Matahari telah condong ke arah barat. Melihat jam dinding telah menunjuk angka dua. Tiba-tiba terdengar suara kaki-kaki kecil yang bergerak mendekat.
"Ibu, ayo kita jalan-jalan," ajak si sulung. Nampak nafasnya naik turun, sepertinya ia baru saja berlarian."Jalan-jalan ke mana, Sayang?" tanyaku seraya menangkupkan kedua telapak tangan ke pipi gembulnya."Ke lapangan Bu, ayo.""Ke lapangan, ya? Baiklah, yuk. Tapi minum air putih dulu ya, Nak?"Satu gelas air putih kuulurkan pada mereka berdua. Bergantian mereka menghabiskan isi dalam gelas tersebut. Aku pun beranjak meraih jilbab serta masker kemudian mengunci pintu. Kami bertiga berjalan beriringan menuju lapangan dekat rumah.Rupanya lapangan sangat ramai dengan anak kecil maupun tanggung. Ada yang bermain bola, ada yang bersepeda, ada pula yang berkejaran. Kedua anakku segera bergabung dengan teman-teman satu gang yang sudah akrab. Sementara itu aku mengawasi mereka di pinggir lapangan.Aku kembali melihat sekeliling siapa tau ada tanaman yang bisa kupetik untuk dimasak sore ini. Nah, kebetulan ada banyak tanaman sintrong di pinggir sawah, aku pun bergegas melangkahkan kaki menuju ke sana. Aku memetik tanaman tersebut satu persatu, sambil sesekali mengawasi anak-anak yang masih asyik bermain.Inilah kebiasaan baruku semenjak kejadian beberapa waktu lalu. Mencari sayuran yang tumbuh liar untuk mengurangi belanja sayur. Dan aku bersyukur anak-anak tidak rewel, mau menerima apa saja yang kuhidangkan untuk mereka santap.Tanganku telah penuh oleh daun sintrong, aku mengikatnya dengan daun alang-alang, kemudian menaruhnya di atas tanaman bugenvil yang tumbuh cantik di pinggir lapangan."Momong, Bu?" sapa seseorang yang sudah berdiri di sampingku.Aku menoleh ke sumber suara, ternyata tetangga gang yang juga sedang mengawasi anaknya yang tengah bermain di lapangan."Iya, Bu," jawabku dengan senyum tersembunyi di balik masker kain yang kukenakan."Ibu masih bikin nasi biru nggak, Bu?"Wah, dari mana ibu ini tau kalau aku membuat nasi biru ya? Seingatku waktu membagi makanan waktu itu tidak sampai ke rumah beliau."Masih Bu, kadang-kadang," jawabku jujur. Tentu saja kadang-kadang, karena aku hanya membuat sesuai pesanan."Oh, begitu, saya mau ada acara, kira-kira bisa pesan tidak, ya?" tanyanya lagi, yang membuat aku tersenyum senang. Semoga saja, ini jadi salah satu pembuka rejeki.***Aku sedang mengiris bawang saat terdengar suara motor berhenti di halaman rumah. Melirik jam dinding, ternyata sudah setengah lima."Ayah … Ayah …," riuh suara anak-anak menyambut ayah mereka pulang. Aku tersenyum melihat tingkah mereka.Nasi dan lauk sudah matang, aku sudah tenang kalau Mas Ari pulang, makanan sudah siap. Mau dimakan atau tidak, terserah saja, yang penting aku sudah menyiapkan.'Kalau kita sudah memasak, tapi tidak dimakan, ya sudah, ikhlaskan saja, tak perlu marah, mungkin itu rejeki buat yang masak,' begitu pesan seorang ustadz yang pernah kudengar di suatu pengajian. Jadi ya, aku mencoba ikhlas jika masakanku tak disentuh sama sekali. Memang tak mudah karena memasak juga butuh energi yang tak sedikit. Tapi marah-marah juga percuma, cuma buang energi saja, iya