“Ya, kenapa angkot? ‘Kan itu bisa jadi sumber penghasilan buat kita?”
“Kita?”
“Ya, ‘kan itu uangnya ditabung. Sama aja ujungnya buat kita juga nanti.”
“Emangnya Akang yakin kita bakal terus sama-sama?”
“Kenapa kamu ngomong gitu?”
“Enggak apa-apa.”
Sejenak kami saling pandang, tetapi beberapa detik kemudian, Lara langsung mengalihkan wajahnya ke arah lain.
“Aku sibuk, kasihan Musa nyuci sendirian.”
“Aku enggak bisa kalau jual angkot Ra, ‘kan lumayan. Bisa buat tambahan, kalau dijual semua. Emangnya mau kalau kita enggak ada pemasukan lain.”
“Ada atau enggak ada pemasukan, emang aku peduli?”
“Ya, harus peduli dong Ra. Itu juga harta kita.”
“Kalau harta kita, harusnya aku ikut menikmati ‘kan? Ini aku lagi hamil besar aja, masi harus nyuci pakaian tetangga. Apa untungnya buat aku punya atau enggak punya mobil angkot, buat aku sama aja. Kalau enggak kerja, ya enggak akan kenyang.”
“Oke, mulai sekarang penghasilan angkot biar kamu yang pegang.”
“Penghasilan apa? Bukannya selama ini penghasilannya cuma cukup buat nutup cicilan angkot yang lain.”
“Ya, kalau enggak gitu, mana bisa kita punya angkot banyak.”
“Allah tuh melarang riba, bukan tanpa sebab. Ya, contohnya kayak gini. Di saat seharusnya uang itu bisa digunakan untuk yang lain. Malah harus bayar cicilan. Nafsu untuk punya banyak mobil itu yang bikin usaha enggak berkah.”
Lara mendadak pergi begitu saja. Ia malah mengambil kesempatan melarikan diri saat aku sedang sibuk memikirkan ucapan Lara tentang Riba. Memang ada benarnya juga, selama ini biaya servis juga mahal. Belum lagi, orang-orang lebih suka menaiki kendaraan roda dua dari pada angkutan umum. Jika, tidak ada anak sekolah, maka bisa dipastikan yang menggunakan angkot bisa dihitung jari. Belum lagi cicilan mobil, sebenarnya uangnya hanya berputar di situ-situ saja.
Mungkinkah memang benar, jika usahaku tidak berkah?
Aku kembali turun ke bawah, setelah menunaikah salat maghrib. Sayangnya, bukannya tenang aku dibuat semakin gelisah. Memikirkan usahaku yang ternyata hanya jalan di tempat. Kata ibu meski memiliki 4 angkot, penghasilan bersihku tak lebih dari 2 juta sebulan setelah dikurangi 2 cicilan mobil. Dan itu seringkali di pakai ibu untuk keperluan mendadak seperti ikut ziarah dan lain-lain.
Aku memutuskan untuk menelepon ibu. Aku hanya ingin mendiskusikan hal ini lebih lanjut.
[Hallo Bu, aku mau tanya soal angkot.]
[Kenapa tiba-tiba nanya angkot Jim, angkotnya baik-baik aja kok. ‘Kan kemarin juga udah di servis.]
[Enggak Bu, aku mau tanya. Uang tabungan angkot ada berapa ya sekarang?]
[Hm kenapa tanya-tanya tabungan sih Jim? Kamu butuh uang? Bilang aja berapa yang kamu butuhin? Nanti biar ibu transfer.]
[Aku enggak butuh uang. Aku cuma penasaran aja!]
[Tumben kamu penasaran, pasti istri kamu ya yang nanya-nanya?]
[Ya, aku cuma pengen kasih tahu dia kalau angkot itu menghasilkan, Bu!]
[Kamu itu kalau sama istri jangan terlalu terbuka juga Jim, nanti malah kamu enggak bisa simpan uang. Udah ibu transfer sejuta ya, kasih aja istri kamu 200 ribu biar diem.]
Tiba-tiba saja telepon pun dimatikan begitu saja. Tak lama, juga ada pesan masuk dari Tia yang isinya sebuah tangkapan layar aplikasi m-banking di mana rekening ibu baru saja mentransfer sejumlah satu juta rupiah.
