Share

Bab 3

Auteur: ERIA YURIKA
last update Dernière mise à jour: 2023-04-05 00:01:16

“Ya enggak akan kelaparan kalau kamu pinter ngurusnya.”

“Ngurus anak juga butuh uang Akang, yang selama ini belanja buat kebutuhan makan siapa?”

Lara malah menatapku dengan pandangan kesal. Memang aku, hanya saja aku masih tak percaya dengan pernyataan petugas puskesmas tentang anakku yang kurang gizi. Kala itu Lara malah meninggalkanku begitu saja. Dia malah sibuk dengan cucian tetangga yang teramat busuk.

“Kamu kok malah nyuci. Orang anak lagi gini?”

“Ya, kalau aku enggak nyuci, memangnya mau dapat uang dari mana? Suami?”

“Aku kasih uang.”

“Berapa 10 ribu atau 100 ribu sebulan? Mending enggaknya sekalian. Dari pada ngasih, tapi jadi pembahasan di mana-mana. Aku enggak perlu, simpan aja uang Akang sendiri.”

Deg.

“Ya, mau 10 atau 100 ribu juga uang, kenapa kamu enggak mau nerima? Hanya karena kamu udah bisa menghasilkan sendiri jadi begini?”

“Kalau aja Akang ngasihnya ikhlas, ya terima-terima aja. Istri mana yang enggak mau dikasih uang.”

“Ya kamu bilang butuhnya berapa?”

“Udahlah Akang urus aja ibu sama adik-adik Akang di kampung. Enggak perlu pedulikan kami.”

“Ya sudah ini 500 ribu, kamu belikan mereka makanan sehat. Biar anak kita enggak digosipin kurang gizi.”

Saat itu aku mengeluarkan uang lembaran merah di atas meja dapur, tapi Lara hanya menatapnya saja. Ia juga seperti tak tertarik untuk mengambil uang itu.

“Kenapa enggak mau? Mentang-mentang udah bisa ngasilin uang sendiri, jadi enggak mau lagi dinafkahin? Aku enggak mau denger ya, kalau bulan depan ada tetangga kita yang datang ke sini dan ngasih makanan lagi, apa lagi sampai denger kabar kalau Sean masih kurang gizi.”

“Iya.”

“Ya sudah simpan! Kenapa enggak mau diambil!”

Saat itu barulah Lara mau mengambil dan memasukan uang itu ke saku dasternya. Di meja makan bahkan sudah tidak anak-anak. Padahal, aku tahu sejak pagi mereka sudah berpuasa. Entah ke mana mereka?

Bahkan nasi dan lauk pauknya saja masih utuh.

“Panggilin anak-anak dulu Lara! Bukannya mereka puasa, kenapa enggak makan dulu.”

“Duluan aja Kang, anak-anak paling ke musala.”

“Kenapa enggak pamitan tadi?”

“Mereka pasti enggak enak, karena lihat kita lagi berdebat. Sudahlah Akang makan duluan aja!”

Saat itu aku tak banyak berpikir. Aku memang tidak tahu jika anak-anak akan pergi ke musala di waktu maghrib mengingat sejak awal puasa aku selalu mengambil lembur. Mengingat lebaran akan tiba, aku harus mengumpulkan pundi-pundi rupiah sebanyak-banyaknya. Jangan sampai di kampung nanti aku malah kekurangan uang.

Apa kata mereka nanti?

Pukul 18.30 anak-anak masih belum pulang juga. Aku saja yang orang dewasa sangat kelaparan apa lagi mereka.

“Kamu bagaimana sih jadi ibu? Kenapa dibiarin aja anak-anak main dalam keadaan perut kosong.”

“Di musala juga ada takjil. Paling mereka batalin puasa di sana.”

“Kamu ini kebiasaan ya, Ra! Di mana ada makanan pasti anak-anak kamu suruh ke sana. Apa kata orang-orang coba, anak kita jadi pemburu makanan sedekah di mana-mana.”

“Ya emang di rumah enggak ada yang bisa dimakan ‘kan?”

“Ya, ini apa?”

Aku menunjuk pada meja makan yang sudah penuh dengan sajian buka puasa.

“Ya, baru sekarang aja bisa masak agak banyak. Biasanya ‘kan enggak.”