kan?"Assalamu'alaikum," Mas Ari mengucap salam begitu memasuki rumah."Wa'alaikumsalam," jawabku dari dapur sambil memasukkan irisan bawang merah ke dalam wajan. Aku mau membuat nasi goreng dari nasi sisa kemarin, serta sisa makan anak-anak beberapa saat lalu.Mas Ari melihat sejenak kegiatanku, kemudian mengambil handuk sebelum masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Nasi gorengku telah siap saat Mas Ari selesai berganti baju dan wangi tubuhnya menguar, menyapa indera penciumanku."Hmmm … wanginya," ucapku saat ia mendekat kemudian duduk di kursi dapur."Iya dong, kan habis mandi," ia berkata setelah menenggak segelas air putih yang telah ku siapkan."Apa itu Bu?""Ini nasi goreng sisa kemarin sama sisa anak-anak," jawabku sambil mengambil sendok."Mas mau?" tanyaku basa-basi, karena biasanya ia tak pernah mau kalau aku membuat nasi goreng dari nasi sisa.Aku duduk di lantai, dengan seporsi nasi goreng yang nampak sedap. Mas Ari berdiri, lantas berjalan melewati aku."Makanan sampah."Deg.Aku memejamkan mata demi mendengar apa yang ia ucapkan saat ia berlalu di depanku. Meski pelan, namun pendengaranku masih bagus, sehingga bisa menangkap apa yang ia ucapkan. Hampir tak percaya kalimat itu meluncur dari ayah kedua anakku. Rasa hampir menangis mendapat kata-kata yang tak ingin ku dengar.Asal kamu tau ya, Mas, aku begini juga karena kamu yang mulai perhitungan. Lagipula aku merasa sayang dengan sepiring nasi kalau sampai terbuang, apalagi nasi ini masih bagus. Kalau bukan aku yang menghabiskan, lalu siapa lagi. Ini pun jatah makan untukmu yang tidak kamu makan semalam.Aku menyantap nasi goreng itu dengan hati teriris. Sambil makan sambil berpikir,apa benar ini makanan sampah?***Malam telah semakin tinggi. Semua penghuni rumah sudah terlelap. Giliran aku memeriksa sekali lagi catatan belanja, untuk menyiapkan pesanan Bu Karti tempo hari. Aku harus cepat supaya besok pagi tinggal mengambil di penjual sayur. Gegas kurebahkan badan, setelah merasa cukup dengan daftar yang aku buat.Pagi hari setelah Mas Ari berangkat, aku mengajak kedua anakku berbelanja ke depan gang, di mana penjual sayur berjualan. Bu Karti telah memberi uang tanda jadi setengahnya, uang itu yang kugunakan untuk membeli bahan yang akan kumasak.Catatan yang sudah disiapkan, tak lupa dibawa. Beberapa jajanan untuk kedua anakku juga kusiapkan, sebab aku tak mau mereka menangis saat aku sedang menyiapkan pesanan. Aku bergerak cepat, memasak nasi dan ayam bersamaan. Anak-anak mengerti kalau aku sedang repot menyiapkan pesanan, sehingga mereka mau bermain berdua. Sesekali ada drama rebutan mainan, tapi tak berlangsung lama.Pukul dua siang, semua telah selesai. Tiga puluh kotak nasi biru lengkap d
