Share

Bab 2 Hutang dan Tabungan

“Bukan begitu Bu. Aku datang kesini untuk meminjam uang lagi. Aku harus membayar baju yang aku ambil dan uang spp sekolah Dinda.” Raut wajah Ibu mertua yang awalnya marah lalu berubah baik padaku.

“Kamu mau ambil berapa? Ini juga pertama kalinya Ibu ambil hutang di koperasi. Soalnya nama Ibu dan Bapak sudah di blacklist dari bank nasional.” Diam-diam aku menghela nafas lega.

Berarti Ibu mertua tidak tahu bagaimana sistem pinjaman dan tabungan di koperasi. Berbeda denganku yang sudah hafal karena banyak teman-teman penjual di pasar juga meminjam uang di berbagai koperasi.

“Cuma satu juta aja Bu. Yang dua ratus ribu buat bayar spp sekolahnya Dinda. Yang tujuh ratus ribu bayar barang dagangan ke agen dan sisanya buat belanja bahan makanan hari ini. Mas Eko minta di masakan ayam.” Bibir Ibu mertua seketika mengerucut.

“Dasar payah kamu Rin. Satu juta mana cukup sih.” Gerutu Ibu lagi.

“Karena aku nggak punya barang jaminan Bu. Maksimal pinjam uang tanpa jaminan hanya satu juta saja.”

Ibu mertua menganggukan kepalanya paham lalu masuk ke dalam koperasi lebih dulu. Rupanya Ibu mertua ingin meminjam uang dengan nominal dua puluh juta rupiah untuk membelikan motor baru untuk anak bungsunya. Jaminan yang di gunakan adalah sertifikat kebun yang di wariskan dari Kakek Mas Eko. Namun, sayangnya tidak pernah di urus dengan baik sehingga terbengkalai.

Entah bagaimana dulu aku bisa masuk ke dalam keluarga ini. Pemalas, tukang minta uang dan boros. Padahal mereka juga bukan orang berada. Tapi, dari segi pakaian dan dandanan harus mewah.

Seperti biasa, pegawai yang berjaga mengatakan akan meninjau lokasi tanah itu lebih dulu. Ibu mertua di minta untuk mengisi formulir. Bukannya pergi setelah urusannya selesai, Ibu mertua justru duduk di kursi sampingku.

“Sekarang giliran kamu Rin.” Perasaanku jadi tidak enak. Jangan-jangan Ibu mertua ingin meminta uang yang aku ambil.

Drrttt… drrtt…. Drrttt…

Belum sempat aku berdiri, hp Ibu mertua sudah berbunyi nyaring. Dia lalu pergi keluar dari kantor. Segera aku keluarkan buku tabungan lalu menyerahkannya pada kasir. Aku terus berdoa agar Ibu mertua tidak masuk ke dalam. Untunglah kasir segera memberiku uang.

Aku berlari keluar dari kantor. Melewati Ibu mertua yang sepertinya sedang menelpon anak bungsunya. “Aku pergi dulu Bu.” Tanpa menunggu jawaban Ibu mertua, aku melajukan motor menuju sekolah Dinda.

“Arini. Tunggu duluuuu.” Tidak aku pedulikan teriakan Ibu mertua yang sudah mengejar motorku.

Syukurlah Ibu mertua tidak mengejarku dengan motor. Aku pergi ke sekolah Dinda. Sebuah sekolah negeri yang biaya masuknya tergolong cukup murah. Tapi, untuk orang tidak mampu seperti keluargaku rasanya tetap saja berat.

Setelah itu, aku pergi ke pasar. Menata barang daganganku di lapak. Sisa uang hari ini akan aku gunakan untuk membayar baju di agen sebesar lima ratus ribu saja. Tidak sebesar jumlah yang aku sebutkan pada Ibu mertua.

Karena merasa bosan, aku kembali memasarkan produk di sosial media. Selain berjualan baju, aku juga menjadi dropshipper produk jilbab dan buku dari salah satu penerbit. Pembagian keuntungan dari barang yang pasarkan di sosial media kemudian aku tabung di koperasi. Tapi, jika uangku habis akan aku gunakan untuk membayar baju yang aku ambil di agen.

Pekerjaan sampingan ini membuatku tidak harus berhutang di koperasi hanya agar bisa terus berjualan. Tidak seperti teman-teman pedagang yang lain. Alhamdulillah banyak yang membeli jilbab yang aku pasarkan di sosial media baik transaksi secara langsung pada admin maupun melalui beberapa media marketplace.

Bulan ini saja aku sudah menghasilkan lima ratus ribu rupiah. Sebagian uangnya untuk membeli bahan makanan dan kebutuhan rumah. Sebagian lagi aku tabung. Jadi, Ibu mertua tidak akan bisa mengambilnya.

