Share

2. Sumber Luka

Sejak bertemu Ilena setelah anak itu kembali dari kamar mandi bersama Yuka, Nafta merasa ada yang aneh dengan sahabatnya itu. Gelagatnya yang berbeda dari biasanya, membuat Nafta semakin curiga.

Anak laki-laki dengan poni hingga alis yang terbelah dua, serta piyama tidur berwarna biru itu berbaring di ranjang king size kamarnya yang bertema antariksa.

Jendela besar yang menampilkan lagit malam di luar menjadi satu-satunya penerangan yang ia inginkan, oleh karena itu ia mematikan seluruh lampu kamarnya.

Termenung dengan banyak hal dengan satu tema yang berputar di kepalanya. 

Ilena.

Entah sejak kapan, dunia Nafta berotasi pada Ilena. Suatu hari saat ia masih kelas tiga sekolah dasar, Ilena menjadi murid baru di kelasnya, sekaligus teman sebangku pertama dirinya sejak ia kelas satu. 

Sejauh itu, Nafta tidak mau duduk dengan siapapun, juga jumlah siswa yang ganjil membuatnya leluasa untuk duduk sendiri.

Namun, Ilena datang, wali kelasnya memaksanya untuk duduk bersama. Anta dan Aldan sudah menawarkan diri untuk duduk bersama salah satu dari mereka, tapi gurunya melarangnya.

Mengatakan Nafta butuh sosialisasi, padahal Ilena terlihat lebih pendiam darinya. Mungkin gurunya ingin keduanya berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat.

Sejak saat itu, Nafta memperhatikan Ilena yang susah berteman, pemalu juga beberapa lebam di tubuhnya yang silih berganti setiap hari.

Dan, setelah itu semuanya mengalir begitu saja, sampai hanya dalam tiga tahun Ilena mengikat Nafta begitu kuat dengan seluruh elemen kehidupannya yang membuat Nafta terpesona juga ingin terus di dekatnya.

Melindunginya.

Terutama dari keluarganya.

"Permisi tuan muda."

Seorang wanita paruh baya dengan pakaian pelayan menyapanya dengan sopan. Mansion dua tingkat bergaya bangunan khas Eropa milik ayahnya memiliki banyak pelayan, entah laki-laki atau perempuan, Pandu Randawa tak segan-segan mempekerjakan mereka untuk memberikan layanan terbaik untuk rumahnya.

"Guru piano anda sudah tiba, Tuan." beritahu pelayan pribadi Nafta dengan sopan di ujung ranjangnya. "Tuan besar memanggil anda menuju perpustakaan untuk belajar piano."

Nafta terdiam sejenak. Menegakkan tubuhnya yang sejak tadi bersandar di kepala ranjang, anak itu menyahut singkat.

"Aku mengerti." sahut anak itu lalu keluar dari kamarnya.

Sedangkan Liana, pelayan pribadi anak itu mematung, melihat perubahan tuan mudanya hari demi hari.

***

Nafta menyusuri lorong rumahnya yang tampak megah dengan tinggi lebih dari empat meter. 

Melangkah santai tanpa ekspresi.

Beberapa pelayan dan bodyguard yang ia lewati menunduk hormat.

Ceklek!

Seorang bodyguard mendorong pintu perpustakaan yang besar dan tingginya tidak bisa Nafta perkiraankan. Anak itu pun terlalu malas menghitungnya.

"Eh?"

"Yuka?" Nafta terhenyak saat salah satu sahabatnya itu sedang duduk di perpustakaan bersama Ayahnya dan satu orang pria dewasa yang tidak Nafta ketahui.

Dimana guru pianonya?

"Nafta anaknya om Pandu?"

"Kok orang-orang di sekolah enggak tau?" tanya anak itu heran. "Om?" toleh Yuka pada Pandu saat Nafta hanya melengos membuang muka ketika ia menghujaninya dengan berbagai pertanyaan.

"Dia anak ketiga om, sayang."

"Sekaligus pewaris perusahaan Randawa, karena dia anak laki-laki satu-satunya om." lanjut Pandu tersenyum kecil sambil menepuk pucuk kepala Yuka pelan.

Tak heran, Yuka selalu terlihat menggemaskan, kapanpun itu.

"O-oh ...." anak itu sedikit tergagap. Yuka menatap Nafta tidak percaya.

Ilena sangat beruntung, batinnya.

Yuka sangat tahu, Pandu Randawa adalah orang kaya. Dari mansion sebesar istana, hingga cerita-cerita ayahnya tentang seberapa banyak aset milik ayah Nafta itu yang tidak terhitung, Yuka tahu.

