Share

Nafkah Untuk Keluarga Suamiku
Nafkah Untuk Keluarga Suamiku
Author: Alita novel

Bab 1 Mengambil Uang

"Kamu kok baru pulang jam segini Rin? Sudah Ibu tunggu dari tadi juga." Aku hanya bisa menghela nafas saat menatap sosok Ibu mertua yang berdiri di teras.

Sebelum aku menurunkan semua barang dagangan, Ibu mertua sudah mengambil tas yang tersampir di tangan. "Tunggu dulu Bu. Aku mau mencocokan hasil pembayaran hari ini. Jangan di ambil dulu."

Ibu mertua yang tetap tidak peduli sudah membuka tas selempangku lalu mengambil segepok uang berjumlah dua ratus ribu rupiah. Uang yang sejatinya akan aku gunakan untuk membayar biaya spp Dinda, putriku yang baru kelas satu SD.

"Uang ini buat Ibu dulu. Biaya sekolah Dinda bisa kamu cari lagi besok. Ibu harus membayar biaya arisan agar bisa dapat bulan ini."

"Bukannya Mas Eko sudah kasih gajinya kemarin Bu?" Tanyaku sedikit memberontak.

"Sudah habis buat beli sabun, sampo, beras terus barang-barang yang lain. Belum lagi beli skincare untuk Ibu dan adik iparmu. Sudahlah jadi mantu jangan pelit. Sudah kewajiban kamu sebagai istri untuk membantu Eko membahagiakan keluarganya." Seru Ibu mertua ketus lalu naik ke atas motornya.

Bukannya aku mau bersikap pelit. Hanya saja gaji Mas Eko yang hanya setara umr itu di berikan semua pada keluarganya. Jelas saja tidak cukup karena harus menghidupi orang tua dan adik perempuannya. Karena itulah Mas Eko mengijinkan aku bekerja sejak umur Dinda tiga tahun.

Dengan menggunakan modal yang di berikan oleh kakak iparku, aku menjual baju di kios pasar. Awalnya hanya dapat untung sedikit. Lama kelamaan pelangganku jadi banyak. Sayangnya hasil pekerjaanku juga harus di nikmati oleh keluarga Mas Eko. Bagi mereka asalkan aku dan Dinda masih bisa makan itu sudah cukup.

Aku terduduk di teras rumah. Kepalaku mendadak pusing karena memikirkan uang setoran yang harus aku berikan pada agen. Sedangkan penghasilan hari ini tidak seberapa karena hanya sedikti pelanggan yang membayar kredit pakaian mereka.

Tanpa terasa air mata sudah meleleh di pipiku. Ku hapus air mata itu dengan cepat lalu mengambil barang-barang yang masih ada di atas motor. Ada dua kardus berisi pakaian yang aku bawa keliling. Untuk di jajakan pada para tetangga dengan cara menghampiri dari satu rumah ke rumah yang lain.

Jika pasar mingguan buka, aku juga berjualan di pasar. Dengan harga sewa yang semakin mahal setiap tahun jujur saja membuatku kesulitan berjualan. Untung saja penghasilan dari menjajakan baju keliling cukup untuk biaya makanku dan Dinda. Itu pun setelah di ambil oleh Ibu mertua seperti tadi. Selain itu, aku juga punya tabungan rahasia dari pengasilan lain yang tidak pernah di ketahui Mas Eko dan keluarganya.

Namun, sejak Dinda masuk SD, uang yang harus aku dapatkan semakin banyak. Untuk biaya pendaftaran sekolah, membeli buku, tas, seragam dan perlengkapan sekolah yang lain. Itu semua dari uang jualan. Karena Mas Eko hanya memberi uang lima puluh ribu untuk satu minggu. Dengan alasan aku sudah bisa mencari uang sendiri.

Aku masuk ke dalam rumah yang lampunya sudah di nyalakan. Dinda menunggu di ruang keluarga sambil mengerjakan PR. Di usia yang masih sangat muda, aku harus sering meninggalkan Dinda di rumah sendirian sejak umurnya enam tahun. Karena Dinda sudah tidak mau ikut lagi denganku berjualan keliling.

Dulu saat Dinda masih kecil, aku menggendongnya di depan sambil naik motor untuk berjualan. Banyak orang kasihan menatapku. Tapi, rasa kasihan itu yang membuatku tidak nyaman itu tidak sebanding dengan urusan perut yang harus di penuhi.

"Assalamualaikum." Sapaku saat masuk ke dalam. Dinda menolehkan kepalanya dengan mata berbinar.

"Waalaikumsalam. Ibu sudah dapat uang untuk bayar spp? Biar aku bisa ikut ujian." Aku mensejajarkan tubuh dengan Dinda agar bisa menatap kedua bola matanya yang bening.

"Besok Ibu akan pergi ke koperasi dulu ya buat ambil uang yang Ibu tabungkan di koperasi." Binar di mata Dinda seketika hilang.

