Sebuah mobil hitam mewah melewati gerbang kediaman Dailuna, terlihat seorang wanita dengan rambut panjang mengkilat dengan kacamata hitam keluar dari mobil tersebut. Dengan baju setelan putih dan dengan gaya elegan masuk ke dalam rumah Dailuna, dia Hatice Dailuna adik kandung dari Martin Dailuna, menikah dengan seorang pilot kaya raya yang membuatnya hidup dalam gemilang kemewahan, walau demikian hidup Hatice tidak selamanya indah, nasibnya sama dengan sang kakak yang, sama-sama dijodohkan. Walau demikian Hatice tidak terlalu menderita seperti Martin, karena sama sekali tak mencintai siapapun sampai dia dijodohkan dan menerima saja perjodohan itu tanpa ada masalah. Satu hal yang membuat Martin Dailuna sedikit cemburu dengan sang adik, karena adiknya tersebut mampu menjaga hatinya untuk tidak jatuh cinta, sedang Martin, dia begitu lemah dengan cinta yang ia miliki.
Hatice mendaki tangga dan naik menuju kamar Martin. Dia melihat pintu kamar Martin yang tidak terlalu tertutup, d
Andira termenung di atas anak tangga menunggu Dokter Hatice datang memberi kabar. Tiba-tiba pintu rumah terbuka, dan Raisi Dailuna muncul dari balik pintu itu.Melihatnya, Andira langsung berdiri dan menyambut Martin Dailuna."Tuan Muda," sambut Andira dia menampakkan senyum manis pada Raisi."Andira, aku dengar Papa sakit, Tante Hatice yang mengabariku, bagaimana kondisi Papa?" tanya Raisi tiba-tiba."Tante?" tanya Andira bingung. Tentu saja Andira heran mendengar kata Raisi yang memanggil Hatice dengan sebutan tante."Iya, Dokter Hatice adik Papaku, sekarang dimana Papa?" jawab Raisi yang berbarengan dengan pertanyaan."Dia di kamar, Tuan Muda," balas Andira."Baiklah," balas Raisi, sekali lagi dia memberi senyum manis pada Andira. Tentu saja Andira membalasnya dengan senyum yang lebih indah.Mata Andira memancarkan
Ting tong...Ting tong...Bunyi suara bel pintu kediaman Dailuna, mendengar itu Andira yang sedang sibuk menyiapkan sarapan pagi untuk Raisi dan Martin langsung bergerak lincah membuka pintu."Tuan, aku akan membuka pintu dulu," ucap Andira, dan dibalas anggukan oleh Martin.Andira berjalan cepat dan membukakan pintu rumah Dailuna. Terlihat seorang pria dengan pakaian kasual dan sederhana dengan rambut-rambut halus di bagian wajahnya, terlihat tampan dan gagah, ditambah dengan senyum ramah di wajahnya, terlihat juga tas abu-abu di punggungnya."Iya Tuan?" tanya Andira saat membukakan pintu untuk pria itu."Hm, aku Ibrahim, Martin Dailuna memanggilku datang ke sini, apakah aku datang di waktu yang tepat?" ujar pria bernama Ibrahim itu.Mendengar itu Andira memandang ke belakang dan berfikir apakah dia harus membawa pria bernama Ibrahim ini
Seminggu sudah berlalu, Nadira dan Randy sudah berada di rumahnya, Sarah pun sudah kembali dari luar kota. Tugas kampus Raisi sudah selesai juga dan Martin pun sudah merasa baik-baik saja.Ibu Andira juga sudah baikan, dokter pun mengatakan bahwa ibu Andira sudah dibolehkan pulang. Namun tidak baik membiarkan sang ibu berkerja di usia yang sudah tua dan sakit-sakitan.Terlihat keluarga Dailuna lengkap melaksanakan sarapan pagi. Dan Andira berada dalam kamarnya, sesekali menatap keluarga lengkap milik Dailuna, bahagia tanpa cacat.Andira begitu rindu dengan keluarganya, walau sangat sederhana tapi membahagiakan, ayahnya pun tidak seperti Martin yang agak tempramen dan diam-diam sudah mengungkapkan perasaannya pada Andira.Batin Andira merasa resah jika memang Martin menyukai dirinya dan jatuh cinta padanya, maka dia akan menjadi perusak dalam keluarga besar Dailuna, apalagi Andira hanya menyukai Raisi
"Bagaimana? Sudah memutuskan untuk mengikuti lomba itu atau tidak?" tanya Martin pada Andira yang berdiri tepat di hadapannya."Aku tidak tahu Tuan, aku masih bingung," jawab Andira."Tidak tahu? Kenapa? Tidak, lombanya sebentar lagi, kau harus memutuskannya, kalau tidak buku kamu akan selalu menjadi milikku," ujar Martin."Tapi Tuan...""Tapi apa?" Martin mulai berdiri dan berjalan ke arah Andira.Dia berdiri tepat di hadapan Andira, jarinya mengangkat dagu Andira dan wajah Andira kini menatap Martin sepenuhnya."Aku tidak mau tahu, pokoknya kau harus mengikuti lomba ini, apa kau hanya akan terjebak di sini sebagai seorang pembantu? Atau akan mengepakkan sayap-sayapmu menunjukkan bakat tersembunyi mu, Andira, ini hanyalah permulaan untuk bisa menunjukkan bakat terpendam kamu," ucap Martin, mata di balik kacamatanya mampu membuat Andira tak dapat berkata-kata.Martin kembali menurunkan tangannya dan kembali berjalan ke tempat duduk da
