Share

Bab 4

Entah kenapa harga diriku seperti diinjak-injak. Baik sebagai laki-laki maupun seorang ayah.

“Kalau masih mau marah sama Bunda, mending tahan dulu deh. Jangan rusak momen bahagia adik-adik yang jarang makan enak!”

Musa tampak begitu santai mengatakan hal itu. Memang nada bicaranya juga tidak kasar, hanya saja entah kenapa terasa begitu menusuk ke hati. Ia seperti menaruh banyak kebencian dalam setiap ucapannya. Aku hanya memikirkan masa depan mereka. Apa lagi saat anak-anak sudah menikah dan memiliki keluarga masing-masing. Kalau tidak dipersiapkan dengan matang sejak sekarang, bagaimana nanti kita akan melewati masa tua.

1001 anak yang mau mengurus anaknya saat sudah sepuh. Namun, bukan berarti aku tidak peduli dengan mereka.

“Ayah itu begini juga buat kalian?”

“Apanya yang buat kami? Buat keluarga ayah doang kok.”

“Ya, ‘kan Ayah juga harus mikirin sekolah adik-adik kamu. Biaya lahirran Bunda juga, terus kuliah kamu. Itu butuh biaya yang enggak sedikit.”

“Ayah enggak salah ngomong gitu. Bukannya ayah dari dulu, selalu maksa aku buat fokus belajar supaya nanti bisa dapat beasiswa. Ayah pasti sayang kalau uang yang ayah hasilkan dipakai buat kebutuhan aku. Mending juga buat mereka.”

“Ya mana ada begitu, maksudnya ‘kan kalau dapat beasiswa itu sedikit meringankan beban ayah. Jadi enggak terlalu berat.”

“Kenapa enggak suruh Om Ari sama Tante Tia belajar juga yang giat biar mereka juga bisa dapat beasiswa?”

“Ya, beda dong Sayang. Mereka enggak sepintar kamu.”

“Gak pinter atau ayah terlalu sayang ngeluarin uang buat anaknya sendiri. Lagian aku juga enggak mau kuliah.”

“Loh, kok enggak mau kuliah?”

“Baru SMA aja udah begini, apa lagi kuliah. Mau dikasih makan apa nanti Adek? Besok kalau bayi di perut Bunda udah lahir, apa Ayah bakal ngasih makan kita satu piring nasi dibagi 5? Yang bener aja!”

Musa malah mendecak kesal.

“Ayah enggak sekejam itu, kamu lihat sendiri ‘kan tadi ayah kasih Bunda 500ribu.”

“500 ribu cukup buat apa? Sppku aja enggak cukup, besok juga aku enggak akan boleh ikut ujian. Ayah pikir kenapa aku mau ngajar ngaji sampai dibayar? Ya, karena percuma punya ayah. Cuma bisa bikin anak, tapi enggak mau biayain.”

“Musa! Jaga mulutmu!”

Saat itu seolah tak gentar dengan bentakkanku Musa malah semakin manatapku.

“Aku udah nahan buat enggak ngomong ini, tapi sumpah bisa-bisanya ayah terus pura-pura enggak ngerti sama biaya SPP aku. Anak ayah itu aku atau mereka? Enggak jelas banget!”

“Jangan keterlaluan Musa, Ayah enggak akan segan menamparmu sekarang juga. Jika kamu masih saja bicara seperti ini?”

“Tampar aja Yah, kenapa juga harus ragu-ragu!”

“Pulang! Inikah sikap seorang guru ngaji kepada orang tuanya?”

“Orang tuanya bagaimana dulu, Ayah tahu enggak kalau stunting itu bahaya banget buat masa depan anak-anak. Dampaknya bisa terbawa sampai dewasa. Bisa-bisanya Ayah santai-santai aja dan malah anggap mereka salah menganalisa. Ayah tuh bener-bener enggak ada hati sama sekali, ya! Untung aja Bunda sabar, kalau orang lain belum tentu mau hidup sama orang yang egoisnya kayak Ayah.”

Saat itu aku bahkan sudah mengangkat tanganku di udara, hanya tinggal mendaratkan saja ke wajah Musa yang lancang. Namun, entah kenapa mendengar penuturannya itu, aku merasa seperti ditampar oleh kenyataan.

