Share

Kegamangan

Jika hidup seorang diri, maka akan mudah bagi Alina untuk melanjutkannya tanpa menoleh ke belakang. Namun, di rahimnya kini telah menetap janin buah cintanya dengan Fatih. Suka atau tidak, ia ingin agar Fatih mengetahui bahwa ada generasi penerusnya.

Alina berjalan gontai menuju parkiran motor. Tubuh yang lemah akhir-akhir ini, membuatnya ingin segera pulang. Ia mulai mengeluarkan motor, tetapi pandangannya tertaut pada seorang yang juga tengah berada di parkiran. Bedanya, ia berada di parkiran mobil.

Alina terus menatapnya, ingin sekali berlari, memeluk dan menumpahkan kerinduan, tetapi tertahan oleh sebab ketidakberdayaan. Ia hanya mampu memandang sosok itu hilang dalam badan besi kendaraannya. Tanpa mampu di cegah, Alina memutar motornya dan mengikuti arah ke mana mobil hitam itu melaju.

Rasa bersalah menyelimuti diri karena tidak mampu menjadi bagian penting dalam hidup Fatih. Rasa rindu akan sentuhan-sentuhan lelaki itu, membuat rasa penasaran menuhi isi kepalanya. Tentang alasan kenapa Fatih memilih berpisah, kenapa tidak memberinya kesempatan memperbaiki diri dan kenapa tiba-tiba pergi menghindar. Sederet pertanyaan yang menuntut jawab ingin segera ia tuntaskan.

Alina mengikuti mobil Fatih hingga memasuki sebuah apartemen.

“Jadi ... mas Fatih tinggal di sini,” gumamnya. Baru saja memarkirkan motor, handphone dalam tasnya berdering.

Mbak Nita calling ....

“Assalamualaikum, Mbak.”

“Waalaikumsalam. Di mana kamu? Aku sudah menunggu di kontrakan ini.”

“Tapi aku—“

“Pulang sekarang, Al. Bukankah jam kerja sudah habis?”

“Baik, Mbak.”

“Aku tunggu sepuluh menit.”

Panggilan terputus.

Alina menghela nafas kesal. Baru saja memulai misi, sudah ada arang melintang yang mengganggu. Ia mengamati mobil hitam milik Fatih masih terparkir di sana.

“Kita datang lagi besok, Nak. Yang penting, kita sudah tau tempat tinggal papamu.”

Alina memutar motornya dan berlalu menyisakan tanya yang belum terjawab.

Di depan sebuah kontrakan, Anita duduk dengan raut wajah masam. Beberapa kali melirik jam tangan, memastikan berapa lama lagi harus menunggunya Alina.

“Lama amat, sih!” rutuknya. Baru kemudian, Alina tampak memasuki halaman.

“Lama amat!” Anita menyambut dengan kesal.

“Maaf. Mbak sudah lama nunggunya?”

“Sudah ... gak usah banyak tanya. Cepetan di buka pintunya. Panas ini!”

“Iya-iya, sebentar.” Alina mengeluarkan kunci, kemudian membukanya.

Anita langsung masuk, mencari tempat di mana Anita meletakkan kulkas.

“Kamu nggak punya kulkas, Al?” tanyanya dengan pandangan mengitari ruangan sempit itu.

“Boro-boro, Mbak.”

“Ck.” Anita berdecak dan terpaksa menuju dispenser yang teronggok di atas meja kecil, mengambil gelas dan menuangkan air ke dalamnya. Satu menit kemudian, air di dalamnya habis tak bersisa.

“Mbak dari mana?” tanya Alina sambil menjatuhkan bobot tubuh di kasur.

“Makam papa.”

“Kayaknya, Alina bakal lama nggak bisa datang ke sana.” Alina menjelaskan yang kemudian disambut dengan pandangan menyelidik oleh Anita.

“Kenapa?”

“Aku hamil, Mbak.”

“Apa?” Seketika, Anita seperti dihantam balok kayu tepat mengenai dadanya. Sesak dan sakit tiba-tiba menghimpit.

“Kok kamu bisa ceroboh!”

“Ceroboh bagaimana, Mbak? Aku dan mas Fatih kan pasangan sah?”

