

  • Nafkah Terakhir sebelum Ditalak   Pertemuan Setelah Perpisahan

    Fatih menghentikan mobilnya di samping gang kecil. Iamenelisik dari dalam, mencari keberadaan seseorang. Di sebuah taman remaja. Ia mendapati arah Rey berhenti danmenuju dalam sana. Sayangnya Fatih kehilangan jejak, sehingga harusmengendap-endap mencari Rey. “Kalau bukan karena disuruh Alina, males sebenarnya ke sini.Sudah kayak maling aja.” Fatih mengamati tempat di mana terakhir Rey di lihat. Lelah berjalan,ia mengambil duduk di bangku tak jauh dari tempatnya berdiri. “Kehilangan jejak, kan? Balik aja, deh!” gumam Fatih. Tapi iaragu. Rasa penasaran akan seseorang yang didekati Rey membuat Fatih urung pergi.Sembari mengitari pandangan ke sekitar, tiba-tiba ia menangkap sosok gadis yangsangat ia kenali. “Anisa!” Fatih berdiri dan langsung berpindah tempat di balik pohon. Maksudnyaingin bersembunyi, tapi lagi-lagi ia harusdikejutkan lagi oleh kedatangan seseorang lain ke arahnya. “Rey! Jadi ... mereka ....” Fatih memperhatikan dari jarak jauh. Anisa duduk bersanding denganseoran

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status