Mas Eko dan Ibu mertua hanya tahu jika aku mendapatkan uang dari berjualan baju di pasar dan secara keliling. Hari sudah beranjak siang. Tapi, belum ada orang yang membeli barang daganganku. Satu jam berlalu dengan cepat. Baru dua orang yang membeli baju. Aku baru dapat uang seratus ribu saja hari ini.

***

Sisa uang di dompet tinggal tiga ratus ribu setelah aku membayar barang dagangan yang aku ambil di agen. Tepat jam satu siang, aku sudah membereskan barang dagangan. Sholat di musola pasar lalu menjemput Dinda di sekolah.

“Hari ini kita makan mie ayam di tempat rahasia. Ibu baru ambil uang di koperasi.” Mata Dinda berbinar senang.

“Siap Bu.”

Hari itu sepertinya berjalan dengan baik hingga hari berganti sore. Dinda menunggu di rumah. Aku kembali berkeliling dari satu rumah ke rumah lain. Menjajakan barang dagangan. Menerima uang kredit baju dari para pelanggan lalu pulang ke rumah.

Uang itu aku sembunyikan di salah satu bungkusan baju untuk anak kecil. Untuk uang belanja besok. Sesampainya di rumah, Mas Eko yang hari ini bekerja shift pagi sampai sore sudah pulang ke rumah. Tubuhnya rebah di sofa ruang tengah sambil menonton TV.

“Gimana barang dagangan kamu hari ini Rin?” Tanya Mas Eko antusias melihatku pulang.

“Cuma dapat uang seratus lima puluh ribu aja mas. Seperti biasa nggak banyak yang bayar.” Bohongku padanya.

“Kata Ibu tadi kamu minjam uang di koperasi. Kalau ada sisanya kasih ke aku sekarang.” Aku mendengus sebal pada Mas Eko yang selalu menadahkan tangannya padaku.

“Sudah habis. Tinggal sisa dua puluh ribu saja. Aku baru bayar uang spp sekolahnya Dinda, bayar barang dagangan di agen, beli bahan makanan untuk hari ini. Kamu kan sudah pesan mau di masakan ayam mas.” Mas Eko menghela nafas kesal. Ia lalu duduk di hadapanku.

“Terus uang jualan kamu di pasar sama keliling gimana? Masa nggak ada sama sekali.” Ku keluarkan uang dari dalam saku celana.

“Tinggal segitu aja. Uangnya buat beli sabun, shampoo, beras sama minyak goreng. Kamu tahu sendiri kalau semua barang sekarang serba mahal mas. Sudahlah buat apa kamu minta uang terus. Lebih baik kita makan sekarang.”

BRAK

Tubuhku terlonjak kaget. Dinda yang baru saja keluar dari kamar segera masuk kembali. “Jangan banyak tanya kenapa sih? Suami minta uang itu ada butuhnya. Aku lagi butuh uang untuk beli rokok. Dua puluh ribu aja nggak masalah. Yang penting bisa ngudut.”

Tangan Mas Eko sudah terulur padaku. Aku tetap menggelengkan kepala lalu kembali memasukan uang itu ke dalam saku. “Nggak mau. Uang ini buat beli bensin besok.”

“Kamu bisa pergi keliling dulu nagih kredit baju untuk beli bensin.”

“Gimana mau keliling kalau bensin motornya habis mas. Bisa nggak sih kamu tahan dulu kalau mau merokok. Setidaknya sisakan gajimu untuk beli rokok. Bukannya minta terus padaku.” Kakiku kembali melangkah masuk menuju gudang.

Meletakan dua kantung besar berisi barang daganganku. Saat aku sudah keluar dari gudang, Mas Eko sudah memasukan makanan yang baru saja aku masak ke dalam tupperware  “Apa yang kamu lakukan mas? Kenapa kamu memasukan ayamknya kesana?”

Aku berusaha merebut plastik beriis tupperware di tangan Mas Eko. Tapi, dia bisa menampiknya dengan mudah. “Mau aku bawa ke rumah Ibu untuk di makan. Lebih baik kamu dan Dinda makan telur saja.”

“Jangan mas. Apa kamu nggak kasihan sama Dinda? Ibu kan bisa beli ayam sendiri dari uang gaji kamu.” Tanganku tetap berusaha merebut kantung plastik itu. Dapat.

Mas Eko mendorongku hingga jatuh lalu berlari keluar dari rumah. Suara deru motor terdengar tidak lama kemudian. Aku hanya bisa menangis tergugu meratapi nasib.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
manwhgf
istrinya kok ya tahan ...haruse tinggalin aja . tuman
goodnovel comment avatar
Via Oktaviani
najis amat ya suami model gt
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status