“Ya enggak akan kelaparan kalau kamu pinter ngurusnya.”
“Ngurus anak juga butuh uang Akang, yang selama ini belanja buat kebutuhan makan siapa?”
Lara malah menatapku dengan pandangan kesal. Memang aku, hanya saja aku masih tak percaya dengan pernyataan petugas puskesmas tentang anakku yang kurang gizi. Kala itu Lara malah meninggalkanku begitu saja. Dia malah sibuk dengan cucian tetangga yang teramat busuk.
“Kamu kok malah nyuci. Orang anak lagi gini?”
“Ya, kalau aku enggak nyuci, memangnya mau dapat uang dari mana? Suami?”
“Aku kasih uang.”
“Berapa 10 ribu atau 100 ribu sebulan? Mending enggaknya sekalian. Dari pada ngasih, tapi jadi pembahasan di mana-mana. Aku enggak perlu, simpan aja uang Akang sendiri.”
Deg.
“Ya, mau 10 atau 100 ribu juga uang, kenapa kamu enggak mau nerima? Hanya karena kamu udah bisa menghasilkan sendiri jadi begini?”
“Kalau aja Akang ngasihnya ikhlas, ya terima-terima aja. Istri mana yang enggak mau dikasih uang.”
“Ya kamu bilang butuhnya berapa?”
“Udahlah Akang urus aja ibu sama adik-adik Akang di kampung. Enggak perlu pedulikan kami.”
“Ya sudah ini 500 ribu, kamu belikan mereka makanan sehat. Biar anak kita enggak digosipin kurang gizi.”
Saat itu aku mengeluarkan uang lembaran merah di atas meja dapur, tapi Lara hanya menatapnya saja. Ia juga seperti tak tertarik untuk mengambil uang itu.
“Kenapa enggak mau? Mentang-mentang udah bisa ngasilin uang sendiri, jadi enggak mau lagi dinafkahin? Aku enggak mau denger ya, kalau bulan depan ada tetangga kita yang datang ke sini dan ngasih makanan lagi, apa lagi sampai denger kabar kalau Sean masih kurang gizi.”
“Iya.”
“Ya sudah simpan! Kenapa enggak mau diambil!”
Saat itu barulah Lara mau mengambil dan memasukan uang itu ke saku dasternya. Di meja makan bahkan sudah tidak anak-anak. Padahal, aku tahu sejak pagi mereka sudah berpuasa. Entah ke mana mereka?
Bahkan nasi dan lauk pauknya saja masih utuh.
“Panggilin anak-anak dulu Lara! Bukannya mereka puasa, kenapa enggak makan dulu.”
“Duluan aja Kang, anak-anak paling ke musala.”
“Kenapa enggak pamitan tadi?”
“Mereka pasti enggak enak, karena lihat kita lagi berdebat. Sudahlah Akang makan duluan aja!”
Saat itu aku tak banyak berpikir. Aku memang tidak tahu jika anak-anak akan pergi ke musala di waktu maghrib mengingat sejak awal puasa aku selalu mengambil lembur. Mengingat lebaran akan tiba, aku harus mengumpulkan pundi-pundi rupiah sebanyak-banyaknya. Jangan sampai di kampung nanti aku malah kekurangan uang.
Apa kata mereka nanti?
Pukul 18.30 anak-anak masih belum pulang juga. Aku saja yang orang dewasa sangat kelaparan apa lagi mereka.
“Kamu bagaimana sih jadi ibu? Kenapa dibiarin aja anak-anak main dalam keadaan perut kosong.”
“Di musala juga ada takjil. Paling mereka batalin puasa di sana.”
“Kamu ini kebiasaan ya, Ra! Di mana ada makanan pasti anak-anak kamu suruh ke sana. Apa kata orang-orang coba, anak kita jadi pemburu makanan sedekah di mana-mana.”
“Ya emang di rumah enggak ada yang bisa dimakan ‘kan?”
“Ya, ini apa?”
Aku menunjuk pada meja makan yang sudah penuh dengan sajian buka puasa.
