Share

Bab 3

“Ya enggak akan kelaparan kalau kamu pinter ngurusnya.”

“Ngurus anak juga butuh uang Akang, yang selama ini belanja buat kebutuhan makan siapa?”

Lara malah menatapku dengan pandangan kesal. Memang aku, hanya saja aku masih tak percaya dengan pernyataan petugas puskesmas tentang anakku yang kurang gizi. Kala itu Lara malah meninggalkanku begitu saja. Dia malah sibuk dengan cucian tetangga yang teramat busuk.

“Kamu kok malah nyuci. Orang anak lagi gini?”

“Ya, kalau aku enggak nyuci, memangnya mau dapat uang dari mana? Suami?”

“Aku kasih uang.”

“Berapa 10 ribu atau 100 ribu sebulan? Mending enggaknya sekalian. Dari pada ngasih, tapi jadi pembahasan di mana-mana. Aku enggak perlu, simpan aja uang Akang sendiri.”

Deg.

“Ya, mau 10 atau 100 ribu juga uang, kenapa kamu enggak mau nerima? Hanya karena kamu udah bisa menghasilkan sendiri jadi begini?”

“Kalau aja Akang ngasihnya ikhlas, ya terima-terima aja. Istri mana yang enggak mau dikasih uang.”

“Ya kamu bilang butuhnya berapa?”

“Udahlah Akang urus aja ibu sama adik-adik Akang di kampung. Enggak perlu pedulikan kami.”

“Ya sudah ini 500 ribu, kamu belikan mereka makanan sehat. Biar anak kita enggak digosipin kurang gizi.”

Saat itu aku mengeluarkan uang lembaran merah di atas meja dapur, tapi Lara hanya menatapnya saja. Ia juga seperti tak tertarik untuk mengambil uang itu.

“Kenapa enggak mau? Mentang-mentang udah bisa ngasilin uang sendiri, jadi enggak mau lagi dinafkahin? Aku enggak mau denger ya, kalau bulan depan ada tetangga kita yang datang ke sini dan ngasih makanan lagi, apa lagi sampai denger kabar kalau Sean masih kurang gizi.”

“Iya.”

“Ya sudah simpan! Kenapa enggak mau diambil!”

Saat itu barulah Lara mau mengambil dan memasukan uang itu ke saku dasternya. Di meja makan bahkan sudah tidak anak-anak. Padahal, aku tahu sejak pagi mereka sudah berpuasa. Entah ke mana mereka?

Bahkan nasi dan lauk pauknya saja masih utuh.

“Panggilin anak-anak dulu Lara! Bukannya mereka puasa, kenapa enggak makan dulu.”

“Duluan aja Kang, anak-anak paling ke musala.”

“Kenapa enggak pamitan tadi?”

“Mereka pasti enggak enak, karena lihat kita lagi berdebat. Sudahlah Akang makan duluan aja!”

Saat itu aku tak banyak berpikir. Aku memang tidak tahu jika anak-anak akan pergi ke musala di waktu maghrib mengingat sejak awal puasa aku selalu mengambil lembur. Mengingat lebaran akan tiba, aku harus mengumpulkan pundi-pundi rupiah sebanyak-banyaknya. Jangan sampai di kampung nanti aku malah kekurangan uang.

Apa kata mereka nanti?

Pukul 18.30 anak-anak masih belum pulang juga. Aku saja yang orang dewasa sangat kelaparan apa lagi mereka.

“Kamu bagaimana sih jadi ibu? Kenapa dibiarin aja anak-anak main dalam keadaan perut kosong.”

“Di musala juga ada takjil. Paling mereka batalin puasa di sana.”

“Kamu ini kebiasaan ya, Ra! Di mana ada makanan pasti anak-anak kamu suruh ke sana. Apa kata orang-orang coba, anak kita jadi pemburu makanan sedekah di mana-mana.”

“Ya emang di rumah enggak ada yang bisa dimakan ‘kan?”

“Ya, ini apa?”

Aku menunjuk pada meja makan yang sudah penuh dengan sajian buka puasa.

“Ya, baru sekarang aja bisa masak agak banyak. Biasanya ‘kan enggak.”

Aku yang sudah terlanjur kesal memilih untuk menghampiri mereka. Aku penasaran, kenapa ketika ayahnya pulang mereka malah sibuk di luar rumah padahal, aku sengaja tidak mengambil lembur. Hanya untuk bisa berbuka bersama mereka.

Kebetulan jarak musala dengan rumahku cukup dekat. Dari kejauhan aku bisa melihat Sean dan Arfan tengah duduk termenung di pinggiran bangunan musala. Di bandingkan teman-temannya yang sibuk berlarian ke sana kemari. Keduanya malah hanya duduk sambil menulis di tanah dengan batang kayu kecil yang entah ia dapatkan dari mana.

“Kalian di sini?”

Melihatku berada tepat di depannya, mereka malah terkejut.

“Kenapa enggak pulang? Emang kalian enggak mau buka puasa?”