"Uang Ibu di ambil mbah lagi ya?" Aku hanya bisa tersenyum pahit lalu mengusap pucuk kepalanya.

"Dinda lanjutin belajar ya. Ibu mau mandi. Setelah ini kita makan ayam goreng bareng."

"Horee." Teriak Dinda senang. Setidaknya makanan yang aku beli khusus untuk Dinda tidak di ambil Ibu mertua karena sudah aku sembunyikan di tempat yang aman.

Aku hanya bisa menangis tanpa suara di dalam kamar mandi agar Dinda tidak bisa mendengarnya. Hidupku yang sudah menyedihkan sejak kecil belum berubah. Menjadi istri Mas Eko tidak mengubah nasib menjadi lebih baik, tapi justru membuatku merasa semakin tertekan.

Orang tuaku sudah meninggal sejak aku duduk di bangku SMP. Kakak laki-lakiku berjuang keras untuk menghidupi kami berdua. Sejak menikah dengan teman sekolahnya, kakakku pindah keluar kota. Aku juga meninggalkan tanah kelahiran kami setelah menikah dengan Mas Eko. Berharap kehidupanku akan menjadi lebih baik. Namun, semuanya jauh panggang dari api.

"Ya Allah. Apa yang harus aku lakukan?" Isakku tertahan.

***

Jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam saat Mas Eko baru pulang ke rumah. Pekerjaannya sebagai satpam di sebuah pabrik memang membuat jam kerja Mas Eko jadi tidak menentu. Aku tidak menyambutnya di ruang tamu karena sudah terlalu lelah dengan sikapnya.

Cklek

"Kamu nggak mampir beli makanan Rin?" Tanya Mas Eko begitu masuk ke dalam kamar.

Suamiku itu memang tidak menuntut untuk selalu di masakan jika aku keliling pada sore hari. Jika masih ada wakut aku akan memasak. Namun, jika tidak biasanya aku beli lauk di warung.

"Niatnya mau beli di warung dekat rumah mas. Tapi, Ibu sudah nunggu di teras. Nggak jadi beli makan tadi." Jawabku seadanya.

Bisa kulihat raut kecewa di wajahnya. Aku yakin Mas Eko belum beli makan di luar karena ingin makan di rumah. Tapi, sampai di rumah kenyataan tidak sesuai harapan. Seharusnya ia sudah paham sikap Bapak dan Ibunya yang selalu datang ke rumah ini untuk meminta uang.

"Ya sudah kalau begitu. Berarti kamu dan Dinda makan yang tadi siang. Masih ada nggak?" Aku menggelengkan kepala.

"Sudah habis tadi siang di bawa Ibu pergi. Aku sama Dinda makan mie instan tadi." Wajah Mas Eko berubah menjadi masam.

"Ya sudah aku nggak jadi makan."

Mas Eko langsung membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Aku hanya mengedikan bahu lalu memejamkan mata.

Pagi harinya, aku sudah sibuk menyiapkan sarapan dengan menu sederhana. Mie goreng dan telur ceplok. Bahan makanan yang bisa aku stok untuk satu bulan ke depan. Itu pun hanya bisa aku beli sedikit untuk dua atau tiga hari saja.

"Kamu benar-benar nggak punya uang untuk beli ayam atau sayur Rin?" Aku menganggukan kepala tanpa menjawab pertanyaan suamiku itu.

"Kalau hasil jualan hari ini mau buat bayar sppnya Dinda mas. Jadi menu malam ini juga akan sama." Mas Eko menghentakan sendoknya di atas meja makan.

"Aku mau makan di rumah Ibu saja. Setelah bayar spp Dinda kamu harus beli ayam atau daging. Aku jadi nggak nafsu makan kalau makanannya cuma ini saja."

Dinda menatap dengan takut ke arah Ayahnya. Aku mengusap rambut panjang Dinda menenangkan. Biarlah jika dia pergi ke rumah Ibunya. Memang mereka ada uang?

Aku lalu mengajak Dinda naik motor. Di depanku sudah ada satu kardus berisi pakaian yang akan aku gelar di pasar. Setelah mengantarkan Dinda ke sekolah, aku pergi ke rumah pemilik agen baju untuk menyampaikan jika aku belum bisa membayar uang jualan bulan ini.

Setelah itu aku pergi ke salah satu koperasi. Bukan untuk meminjam uang. Tapi, untuk mengambil tabungan yang sedikit demi sedikit aku kumpulkan saat petugasnya berkeliling di pasar. Baru saja aku sampai di halaman. Sebuah motor juga berhenti di sampingku. Dadaku berdegup kencang saat menyadari jika orang yang turun dari motor itu adalah Ibu mertua.

"Loh Rin. Kamu punya uang di koperasi?" Tanya Ibu mertua yang sudah turun dari motornya. Tanganku gemetar karena bingung harus menjawab apa.

"Ternyata kamu sudah pintar bohong ya. Ngakunya nggak ada uang, tapi ternyata punya banyak uang di bank keliling."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status