Aku hanya sedikit kesal, bukan tak senang karena mendapatkan uang, karena tujuanku bukan ini sebenarnya. Namun, jika dipikir-pikir ada benarnya juga. Mungkin dengan uang bisa membungkam kemarahan Lara. Aku berencana untuk mengambil uang di ATM. Mengingat persediaan terakhirku di dompet telah diberikan pada Lara. Namun, begitu turun. Rumahku malah kembali kedatangan tamu.
Itu Sofia anak Pak Zul. Ketua RT di sini, entah kenapa dia datang sore-sore begini.
“Malam Om,” sapanya ramah,
“Mamam, tumben ke sini!”
“Ini ibu bikin gorengan banyak.”
Saat itu rasanya aku kesal sekali, kenapa keluargaku jadi menampung setiap pemberian orang lain. Rasanya sudah seperti orang yang paling miskin di kampung. Melihat tatapanku yang tidak enak, aku pikir Sofia pasti sudah mengerti, jika kehadirannya tidak diharapkan di rumah ini.
“Gak anaknya, enggak bapaknya sama aja. Dipikir kita ini pengemis.”
“Itu artinya mereka sayang sama kita, Yah,” ucap Arfan.
Sementara yang lain hanya menatap sekilas dan memilih melanjutkan aktivitasnya.
“Itu bukan peduli, tapi menghina.”
“Kalau enggak mau dikasih, makanya cukupin kebutuhan keluarga!”
Kali ini Musa malah menyindirku lagi.
“Ini Ayah mau ngambil uang.”
Sudahlah mala mini aku benar-benar menyesal pulang ke rumah, tetapi jika tidak pulang mungkin aku tidak akan tahu keadaan keluargaku.
“Bunda ada wa dari nomor baru!”
Saat itu Arnaf yang sibuk melihat tayangan kartun di ponsel milik Lara berteriak. Lara sempat terdiam, tetapi kala itu pandangannya langsung mengarah padaku.
“Baca aja!”
“Kamu ya, jadi istri kok kepo banget! Hak anakku mau pakai uang hasil kerjanya ke mana. Namanya ngasih orang tua ya, wajar! Jadi orang kok irian!”
Saat itu Arfan dengan polosnya membaca isi pesan neneknya. Sungguh aku sangat terkejut bagaimana bisa ibuku sekasar itu. Saat itu aku bahkan sampai berebut mengambil ponsel itu dari tangan Arfan.
“Lain kali jangan dibaca ya, Sayang!”
“Maaf ya, Bun. Aku pikir orang mau nyuci.”
“Enggak apa-apa, Sayang. Nanti, kalau ada pesan kasih Bunda dulu.”
Sementara Lara sibuk menasihati putranya, aku masi tak percaya hingga menyamakan nomor ponsel yang mengirim pesan itu. Namun, tetap saja angkanya sama. Itu memang nomor ibuku.
“Kok bisa ibu kasar banget? Ini pasti dibajak.”
“Emang Nenek kalau ngomong kasar, Yah.”
Lagi-lagi sambil memasukkan gorengan ke mulutnya, Arfan dengan begitu santai dan tanpa dosa mengatakan semua itu.
“Maksud kamu, kok kalian biasa aja? Nenek tuh enggak mungkin sekasar ini.”
“Yang enggak biasa tuh kalau nenek tiba-tiba jadi baik,” kala ini Musa yang tengah di dapur pun ikut campur.
“Terus kenapa? nomornya enggak kamu simpan Lara?”
“Sesuatu yang cuma bikin sakit hati kenapa harus di simpan, Yah?” ucap Musa.
Entah kenapa dia senang sekali ikut campur.
“Tapi, begini juga nenek kamu. Kamu jangan diem aja dong Ra, kenapa sampai kamu enggak simpan nomornya.”
“Seperti yang Musa bilang,” ucap Lara.
“Tapi, Nene kini keluarga. Keluarga kita.”
“Keluarga itu harusnya saling menyayangi, bukan menyakiti,” ucap Lara.
“Ya, ‘kan selama ini ibu juga udah baik sama kita.”