Aku yang sudah terlanjur kesal memilih untuk menghampiri mereka. Aku penasaran, kenapa ketika ayahnya pulang mereka malah sibuk di luar rumah padahal, aku sengaja tidak mengambil lembur. Hanya untuk bisa berbuka bersama mereka.

Kebetulan jarak musala dengan rumahku cukup dekat. Dari kejauhan aku bisa melihat Sean dan Arfan tengah duduk termenung di pinggiran bangunan musala. Di bandingkan teman-temannya yang sibuk berlarian ke sana kemari. Keduanya malah hanya duduk sambil menulis di tanah dengan batang kayu kecil yang entah ia dapatkan dari mana.

“Kalian di sini?”

Melihatku berada tepat di depannya, mereka malah terkejut.

“Kenapa enggak pulang? Emang kalian enggak mau buka puasa?”

Bukannya langsung menjawab baik Sean maupun Arfan malah hanya diam saja, keduanya malah saling menatap dan berpegangan tangan. Dibandingkan terkejut, ekspresi keduanya bahkan lebih mirip seperti orang yang ketakutan. Memangnya aku semenyeramkan itu? aneh-aneh saja.

“Kenapa sih kalian diem aja! Ayo pulang aja! Dari pada di sini enggak ngapa-ngapain mending di rumah.”

Saat itu aku sudah menarik tangan kedua anakku, tetapi keduanya masih tampak ogah-ogahan.

“Kalian enggak mau pulang sama Ayah?”

Sekarang Sean dan Arfan malah kompak menggeleng pelan.

“Mau tunggu A Musa.”

“Emang A Musa ke mana?”

Sean menunjuk ke dalam musala, di mana Musa tampak di kelilingi anak-anak kecil yang tengah memegang iqro. Anak itu bahkan tak ada kapoknya padahal aku sudah menasihatinya untuk jangan mengajar ngaji lagi.

“Ayah mau ke mana?” tanya Arfan ketika aku hendak masuk ke dalam musala.

“Ayah mau ajak A Musa pulang.”

“A Musa ‘kan lagi ngajar ngaji.”

“Ya emang, tapi ini ‘kan waktunya buka, ngajar ngaji ‘kan bisa setelah buka.”

“A Musa udah buka, kok. Ini sisanya di kasih ke kami.”

Arfan menunjukkan makanan yang dibungkus di plastik.

“Mana kenyang makan begitu aja.”

“Biasanya kami malah enggak makan Yah, ini juga udah alhamdulillah.”

Deg.

Entah kenapa mendengar Arfan mengatakan itu, aku begitu terpukul. Akhirnya aku mengurungkan niatku untuk masuk.

“Jangan marahin A Musa ngaji, nanti aku enggak dapat takjil lagi.”

Arfan dengan sedikit ketakutan mengatakan hal itu padaku. Ia bahkan hanya menunduk dan tak berani menatapku sama sekali. Apa lagi Sean, sejak tadi anak itu hanya diam sambil menarik baju kakak laki-lakinya.

“Emangnya ibumu enggak pernah masak, sampai kalian harus minta-mita makan begini.”

“Kita enggak minta, tapi dikasih. Kata Bunda kita enggak boleh minta.”

“Tapi, tetep aja. Kalau, kalian lapar ‘kan bisa makan di rumah, kenapa harus makan di jalan.’

“Udah 3 hari ibu enggak masak, cuma makan bubur aja! aku masih laper kalau makan bubur. Jadi aku nunggu di sini dulu, biar kalau ada lebihan takjil bisa dibawa pulang.”

Kau tahu saat itu hatiku bergetar hebat. Ini seperti seseorang baru saja menginjak-injak harga diriku dan orang itu adalah anakku sendiri. Bagaimana bisa aku makan enak dan selalu kenyang di kantor, sedangkan mereka harus berbuka seadanya.

“Kita pulang ya! A Musa biarin di sini aja!”

“Enggak mau, Yah.”

“Kenapa lagi? ‘Kan di rumah juga ada makanan. Kalian enggak perlulah nunggu sampai anak-anak bubar.”

“Kalau hari ini dapet 2 besok ‘kan kita bisa ada jajan lebih. Boleh ya Yah, kita enggak minta kok, kalau enggak dikasih Pak Mahmud aku juga enggak akan ngambil. Beneran, iya ‘kan Dek?”