“Kan Mbak sudah pernah bilang kalau gak cinta, ya ... tidak perlu sejauh itu kan?”

Mendadak, Alina terdiam, menunduk dan detik kemudian berjatuhan air matanya.

“Kamu menyukainya? Kamu suka Fatih, Al. Jawab!”

“Gak hanya suka, Mbak. Aku sangat mencintainya.”

“Astaga, Al!”

“Mas Fatih juga mencintaiku. Dia pernah ngomong sebelumnya, tapi aku masih bingung, kenapa dia berubah secepat itu?”

“Fatih hanya kasihan sama kamu, Al. Dia tidak pernah mencintaimu.”

“Nggak mungkin. Aku bisa merasakan kalau mas Fatih sayang sama—“

“Cukup! Tapi kenyataannya, dia pergi demi wanita lain.”

Alina terkesiap di tengah cucuran air mata.

“Dari mana Mbak Nita tau?”

Anita terjebak dengan ucapannya sendiri. Ia kini terlihat salah tingkah.

“Ya ... ya, apa namanya kalau bukan karena wanita lain? Tiba-tiba dia pergi tanpa alasan yang jelas.”

“Bisa jadi, sih, Mbak. Tapi aku tetap ingin menemuinya, berbicara dan menyampaikan berita penting ini.”

“Kehamilan kamu?”

“Iya.”

“Nggak usah! Fatih tak perlu tau kalau kamu sedang hamil.”

“Tapi ini darah dagingnya!”

“Terus, kalau dia tau, apa kamu pikir dia akan kembali padamu, begitu?”

Alina terdiam, isakannya semakin menjadi.

“Gugurkan saja. Mbak akan urus semuanya.”

Alina beralih memandang Anita dengan tajam.

“Nggak. Nggak akan, mbak!”

“Anak itu akan jadi beban buat kamu.”

“Apapun yang terjadi, aku gak akan menggugurkannya. Dengan atau tanpa mas Fatih, aku tetap akan merawatnya.”

“Tapi kalau berubah pikiran, aku mau membantu mengurus—“

“Nggak, Mbak! Kenapa Mbak Nita jadi ngotot kepengen aku menggugurkan anak ini?”

“Bukan begitu, Al. Aku nggak mau ... kamu susahin lagi.”

“Mbak ....”

“Aku capek, Al. Kamu selalu tergantung padaku. Belajarlah mandiri dan mengurus urusanmu sendiri. Aku juga butuh ketenangan tanpa selalu kamu ganggu setiap waktu.”

“Mbak, kenapa ngomong begitu? Mbak Nita satu-satunya saudara yang kupunya.”

“Cuma saudara, Al. Gak melulu kamu repotkan.”

“Mbak, aku—“

“Sebentar,” potong Anita. Handphone dalam tasnya berdering.

Adam calling ....

Anita menjauhi Alina dan mengangkat panggilan itu. Hanya hitungan detik, kemudian ia kembali lagi.

“Mbak harus pergi,” pamit Anita.

“Mas Adam?” tanya Alina.

“Bukan urusanmu, Al.”

Alina tersentak.

“Sudahlah, dan ingat baik-baik ucapanku tadi.”

Anita meninggalkan kontrakan Alina dengan perasaan carut marut. Rencana yang ia gadang-gadang akan berhasil sesegera mungkin. Sekarang terancam karena kehamilan Alina.

Sementara Alina masih terpaku di tempat semula. Duduk dengan lesu, sesekali mengusap pipinya.

“Satu persatu orang-orang yang kusayangi pergi menjauh. Aku nggak tau apa masalahnya? Apa hanya karena aku ini tidak bisa mandiri dan selalu merepotkan mereka? Mbak Nita, mas Fatih, pergi dengan alasan yang sama. Ya Allah, kenapa hidupku tidak berguna seperti ini? Sehingga menyebabkan mereka menjauh.”

Alina tidak tau lagi ke mana mencari tempat untuk mengadukan perasaannya yang butuh perlindungan.

Rasa sakit yang bertubi-tubi itu seakan tidak berkesudahan.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Gustiara Gusty
alina terlalu naif atau memang bodoh ......
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status