Mas Ari telah sampai terlebih dulu saat aku pulang bersama kedua buah hatiku. Ia telah berganti baju serta wajahnya terlihat segar, nampaknya ia telah membersihkan diri.Kami bertiga mencium punggung tangan sang ayah bergantian."Ayah … ayah … adik habis jajan es krim, Yah … sama Ibu, maem es krim," si bungsu bercerita dengan antusias tanpa ditanya."Oh, ya? Enak dong, ya, jajan terus kalian."Mas Ari berkata sambil melirikku.Entah kenapa aku merasa tatapan matanya tajam. Atau mungkin hanya perasaanku saja, ataukah tidak?"Iya, Yah, Ibu juga maem es krim tadi. Seneng lho, Yah … maem tiga, gini," si kakak menimpali dengan menunjukkan ketiga jari tangan kanannya."Wah, luar biasa. O iya, tumben ada ayam goreng, Bu. Biasanya cuma tahu tempe aja?" tanya Mas Ari dengan menautkan kedua alis.Tentu saja ada, Mas. Lihat saja, meski nafkah untukku kau potong, aku tetap bisa menghidangkan lauk yang bergizi untuk anak-anakku.***"Ayah … Ayah, Kakak mau sepeda, Yah … , itu seperti punya Kak Sint
Hari telah beranjak siang. Kedua buah hatiku masih asyik bermain, sementara aku, kini bergelut dengan jemuran yang telah kering. Satu persatu dilipat dan dimasukkan ke dalam lemari. Beberapa celana telah disisihkan karena menurutku sudah tak layak dipakai lagi. Biarlah disisihkan dulu untuk didaur ulang nanti. Urusan pakaian telah beres, kini aku memetik bunga cantik berwarna biru untuk dibuat sirup. Aku berencana membawa sirup ini untuk Ibu. Berharap semoga Ibu suka dengan sirup buatanku."Mbak Lisa, aku pesan sirupnya dong, ready, kan?"Bu Ida, tetangga di ujung gang komplek ini mengirim pesan lewat WA. Ya, aku baru saja memposting sirup buatanku di status WhatsApp milikku yang kebanyakan kontaknya berisi ibu-ibu komplek.Aku membaca pesan Bu Ida dengan senyum mengembang. Padahal aku hanya posting foto tiga botol sirup dengan caption 'sirup bunga telang yang kaya manfaat'. Tidak terpikir untuk menjual, tapi kalau ada yang berminat, kenapa enggak, iya kan? Sirup untuk Ibu, nanti ak
Sabtu pagi, aku melihat Mas Ari masih santai, nampaknya hari ini ia libur. Ya, hari kerja Mas Ari terkadang hanya lima hari saja. Jika pekerjaan sedang banyak, barulah ia berangkat, itupun tak sampai sore. "Ke rumah Ibu? Mau ngapain?" tanya Mas Ari sambil menautkan kedua alisnya.Ah … akan alot soal perijinan ini kalau Mas Ari sudah bertanya mau ngapain. Aku nggak mau nyerah, ayok rayu lagi Lisa!"Silaturahmi Mas, aku kan juga kangen sama Ibu, Ibu juga kangen sama cucu-cucunya. Sudah lama lho, Mas, kita nggak ke sana. Padahal kan dekat, nggak sampai sejam naik motor," aku mulai mengerucutkan bibir."Hm … kangen, ya?" tanyanya, nampak berpikir."Iya, Mas, boleh, ya?" pintaku, dengan memasang wajah memelas."Ya, sudah, ayok siap-siap!" titahnya kemudian."Asyik, alhamdulillah, makasih ya, Mas. Aku siapkan anak-anak dulu," ujarku kegirangan."Siapkan apa? Udah, nggak usah mandi, nanti mandi di sana aja biar puas nyemplung sungai."Wah, ini sungguh kejutan. Tak biasanya begini. Ini seben
"Sa, hati-hati ya, kalau punya uang, disimpan, gunakan seperlunya, jangan dikasih tau itu, suami kamu."Aku mengernyitkan kening membaca pesan dari Mas Imam, kakakku satu-satunya. Apa dia tau kalau aku baru saja diberi hadiah oleh ibu? Kenapa Mas Ari tak boleh dikasih tau?"Iya Mas, makasih ya. Iya, Lisa akan hati-hati. Oiya, kenapa Mas Ari nggak boleh dikasih tau, Mas?"Pesanku langsung centang biru. Aku menunggu balasan, tapi tak kunjung dibalas. Kenapa lagi Mas Imam ini?Sedang bertanya-tanya dengan keanehan pesan Kakakku, tiba-tiba adikku sudah muncul di depan pintu. Ia membawa pucuk daun singkong dalam gendongan. Ada lagi satu ember hitam entah apa isinya."Nih, Mbak, masih suka daun singkong nggak?" tanyanya setelah mengucap salam.Daun singkong itulah penolong kami kala masih sama-sama bocah. Di sawah Ibu, banyak ditanami singkong sehingga kami bisa memetik dan menjualnya dalam bentuk buntil daun singkong. Itulah menu
