Share

6. Cafe

"Hai, sendirian?" Ilena lantas menoleh, cafe yang ia datangi saat ini lumayan sepi, entah ada angin apa seorang pemuda bodoh menanyakan hal yang sudah ia tau jawabannya.

Menaikkan alis, Ilena menatap tajam. "Kita kenal?"

Pemuda itu sontak tertawa, lalu duduk di hadapan Ilena tanpa permisi. "Aldan, kamu lupa?"

Ilena tersentak saat nama itu membawa dirinya pada kenangan masalalu, naasnya kebanyakan bukan tentang Aldan, tapi yang lainnya. 

"Aku tidak terlalu ingat wajahmu." sahutnya, Aldan yang mengulurkan tangan sejak tadi terpaksa menurunkan tangannya karena tak kunjung disambut. "Pergi. Aku ingin sendiri."

"Oh, waw!" Aldan bertepuk tangan heboh. "Dimana Ilenaku yang manja?"

"I'am not yours!" bantah Ilena lantang, "Kita tidak punya hubungan apapun, baik dulu mau pun sekarang!"

"Jadi, pergi dari sini." katanya penuh penekanan, matanya memancar dingin, gertur tubuhnya juga terlihat waspada dengan tangan terkepal di atas meja. Aldan yang usir hanya terkekeh pelan lalu memesan makanan.

"Kamu sekarang bekerja dimana?" Aldan mengabaikan tatap wanita di hadapannya yang seperti ingin memakannya hidup-hidup.

Ilena benar-benar berubah, pikirannya. Aldan dan Ilena dulunya memang sama, sulit tertebak, kadang pemarah, kadang manja, kadang humoris kadang-kadang lagi dingin. Tergantung suasana hati mereka.

Tapi, dulu Ilena bisa dikenali sebagai sosok anak perempuan yang sangat bergantung, manja, dan pengertian. Dalam lingkaran persahabatan mereka, Aldan tentu pernah memperhatikannya.

Ilena mendengus. "Bukan urusanmu."

"Oh, jadi dokter? Waw! Selamat, itu impian kamu sejak dulu, Kan?" 

"Aku tidak bilang aku menjadi dokter sialan! Bagaimana kamu bisa tahu? Kamu stalker?" tuduhnya, Ilena curiga dan semakin waspada dengan pria di depannya, bagaimana pria itu bisa ta profesinya itu adalah hal yang mencurigakan.

"Wanita cantik tidak mengumpat, sayang." jawab Aldan menatap genit. "Bagaimana kalau kamu ganti kata kasar kamu dengan kata 'sayang'? Bukankah kedengaran manis?"

"Al—"

"Aku tentu tahu, itu impian kamu sejak dulu. Aku hanya heran, bagaimana orang miskin seperti kamu bisa kuliah di universitas elit? Lulus, dan bekerja di rumah sakit besar?"

Sontak Aldan menatap rendah Ilena sambil tersenyum meremehkan. "Kamu jadi simpanan siapa?"

Plak!

Tangan Ilena gemetar, wanita itu menggeretakkan gigi kuat-kuat. Cap tangannya tercetak jelas di pipi sebelah kanan Aldan. Beraninya pria itu merendahkannya.

Beberapa pengunjung cafe juga melihat ke arah mereka, suara tamparan yang menggema itu menarik perhatian banyak orang ternyata. 

Memegang sudut bibirnya yang terasa perih, senyum merendahkan milik Aldan tidak kunjung luntur, malah semakin menjadi. "Kenapa? Bukannya kamu dulu jadi mainannya Nafta? Aku bahkan yakin kamu tidak perawan sejak dulu."

"Oh, ya?" Ilena berbalik bertanya dengan kekesalan yang sudah bertumpuk. "Kalau aku tidak perawan, itu bukan urusanmu, Kan?"

"Atau ..." 

Ilena menjeda ucapannya lalu duduk mendekat pada Aldan, meraba leher laki-laki itu dengan seduktif. Jakun laki-laki itu bergerak naik turun seiring tangan lembut itu yang masih bermain di batang lehernya. "Ternyata kamu yang sudah tidak perjaka sejak dulu?"

Ilena memaki dirinya sendiri di dalam hati, saat tangan laki-laki itu menyambut tangannya ia merasa sungguh ternoda, sikapnya kini tidak ubahnya layaknya wanita penggoda. Namun, Ilena bukan wanita lemah yang menangis saat direndahkan.

"Bagaimana kalau kita saling membuktikan saja?" tanya Aldan menaikkan satu alisnya sambil tersenyum miring. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status