“Ya, baru sekarang aja bisa masak agak banyak. Biasanya ‘kan enggak.”
Aku yang sudah terlanjur kesal memilih untuk menghampiri mereka. Aku penasaran, kenapa ketika ayahnya pulang mereka malah sibuk di luar rumah padahal, aku sengaja tidak mengambil lembur. Hanya untuk bisa berbuka bersama mereka.
Kebetulan jarak musala dengan rumahku cukup dekat. Dari kejauhan aku bisa melihat Sean dan Arfan tengah duduk termenung di pinggiran bangunan musala. Di bandingkan teman-temannya yang sibuk berlarian ke sana kemari. Keduanya malah hanya duduk sambil menulis di tanah dengan batang kayu kecil yang entah ia dapatkan dari mana.
“Kalian di sini?”
Melihatku berada tepat di depannya, mereka malah terkejut.
“Kenapa enggak pulang? Emang kalian enggak mau buka puasa?”
Bukannya langsung menjawab baik Sean maupun Arfan malah hanya diam saja, keduanya malah saling menatap dan berpegangan tangan. Dibandingkan terkejut, ekspresi keduanya bahkan lebih mirip seperti orang yang ketakutan. Memangnya aku semenyeramkan itu? aneh-aneh saja.
“Kenapa sih kalian diem aja! Ayo pulang aja! Dari pada di sini enggak ngapa-ngapain mending di rumah.”
Saat itu aku sudah menarik tangan kedua anakku, tetapi keduanya masih tampak ogah-ogahan.
“Kalian enggak mau pulang sama Ayah?”
Sekarang Sean dan Arfan malah kompak menggeleng pelan.
“Mau tunggu A Musa.”
“Emang A Musa ke mana?”
Sean menunjuk ke dalam musala, di mana Musa tampak di kelilingi anak-anak kecil yang tengah memegang iqro. Anak itu bahkan tak ada kapoknya padahal aku sudah menasihatinya untuk jangan mengajar ngaji lagi.
“Ayah mau ke mana?” tanya Arfan ketika aku hendak masuk ke dalam musala.
“Ayah mau ajak A Musa pulang.”
“A Musa ‘kan lagi ngajar ngaji.”
“Ya emang, tapi ini ‘kan waktunya buka, ngajar ngaji ‘kan bisa setelah buka.”
“A Musa udah buka, kok. Ini sisanya di kasih ke kami.”
Arfan menunjukkan makanan yang dibungkus di plastik.
“Mana kenyang makan begitu aja.”
“Biasanya kami malah enggak makan Yah, ini juga udah alhamdulillah.”
Deg.
Entah kenapa mendengar Arfan mengatakan itu, aku begitu terpukul. Akhirnya aku mengurungkan niatku untuk masuk.
“Jangan marahin A Musa ngaji, nanti aku enggak dapat takjil lagi.”
Arfan dengan sedikit ketakutan mengatakan hal itu padaku. Ia bahkan hanya menunduk dan tak berani menatapku sama sekali. Apa lagi Sean, sejak tadi anak itu hanya diam sambil menarik baju kakak laki-lakinya.
“Emangnya ibumu enggak pernah masak, sampai kalian harus minta-mita makan begini.”
“Kita enggak minta, tapi dikasih. Kata Bunda kita enggak boleh minta.”
“Tapi, tetep aja. Kalau, kalian lapar ‘kan bisa makan di rumah, kenapa harus makan di jalan.’
“Udah 3 hari ibu enggak masak, cuma makan bubur aja! aku masih laper kalau makan bubur. Jadi aku nunggu di sini dulu, biar kalau ada lebihan takjil bisa dibawa pulang.”
Kau tahu saat itu hatiku bergetar hebat. Ini seperti seseorang baru saja menginjak-injak harga diriku dan orang itu adalah anakku sendiri. Bagaimana bisa aku makan enak dan selalu kenyang di kantor, sedangkan mereka harus berbuka seadanya.
“Kita pulang ya! A Musa biarin di sini aja!”
“Enggak mau, Yah.”