Bukan hanya aku, Musa sepertinya meninggalkan tempat ini dengan keadaan yang murka, tampak dari cara jalannya yang cepat dan menunduk. Saat aku masih berusaha menegangkan diri, beberapa ibu-ibu terlihat menatapku dengan wajah yang penuh penasaran. Entah apa maksudnya, aku memang tak pernah pergi ke musala. Lagi pula pekerjaanku banyak, setiap hari selalu saja sibuk.

Namun, ketika hendak beranjak pergi menuju ke rumah beberapa ibu-ibu yang akan pergi salat tarawih, sepertinya tengah membicarakan sesuatu yang serius, karena jarak mereka cukup dekat denganku itu memberi keuntungan sendiri, sehingga aku tak perlu membuka telinga lebar-lebar.

“Tahu enggak anaknya Pak Jimy yang rumahnya paling bagus di gang kita, masa kena gizi buruk. Parah banget ya! Katanya orang kaya apa enggak pernah dikasih makan di rumah?”

“Alah, kayaknya sih nih dibiarin aja itu anak-anaknya mau makan di mana. Orang aku lihat sendiri kok, itu anak-anaknya si Lara nunggu di musala, kadang biar dapat jajan takjil sisa. Kalau, aku jadi orang tuanya sih malu. Aku ini ibaratnya rumah biasa-biasa aja, enggak apa-apa yang penting anakku sehat walafiat.”

Sialan! Berani sekali mereka membicarakanku. 

Ehem!

Aku memang sengaja membuat suara yang cukup keras. Tujuannya agar mereka sadar, jika orang yang tengah mereka bicarakan berada di dekat mereka.

“Eh, Pak Jimmy. Salat juga, Pak?”

“Loh, emang apa urusannya? Saya salat enggak salat, emang harus laporan ke orang?”

“Bu-bukan begitu Pak, ayo sin kita pergi!”

Akhirnya kedua perempuan itu sedikit tergesa-gesa meninggalkan tempat itu. Bahkan, saking terburu-burunya mereka, hampir saja keduanya jatuh terpeleset terkena genangan air sisa hujan tadi sore.

“Mau ibadah kok malah sibuk bicarain aib orang lain,” umpatku.

Sungguh niat hati ingin menikmati suasana Ramadhan bersama keluarga, kenapa malah berakhir dengan keributan yang tak ada habisnya. Aku pikir keluargaku baik-baik saja, tetapi kenapa justru anak-anakku membenci anaknya.

Akhirnya aku sampai rumah juga. Di sana anak-anak tampak menikmati makanan yang tersaji di meja makan. Apa lagi Sean dan Arfan mereka sangat lahap. Ya Tuhan cara mereka mengunyah bahkan seolah tak pernah diberi makan enak.

“Kalau mau cari ribut lagi, di luar aja dulu ya! Kasihan mereka udah puasa dari pagi!” lirih Musa yang kala itu melintas tepat di hadapanku.

“Lalu, kamu kenapa enggak makan. Udah kenyang lihat kalian ribut!”

Musa entah kenapa anak itu sangat sensitive padaku. Aku tahu ia marah, tapi ini bukan sepenuhnya salahku. Saat itu aku pikir Musa akan pergi ke toilet, tetapi ia malah dengan begitu lembutnya meminta Lara yang kala itu sibuk dengan pakaian kotor untuk duduk di bangku yang ia tarik dari minibar.

“Dingin, Bun. Kasihan dedek bayinya kedinginan,” kata Musa sambil membantu Bundanya duduk di kursi.

Bagaimana mungkin perlakukannya begitu berbeda padaku dan Lara. Ia bahkan seperti memiliki kepribadian yang berbeda.

“Kamu juga belum makan ‘kan? Makan dulu aja atuh, Mus! Nanti masuk angin, enggak boleh ditunda-tunda kalau buka puasa itu harus disegerakan.”

“Udah tadi pakai kurma. Musa kayaknya kenyang sama air, jadi kembung. Diisi nasi udah begah.”

“Kan Bunda udah sering bilang jangan minum es kalau buka puasa tuh. Minum air hangat dulu.”

“Sayang Bun, tadi di bawakan Sofia anaknya Pak RT. Takut kesinggung Bun, kalau enggak diminum, eh tapi pas dirasa-rasa kok enak.”

“Alah, kamu mah doyan Mus!”

