Di tempat lain. Di sebuah gedung perusahaan yang berdiri kokoh di kota Chicago ini, Baron group namanya. Seorang pria bermata biru gelap dengan rambut coklat gelap yang tertata rapi dengan baluran pomade duduk di kursi itu menyilangkan kakinya menghadapi pengawalnya yang baru sampai di kantor beberapa menit yang lalu.
"Tuan, kenapa Anda tidak memperbolehkan saya untuk mengikutinya?" tanya Aiden dengan sangat sopan. Tangannya saling bertautan di belakang badannya yang gagah dan tegap.
"Memangnya dia siapa? Dia kan hanya jalang murahan yang menginginkan sentuhan dariku," balas Jack tak acuh. Begitulah nasib para jalang yang bertemu dengan Jack. Setelah dimasuki, dinikmati, lalu dibuang. Meskipun begitu, para perempuan itu begitu tergila-gila oleh ketampanan Jack, ditambah lagi pria itu sudah mapan dengan kekayaan yang dimilikinya terbilang sangat fantastis. Tidak ada yang tak mengenal Jack, si CEO tampan dari Baron group.
Selain itu tubuh Jack seperti candu bagi setiap perempuan yang bertemu dengannya, terutama pada bagian sensitif Jack yang ukurannya terbilang sangat besar. Tapi, kegilaan mereka sudah berakhir setidaknya dalam kurun waktu dua tahun ini. Mereka kecewa dengan milik Jack yang tak bisa bangkit ketika mereka mengulumnya, meski menjepitnya begitu dalam. Kekecewaan mereka jadi kekecewaan Jack juga.
Jack kecewa. Jadi, untuk sementara waktu ia hanya akan mempermainkan tubuh jalang yang ia temui tanpa memasukinya. Dan, semalam milik Jack berdiri tegak kembali. Mungkinkah dia sudah sembuh?
"Panggilkan aku Camelia! Cepat!" perintah Jack setengah membentak. Ia sudah tak bisa menahan hasrat yang menggebu di dalam dirinya. Mencuat memenuhi otaknya, membuat Jack tak mampu berpikir jernih lagi.
Aiden mengangguk cepat dan segera melakukan perintah Jack. Pintu tertutup ketika Aiden sudah keluar dari ruangan.
Jack mengerang seraya memegang miliknya. Di kepalanya kini ada sekelebatan ingatan tubuh jalang yang ia gagahi semalam. Tubuhnya memang tak semontok perempuan yang pernah ia habisi sebelumnya. Meskipun begitu, tubuhnya bisa mematik hasrat Jack menggebu kembali.
Pintu terbuka, memperlihatkan seorang perempuan dengan siluet tubuh semampai dan dadanya yang membusung hingga pakaian yang membungkusnya tak sanggup menahannya hingga membuatnya mencuat, setengahnya menyembul keluar.
"Jack..." panggil si wanita dengan gaya sensualnya. Kini ia membawa tubuhnya duduk di pangkuan Jack, tangan kanannya menyapu lembut rahang tegas Jack.
Jack tak tinggal diam. Tangannya kini sudah berhasil masuk ke dalam rok Camelia, sekretaris pribadinya sekaligus wanita pemuasnya di kantor. Ia selalu memerlukan sentuhan halus wanita itu di saat Jack merasakan penat akibat kerjaannya yang menumpuk.
Tangan Jack satunya membuka kancing kemeja yang dipakai Camelia dengan cepat hingga memperlihatkan kedua gundukan di depannya. Bibir Jack memangut dan mengulum bibir merah Camelia begitu serakah, tak membiarkan sedikit pun celah di antara mereka.
Camelia mendesah, namun tangan Jack mendadak berhenti. Jack tak mendapatkan kenikmatan untuk dirinya, hanya Camelia yang dipuaskan. Ini tidak adil.