“Mereka aja tahu kok, bagaimana sikap ibu. Memang baik, tapi di depan Akang aja. Lagian Akang abis ngomong apa sih? Aku enggak pernah loh nanya-nanya penghasilan. Akang ngadu habis kasih aku uang 500.000. Ini aku balikin aja. Uangnya aja masih utuh.”
Lara mengeluarkan uang pemberianku dari saku dasternya. Namun, karena aku tak mau menerimanya, ia malah meletakannya di atas meja mini bar. Lantas, pergi begitu saja ke arah kamar. Saat itu yang mengherankan, anak-anak juga mengikuti langkah kaki Lara yang masuk ke kamar pribadi kami.
“Sudah kubilang jangan cari ribut, kenapa sih?”
Musa yang saat itu melintas di depanku malah bertanya dengan nada yang cukup kesal.
“Bunda tuh lagi hamil, kalau Bunda setres terus kenapa-kenapa sama bayinya mau tanggung jawab? Keluar uang 500 ribu aja ngadu sampe kampung?”
“Ya, bukan begitu, tadi Bunda minta jual semua angkot-angkot Ayah.”
“Terus Nenek enggak ngizinin?”
“Ya, itu ayah belum obrolin.”
“Apanya yang mau dijual sih Yah, mobil angkotnya juga enggak tahu ada di mana?”
“Maksud kamu apa?”
“Ayah cari tahu aja sendiri. Tanya sama keluarga Ayah di kampung!”
Setengah jam berlalu, kami masih juga belum mengantuk.“Dek kamu udah tidur?” tanyaku.“Belum, kenapa Kang?” tanya Sofia sambil membalikkan tubuhnya yang semula terlentang jadi menghadap ke arahku.“Sebenarnya Akang ini udah ngajuin resign, Dek,” ucapku.“Loh, kapan?”“Di hari menjelang pernikahan kita, yang jelas sebelum Aa pulang ke Bogor.”“Kenapa Aa melakukan itu?”“Aa pikir enggak ada gunanya juga kita bertahan di sini. Lihat saja Sabrina, dia aja masih nekat datang ke resepsi kita, padahal enggak diundang.”“Alhamdulillahnya masa kerja Akang juga sudah habis, jadi besok kita pulang.”“Jadi hari ini terakhir?”“Iya, Sayang.”“Ya Allah kenapa enggak kasih tahu jauh-jauh hari. Jadi, Adek bisa beres-beres dari jauh-jauh hari.”“Sengaja kok. Akang emang e
“Sofia.”“Hm.”“Makasih ya,” ucapku sembari menikmati betapa indahnya wajah Sofia jika dipandang dalam jarak yang sedekat ini.Sofia tak menjawabnya, selain tersenyum saja, sepertinya dia sudah sangat mengantuk. Mungkin juga lelah. Aku tidak tahu pastinya, tetapi saat itu Sofia langsung menutup matanya. Ia tertidur begitu pulas dan aku masih saja tak puas menatap wajah cantiknya ketika ia tertidur.Pagi hari tiba, saat itu aku terbangun lebih dahulu, karena kumandang azan subuh. Namun, begitu melihat ke samping Sofia masih tertidur di lenganku. Melihatnya tertidur begitu pulas, rasanya menggemaskan sekali.Tanpa sadar aku malah mencium keningnya, apa lagi saat itu jarak kami memang sangat dekat. Sayangnya, saat itu Sofia malah jadi bangun.“Akang….”Sofia memanggilku, tetapi matanya masih tertutup.“Kalau ngantuk tidur lagi enggak apa-apa kok, Sayang.”“Enggak kok, Akang kenapa bangunin aku? Butuh sesuatu?” tanya Sofia.“Enggak butuh apa-apa. Ini sudah masuk waktu subuh.”“Hah, masa?”