"Nafta, ini adalah om Prayuda, Prayuda Wardana, pemilik perusahaan Wardana yang sering ayah ceritakan." Pandu menarik tangan Nafta untuk lebih dekat dengan Yuka yang duduk di depannya.

Praduya, ayah dari Yuka yang ada di samping Pandu tersenyum hangat. "Halo."

Nafta hanya mengangguk singkat, sebagai respon sapaan dari teman ayahnya itu. 

"Pasti sering mampir ke restoran Y's Kan?" tanya Pandu. "Itu restoran yang di buat untuk Yuka."

"Perusahaan makanan terbesar di negara ini milik ayahnya Yuka." sambung Pandu, sedangkan Nafta hanya terdiam, mencerna suasana.

"Ayah senang kalau kamu bisa dekat dengan Yuka." 

Tepat sasaran.

Nafta peka. Dan Nafta tahu, tidak ada yang bisa menentang ayahnya.

"Om bisa aja." 

Yuka menutup wajahnya malu-malu. Pipi anak itu memerah.

"Aku memang dekat dengan Yuka." Tutur Nafta. Yuka yang mendengarnya semakin memerah. Rasanya senang sekali.

"Kami sahabat, tidak lebih." Nafta berbicara dengan datar. "Aku harap, ini bukan perjodohan."

"Karena aku tidak akan setuju."

Anak itu menyerang inti dari pertemuan ini. Menatap Yuka yang entah mengapa terlihat menyebalkan. Bukankah Yuka tau dengan sangat hubungannya dengan Ilena?

Lalu mengapa anak itu seolah sangat senang dengan pertemuan ini?

"Nafta!"

Pandu sontak membentak, Prayuda terlihat menahan amarah, dan Yuka yang menggigit bibirnya ingin menangis.

"Tapi Nafta ..." Yuka melihat Nafta di depannya takut.

"Yuka suka sama Nafta."

***

Sesampainya di toilet, Yuka menghempaskan tangan Ilena kasar. Melipat tangannya di depan dada, anak itu memasang wajah angkuh.

"Ilena enggak bilang sama Nafta tentang apa yang Yuka bilang tadi pagi, 'Kan?" tanya anak itu menyelidiki.

"Ya-yang mana?" Ilena gemetar ketakutan. 

Yuka menatap Ilena yang gemetar setelah ia mengunci dirinya dan Ilena bersama di sebuah bilik kamar mandi. "Yang Yuka suka Nafta! Kamu bilang enggak?!" 

"E-enggak."  sahut Ilena makin takut ketika Yuka membentaknya. "Kan, Yuka cuma bercanda?"

Sambung Ilena yang bahkan tidak yakin.

Yuka mengubah ekspresinya cepat, tersenyum ramah, anak itu menggandeng tangan Ilena lembut lalu membuka pintu. "Nah, Ilen memang pinter! Maafin Yuka, ya. Waktu itu sama tadi Yuka suma lagi marah sama kamu."

"Jangan sampai Nafta tau. Entar dia marahin Yuka." pinta anak itu memasang wajah sedih. "Ilena mau bantu Yuka, 'Kan?"

"Oke."

Ilena semakin tidak yakin.

***

Ilena mengurai rambutnya pagi ini. Jarang-jarang anak itu mengurai rambutnya jika Bukan Nafta yang melepas kuncir kudanya, lalu memainkan rambutnya tanpa kata bosan.

Anak-anak masih bergosip tentang dirinya, Fayara dan Nafta. Tapi mencoba tidak ambil pusing, Ilena berjalan santai menatap ke depan.

"Hai." sapa seorang anak laki-laki yang menjejerkan langkahnya saat sampai di koridor kelas empat.

"Ke kelas bersama?" 

"Oke!" sahut Ilena senang saat Nafta menggandeng tangannya menuju kelas.

Ilena merasa aman.

"Ngomong-ngomong kamu berbeda hari ini." Nafta memangku wajahnya di atas meja dengan satu tangan menghadap Ilena yang baru saja duduk di sampingnya. "Rambut kamu tidak di ikat?"

"Oh, enggak. Aku pengen coba gaya baru." timpal Ilena kikuk.

"Kamu bohong, 'Kan?"

Nafta menegakkan tubuhnya. Menyingkirkan rambut Ilena yang menutupi lehernya, anak itu dengan cepat menemukan alasannya.

Mengambil plester dari saku celananya, Nafta menempelkannya di leher Ilena, menutupi tiga garis merah, luka cakar yang cukup dalam.