Aku tidak percaya, anak-anakku bahkan harus merasakan kehidupan yang seperti ini. Bagaimana bisa.

“Ayo pulang Dek!”

“Takjilnya?”

“Udah, abis Dek!”

Musa tersenyum sambil mengusap kepala adik-adiknya itu. Saat itu aku tahu Musa melihatku ada di sana, tapi entah kenapa ia seakan tak peduli. Arfan juga terlihat menekuk wajahnya, pasti ia kecewa karena takjilnya malah habis.

“Sudah enggak apa, nanti Aa belikan kamu jajan!”

“Beneran?”

“Ya.”

“Hore! Mau jajan es krim boleh?” tanya Sean dengan wajah polosnya.

“Boleh, tapi abis pulang tarawih ya!”

“Oke.”

~

Saat itu keduanya memilih berjalan lebih dahulu, kali ini Arfan juga sudah kembali ceria.

“Murah banget ‘kan Yah bikin Sean seneng! Padahal gajiku cuma 500.000 jauh banget sama ayah. Aku duluan, Yah! Wassalamualaikum, lain kali enggak usah nyusul Ayah cuma bikin mereka takut, mending lembur aja Yah. Dari pada pulang tapi malah ribut dan bikin Bunda yang lagi hamil jadi sedih!”

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application
Commentaires (4)
goodnovel comment avatar
sri atmawati
duh.....bpknya kacau
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Jleb banget omongannya Musa kepada ayahnya
goodnovel comment avatar
Angeline mama Ara
Duhh sedih bener ceritamu, Thorrr
VOIR TOUS LES COMMENTAIRES

Latest chapter

  • Nafkah yang Keliru   Bab 43 [DM]

    Setengah jam berlalu, kami masih juga belum mengantuk.“Dek kamu udah tidur?” tanyaku.“Belum, kenapa Kang?” tanya Sofia sambil membalikkan tubuhnya yang semula terlentang jadi menghadap ke arahku.“Sebenarnya Akang ini udah ngajuin resign, Dek,” ucapku.“Loh, kapan?”“Di hari menjelang pernikahan kita, yang jelas sebelum Aa pulang ke Bogor.”“Kenapa Aa melakukan itu?”“Aa pikir enggak ada gunanya juga kita bertahan di sini. Lihat saja Sabrina, dia aja masih nekat datang ke resepsi kita, padahal enggak diundang.”“Alhamdulillahnya masa kerja Akang juga sudah habis, jadi besok kita pulang.”“Jadi hari ini terakhir?”“Iya, Sayang.”“Ya Allah kenapa enggak kasih tahu jauh-jauh hari. Jadi, Adek bisa beres-beres dari jauh-jauh hari.”“Sengaja kok. Akang emang e

  • Nafkah yang Keliru   Bab 42 [DM]

    “Sofia.”“Hm.”“Makasih ya,” ucapku sembari menikmati betapa indahnya wajah Sofia jika dipandang dalam jarak yang sedekat ini.Sofia tak menjawabnya, selain tersenyum saja, sepertinya dia sudah sangat mengantuk. Mungkin juga lelah. Aku tidak tahu pastinya, tetapi saat itu Sofia langsung menutup matanya. Ia tertidur begitu pulas dan aku masih saja tak puas menatap wajah cantiknya ketika ia tertidur.Pagi hari tiba, saat itu aku terbangun lebih dahulu, karena kumandang azan subuh. Namun, begitu melihat ke samping Sofia masih tertidur di lenganku. Melihatnya tertidur begitu pulas, rasanya menggemaskan sekali.Tanpa sadar aku malah mencium keningnya, apa lagi saat itu jarak kami memang sangat dekat. Sayangnya, saat itu Sofia malah jadi bangun.“Akang….”Sofia memanggilku, tetapi matanya masih tertutup.“Kalau ngantuk tidur lagi enggak apa-apa kok, Sayang.”“Enggak kok, Akang kenapa bangunin aku? Butuh sesuatu?” tanya Sofia.“Enggak butuh apa-apa. Ini sudah masuk waktu subuh.”“Hah, masa?”