"Sarah, kau tahu aku tidak pernah mencintaimu, aku tidak pernah menginginkanmu. Kau bisa keluar dari sini," ucap Martin yang sekali lagi mengiris hati Sarah.Sarah yang merasa sangat kecewa dengan Martin lalu pergi dari sana, dia dengan keras membanting pintu kerja Martin.Martin seakan tak peduli dengan perasaan Sarah, dia hanya diam saat Sarah membanting pintu ruang kerjanya.Saat makan malam pun, di sana tak terlihat Sarah, membuat anak-anak Martin bertanya-tanya."Pa, Mama dimana?" tanya Randy, saat akan memulai mengunyah makanannya."Dia keluar sebentar," jawab Martin."Aku lihat Mama keluar sambil membanting pintu ruang kerja Papa," ucap Nadira, membuat Andira yang masih menyiapkan makanan di piring milik Martin langsung terdiam."Mama marah Pa?" tanya Raisi.Mendengar itu membuat Andira agak merasa gugup dia me
"Kau darimana saja?" tanya Martin saat seorang wanita membuka pintu kamarnya, Martin terlihat menampakkan wajah datarnya dan rasa sedikit kesalnya. Namun pertanyaan itu sama sekali tidak dijawab oleh Sarah.Sarah hanya berjalan mencari pakaian tidur di dalam lemarinya tanpa menjawab pertanyaan Martin."Kau tahu, anak-anak menanyakan kamu saat makan malam," ucap Martin lagi namun diabaikan oleh Sarah. Melihat Sarah yang tak bereaksi apa-apa membuat Martin terlihat kesal."Sarah!"Martin mulai berteriak dan membangunkan badannya dari tempat, dia kini berdiri melotot pada Sarah. Wajah merahnya mampu membuat Sarah melawan tatapan yang sama tajamnya pada Martin."Aku dari tadi bicara padamu, jangan lakukan itu lagi, jangan pergi saat aku tidak tahu jawaban apa yang aku harus berikan pada anak-anak!" ujar Martin, matanya nanar memandang Sarah."Aku tidak akan melakukan itu lagi, sekarang tenanglah, aku akan tidur di kamar tamu, kau bisa berada di
"Raisi?"Mata Martin terlihat heran melihat keberadaan Raisi."Apa yang Papa udah lakukan sama Mama?" tanya Raisi dengan lantang pada ayahnya."Apa yang bisa Papa lakukan sama Sarah?" tanya Martin balik."Mama bermalam di kamar tamu, sedang Papa bertanya apa yang Papa bisa lakukan pada Mama?"Martin mulai merasa kesal dengan apa yang dilakukan Raisi, dia mulai berdiri dan berjalan ke hadapan Raisi, dengan tatapan yang tajam.Raisi yang berdiri di hadapan sang ayah juga menatap Martin dengan sangat tajamnya."Berani sekali kau masuk ke dalam kamarku dan berniat untuk menantang ku, dan apa ini? Apa maksud dari tatapan ini?" tanya Martin dengan menatap Raisi dengan sangat tajamnya."Pa, sudah sangat lama kami diam karena Papa yang selalu berlaku keras pada kami, sekarang aku tidak mau melihat Mamaku dengan wajah bersedih lagi, Papa sudah menyakiti hatinya berkali-kali!" ujar Raisi dengan melotot pada sang ayah. Martin sendiri mula
Mata Martin dan Raisi menghadap ke arah Sarah. Tangan yang menggenggam kerah baju Raisi kini terlepas."Apa yang kalian lakukan? Kenapa kalian seperti ini? Suara kalian bahkan terdengar hingga ke bawah, Randy, Andira dan Nadira juga terbangun, ada apa dengan kalian?" ujar Sarah, matanya menatap heran kedua orang yang paling penting dalam hidupnya.Martin menghela nafas dan mencoba mengatur nafasnya. Dia memundurkan dirinya dan agak berjarak dengan Raisi."Bawa putramu ini keluar dari kamarku," ucap Martin dan mempersilahkan Raisi keluar dari kamarnya.Raisi yang saat itu juga sangat marah pada Martin menatap Martin dengan tatapan yang penuh dengan kebencian."Ayo Raisi, kita keluar," kata Sarah, dia menarik pelan tangan Raisi dan membawa anaknya keluar dari kamar Martin.Sarah menggandeng putranya, terlihat Nadira, Andira, dan Randy berada di ruang utama, mereka melihat Raisi yang saat itu pipinya memerah bekas tamparan Martin.Mata A