Share

3. Janji

Menyeka peluh dan air yang telah menjadi satu di dahinya. Ilena mendongak, pintunya ternyata masih tertutup.

Lelah dan dingin.

Bangkit dari pojok kamar mandi tempat ia terkurung sekarang, anak itu memegang dinding sebagai penyangga saat kepalanya terusa pusing dan tubuhnya yang lemas bukan main.

Memijit dahinya yang berdenyut-denyut, Ilena mengarahkan tangannya ke depan wajahnya saat merasakan sesuatu.

Darah.

Pasrah, anak itu kembali duduk di atas kloset, tubuhnya yang basah kuyup dan kepalanya yang tak berhenti mengucurkan darah membuat anak itu mengalah.

"Ma ...."

"Sakit." lirih anak itu nyaris tak terdengar. "Tuhan ... Ilen pasti kuat."

Anak itu merintih pilu pada Tuhannya.

Mengadukan takdir yang entah mengapa begitu buruk. 

Ceklek!

"Sakit?" tanya seorang wanita dengan dress berwarna merah ketat dan high heels membuka pintu kamar mandi. Bibir merah menyala milik wanita itu menipis, dengan mata yang menatap tajam.

Ilena mendongak. "Kepala Ilen berdarah, Ma."

Fani, wanita dengan dress ketat yang di panggil Mama itu terlihat bingung, lalu melembutkan pandangannya, memapah Ilena keluar menuju kamar.

"Siapa yang lukain kepala kamu, sayang?" tanyanya khawatir saat memberi perban di dahi Ilena. "Mama akan tuntut dia!"

Mama.

Mama yang lukain aku ....

"Ilena cuma kepleset, Ma. Dan pintunya enggak sengaja ke kunci." tutur anak itu menatap ibunya.

Fani menaruh kotak obat ke lemari, mengelus kepala anaknya dengan sayang setelahnya. "Ya udah, besok Mama bersihin lagi kamar mandinya."

"Mimpi indah anak kesayangan Mama."

Wanita paruh baya itu mengecup dahi Ilena, berjalan keluar kamar, Fani tidak sengaja tersandung high heelsnya sendiri.

Menjatuhkan sebuah foto dari nakas di sampingnya.

"Mas Ibra ..."

"Mas Ibra!!!" Fani seketika meraung. "Mas, kamu kapan pulang?"

"Gak mungkin!!" mengelus bingkai foto dirinya, Ilena dan satu pria yang sangat di sayanginya Fani memekik.

Ilena yang mendengar teriakan Ibunya bergegas menuju pintu kamarnya, lalu menguncinya dengan rapat.

Bersandar di pintu. Ilena sekali lagi menangis.

Bunyi berbagai pecahan dan benturan yang berkolaborasi di luar sana membuatnya menutup telinga. 

Setelah itu menutup mulutnya saat ketukan high heels terdengar mendekat. 

"Ilena sayang, Papa enggak mungkin selingkuh, 'Kan?"

"Buka, Nak. Mama mau ngobrol sama kamu."  Ilena menutup mulutnya ketakutan.

Entah sudah berapa trauma yang anak itu punya, hingga ia tidak bisa menemukan jiwanya yang mungkin saja telah mati.

Fani mengetuk pintu kamar anaknya dengan wajah gila. Sesekali menangis, lalu tertawa.

"Mama udah bawa pisau, sayang. Ayo kita mati bareng, dunia ini terlalu kejam."

"Ilena!! Kamu dengar Mama enggak!!" suara-suara di balik pintu kamarnya perlahan menjadi teriakan-teriakan yang memekakkan telinga.

Bunyi pecahan dan benturan itu datang lagi. Ilena tidak berani beranjak selain memeluk lututnya, meringkuk ketakutan.

Hal-hal yang akan ia ingat sepanjang hidupnya.

Andaikan Ayahnya tidak berkhianat dengan menjijikkan. Ibunya pasti tidak seperti ini.

***

"Selamat ulang tahun, Ilena."

Nafta yang membawa sebuah kue dengan lilin angka dua belas melangkah mendekati Ilena yang duduk di kursi taman yang bernaung di pohon beringin besar taman belakang sekolah.

Ilena menoleh bingung. "Ulang tahun aku besok, Na."