Jack mendorong tubuh Camelia menjauh. Sontak, perempuan itu hampir tersungkur ke depan kalau tak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya dengan baik.
"Jack..." lirih Camelia heran. Ia yakin betul kalau Jack tadi mulai terangsang, tapi kenapa pria itu malah berhenti.
"Tinggalkan aku sendiri." Jack memijat kepalanya yang terasa berdenyut.
"Jack..." Camelia mendekati Jack, ia kelimpungan dengan penolakan Jack yang tiba-tiba. Ditambah lagi, ia sudah terlanjur menikmati permainan jari Jack di bagian sensitifnya tadi.
"Keluar!" teriak Jack geram. Tatapan tajamnya begitu menusuk dan membungkam perempuan yang masih mematung di depannya.
Camelia cepat-cepat mengaitkan kancing kemejanya dengan asal. Setelahnya, ia membalikkan badan meninggalkan Jack.
"Arrghhh... Sial!" teriak Jack frustasi. Ia melempar dokumen yang ada di mejanya dengan kasar. Membuat dokumen-dokumen itu berserakan di lantai.
Mendengar keributan kecil yang dibuat oleh Jack, Aiden melangkah cepat memasuki ruangan.
"Tuan, apa yang Anda kehendaki untuk saya lakukan?" tanya Aiden seakan mengerti apa yang membuat Jack sekesal ini.
"Cepat cari tahu tentang jalang itu dan bawa dia ke hadapanku sekarang!" titah Jack kepada Aiden. Ketika titah Jack sudah terlontar, tidak ada siapa pun yang dapat menentangnya. Bahkan semua rekan bisnisnya tak ada yang berani menjawab cercaan dari seorang Jack.
"Baik," jawab Aiden mengangguk paham. Meskipun sebenarnya ia tak tahu di mana perempuan yang dimaksud Jack berada. Ia akan tetap berusaha mencarinya, di samping itu karena banyak kaki tangan yang ia miliki. Itu mempermudahnya apalagi hanya untuk sekadar mencari keberadaan seorang perempuan. Aiden pasti segera membawa perempuan itu ke hadapan Jack sesegera mungkin.
Punggung Aiden yang membelakangi Jack sudah hilang ditelan pintu yang kini tertutup kembali, menyisakan Jack seorang diri di dalam ruangan kerjanya.
-To Be Continued-
Sudah lewat satu hari, sesudah apa yang Zeta alami. Dalam tidurnya yang nyenyak, ada ketukan pintu yang terus berdengung mengganggu ketenangan Zeta.Zeta mengerjap kedua matanya dengan sebelah tangan menggosok matanya itu. Dengan malas ia memaksakan tubuhnya berdiri dan berjalan mendekat ke arah pintu.Ceklek...Pintu terbuka, memperlihatkan sesosok laki-laki yang tak lain ialah Anthony, pacar Sena, sahabat Zeta."Oh... Anthony. Ada apa ke sini? Kemarin Sena sudah membawakan ponselku, jadi kau tak perlu repot-repot ke sini." Zeta berdiri di ambang pintu, mencegah pintunya terbuka lebar untuk Anthony masuki."Sena yang menyuruhku ke sini, dia membelikanmu bubur. Dia sangat mengkhawatirkanmu. Apalagi ketika dia tahu kalau kau pulang duluan meninggalkan kami di club karena alasan sakit." Anthony berucap seraya memperlihatkan sebuah kotak makanan di tangan kanannya."Baiklah, terimakasih." Zeta menunjukkan sudut mulut yang terangkat, membe