“Cie, salting ya!” godaku.“Siapa yang salting biasa aja kok,” elak Sofia sambil berusaha menolehkan wajahnya ke arah lain.Jelas-jelas ia sedang salah tingkah, kenapa juga enggan mengakuinya. Aku yang semula sudah berada di depan, lantas kembali menyusul Sofia yang masih tertinggal di belakang.“Mau apa?” tanya Sofia yang mendadak panik.Kedua bola matanya bahkan mendadak membesar dan itu lucu. Ia tak ubahnya seperti boneka barbie koleksi Hafsah yang bermata besar.“Kepedean, siapa juga yang mau gendong kamu!”Saat itu tanpa menunggu persetujuannya, aku lantas menggandeng lengan Sofia dengan lembut. Sejenak bukannya langsung maju kami malah terpaku di tempat. Sialnya kenapa juga aku harus begitu kaku, padahal baru pegangan tangan.“Ya udah jalan!” ajakku.Sayangnya baru beberapa langkah Sofia malah terkekeh.“Kenapa kamu ketawa?” tanyaku yang kesal.
Sungguh aku tidak pernah sebahagia ini sebelumnya. Ternyata apa yang selama ini aku harapkan benar-benar terjadi. Pada akhirnya aku bisa menikahi Sofia. Meskipun harus melewati perjuangan yang panjang. Namun rasanya lega sekali bisa memiliki Sofia sebetulnya. Ia tampak sangat menggemaskan ketika malu. Sayangnya, meski ia sudah memohon padaku, pada akhirnya kami harus tetap melakukan sesi foto cium kening. Cukup mendebarkan, karena memang Ini pertama kalinya aku menyentuh perempuan. "Akang juga gugup 'kan?" bisik Sofia pelan, kala bibirku masih menempel di keningnya. "Kata siapa? Biasa aja kok nggak ada gugup sama sekali." "Jangan bohong Kang, bibirmu bergetar." "Memang terasa?” “Iya.” Seketika aku mendecak. “Namanya orang ngomong, ya bergetar kamu suka aneh ah!" Untung saja saat itu fotografer meminta kami untuk melepaskan kecupan di kening. Sungguh, lega sekali akhirnya kami bisa menyelesaikan satu sesi f
[Ya ampun Sof, enggak bisa romantis sedikit apa?][Lagian kamu aneh, tiba-tuba telepon katanya penting tahunya malah sayang-sayangan.][Emang enggak boleh?][Enggak boleh.][Pelit amat.][Sabar! Ya sudah kamu matikan deh, kalau enggak ada yang penting!][Kenapa buru-buru amat sih, kamu yang matikanlah!][Tanganku lagi di henna.][Oh gitu, ya sudah vidio call sebentar! Aku pengen lihat.][Enggak bisa.]Tiba-tiba saja suara tertawa terdengar di saat aku kesal karena Sofia lagi-lagi menolak menunjukkan hennanya.[Kamu ketawa?] tanyaku.[Bukan aku yang ketawa, Musa.][Terus siapa?][Tadi 'kan aku bilang lagi lukis henna.]Ya Tuhan jadi dari tadi percakapan kami didengar oleh orang lain? Sumpah malu sekali. Apalagi orang itu sepertinya masih saja menertawakan kami.Sebelum semua hal menjadi kacau aku segera mematikan panggilan tersebut. Bahkan, aku sampai lupa mengucap sa
“Aku cuma bercanda kok. Hehehe. Memangnya kamu beli di mana, aku jadi penasaran juga!”“Enggak beli, dikasih.”“Dikasih siapa?” “Calon istri.”Uhuk-uhuk!”Seketika itu juga Sabrina malah terbatuk, padahal ia tidak sedang minum atau menelan sesuatu. Saat itu, karena ia cukup lama terbatuk, sontak saja suaranya yang keras mengundang rasa penasaran orang sekitar. Saat itu juga kami menjadi perhatian semua orang.Dari pada memicu kesalahpahaman semua orang, aku memilih menunggalkan air mineral yang kebetulan memang belum aku buka untuknya. “Minum!”Pergi, menurutku adalah pilihan yang terbaik.Lagi pula, di antara kami juga tidak ada hal penting yang perlu dibicarakan.“Musa, makasih!”Sialnya aku sudah melangkah cukup jauh, ternyata gadis itu masih saja mengikuti. Aku sudah malas sekali menjawab pertanyaannya itu.“Kamu akan menikah bukan? Kapan?”“Lusa.”“Kenapa aku enggak diundang?”“Seharusnya kamu tahu ala