  • Nafkah yang Keliru   Bab 41 [DM]

    “Cie, salting ya!” godaku.“Siapa yang salting biasa aja kok,” elak Sofia sambil berusaha menolehkan wajahnya ke arah lain.Jelas-jelas ia sedang salah tingkah, kenapa juga enggan mengakuinya. Aku yang semula sudah berada di depan, lantas kembali menyusul Sofia yang masih tertinggal di belakang.“Mau apa?” tanya Sofia yang mendadak panik.Kedua bola matanya bahkan mendadak membesar dan itu lucu. Ia tak ubahnya seperti boneka barbie koleksi Hafsah yang bermata besar.“Kepedean, siapa juga yang mau gendong kamu!”Saat itu tanpa menunggu persetujuannya, aku lantas menggandeng lengan Sofia dengan lembut. Sejenak bukannya langsung maju kami malah terpaku di tempat. Sialnya kenapa juga aku harus begitu kaku, padahal baru pegangan tangan.“Ya udah jalan!” ajakku.Sayangnya baru beberapa langkah Sofia malah terkekeh.“Kenapa kamu ketawa?” tanyaku yang kesal.

  • Nafkah yang Keliru   Bab 40 [DM]

    Sungguh aku tidak pernah sebahagia ini sebelumnya. Ternyata apa yang selama ini aku harapkan benar-benar terjadi. Pada akhirnya aku bisa menikahi Sofia. Meskipun harus melewati perjuangan yang panjang. Namun rasanya lega sekali bisa memiliki Sofia sebetulnya. Ia tampak sangat menggemaskan ketika malu. Sayangnya, meski ia sudah memohon padaku, pada akhirnya kami harus tetap melakukan sesi foto cium kening. Cukup mendebarkan, karena memang Ini pertama kalinya aku menyentuh perempuan. "Akang juga gugup 'kan?" bisik Sofia pelan, kala bibirku masih menempel di keningnya. "Kata siapa? Biasa aja kok nggak ada gugup sama sekali." "Jangan bohong Kang, bibirmu bergetar." "Memang terasa?” “Iya.” Seketika aku mendecak. “Namanya orang ngomong, ya bergetar kamu suka aneh ah!" Untung saja saat itu fotografer meminta kami untuk melepaskan kecupan di kening. Sungguh, lega sekali akhirnya kami bisa menyelesaikan satu sesi f

  • Nafkah yang Keliru   Bab 39 [DM]

    [Ya ampun Sof, enggak bisa romantis sedikit apa?][Lagian kamu aneh, tiba-tuba telepon katanya penting tahunya malah sayang-sayangan.][Emang enggak boleh?][Enggak boleh.][Pelit amat.][Sabar! Ya sudah kamu matikan deh, kalau enggak ada yang penting!][Kenapa buru-buru amat sih, kamu yang matikanlah!][Tanganku lagi di henna.][Oh gitu, ya sudah vidio call sebentar! Aku pengen lihat.][Enggak bisa.]Tiba-tiba saja suara tertawa terdengar di saat aku kesal karena Sofia lagi-lagi menolak menunjukkan hennanya.[Kamu ketawa?] tanyaku.[Bukan aku yang ketawa, Musa.][Terus siapa?][Tadi 'kan aku bilang lagi lukis henna.]Ya Tuhan jadi dari tadi percakapan kami didengar oleh orang lain? Sumpah malu sekali. Apalagi orang itu sepertinya masih saja menertawakan kami.Sebelum semua hal menjadi kacau aku segera mematikan panggilan tersebut. Bahkan, aku sampai lupa mengucap sa

  • Nafkah yang Keliru   Bab 38[DM]

    “Aku cuma bercanda kok. Hehehe. Memangnya kamu beli di mana, aku jadi penasaran juga!”“Enggak beli, dikasih.”“Dikasih siapa?” “Calon istri.”Uhuk-uhuk!”Seketika itu juga Sabrina malah terbatuk, padahal ia tidak sedang minum atau menelan sesuatu. Saat itu, karena ia cukup lama terbatuk, sontak saja suaranya yang keras mengundang rasa penasaran orang sekitar. Saat itu juga kami menjadi perhatian semua orang.Dari pada memicu kesalahpahaman semua orang, aku memilih menunggalkan air mineral yang kebetulan memang belum aku buka untuknya. “Minum!”Pergi, menurutku adalah pilihan yang terbaik.Lagi pula, di antara kami juga tidak ada hal penting yang perlu dibicarakan.“Musa, makasih!”Sialnya aku sudah melangkah cukup jauh, ternyata gadis itu masih saja mengikuti. Aku sudah malas sekali menjawab pertanyaannya itu.“Kamu akan menikah bukan? Kapan?”“Lusa.”“Kenapa aku enggak diundang?”“Seharusnya kamu tahu ala