Anthony menatap calang Zeta, ia meraih dagu perempuan itu dengan kasar dan meleparnya. "Tidak ada seorang pun yang akan meno..." Belum juga Anthony menyelesaikan ucapannya, pintu berhasil dibuka dengan sekali tendangan. Anthony terbelalak melihat pria bertubuh kekar dengan balutan jas yang berhasil mendobrak pintu yang tadinya sudah ia kunci agar tak ada yang mengganggunya ketika menikmati Zeta. Sial! Anthony terdiam dengan mata memandangi pria tersebut dengan heran. Siapa dia? Anthony tak habis pikir ada pria macam ini di sekitar apartemen Zeta yang kecil dan sunyi. Bug... Pria itu melayangkan sebuah pukulan yang tepat mengenai wajah Anthony. Pria itu menatap datar Zeta, memastikan kalau ia tak salah sasaran. Ia lalu beralih ke laki-laki yang mengangkat tangannya, siap untuk memberikan sebuah pukulan. Tapi, Anthony tak sebanding dengan pria yang ada di depannya itu. Dari perawakannya saja Anthony sudah kala
Aiden berdehem untuk membuyarkan lamunan Zeta. Zeta terperanjat kaget dan mengulas senyum karena malu."Silahkan masuk, Nona. Koper Anda biar saya yang urus." Aiden membukakan pintu untuk Zeta.Zeta mengangguk cepat dan bergegas masuk ke mobil. Matanya terus berkeliling dengan sangat terpukau, tangannya tak berhenti memberikan sapuan pada jok mobil yang bisa dipastikan untuk joknya saja harganya sudah sangat mahal. Baru kali ini Zeta menduduki mobil semewah ini. Sungguh luar biasa, pikir Zeta mengamati setiap inci mobil tersebut.Aiden melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi namun tetap hati-hati. Dari kaca yang menempel tepat di atasnya, Aiden melirik sekilas Zeta dengan penuh pengamatan. Perempuan di belakangnya sangat polos, tak seperti perempuan-perempuan lain yang pernah berhubungan dengan tuannya.Drttt...Ponsel Zeta bergetar. Terdapat satu panggilan masuk dari Sena ketika Zeta membuka layar ponselnya itu."Bolehkah aku menerima pa
Zeta terlonjak kaget di saat sebuah tangan berhasil masuk ke dalam celana dalamnya dan menusuk bagian sensitifnya dengan cukup dalam. Zeta tercekat, suaranya tersangkut di tenggorokan kala pandangannya beradu dengan dua manik mata berwarna biru gelap di depannya. "Anda siapa?" tanya Zeta ketika berhasil membuka mulutnya. Ia berusaha untuk menghindari kejaran mata biru gelap itu yang seakan-akan ingin menelan Zeta dengan penuh nafsu. "Berhenti, Tuan. Aku mohon." Zeta tak tahan ketika sebuah tangan di bawahnya mengocok miliknya dengan kasar. Zeta menggigit bibir bawahnya, dengan segera ada sebuah rasa yang ikut bergelora. Rasa yang pernah muncul ketika meminum obat perangsang yang diberikan Anthony brengsek. Kalau begini, aku tak bisa tahan. Batin Zeta ingin menangis. Sedetik kemudian air matanya sudah tumpah ruah menghiasi wajahnya yang cantik. "Hush... Jangan menangis, Sayang. Nikmati saja." Tangan kekar Jack membelai lembut pipi Zeta, menyingkirkan b
Seketika tubuh Zeta merinding, bulu kuduknya berdiri tegak saat bayang-bayang tangan laknat itu kembali menjamah tubuhnya. Pasti pria itu yang memakaikan pakaian ini untuk Zeta. Kenapa semua harus berwarna pink? Zeta jadi terlihat seperti seonggok boneka barbie yang baru saja didandani. Ceklek... Suara pintu yang terbuka lebar berhasil menyita perhatian Zeta yang sedari tadi mengutuki pria brengsek dan baju tidur pinknya. "Permisi, Nona. Anda dipanggil Tuan di ruang makan," ucap seorang perempuan setengah baya dengan memakai baju maid. Tatanan rambutnya sangat rapi, tergulung ke bagian belakang. Zeta terus mengamati pelayan tersebut. Mungkin, jika ibunya masih hidup pasti usianya seperti perempuan ini. "Permisi, Nona. Mau saya antar?" ucap si pelayan kepada Zeta. "Untuk selanjutnya saya yang akan mengurus Nona di sini," timpal perempuan itu lagi. "Mungkinkah kau yang memakaikanku pakaian ini?" Pertanyaan Zeta
