Sikap tenang walau sedang marah selalu di nampak kan oleh pria berkacamata ini, pria yang memiliki wajah kharismatik namun selalu bersikap dingin.
Martin Dailuna, dia marah karena baru saja seseorang mencuri uang miliknya, dan dalam benaknya muncul pertanyaan, bagaimana bisa seseorang mengetahui kode brangkasnya.Setidaknya itulah yang dipikirkan Martin. Pria berkacamata itu kembali duduk di kursinya dan masih berfikir, tidak mungkin seseorangnmengetahui kodenya sedang istrinya saja tak tahu kode milik Martin.Uang yang disimpan Martin itu adalah uang untuk pegawai rumahnya, mulai dari pembantunya, tukang kebun, sopir pribadi anak-anaknya, hingga satpam di rumahnya.Walau Martin berfikir keras dia tidak menemukan kemungkinan siapa yang mencuri uangnya, tidak mungkin pekerja rumahnya, mereka mana ada yang berani, dan tidak mungkin keluarganya sendiri. Lama terdiam, Martin memilih untuk menunggu hingga makan malam dimana keluarganya akan berkumpul. Dia akan mendiskusikannya setelah semua keluarganya datang.Jam 7 malam, semua sudah berkumpul di meja makan termasuk Martin dan untuk pertama kalinya dari sekian lamanya Raisi ikut makan malam.Tatapan Martin terus saja menatap ketiga anak-anaknya. Mulai dari Randy yang paling bungsu, lalu Nadira, dan Raisi yang saat itu sedang fokus memandang ke arah dapur, tempat Andira selalu berada.Martin menyadari itu, dan tahu bahwa putra sulungnya juga menyukai gadis yang sama dengannya.Sarah istri Martin juga sangat menikmati makanannya, melihat keluarganya lengkap dan tidak kurang satupun.Martin yang sudah tidak sabar ingin mengetahui siapa pencuri uang miliknya, kemudian menarik nafas panjang dan menghembuskannya, lalu ia berkata, "Papa hari ini kehilangan uang di dalam brangkas milik Papa di ruang kerja, siapa diantara kalian yang tahu sesuatu," ucap Martin, membuat keluarganya seketika berhenti mengunya makanannya."Uang Papa ada yang curi?" tanya Raisi, matanya membulat menghadap Martin."Kenapa bisa?" tanya Sarah.
Randy dan Nadira hanya terdiam, namun Nadira sedikit terlihat gugup dan tubuhnya merasakan keringat dingin membasahi nya."Sudah saya bilang dari dulu kalau kau harus memasang cctv di ruang kerjamu namun kau tidak pernah mau memasangnya," ujar Sarah, dia seperti menyalahkan Martin akan apa yang terjadi."Apa Papa yakin uang Papa hilang?" Pertanyaan Randy yang mampu membuat Martin mengerutkan dahinya."Sekali Papa bilang hilang itu berarti hilang Randy!" Martin mulai mengeraskan suaranya."Eh, aku melihat pembantu muda itu keluar dari ruangan Papa saat aku akan ke kamar Randy," ucap Nadira tiba-tiba. Dia menjadikan Andira sebagai kambing hitam akan aksinya."Apa yang kau lakukan di kamarku?" tanya Randy yang tiba-tiba terkejut mendengar Nadira masuk ke kamarnya."Aku masuk untuk mengambil tempat pensilku yang kemarin kamu pinjam," jawab Nadira. "Sudah! Panggil Andira kemari!" Suara Martin tiba-tiba membesar."Andira!" panggil Sarah, suaranya terdengar keras dan agak kasar memanggil Andira.Terlihat mata Sarah penuh kemarahan. Dia juga berfikir bahwa Andira yang mencuri uang Martin.Dalam sesaat Andira datang dengan rasa gugupnya, berhadapan dengan keluarga Dailuna membuatnya sangat ketakutan. Andira berdiri tepat di samping Sarah, dia terlihat agak ketakutan."Iya Nyonya, kenapa memanggilku?" tanya Andira dengan nada pelan sambil menundukkan kepalanya.Mata Martin langsung menatap wajah lugu milik Andira, hatinya merasa bahwa tidak mungkin gadis selugu dan selembut Andira mampu mencuri di tempat yang baru dia datangi. Hingga mata Martin tersangkut pada Raisi yang juga memandang Andira dengan tatapa tulus seperti tatapan yang dimiliki Martin untuk Andira."Katakan apa yang kau lakukan di ruang kerja Martin?" tanya Sarah dengan nada tegas.
