Share

Bab 3

Matahari telah condong ke arah barat. Melihat jam dinding telah menunjuk angka dua. Tiba-tiba terdengar suara kaki-kaki kecil yang bergerak mendekat.

"Ibu, ayo kita jalan-jalan," ajak si sulung. Nampak nafasnya naik turun, sepertinya ia baru saja berlarian.

"Jalan-jalan ke mana, Sayang?" tanyaku seraya menangkupkan kedua telapak tangan ke pipi gembulnya.

"Ke lapangan Bu, ayo."

"Ke lapangan, ya? Baiklah, yuk. Tapi minum air putih dulu ya, Nak?"

Satu gelas air putih kuulurkan pada mereka berdua. Bergantian mereka menghabiskan isi dalam gelas tersebut. Aku pun beranjak meraih jilbab serta masker kemudian mengunci pintu. Kami bertiga berjalan beriringan menuju lapangan dekat rumah.

Rupanya lapangan sangat ramai dengan anak kecil maupun tanggung. Ada yang bermain bola, ada yang bersepeda, ada pula yang berkejaran. Kedua anakku segera bergabung dengan teman-teman satu gang yang sudah akrab. Sementara itu aku mengawasi mereka di pinggir lapangan.

Aku kembali melihat sekeliling siapa tau ada tanaman yang bisa kupetik untuk dimasak sore ini. Nah, kebetulan ada banyak tanaman sintrong di pinggir sawah, aku pun bergegas melangkahkan kaki menuju ke sana. Aku memetik tanaman tersebut satu persatu, sambil sesekali mengawasi anak-anak yang masih asyik bermain.

Inilah kebiasaan baruku semenjak kejadian beberapa waktu lalu. Mencari sayuran yang tumbuh liar untuk mengurangi belanja sayur. Dan aku bersyukur anak-anak tidak rewel, mau menerima apa saja yang kuhidangkan untuk mereka santap.

Tanganku telah penuh oleh daun sintrong, aku mengikatnya dengan daun alang-alang, kemudian menaruhnya di atas tanaman bugenvil yang tumbuh cantik di pinggir lapangan.

"Momong, Bu?" sapa seseorang yang sudah berdiri di sampingku.

Aku menoleh ke sumber suara, ternyata tetangga gang yang juga sedang mengawasi anaknya yang tengah bermain di lapangan.

"Iya, Bu," jawabku dengan senyum tersembunyi di balik masker kain yang kukenakan.

"Ibu masih bikin nasi biru nggak, Bu?"

Wah, dari mana ibu ini tau kalau aku membuat nasi biru ya? Seingatku waktu membagi makanan waktu itu tidak sampai ke rumah beliau.

"Masih Bu, kadang-kadang," jawabku jujur. Tentu saja kadang-kadang, karena aku hanya membuat sesuai pesanan.

"Oh, begitu, saya mau ada acara, kira-kira bisa pesan tidak, ya?" tanyanya lagi, yang membuat aku tersenyum senang. Semoga saja, ini jadi salah satu pembuka rejeki.

***

Aku sedang mengiris bawang saat terdengar suara motor berhenti di halaman rumah. Melirik jam dinding, ternyata sudah setengah lima.

"Ayah … Ayah …," riuh suara anak-anak menyambut ayah mereka pulang. Aku tersenyum melihat tingkah mereka.

Nasi dan lauk sudah matang, aku sudah tenang kalau Mas Ari pulang, makanan sudah siap. Mau dimakan atau tidak, terserah saja, yang penting aku sudah menyiapkan.

'Kalau kita sudah memasak, tapi tidak dimakan, ya sudah, ikhlaskan saja, tak perlu marah, mungkin itu rejeki buat yang masak,' begitu pesan seorang ustadz yang pernah kudengar di suatu pengajian. Jadi ya, aku mencoba ikhlas jika masakanku tak disentuh sama sekali. Memang tak mudah karena memasak juga butuh energi yang tak sedikit. Tapi marah-marah juga percuma, cuma buang energi saja, iya kan?

"Assalamu'alaikum," Mas Ari mengucap salam begitu memasuki rumah.

"Wa'alaikumsalam," jawabku dari dapur sambil memasukkan irisan bawang merah ke dalam wajan. Aku mau membuat nasi goreng dari nasi sisa kemarin, serta sisa makan anak-anak beberapa saat lalu.

Mas Ari melihat sejenak kegiatanku, kemudian mengambil handuk sebelum masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Nasi gorengku telah siap saat Mas Ari selesai berganti baju dan wangi tubuhnya menguar, menyapa indera penciumanku.

"Hmmm … wanginya," ucapku saat ia mendekat kemudian duduk di kursi dapur.

"Iya dong, kan habis mandi," ia berkata setelah menenggak segelas air putih yang telah ku siapkan.

"Apa itu Bu?"

"Ini nasi goreng sisa kemarin sama sisa anak-anak," jawabku sambil mengambil sendok.

"Mas mau?" tanyaku basa-basi, karena biasanya ia tak pernah mau kalau aku membuat nasi goreng dari nasi sisa.

Aku duduk di lantai, dengan seporsi nasi goreng yang nampak sedap. Mas Ari berdiri, lantas berjalan melewati aku.

"Makanan sampah."

Deg.

Aku memejamkan mata demi mendengar apa yang ia ucapkan saat ia berlalu di depanku. Meski pelan, namun pendengaranku masih bagus, sehingga bisa menangkap apa yang ia ucapkan. Hampir tak percaya kalimat itu meluncur dari ayah kedua anakku. Rasa hampir menangis mendapat kata-kata yang tak ingin ku dengar.

Asal kamu tau ya, Mas, aku begini juga karena kamu yang mulai perhitungan. Lagipula aku merasa sayang dengan sepiring nasi kalau sampai terbuang, apalagi nasi ini masih bagus. Kalau bukan aku yang menghabiskan, lalu siapa lagi. Ini pun jatah makan untukmu yang tidak kamu makan semalam.

Aku menyantap nasi goreng itu dengan hati teriris. Sambil makan sambil berpikir,

apa benar ini makanan sampah?

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
ubaydi mahdi
oke.... mantap kali ceritanya ..... kalau bisa di tambah dengan gambar atau dengan kalikatur yang bisa membuat lebih tertarik .... bonus koinnya snagan lambat ... jadi banyak runtutan buat pembayaran koin ... berbeda denga. novel aplikasi yang di sebelah ..... bisa memberikan penghasilan. tambahan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status