Share

Bab 3

Author: Nisa Khair
last update Last Updated: 2022-06-14 11:28:51

Matahari telah condong ke arah barat. Melihat jam dinding telah menunjuk angka dua. Tiba-tiba terdengar suara kaki-kaki kecil yang bergerak mendekat.

"Ibu, ayo kita jalan-jalan," ajak si sulung. Nampak nafasnya naik turun, sepertinya ia baru saja berlarian.

"Jalan-jalan ke mana, Sayang?" tanyaku seraya menangkupkan kedua telapak tangan ke pipi gembulnya.

"Ke lapangan Bu, ayo."

"Ke lapangan, ya? Baiklah, yuk. Tapi minum air putih dulu ya, Nak?"

Satu gelas air putih kuulurkan pada mereka berdua. Bergantian mereka menghabiskan isi dalam gelas tersebut. Aku pun beranjak meraih jilbab serta masker kemudian mengunci pintu. Kami bertiga berjalan beriringan menuju lapangan dekat rumah.

Rupanya lapangan sangat ramai dengan anak kecil maupun tanggung. Ada yang bermain bola, ada yang bersepeda, ada pula yang berkejaran. Kedua anakku segera bergabung dengan teman-teman satu gang yang sudah akrab. Sementara itu aku mengawasi mereka di pinggir lapangan.

Aku kembali melihat sekeliling siapa tau ada tanaman yang bisa kupetik untuk dimasak sore ini. Nah, kebetulan ada banyak tanaman sintrong di pinggir sawah, aku pun bergegas melangkahkan kaki menuju ke sana. Aku memetik tanaman tersebut satu persatu, sambil sesekali mengawasi anak-anak yang masih asyik bermain.

Inilah kebiasaan baruku semenjak kejadian beberapa waktu lalu. Mencari sayuran yang tumbuh liar untuk mengurangi belanja sayur. Dan aku bersyukur anak-anak tidak rewel, mau menerima apa saja yang kuhidangkan untuk mereka santap.

Tanganku telah penuh oleh daun sintrong, aku mengikatnya dengan daun alang-alang, kemudian menaruhnya di atas tanaman bugenvil yang tumbuh cantik di pinggir lapangan.

"Momong, Bu?" sapa seseorang yang sudah berdiri di sampingku.

Aku menoleh ke sumber suara, ternyata tetangga gang yang juga sedang mengawasi anaknya yang tengah bermain di lapangan.

"Iya, Bu," jawabku dengan senyum tersembunyi di balik masker kain yang kukenakan.

"Ibu masih bikin nasi biru nggak, Bu?"

Wah, dari mana ibu ini tau kalau aku membuat nasi biru ya? Seingatku waktu membagi makanan waktu itu tidak sampai ke rumah beliau.

"Masih Bu, kadang-kadang," jawabku jujur. Tentu saja kadang-kadang, karena aku hanya membuat sesuai pesanan.

"Oh, begitu, saya mau ada acara, kira-kira bisa pesan tidak, ya?" tanyanya lagi, yang membuat aku tersenyum senang. Semoga saja, ini jadi salah satu pembuka rejeki.

***

Aku sedang mengiris bawang saat terdengar suara motor berhenti di halaman rumah. Melirik jam dinding, ternyata sudah setengah lima.

"Ayah … Ayah …," riuh suara anak-anak menyambut ayah mereka pulang. Aku tersenyum melihat tingkah mereka.

Nasi dan lauk sudah matang, aku sudah tenang kalau Mas Ari pulang, makanan sudah siap. Mau dimakan atau tidak, terserah saja, yang penting aku sudah menyiapkan.

'Kalau kita sudah memasak, tapi tidak dimakan, ya sudah, ikhlaskan saja, tak perlu marah, mungkin itu rejeki buat yang masak,' begitu pesan seorang ustadz yang pernah kudengar di suatu pengajian. Jadi ya, aku mencoba ikhlas jika masakanku tak disentuh sama sekali. Memang tak mudah karena memasak juga butuh energi yang tak sedikit. Tapi marah-marah juga percuma, cuma buang energi saja, iya kan?

"Assalamu'alaikum," Mas Ari mengucap salam begitu memasuki rumah.

"Wa'alaikumsalam," jawabku dari dapur sambil memasukkan irisan bawang merah ke dalam wajan. Aku mau membuat nasi goreng dari nasi sisa kemarin, serta sisa makan anak-anak beberapa saat lalu.

Mas Ari melihat sejenak kegiatanku, kemudian mengambil handuk sebelum masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Nasi gorengku telah siap saat Mas Ari selesai berganti baju dan wangi tubuhnya menguar, menyapa indera penciumanku.