"Baik, aku akan melakukannya tepat seperti yang dia mau." Jack beranjak dari kursinya. Selera makannya sudah hilang sejak ia mendengar nama kakaknya, apalagi tahu kalau kakaknya itu akan segera pulang. Dan, cepat atau lambat kebebasan Jack ditekannya dengan sangat. Jack berderap menuju kamarnya. Ruangan ini begitu luas dengan perkakas mewah dan elegan. Kasur berukuran super king semakin membuat ruangan ini terlihat megah alih-alih sempit. Jack melempar tubuhnya ke atas kasur dengan desahan berat keluar dari mulutnya. Ia mengacak rambutnya, kegeraman yang memuncak sampai ke umbun-umbun. Rasa amarah segera menyelimuti dada Jack. Besok ia akan kembali bertemu dengan wajah bedebah menjengkelkan itu. Ah, ingin rasanya Jack melempar Max ke kutub utara biar sekalian pria itu dimakan oleh beruang kutub di sana. Jack memejamkan kedua matanya, berusaha menahan emosi yang membuncah di dada. Ia lalu terlelap dalam tidur. ***
"Memangnya aku bisa kabur dari sini, Bi?" Zeta tersenyum miris. "Nona harus bisa bertahan. Ada saya di sini, yang akan membantu Nona kapan saja." Sesosok Lerry begitu baik dan semua yang perempuan itu ucapkan begitu hangat, mendamaikan serta menenangkan hati Zeta. "Kalau begitu bantu aku kabur dari sini, Bi. Bibi pasti tahu apa yang telah Tuan Jack itu lakukan padaku. Aku tak mungkin bisa bertahan hidup di sini. Aku mohon, Bi." Zeta mendekati Lerry dan menangkup tangan kasar penuh kapalan milik perempuan itu. "Maaf, Nona. Untuk yang satu itu saya tidak bisa meloloskannya." Lerry melepaskan genggaman Zeta pada tangannya. Senyum yang semula menghiasi wajahnya kini memudar. Datar. Lerry tak berucap lagi dan segera pergi dari kamar Zeta. Hingga menyisakan Zeta sendirian di dalam kamar. Zeta meremas celananya dan bersumpah akan membalaskan dendamnya kepada Tuan Jack. Zeta akan membuat Tuan Jack menyesali apa yang telah diperbuatnya ini. "Awas
Aiden tak mengeluarkan suara sama sekali. Ia memperlambat laju mobil seraya menunggu perintah dari Jack, mau dibawa ke mana Max, kakak tuannya itu yang sudah dua tahun ini tak terlihat.Sementara Jack masih tak merespon pertanyaan Max, membuat pertanyaan itu menggantung di udara. Jack lebih memilih menekan kembali layar ponselnya dengan kasar."Aiden, antar aku ke rumah Jack sekarang!" titah Max tiba-tiba, memanaskan telinga Jack."Tidak! Aku sudah bilang, kau harus langsung ke rumah Mommy!" sahut Jack meremas ponsel yang ia pegang sampai buku-buku jarinya memutih."Why? Jadi dugaanku benar kalau kau memang menyembunyikan 'yang berhargamu' di sana." Max mengangguk pelan seakan sudah paham."Jaga mulutmu, Max! Jangan berucap omong kosong! Dasar bedebah sialan!" balas Jack geram, menyentak Max. Kakaknya itu selalu berhasil menyulut emosi Jack."Padahal aku hanya ingin mampir sebentar, tapi responmu keterlaluan, Jack. Aku ini kakakmu." Ma