Malam semakin pekat, namun kedua netra ini tak kunjung terpejam. Aku terbaring di antara kedua anak dan suami, lantas memandang wajah lelah mereka satu per satu dalam cahaya kamar yang remang-remang. Wajah mereka nampak manis sekali saat sedang terlelap seperti ini.Mengecup wajah mereka satu per satu, kemudian aku bangkit berdiri untuk melaksanakan sholat malam, mengadu pada Sang Pemilik Kehidupan. Ingin menumpahkan segala kesah dalam diri ini di atas sajadah, serta mohon petunjuk langkah apa yang harus diambil untuk hari esok.Aku masih shock setelah menerima tabungan yang jumlahnya tak sedikit dari Ibu. Seumur hidup, aku belum pernah memiliki tabungan sebanyak itu. Mau cerita sama Mas Ari, tapi ingat pesan Mas Imam, jadi urung. Juga sikap misterius yang ia tunjukkan kemarin membuat aku berpikir dua kali untuk blak-blakan seperti selama ini.Teringat tingkah aneh Mas Ari kemarin saat di rumah Ibu, aku mencari keberadaan ponsel hitam milikn
Apapun kesibukan di rumah, aku berusaha semua selesai sebelum Mas Ari pulang. Jam menunjuk pukul setengah empat sore, aku harus bergegas."Ayah … Ayah … ."Teriakan kedua anakku terdengar saat suara motor yang khas berhenti di depan rumah.Lah, belum juga selesai kok sudah pulang si Ayah?."Pakeett … ."Teriakan petugas pengirim paket membuat aku terlonjak, juga kedua anakku yang sedang asyik menonton film kartun kesayangan. Aku bergegas ke luar kamar untuk meraih amplop yang sudah kusiapkan. Di sana tertera keterangan jumlah uang dan keperluan, berjaga-jaga supaya uang sudah siap saat paket datang.Petugas paket segera pamit setelah serah terima barang dan uang. Anak-anak sudah mengekor di belakang dan berebut kotak besar yang ada di tanganku."Ini apa Bu?""Ayo kita lihat sama-sama ya. Kakak, tolong ambilkan gunting ya, sayang.""Oke Bu.""Wah, baju Bu, buat siapa?"Mereka terkagum-kagum melihat pakaian yang banyak di depan mereka."Ini buat kamu berdua, ini buat Ayah, ini buat Ibu
Buat Mama Mana?Hari kian gelap. Anak-anak sudah terlelap ditemani sang Ayah. Aku melanjutkan memilah pakaian yang sudah tak layak untuk diganti dengan yang baru. Kardus mi instan bahkan tak cukup untuk menampung sortiran pakaian ini.Terdengar suara langkah kaki mendekat, ternyata Mas Ari."Dek, kamu ngapain belanja sebanyak ini? Ini tuh calon keset, beli banyak-banyak buat apa?"Astaghfirullah, hatiku sungguh teriris mendengar tutur kata Mas Ari. Berkali-kali aku mengucap istighfar. Sesekali aku melihat ke arah kamar di mana anak-anak sedang terlelap. Takut kalau suara Mas Ari membangunkan mereka."Maksud kamu apa, Mas?" tanyaku kemudian, setelah memastikan kalau keduanya tak terganggu."Ya, ini. Ini belanjaan yang kamu posting tadi siang, kan?"Ia menunjuk pakaian yang tertumpuk rapi di atas dipan di kamar belakang."Iya Mas, kamu benar, ini belanjaan yang aku posting tadi siang. Apa salahnya sih Mas, sampai