Mendengar itu Andira agak gugup, namuntetap menyawab dengan tenang, "Akumembersihkan ruangannya, kata ibuku aku juga harus membersihkan ruangan Tuan Martin," jelas Andira tanpa terbata-bata."Katakan yang sebenarnya apakah kau yang mencuri uang milik Martin ha?" tanya Sarah sekali lagi. Martin hanya diam menatap Andira dengan tatapan tenang. Dan ketiga anak Martin juga hanya diam. Namun Nadira sedikit ketakutan, Randy terlihat biasa-biasa saja dan Raisi dia terlihat sangat kasihan pada Andira.Sebelum menjawab pertanyaan Sarah, Andira menelan ludah beberapa kali. Sesekali ia menatap kearah keluarga Dailuna, kemudian matanya tersangkut pada Nadira yang menyuruhnya keluar dari ruangan Martin saat ia membersihkan ruang kerja Martin."Aku tidak mencurinya Nyonya, sumpah demi ibuku, aku tidak pernah mencurinya," jawab Andira matanya berkaca-kaca.Dia melihat tatapan kasar dari Nadira dan juga Sarah, tatapan tulus dari Raisi, dan tatapan menakutkan yang selalu menakutkan tatapan mata di balik kacamata milik Martin."Bagaimana kalau aku menggeleda kamar tidurmu?" Martin tiba-tiba bertanya, nada bicaranya seperti sangat tenang. Mendengar ucapan Martin semua setuju. Andira pun merasa tidak keberatan karena dia tidak mencuri."Aku saja yang menggelada kamarnya Mart," ucap Sarah."Aku sendiri yang akan menggeledanya Sarah, aku akan menggeledanya sekarang. Dan anak-anak setelah sarapan kembali ke kamar kalian, kau juga Sarah!" ujar Martin, sesuatu bermain di kepalanya, mungkin ini adalah kesempatan untuknya masuk ke dalam ruangan dimana Andira juga berada di sana."Baiklah terserah kau Mart, aku juga akan keluar, ada pesta pembukaan restoran milik Arfin malam ini," balas Sarah. Ucapan Sarah membuat Martin terkejut, dan juga merasa kesal. Inilah kenapa dia tidak pernah jatuh cinta pada Sarah, karena sikap Sarah yang suka pergi tanpa sadar bahwa dia sudah punya keluarga.Martin berdiri dari tempat duduknya, anak-anaknya pun kembali ke kamaranya. Raisi juga sangat khawatir pada Andira dan Nadira yang merasa gugup, kalau-kalau ayahnya tak menemukan uang di kamar Andira.Sedangkan Andira dia merasa sangat ketakutan pada pria yang selalu memiliki tatapan misterius yang menakutkan.Ya dia tahu siapa yang membawa Andira, dan anehnya sesuatu menjadi lebih muda baginya, tak ada pengawal sementara Martin memegangi senjata api di tangannya walau dia terlihat terluka di kepala, dan beberapa darah yang mengalir di tangannya, ya sebelum Ibrahim berhasil dijatuhkan oleh Martin, Ibrahim berhasil menyerang Martin dengan irisan balok yang membuatnya terluka. Di sisi yang lain, Martin membuka satu-persatu pintu ruangan yang ada di labirin, sampai akhirnya dia tidak menemukan pintu apa pun, hanya dinding kasar di sekelilingnya, dan yang membuatnya merasa bingung adalah di mana semua orang? Martin tak menemukan siapa pun, tapi dia bisa melihat tanda ayang dia tahu bahwa yang melakukannya pasti Nigel, untuk menjebak Martin, walau Martin paham akan jebakan itu, dia tetap mengikuti pola petunjuk yang dia tidak tahu akan membawa dia ke mana, hanya saja tak ada pilihan lain. "Martin." Langkah kaki Martin terhenti, dia mendengar sesuatu, di belakang, di depan, di samping, lalu s
Rasa lemas menjalar di sekujur tubuh Martin, dia tidak menyangka bahwa Nigel akan sejauh ini, gadis yang selalu bersamanya yang Martin pikir Litzia telah menjadi gadis yang penting bagi Nigel ternyata saat mencoba membalas dendam dan ambisi gadis itu tidak lain hanyalah sekedar hiburan bagi Nigel. Mata Martin redup, dia kebingungan bagaimana harus merespon apalagi rasa panas dikarenakan cahaya lampu yang langsung mengarah kepadanya membuatnya merasa terganggu. Dia meremukkan rambut-rambut nya yang kusut, dan saat mencoba untuk fokus, dia menemukan sesuatu berada di tangan Litzia, gadis itu menggenggam sesuatu, Martin yang merasa apa yang digenggam Litzia penting langsung meraih tangan gadis itu dan membuka telapaknya, di sana terletak kertas yang mungkin berisikan informasi. Tulisan yang Martin tahu bukanlah milik Litzia melainkan milik Nigel, ya jelas kertas dengan tinta yang ditulis Martin dan berisikan, "Putramu dan Andira selanjutnya, oh ya astaga kau tidak akan menemukan putra