“Kenapa lagi? ‘Kan di rumah juga ada makanan. Kalian enggak perlulah nunggu sampai anak-anak bubar.”
“Kalau hari ini dapet 2 besok ‘kan kita bisa ada jajan lebih. Boleh ya Yah, kita enggak minta kok, kalau enggak dikasih Pak Mahmud aku juga enggak akan ngambil. Beneran, iya ‘kan Dek?”
Aku tidak percaya, anak-anakku bahkan harus merasakan kehidupan yang seperti ini. Bagaimana bisa.
“Ayo pulang Dek!”
“Takjilnya?”
“Udah, abis Dek!”
Musa tersenyum sambil mengusap kepala adik-adiknya itu. Saat itu aku tahu Musa melihatku ada di sana, tapi entah kenapa ia seakan tak peduli. Arfan juga terlihat menekuk wajahnya, pasti ia kecewa karena takjilnya malah habis.
“Sudah enggak apa, nanti Aa belikan kamu jajan!”
“Beneran?”
“Ya.”
“Hore! Mau jajan es krim boleh?” tanya Sean dengan wajah polosnya.
“Boleh, tapi abis pulang tarawih ya!”
“Oke.”
~
Saat itu keduanya memilih berjalan lebih dahulu, kali ini Arfan juga sudah kembali ceria.
“Murah banget ‘kan Yah bikin Sean seneng! Padahal gajiku cuma 500.000 jauh banget sama ayah. Aku duluan, Yah! Wassalamualaikum, lain kali enggak usah nyusul Ayah cuma bikin mereka takut, mending lembur aja Yah. Dari pada pulang tapi malah ribut dan bikin Bunda yang lagi hamil jadi sedih!”
Entah kenapa harga diriku seperti diinjak-injak. Baik sebagai laki-laki maupun seorang ayah.“Kalau masih mau marah sama Bunda, mending tahan dulu deh. Jangan rusak momen bahagia adik-adik yang jarang makan enak!”Musa tampak begitu santai mengatakan hal itu. Memang nada bicaranya juga tidak kasar, hanya saja entah kenapa terasa begitu menusuk ke hati. Ia seperti menaruh banyak kebencian dalam setiap ucapannya. Aku hanya memikirkan masa depan mereka. Apa lagi saat anak-anak sudah menikah dan memiliki keluarga masing-masing. Kalau tidak dipersiapkan dengan matang sejak sekarang, bagaimana nanti kita akan melewati masa tua.1001 anak yang mau mengurus anaknya saat sudah sepuh. Namun, bukan berarti aku tidak peduli dengan mereka.“Ayah itu begini juga buat kalian?”“Apanya yang buat kami? Buat keluarga ayah doang kok.”“Ya, ‘kan Ayah juga harus mikirin sekolah adik-adik kamu. Biaya lahirran Bunda juga, terus kuliah kamu. Itu butuh biaya yang enggak sedikit.”“Ayah enggak salah ngomong gi
“Ya, kenapa angkot? ‘Kan itu bisa jadi sumber penghasilan buat kita?”“Kita?”“Ya, ‘kan itu uangnya ditabung. Sama aja ujungnya buat kita juga nanti.”“Emangnya Akang yakin kita bakal terus sama-sama?”“Kenapa kamu ngomong gitu?”“Enggak apa-apa.”Sejenak kami saling pandang, tetapi beberapa detik kemudian, Lara langsung mengalihkan wajahnya ke arah lain.“Aku sibuk, kasihan Musa nyuci sendirian.”“Aku enggak bisa kalau jual angkot Ra, ‘kan lumayan. Bisa buat tambahan, kalau dijual semua. Emangnya mau kalau kita enggak ada pemasukan lain.”“Ada atau enggak ada pemasukan, emang aku peduli?”“Ya, harus peduli dong Ra. Itu juga harta kita.”“Kalau harta kita, harusnya aku ikut menikmati ‘kan? Ini aku lagi hamil besar aja, masi harus nyuci pakaian tetangga. Apa untungnya buat aku punya atau enggak punya mobil angkot, buat aku sama aja. Kalau enggak kerja, ya enggak akan kenyang.”“Oke, mulai sekarang penghasilan angkot biar kamu yang pegang.”“Penghasilan apa? Bukannya selama ini penghasi