"Hmmm … wanginya," ucapku saat ia mendekat kemudian duduk di kursi dapur.

"Iya dong, kan habis mandi," ia berkata setelah menenggak segelas air putih yang telah ku siapkan.

"Apa itu Bu?"

"Ini nasi goreng sisa kemarin sama sisa anak-anak," jawabku sambil mengambil sendok.

"Mas mau?" tanyaku basa-basi, karena biasanya ia tak pernah mau kalau aku membuat nasi goreng dari nasi sisa.

Aku duduk di lantai, dengan seporsi nasi goreng yang nampak sedap. Mas Ari berdiri, lantas berjalan melewati aku.

"Makanan sampah."

Deg.

Aku memejamkan mata demi mendengar apa yang ia ucapkan saat ia berlalu di depanku. Meski pelan, namun pendengaranku masih bagus, sehingga bisa menangkap apa yang ia ucapkan. Hampir tak percaya kalimat itu meluncur dari ayah kedua anakku. Rasa hampir menangis mendapat kata-kata yang tak ingin ku dengar.

Asal kamu tau ya, Mas, aku begini juga karena kamu yang mulai perhitungan. Lagipula aku merasa sayang dengan sepiring nasi kalau sampai terbuang, apalagi nasi ini masih bagus. Kalau bukan aku yang menghabiskan, lalu siapa lagi. Ini pun jatah makan untukmu yang tidak kamu makan semalam.

Aku menyantap nasi goreng itu dengan hati teriris. Sambil makan sambil berpikir,

apa benar ini makanan sampah?

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Sartini Cilacap
Jahat banget mulut suaminya
goodnovel comment avatar
ubaydi mahdi
oke.... mantap kali ceritanya ..... kalau bisa di tambah dengan gambar atau dengan kalikatur yang bisa membuat lebih tertarik .... bonus koinnya snagan lambat ... jadi banyak runtutan buat pembayaran koin ... berbeda denga. novel aplikasi yang di sebelah ..... bisa memberikan penghasilan. tambahan
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Ekstra part

    Ekstra partUsia Arsy kini sudah menginjak angka lima belas tahun. Ia menempuh pendidikan di pesantren yang sama dengan adiknya, Arkan.Akhir pekan ini, mereka libur selama tiga hari. Lisa dan Mirza menjemput mereka, karena tak sanggup lagi menahan rindu yang terus bertumpuk.Rasa rindu yang besar pula, membawa keluarga kecilnya menuju kediaman Dirga, ingin bertemu dan melepas rindu pada si kecil Wahyu. Awal perginya Rahmi, Lisa ingin membawa keponakannya supaya tinggal bersamanya, lalu tumbuh besar bersama Najwa dan Alif. Namun, melihat rasa kehilangan dan kasih sayang yang besar dari Dirga serta keluarga besarnya, membuat Lisa mengurungkan niat. Ia lebih memilih sering menjenguk keponakannya yang menjadi piatu di usia yang sangat muda.Kedatangan mereka disambut antusias oleh Wahyu, yang segera bermain dengan keempat sepupunya. Terlebih dengan si kecil Alif yang berusia dua tahun di bawahnya. Sekitar satu jam kemudian, sebuah mobil berhenti di h

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Ending

    Tiga hari di rumah sakit, Citra diijinkan pulang. Tetangga dan kerabat dekat mulai berdatangan untuk menjenguk, demikian pula dengan Lisa. Bersama ketiga anaknya serta suami tercinta, mereka menjenguk dan berdoa untuk kesembuhan Citra.Melihat keluarga mantan istrinya, Ari diserang rasa iri yang besar. Iri sebab Lisa dikelilingi oleh anak-anak yang manis dan penurut. Ia menganggap Lisa dan Mirza berhasil sebagai orang tua, sebab kedua anaknya tumbuh sebagai anak yang santun, selain itu juga hafalan Alquran kian bertambah.Arsy bercerita tentang rencana masuk ke pesantren setelah lulus SD nanti, begitu pula dengan Arkan. Hal ini membuat hati Ari sedikit tenang, karena kebersamaan anaknya yang beranjak remaja dengan ayah sambungnya tentu berkurang banyak.Ari mendukung penuh rencana anaknya. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih karena Mirza telah menjalankan peran sebagai ayah dengan baik. "Ayah, nanti libur sekolah aku mau dikhitan," lapor Arkan pada ayahnya."Wah, hebat, anak ayah sud