Nafta tersenyum senang mendengar nama panggilan itu. "Lalu?"

"Apa masalahnya?" anak itu duduk di samping Ilena. "Aku ingin menjadi yang pertama."

"Mengucapkan saat tengah malam sudah terlalu biasa, Ilen."

"Ayo tiup lilinnya." Nafta mengangkat kuenya lebih tinggi. "Jangan lupa make a wish."

Sinar jingga dari matahari yang perlahan tenggelam serta angin sore yang menerbangkan anak rambut yang lolos dari kunciran kudanya yang mulai longgar, Ilena menutup matanya.

Merapalkan beberapa permohonan pada Tuhan.

Nafta melihat semuanya, bagaimana mata indah penuh luka itu menutup bersama pantulan sinar jingga yang menerpa setelahnya.

Angin yang berhembus lembut seolah tau, sosok indah di depannya sedang merapalkan doa.

Seolah angin sengaja menunggu untuk membawa doa-doa itu pada Tuhan.

Setelah Ilena memadamkan lilinnya, Nafta menaruh kue itu ke ujung kursi. Merapatkan tubuhnya pada sahabatnya.

"Kamu tahu? Ada yang sedang aku takutkan sekarang." Nafta merapatkan tubuhnya ke belakang, menaruh kepala di ujung sandaran kursi.

"Memangnya apa yang Nafta takutin?" anak perempuan kelas enam SD itu menatap sahabat laki-lakinya sembari membenahi kunciran rambutnya yang mulai turun.

"Kamu. Kamu pergi."

Ilena terdiam sesaat.

"Aku enggak akan kemana-mana, Na." sanggah Ilena tak suka dengan pembahasan anak laki-laki dengan netra legam itu.

Nafta memejamkan matanya. "Tidak ada yang tahu takdir Tuhan."

"Apalagi menentang."

Ikut merapatkan tubuhnya dan kepalanya di atas sandaran kursi taman, Ilena menatap Nafta dari samping.

"Aku enggak akan pergi dari kamu." timpal Ilena. "Dan seharusnya kamu pun begitu."

"Aku udah terlalu banyak kehilangan hal yang bahkan belum aku miliki." keluh anak itu.

"Ilen. Tuhan menyiapkan sesuatu yang indah untuk setiap makhluknya. Hanya saja, beberapa ujian akan diberikan untuk mendewasakan dirimu, dan membuatmu pantas menerima yang ia beri."

"Tapi, bukannya takdir Tuhan buatku terlalu kejam, Na?" tanyanya terseyum miris.

Ilena mengulum bibirnya, berpikir. "Keluargaku hancur sejak aku masih kecil. Ibuku gila, Tuhan bahkan enggak kasih aku kesempatan buat belajar tentang dunia ini dari kedua orang tuaku."

"Aku bahkan enggak tau bagaimana kondisi mentalku. Banyak hal enggak masuk akal yang buat aku takut, kepribadianku yang sebenarnya aku sendiri enggak tau." lanjutnya sambil menetaskan air mata dalam diam.

Ilena mentertawakan dirinya yang sangat berubah. Hari ini anak itu bisa saja terlihat humble, besoknya pemarah, dan esoknya lagi pendiam. Ia tak tahu mana yang benar-benar dirinya.

Atau ... Mungkin dia juga sudah gila?

Di depan sana, sinar jingga mulai meredup seiring sang surya yang tenggelam di garis cakrawala. Nafta memeluk anak yang begitu rapuh itu dengan satu tangan.

Menyaksikan satu lagi keindahan milik Tuhan yang diiringi keluhan takdir yang juga milik-Nya.

"Hidup ini tentang proses, Ilena." kata Nafta memainkan rambut Ilena yang berada dalam pelukannya.

"Jika kamu dibiarkan terus hidup dengan apa yang kamu mau, tanpa ujian sedikitpun, kamu yakin tidak akan tumbuh menjadi monster?"

"Bagaimana kamu akan mengerti konsep luka yang membawa sabar, ikhlas, dan juga kerendahan hati?" Nafta mengajukan pertanyaan bertubi-tubi.

Menyerang seseorang di sebelahnya yang begitu tidak tahu diri menyalahkan Tuhan.