“Kamu jangan bicara sembarangan. Lagi pula mana mungkin ibu jual angkot tanpa bilang ke Ayah dulu.”“Susah, ya! Segitu enggak percayanya Ayah sama kami. Udah bener Ayah dinas di luar kota aja. Enggak usah pulang-pulang. Sekalinya pulang malah bikin suasana di rumah jadi enggak enak.”Musa lantas pergi ke kamar Lara, padahal azan isya sudah berkumandang, tetapi anak-anak sepertinya tak berniat untuk segera beranjak pergi ke musala.“Kamu enggak salat?”“Kalau, aku salat. Bisa jadi Bunda malah dipukulin Ayah.”“Ya, enggaklah sejak kapan Ayah tega main fisik.”“Kamu salat aja, Ayah perlu bicara sama Bunda! Bawa adik-adikmu sekalian.”Saat itu Musa yang hendak menaiki tangga mendadak menghentikan langkahnya ia menatapku dengan pandangan menelisik. Seolah tak percaya, jika aku tidak akan berbuat kasar. Lagi pula semur berumah tangga dengan Lara, mana pernah aku memukulnya. Apa lagi sekarang Lara juga sedang hamil besar. Aku tidak sekejam itu.“Awas kalau aku lihat Bunda kenapa-kenapa?”“Ka
“Kang Firman kira-kira masih di sini enggak, ya?” tanyaku. “Enggak tahu. Mungkin masih, kata Musa, proyeknya masih lama. Mungkin masih di sekitar sini!” “Kamu udah enggak sakit kakinya?” “Kalau sakit, memangnya kenapa?” “Ya, Akang mau pijitin.” “Enggak usah! Haram!” “Kan Akang enggak ngadu. Musa yang update status di whats app.” “Begini aja, malam ini kamu mau makan apa? Akang belikan di luar, sambil cari Kang Firman.” “Enggak usah.” “Biasanya ‘kan ibu hamil ngidam, kenapa hamil sekarang kamu enggak pernah minta dibelikan apa pun.” Aku baru ingat sejak awal hingga hamil 7 bulan. Lara tak pernah meminta apa pun padaku, bahkan untuk pakaian bayi saja. Dia tidak memintanya. Padahal, kata dokter bayinya perempuan. “Oh, ya, bukannya kamu juga belum beli pakaian?” “Sudah.” “Siapa yang belikan?” “Di kasih Bu Aisyah?” “Di kasih bekasan?” “Baru, mana ada bekasan. Memangnya ibuya Akang?” Sungguh saat itu meski Lara mengatakannya dengan nada yang biasa. Entah kenapa di hatiku te
“Kamu enggak inget ya, sampai kapan pun, enggak peduli kamu mau bilang pisah berapa kali lagi, talak itu hanya jatuh saat diucapkan suami. Aku enggak suka ya Ra, kamu bicara sembarangan begini. Kamu tahu enggak istri yang gampang mengucap cerai, itu enggak akan mencium wangi surga?” Entahlah baru kali ini aku melihat Lara seberani ini. Aku tidak menyangka bisa-bisanya dia punya pikiran sejauh itu. “Lalu, bagaimana hukumnya suami yang enggak bertanggungjawab? Membiarkan anak-anaknya kelaparan, bahkan sampai malnutrisi. Akang pikir rumah tangga ini hanya tentang rumah, kendaraan dan tabungan aja? Akang itu terlalu sombong, Akang yakin banget bakal hidup sampai tua nanti, kalau enggak siapa yang kelak nikmatin kerja kerasmu? Akang terlalu memikirkan masa depan, padahal kita hidup di masa sekarang. Akang membiarkan kami sedemikian berhematnya, sampai aku muak.” “Akang minta maaf. Kemarin itu benar-benar lupa. Lagi pula kenapa kamu enggak menghubungi Akang coba?‘Kan bisa kamu telepon Ak