Bibir Martin terbuka, dia merasa heran siapa yang mungkin yang telah membukakan pintu untuknya, dan kenapa pintu ini bisa terbuka sendiri. Sia menelan saliva berkali-kali tapi dia tidak bisa diam, ya dia tidak seharusnya seperti ini, dia mengepalkan tangan dengan kemarahan yang luar biasa, pada Nigel, Ibrahim dan sedikit rasa kecewa dan kebencian terhadap Andira, atau dia sedang berusaha untuk membenci gadis itu. Tapi sebelum semua itu harus diselesaikan olehnya, dia berusaha untuk menemukan putranya terlebih dahulu, di mana Raisi, dan kenapa semuanya terlihat kacau, kenapa Tidka ada penjaga dan pintu ruangannya sendiri, sel yang dia miliki sendiri yang seharusnya menjadi tempat dia tertahan kini terbuka. Tapi semua itu tidak penting, Martin dia mencoba untuk melangkah pergi, tetapi dia tidak dengan tangan kosong, di dalam saku-saku celananya dia menyimpan pecahan beling yang dia hancurkan sebelumnya dan akan menjadikannya sebagai pertahanan atau cara untuk melawan. Sayangnya dia
Litzia mencoba menyelematkan siapa pun yang bisa dia selamatkan setelah dia berhasil membantu Raisi, yang entah apakah Raisi berhasil keluar dari labirin rumit yang telah dibangun oleh Nigel selama ini atau usaha mereka hanya akan menjadi boomerang. Dia memastikan bahwa Ibrahim mengetahui rencana Nigel untuk menghabisi mereka semua di tempat itu, sehingga mungkin dalam sesaat dia ingin menyelamatkan semuanya, termasuk Andira, tetapi sebelum itu, dia harus memastikan bahwa Martin tiada di tangannya. Di sisi yang lain Litzia, dia membuka pintu demi pintu, labirin yang begitu membingungkan, dia tidak bisa menemukan di mana kamar Martin, atau di mana sel Martin disembunyikan, langkah demi langkah dia berusaha untuk dapatkan hingga akhirnya dia menemukan satu ruangan yang tak terjaga, cukup jauh dan firasatnya berkata, mungkin itu adalah Martin. Langkahnya menuju sel itu cepat, dan menemukan seseorang yang bersandar tanpa semangat hidup duduk di lantai. Litzia hanya dapat melihat pria i
Beberapa Saat Sebelumnya "Pergilah, kau tidak punya waktu, kau harus meninggalkan tempat ini atau Nigel akan menghabisi mu di hadapan ayahmu. Dia akan mempermainkan Malian berdua sebelum akhirnya mengakhiri semuanya." Dia mencoba membuka gelangan borgol di tangan Raisi sementara Raisi yang terlihat dengan wajah berantakan, darah di sisi wajahnya, dan rambut yang terlihat tak terawat itu memandang bingung. "Bagaimana kau mendapatkan kunci itu ... Astaga kau membahayakan dirimu sendiri Litzia." Raisi menghentakkan tangannya seolah menolak bantuan Litzia tapi gadis ini mencoba untuk tetap membantu Raisi. "Kau tidak tahu bahwa Nigel adalah monster dan dia akan menghabisi kalian, kau, Martin, Andira, semuanya, bahkan Ibrahim tangan kanannya sendiri akan mati di sini jika tidak pergi." "Andira?" Raisi menelan saliva, dia gemetar. "Ya." "Tidak." Raisi yang kedua tangannya sudah terbebas dari borgol itu menggelengkan kepala, "Aku tidak mau meninggalkan Andira. Bawa aku padanya dan akan
Semua tampak jelas, Martin melihat segalanya dalam kesunyian yang tak terhentikan, dia merasa bahwa hidupnya akan selalu seperti ini, menderita. Dia mendapatkan apa yang dia inginkan, Andira, tapi dengan biaya sebesar apa? Dan kini, di mana gadis itu? Di mana putranya? Dan demi keinginan yang ia hasratkan semuanya berakhir kacau, dia terjebak di dalam neraka yang abadi. Nigel menghentakkan kepala Martin dan membiarkan dia tergelatak di dalam sana, kini adalah rencana selanjutnya tapi kapan dia akan melakukan rencana selanjutnya? Oh ya dia akan mempermainkan Martin lebih lama, lebih parah, San jauh lebih menyakitkan sebelum pada akhirnya mengakhiri hidup Martin Dailuna. Di sisi yang lain, Ibrahim tak sanggup menahan amarah dendam yang ingin segera mengakhiri hidup Martin, menghancurkan dinasti Dailuna selamanya. Tetapi semua itu berada di tangan Nigel yang memiliki lebih banyak anak buah. "Apa lagi yang kau tunggu?" Ibrahim bertanya, dia tak sanggup menahan diri untuk segera mengakh