"Luka selalu berdampingan dengan bahagia." tuturnya. "Begitulah cara Tuhan membentukmu menjadi dewasa. Agar kamu merasakan betapa bahagianya dunia ini saat luka-luka itu perlahan memudar bersama waktu. Walaupun bekasnya akan selalu ada, karena bekas itu adalah kasih sayang dari-Nya yang harus kau ingat sampai kapanpun."

Ilena termenung, kata-kata itu berputar-butar di kepalanya tanpa henti.

"Aku takut, Tuhan lakuin ini sama aku karena dia benci aku, Na." ujarnya pelan, menatap langit yang mulai menggelap.

"Tuhan bukan manusia yang membenci, buka manusia yang hedon, tendesius, penuh ambisi, dendam dan iri."

Ilena masih menangis, anak itu mulai terisak mencerna seluruh kata-kata yang bahkan keluar dari mulut anak berumur tiga belas tahun.

"Itulah gunanya ujian Tuhan, untuk menghilangkan sifat-sifat menjijikkan itu."

Akhirnya Ilena mengalah terhadap keadaan, anak itu memeluk pinggang sahabatnya erat, menangis di dada Nafta, mencari secuil kekuatan untuk hari esok yang ia tidak tahu apa isinya.

"Kamu harus janji buat enggak pergi, Na." katanya di dada Nafta. "Aku cuma punya kamu."

Nafta menyunggingkan senyum kecil. "Itu keinginan terbesarku. Rasanya aku ingin egois pada Tuhan, berjanji padamu dan menepatinya."

Anak tiga belas tahun itu belum terlalu dewasa untuk kukuh pada pendiriannya, labil memang sifat anak-anak yang tak bisa di hilangkan. Apalagi dalam situasi sulit tanpa jalan keluar yang bisa di lakukan.

"Ayo egois bersama." Nafta memancing amarah semesta. "Berjanjilah untuk jadi milikku suatu hari nanti."

Guntur serta langit yang menggelap seolah simbol bagaimana marahnya semesta, tapi dua anak manusia itu tampak tak peduli.

"Aku janji."

***

"Astaga tuan muda! Bagaimana anda pulang dengan basah kuyup begini?!" tanya Liana panik saat menemukan tuan mudanya pulang dengan bibir membiru, badan anak itu juga menggigil.

"Siapkan air hangat." titah Nafta lalu melangkah menuju ruang kerja ayahnya.

Membasahi koridor sepanjang langkahnya. 

Mendorong pintu setinggi tiga meter yang menimbulkan decitan cukup besar Nafta bisa melihat ayahnya yang duduk di dalamnya.

"Ayah, apa maksud dengan Yuka dan ayahnya kemarin?" tanyanya to the point.

Pandu melepaskan kacamatanya, menatap anaknya yang berdiri di bibir pintu dengan tubuh basah kuyup. "Masuk. Jangan jadi manusia yang tidak beretika."

Nafta melangkah maju dengan raut datar. Anak itu tampak dingin tak tersentuh.

"Bukankah sudah jelas?" Pandu membalikkan pertanyaannya. "Otakmu itu tidak terlalu bodoh untuk mengerti, 'Kan?"

"Aku tidak mau dijodohkan dengannya." ujarnya tajam.

"Jangan rusak persahabatan kami karena hal ini."

Pandu tertawa keras. "Bahkan anak itu menganggapmu lebih dari sahabatnya. Kamu hanya terjebak oleh anak miskin yang sangat kamu sayangi itu, sampai-sampai tidak peka dengan perasaaan Yuka."

Nafta mengepalkan tangannya. Bibirnya yang semakin pucat itu bergetar. "Jangan libatkan Ilena."

"Tapi sayang sekali. Aku harus melibatkan anak itu jika otak keras kepalamu itu tidak mau tunduk padaku." timpal Pandu cepat.

"Turuti aku, anakku. Atau kamu tahu dengan pasti akibatnya." ancam pria dengan jas hitam itu tak terbantahkan.

"Aku bahkan tidak yakin aku adalah anakmu." Nafta mendecih. "Bahkan jika aku adalah anakmu, aku merasa menyesal lahir ke dunia ini."

"Terserah padamu."

Pandu membungkukkan tubuhnya, menjejeri anak laki-laki tunggalnya, tersenyum miring. "Jadi, aku harus mengirim anakku atau anak miskin itu ke luar negeri?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status