“Saya ke sana agak maleman ya Kang, satu jam lagi mungkin. Mau anter istri ke Bidan dulu.”“Oh, siap-siap. Teh Lara lagi ngisi lagi?”“Oh, iya Kang, alhamdulillah sudah 7 bulan.”“Ya sudah, kalau begitu.”Akhirnya telepon pun di matikan, kebetulan cucian juga sudah selesai di bilas. Hanya tinggal dijemur besok pagi jika sudah ada panas matahari. Aku berinisiatif untuk memanggil Lara ke atas.“Dek, ayo ke bidan sekarang aja!”“Besok aja, Adek capek pengen tiduran dulu.”“Jangan ditunda dulu, mumpung Akang ada di rumah?”“Sejak kapan sih Akang jadi peduli gini. Biasanya juga masa bodo ‘kan?”“Ya, karena Akang sayang sama kamu, makanya enggak mau sampai kamu kenapa-kenapa.”“Gak mau kenapa-kenapa, apa takut ditinggal pergi.”“Ya, dua-duanya. Akang mau ngapain coba kalau di rumah enggak ada kalian.”“Ya, kerjalah. Akang ‘kan selama ini juga lebih banyak kerja, ketimbang di rumahnya. Lagian ada keluarga Akang, bisa pulang ke sana kapan aja!”“Ya, bedalah Dek. Namanya orang tua sama kalian.
“Jangan pisah juga dong Ra, kamu boleh marah sama Akang. Enggak apa-apa Akang terima. Kamu mau pukul Akang pun enggak apa-apa Akang ikhlas. Sok pukul sampai kamu puas!”Saat itu aku sampai menggenggam tangan Lara, hanya demi menyalurkan emosinya. Entahlah aku hanya berpikir jika ia marah, setidaknya itu akan jauh lebih baik dari pada aku harus benar-benar kehilangannya. Namun, bukannya memukul seperti kebanyakan perempuan lainnya saat emosi. Lara malah menghempaskan lengannya dengan begitu keras.“Mukul itu enggak akan menyelesaikan masalah.”“Ya, tapi Akang enggak mau pisah sama kamu. Dari tadi loh, kamu bilang mau pisah terus. Siapa yang enggak panik. Belasan tahun kita rumah tangga, baru kali ini kamu begini, Ra! Akang ‘kan udah janji mau berubah, tolonglah beri Akang kesempatan, jangan pisah-pisah terus. Semua juga perlu waktu, Akang juga masih shock dengar mobil udah dijual 3 sama ibu. Tolonglah mengerti posisi Akang juga, Ra.”“Akang tuh dari dulu emang egosi, cuma pengen dimeng
Aku yang masih tak percaya dengan apa yang diucapkan Musa, lantas dengan tergesa-gesa mencari ke setiap sudut ruangan rumahku. Sambil terus memanggil namanya, berharap ia mungkin hanya sedang tertidur atau beristirahat di ruangan lain. Sayangnya, setiap ruang telah kutelusuri, tetapi hasilnya nihil.“Kan sudah kubilang enggak ada,” ucap Musa dari lantai atas.“Ayah di rumah aja jaga anak-anak. Biar aku yang cari Bunda!”“Loh, kok Ayah yang jaga anak-anak? Ayah aja yang cari!”“Emang Ayah enggak mau jaga adik-adik? Lagian ayah juga ‘kan enggak akan tahu biasanya Bunda pergi ke mana aja? mana pernah Ayah peduli.”Saat itu Musa terlihat sangat kesal. Namun, aku juga tidak bisa menyangkal ucapannya. Selama ini aku memang tak perhatian dengan Lara. Sampai aku tidak tahu ke mana saja ia pergi dan siapa saja teman-temannya.“Kalau enggak mau direpotkan sama anak-anak, kenapa atuh bikin anak banyak-banyak?”“Musa, kamu tahu enggak ucapan kamu itu keterlaluan.”“Ayah juga keterlaluan. Selama i