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Bab 131. Jelang Ending

    Keesokan harinya, teman-teman Citra mulai berdatangan menjenguk ke rumah sakit. Sebuah foto selang infus yang dipajang di story WhatsApp lah, yang membuat Ratna mencari tahu, lantas memberi kabar pada teman yang lain.Wajah cantik Citra yang semalam suram karena bertemu dengan Papanya, kini terlihat semringah. Kehadiran teman-teman nongkrongnya telah memberikan suntikan semangat tersendiri bagi proses kesembuhannya."Aku harap ini bukan awal dari karma karena kamu sengaja pakai IUD secara sembunyi-sembunyi," bisik salah salah satu temannya saat berpamitan.Citra mendelik tajam, sementara Dita justru melengkungkan senyum. Wanita yang berbaring di ranjang pasien itu tak menyangka kalau di antara sepuluh orang yang datang, ada satu yang berprasangka dan membisikkan kalimat mematikan. "Jaga bicaramu. Semua orang punya potensi disambangi penyakit ini. Aku salah satunya. Jangan sampai kamu juga mengalami kesakitan yang sama," desis Citra, menatap wajah

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Bab 130. Terjebak

    "Lisa, sebenarnya aku penasaran, kenapa kamu pergi berempat, kemana suami kamu?"Putri bertanya dengan menatap intens sahabatnya itu. Pemilik tahi lalat di sudut dagu itu beberapa kali melihat Lisa menatap kosong ke arah anak-anaknya yang sedang bermain. Tak dipungkiri kalau hatinya cemas, sebab tak biasanya Lisa seperti ini. Bahkan ketika ia menemukan Mawar di rumahnya, Lisa terlihat baik-baik saja. Tapi sekarang … .Pada saat itu pula ponsel Lisa berbunyi. Seketika ia membulatkan bola mata saat membaca pesan dari sang suami. Ekspresinya tentu saja terbaca oleh sosok yang duduk di depannya.Merasa sedang diperhatikan, Lisa melukis senyuman, "Sebentar lagi Mas Mirza ke sini. Nggak usah kuatir, Putri.""Bener, ya, kalian nggak apa-apa?" curiga Putri. Ia mengenal sahabatnya dengan baik. Istri dari Arlan itu meyakini telah terjadi sesuatu hingga membuat Lisa tertegun beberapa kali, meski memasang wajah terbaik sejak mereka bertemu. Terlebih saat mendengar kabar kehamilan yang dia sampaika

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Bab 129. Reuni

    Kini Lisa telah tiba di rumah adiknya. Rumah besar itu langsung ramai dengan celotehan para bocil. Dirga langsung mengambil alih anak-anak saat melihat mereka mulai jenuh, sekaligus membiarkan sang istri bebas mengobrol dengan kakaknya.Rahmi bercerita banyak hal tentang bayinya, juga suka duka sebab tak bisa memberi ASI secara langsung, serta harus bangun tengah malam dan menyiapkan ASIP ke dalam botol. Tentang ibu mertua serta suami yang sering mengambil alih tugasnya sebagai ibu, memberikan waktu istirahat yang cukup untuknya, tak luput dari hal yang ia ceritakan.Sang kakak mendengarkan dengan sabar. Sesekali menimpali curahan hati adik bungsunya."O iya, Mas Mirza kok, nggak ikut, Mbak?" celetuk Rahmi tiba-tiba."Eh, lagi ada perlu, Dek," jawab Lisa apa adanya.Ibu tiga anak itu pun membiarkan adiknya istirahat saat Rahmi mulai menguap.Kini Lisa duduk di hadapan sang ibu, sementara ketiga anaknya diajak bermain oleh Dirga. Meski wajahnya tersenyum, tapi, kegelisahan hati sang ana

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Bab 128. Penasaran

    Beberapa hari lagi pesta pernikahan Mawar akan digelar. Akan tetapi, agenda itu terlupakan oleh Lisa, karena sibuk dengan adiknya yang baru bersalin dan butuh donor ASI.Istri dari Mirza itu justru harus merelakan kepergian sang suami ke luar kota selama dua hari di akhir pekan ini."Hanya sebentar. Nanti kalau sudah selesai, secepatnya bakalan pulang, kok," pamit Mirza, menyisakan cemas di hati sang istri.Pasalnya, lelaki bermata elang itu terlihat kurang sehat saat berangkat. Dan lagi, kenapa akhir pekan yang dipilih untuk pergi?Namun, setelah diyakinkan berulang kali kalau semua akan baik-baik saja, akhirnya Lisa merelakan juga kepergian ayah dari anak-anaknya. Ia hanya berharap kalau semua akan baik-baik saja..Sebuah alarm di ponselnya lah yang kemudian menjadikan pengingat hari istimewa Mawar keesokan harinya."Bagaimana ini, datang apa enggak, ya? Mas Mirza belum pulang lagi," gumam Lisa gelisah.Ibu tiga anak itu kemudian menghubungi ponsel sang suami, hendak meminta pendapa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status