Aku bisa melihat Musa begitu damai bercengkerama dengan Bundanya. Namun, entah kenapa denganku. Sejak 3 tahun terakhir, aku baru menyadari jika Musa sudah tak pernah mau dekat-dekat denganku lagi. Tepatnya saat ia mulai menginjak bangku  SMA.  Sekarang bahkan di rumah, aku tak ubahnya seperti orang asing yang dicampakkan keluargaku. Mereka bahkan sibuk dengan kegiatan masing-masing. Meski, aku berada di sini rasanya mereka juga tidak lagi membutuhkanku.

“Bunda salat dulu, ya!” ucap Lara.

Ini kesempatan yang bagus. Setidaknya dia akan salat di kamar. Aku akan berbicara dengannya usai salat maghrib. Aku sudah lebih dulu menunggu Lara di kamar. Namun, begitu melihatku Lara malah kembali menutup pintu. 

“Mau ke mana? Kenapa enggak salat di sini aja?”

“Ada yang ketinggalan atau memang karena ada aku di sini?”

“Aku salat di bawah aja!”

“Salat di sini saja! Ada yang mau aku bicarakan!”

Meski terlihat ogah-ogahan, akhirnya Lara mau menunaikan ibadah salat maghrib di kamar. Tak menunggu lama, tepat setelah ia kembali melipat mukenanya. Aku mendekat agar suara kami tak terdengar ke luar. Aku hanya tidak ingin menambah masalah baru.

“Bagaimana kandungan kamu?”

“Baik.”

“Udah periksa?”

“Udah.”

“Kapan lahirannya.”

“Mei.”

“Kenapa jawabnya singkat-singkat banget sih?”

“Akang sebenarnya mau ngomong apa? Kenapa pakai basa-basi nanyain kandungan.”

“Ini tentang Musa dan anak-anak, kenapa kamu biarkan mereka mungutin jajanan takjil.”

“Harusnya pertanyaan itu dari aku, kenapa kamu biarkan anak-anakmu memungut takjil?”

“Oke, Akang emang salah, tapi masalahnya Musa, kenapa sikapnya dingin banget sama aku. Bahkan dia juga berani kurang ajar sama ayahnya?”

“Kalau Akang merasa Musa lancang, kenapa tidak pukul saja dia?”

“Ya, enggak bisa gitu dong Ra.”

“Enggak bisa, karena Akang merasa apa yang ucapkan Musa benar?”

“Dia ngambek masalah beasiswa, masa dia iri karena aku biayain kuliah adikku. Katanya aku enggak mau biayain anak sendiri, ‘kan enggak mungkin banget. Terus emang bener SPPnya belum pada dibayar.”

“Sudah.”

“Sama siapa?”

“Tetangga kita.”

“Ya Tuhan siapa lagi.”

“Pak Zul.”

“Kamu minta sama dia?”

“Dia hanya kasihan, melihat anakku hampir di DO, karena telat bayar SPP.”

“Anakku? Kamu selalu bilang anakku. Musa itu anak kita.”

“Pak Zul yang bukan siapa-siapa aja tahu kok penderitaan Musa, tapi Akang yang ayahnya sendiri malah tutup mata? Akang selalu menunda pembayaran Musa, lagi-lagi alasannya sekolah Tia dan Ari atau nanti mobil angkot yang rusak. Akang tuh egois, enggak pernah mau disalahin. Andai aja menggugurkan kandungan itu enggak dosa, sudah aku lakukan dari dulu. Akang enggak tahu bagaimana orang-orang bergosip tentangku, bagaimana mereka mengolokku. Akang pikir enak jadi aku!”

“Ya mau bagaimana lagi, orang kita udah KB, tapi tetap kebobolan.”

“Ya, harusnya Akang enggak egois. Akang mau punya banyak anak, tapi enggak mau nafkahin.”

“Ya, terus kamu mau bagaimana?”

“Jual semua angkot di kampung!”

“Kenapa harus angkot sih!”

“Ya, udah kalau Akang enggak mau! Enggak usah nanya-nanya aku mau apa!”

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Rasanya pengen tabok Jimy pake parutan kelapa mukanya
goodnovel comment avatar
Mira Wati
Ampun sabar banget sih lara ...
goodnovel comment avatar
Isabella
pingin nimpok si Jimy
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status