  • Nafkah yang Keliru   Bab 37 [DM]

    [Aku pikir kamu akan setuju, baguslah kalau kamu tidak mengizinkannya.][Aku hanya realistis.][Realistis atau cemburu?][Aku enggak cemburu. Seharusnya kamu tahu langkah apa yang harus kamu ambil. Rasa sayang itu kan bisa tumbuh dari rasa kasihan juga. Aku hanya menghindari hal itu. Aku pikir seharusnya Musa, lebih tahu langkah apa yang harus diambil, jika dihadapkan pada hal seperti itu. Kenapa malah tanya aku?][Kamu tahu kenapa aku bertanya padamu?][Kenapa?][Aku hanya ingin tahu, apakah kamu juga menginginkan pernikahan ini.][Terus sekarang udah dapat jawabannya belum?][Sudah.][Apa?][Aku sikapmu yang tegas.][Aku mah enggak munafik, berpura-pura baik tapi di balik itu aku harus menahan kesal, karena membiarkanmu bertemu dengan wanita yang jelas-jelas menyukaimu.][Hehe.][Jangan ketawa!][Sudah ketawa!][Enggak ada yang lucu.][Ada, kamu lucu sekali Sofia. Aku su

  • Nafkah yang Keliru   Bab 36 [DM]

    “Jadi, bagaimana Pak Musa?”“Saya tetap mengajukan resign.”“Kalau begitu mungkin tanggalnya bisa diganti untuk 1 bulan ke depan.”“Oke, tapi tolong saya ambil cuti 3 hari untuk tanggal 20, 21 dan 22 Juni.”“Baik Pak.”Saat itu aku keluar ruangan dengan perasaan yang entah. Rasanya kesal sekali, aku seperti sedang dipermainkan. Tadinya niatku ingin langsung berbenah pada akhirnya aku harus kembali kerja. Apa lagi itu sepertinya Pak Hamzah memberikan kasus yang berat.Manusia satu ini rupanya masih saja belum menyerah. Lagi pula untuk apa memperjuangkan hal yang sebenarnya sia-sia. Hanya akan buang-buang waktu.Ada banyak lelaki di dunia ini, kenapa harus memaksaku untuk menyukai keponakannya.~Di jam makan siang aku memutuskan untuk menghubungi orang tuaku, tentang prosedur pengunduran diri yang mendadak berubah.[Ya sudah, itu terserah kamu saja. Bunda sama ayah enggak pernah maksa kamu buat

  • Nafkah yang Keliru   Bab 35 [DM]

    Bunda malah melarikan diri, menyebalkan sekali. Sayangnya saat itu ia malah dihalangi ayah.“Musa, pasangan yang mau nikah itu biasanya banyak godaan. Kuat-kuatan kitanya aja.”“Iya, Yah.”“Kamu yakin mau ke Bali sendirian?”“Yakin, Yah. Aku juga udah biasa bolak-balik sendiri kok.”“Ayah tahu, tapi kalau memang kamu butuh teman ngobrol selama di perjalanan, ajak aja Sean. Dia juga udah mau lulus sekolah, sekalian refreshing juga ‘kan?”“Tapi, tiket pesawatnya ‘kan cuma untuk satu orang.”“Aku bisa ke sana sendiri kok, nyusul juga enggak apa-apa,” sahut Sean yang saat itu kebetulan memang berada tak jauh dari tempat kami berbincang.Sebelumnya Sean memang sering kuajak ke Surabaya jika liburan tiba. Jadi, sebenarnya aku tidak terlalu khawatir jika ia akan tersesat nanti.“Tuh anaknya aja mau.”“Sekalian nyari kerjaan di sana. Barang kali aja dapat,” ucap Sean.Tahun ini Sean memang bar

Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status