Bukannya langsung menjawab baik Sean maupun Arfan malah hanya diam saja, keduanya malah saling menatap dan berpegangan tangan. Dibandingkan terkejut, ekspresi keduanya bahkan lebih mirip seperti orang yang ketakutan. Memangnya aku semenyeramkan itu? aneh-aneh saja.

“Kenapa sih kalian diem aja! Ayo pulang aja! Dari pada di sini enggak ngapa-ngapain mending di rumah.”

Saat itu aku sudah menarik tangan kedua anakku, tetapi keduanya masih tampak ogah-ogahan.

“Kalian enggak mau pulang sama Ayah?”

Sekarang Sean dan Arfan malah kompak menggeleng pelan.

“Mau tunggu A Musa.”

“Emang A Musa ke mana?”

Sean menunjuk ke dalam musala, di mana Musa tampak di kelilingi anak-anak kecil yang tengah memegang iqro. Anak itu bahkan tak ada kapoknya padahal aku sudah menasihatinya untuk jangan mengajar ngaji lagi.

“Ayah mau ke mana?” tanya Arfan ketika aku hendak masuk ke dalam musala.

“Ayah mau ajak A Musa pulang.”

“A Musa ‘kan lagi ngajar ngaji.”

“Ya emang, tapi ini ‘kan waktunya buka, ngajar ngaji ‘kan bisa setelah buka.”

“A Musa udah buka, kok. Ini sisanya di kasih ke kami.”

Arfan menunjukkan makanan yang dibungkus di plastik.

“Mana kenyang makan begitu aja.”

“Biasanya kami malah enggak makan Yah, ini juga udah alhamdulillah.”

Deg.

Entah kenapa mendengar Arfan mengatakan itu, aku begitu terpukul. Akhirnya aku mengurungkan niatku untuk masuk.

“Jangan marahin A Musa ngaji, nanti aku enggak dapat takjil lagi.”

Arfan dengan sedikit ketakutan mengatakan hal itu padaku. Ia bahkan hanya menunduk dan tak berani menatapku sama sekali. Apa lagi Sean, sejak tadi anak itu hanya diam sambil menarik baju kakak laki-lakinya.

“Emangnya ibumu enggak pernah masak, sampai kalian harus minta-mita makan begini.”

“Kita enggak minta, tapi dikasih. Kata Bunda kita enggak boleh minta.”

“Tapi, tetep aja. Kalau, kalian lapar ‘kan bisa makan di rumah, kenapa harus makan di jalan.’

“Udah 3 hari ibu enggak masak, cuma makan bubur aja! aku masih laper kalau makan bubur. Jadi aku nunggu di sini dulu, biar kalau ada lebihan takjil bisa dibawa pulang.”

Kau tahu saat itu hatiku bergetar hebat. Ini seperti seseorang baru saja menginjak-injak harga diriku dan orang itu adalah anakku sendiri. Bagaimana bisa aku makan enak dan selalu kenyang di kantor, sedangkan mereka harus berbuka seadanya.

“Kita pulang ya! A Musa biarin di sini aja!”

“Enggak mau, Yah.”

“Kenapa lagi? ‘Kan di rumah juga ada makanan. Kalian enggak perlulah nunggu sampai anak-anak bubar.”

“Kalau hari ini dapet 2 besok ‘kan kita bisa ada jajan lebih. Boleh ya Yah, kita enggak minta kok, kalau enggak dikasih Pak Mahmud aku juga enggak akan ngambil. Beneran, iya ‘kan Dek?”

Aku tidak percaya, anak-anakku bahkan harus merasakan kehidupan yang seperti ini. Bagaimana bisa.

“Ayo pulang Dek!”

“Takjilnya?”

“Udah, abis Dek!”

Musa tersenyum sambil mengusap kepala adik-adiknya itu. Saat itu aku tahu Musa melihatku ada di sana, tapi entah kenapa ia seakan tak peduli. Arfan juga terlihat menekuk wajahnya, pasti ia kecewa karena takjilnya malah habis.

“Sudah enggak apa, nanti Aa belikan kamu jajan!”

“Beneran?”

“Ya.”

“Hore! Mau jajan es krim boleh?” tanya Sean dengan wajah polosnya.

“Boleh, tapi abis pulang tarawih ya!”

“Oke.”

~

Saat itu keduanya memilih berjalan lebih dahulu, kali ini Arfan juga sudah kembali ceria.

“Murah banget ‘kan Yah bikin Sean seneng! Padahal gajiku cuma 500.000 jauh banget sama ayah. Aku duluan, Yah! Wassalamualaikum, lain kali enggak usah nyusul Ayah cuma bikin mereka takut, mending lembur aja Yah. Dari pada pulang tapi malah ribut dan bikin Bunda yang lagi hamil jadi sedih!”

Comments (4)
goodnovel comment avatar
sri atmawati
duh.....bpknya kacau
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Jleb banget omongannya Musa kepada ayahnya
goodnovel comment avatar
Angeline mama Ara
Duhh sedih bener ceritamu, Thorrr
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status