"Aw!" Ilena meringis pedih, memegang tangan Nafta yang masih di lehernya, Ilena tanpa sadar memegang terlalu kuat sampai tangan itu memerah.

Nafta tidak peduli, rasa sakit itu tidak seberapa.

Mengelus luka yang sudah di tutup plester itu pelan, Nafta menarik tangannya lalu merengkuh Ilena ke dalam pelukannya.

"Ada lagi?"

"Apa?" 

"Lukanya." 

"Enggak ada, kok. Mama cuma cakar aku tadi malam. Ayah enggak pulang." jawab Ilena sambil tersenyum singkat. Mengeratkan tangannya pada tubuh Nafta yang pelukannya selalu terasa nyaman.

Anta dan Tara yang baru saja memasuki kelas melengos malas. "Oy! Kalau mau mesra-mesraan nikah aja sekalian!"

Anta menegur keduanya dengan sewot. Lalu mendorong dahi Tara yang menoleh ke arahnya tak mengerti. 

"Apaan sih?!" Tara memukul bahu teman sebangkunya itu.

"Eh, ngomong-ngomong kamu beneran pacaran sama Fayara, Naf?" tanya Tara setelah duduk di kursinya. "Bukannya Ilena?"

Anak kelas enam sekolah dasar itu menggantungkan pertanyaannya.

Yuka yang baru saja datang bergandengan Dengan Aldan, anak itu duduk di belakang Nafta, disusul Aldan yang duduk di sampingnya. "Lagi pada bahasa apa, nih? Yuka mau ikutan dong!"

Anak perempuan manis itu tersenyum cerita menatap ketiga temannya. 

Terutama Nafta yang menatapnya Jengah.

"Cuma lagi omongin kamu aja, kok." jawab Anta singkat.

Yuka mendelik sinis.

"Jadi gimana Naf?" Anta menatap Nafta dengan Ilena yang bersandar nyaman di bahunya.

"Apanya?"

Menghela napas pelan, menurunkan emosi, Anta berkata dengan kesal. "Fayara, bego!"

Yuka yang mendengar nama itu hanya terdiam. Menatap Ilena yang juga terdiam kikuk.

"Ya begitu."

"Begitu apaan, sih!" Tara memukul mejanya emosi. "Kalau ngomong yang jelas, dong!"

"Ilena adalah duniaku. Jadi, untuk apa sampah seperti Fayara?"

"Anak itu tidak punya harga diri."

***

Kantin heboh saat Nafta yang menggandeng Ilena di susul keempat lainnya.

Anak-anak yang bahkan masih memakai bedak bayi seperti topeng monyet itu berbisik-bisik dengan suara yang sengaja dikeraskan. Pandai sekali meniru orang dewasa yang hobi bergosip, atau memang bakat alami milik manusia.

Ih, gak tau diri banget, ya!

Dacar olang ketida! Padahal aku udah bilang!

Tapi bukannya Fayara yang keliatan bohong?

Ratu sekolah ini enggak mungkin gitu, lah!

Iya! Ilena aja yang gak tau diri!

Anak-anak itu menatap Ilena dengan tajam dan sinis, seolah siap mengulitinya hidup-hidup. Nafta menguatkan genggamannya.

"Dengar!"

Nafta yang berdiri di pintu kantin bersama Ilena dan empat sahabatnya mengambil seluruh atensi sehingga keadaan mendadak senyap.

Mendengar cacian untuk Ilena, tapi dirinya yang muak. Apalagi membandingkan sampah seperti Fayara dengan Ilena yang bahkan tidak ternilai.

"Jika kalian berkata Ilena tidak tahu diri. Kalian harus tau ratu yang kalian agung-agungkan itu tidak punya harga diri!"

Fayara yang baru datang bersama kedua temannya dari kelas lima itu memerah menahan malu.

"Nafta, kok kamu bilang gitu ke pacar kamu?" Fayara maju lalu melepas gandengan Nafta dan Ilena.

Anak perempuan dengan tubuh tinggi terawat, serta rambut bergelombang itu memisahkan Ilena dan Nafta, mendorong Ilena yang ketakutan sejak tadi.

Plak!

"Dasar kegatelan!" maki Fayara sambil menggenggam tangan Nafta yang telah menggeretakkan giginya emosi setelah anak Gubernur itu menampar Ilena.

Ilena menahan tangis saat perih tamparan itu serta cibiran anak-anak lain menyerangnya bertubi-tubi.

"Dengar." Nafta menekankan katanya pada Fayara sambil mengeratkan telapak tangannya yang di genggam Fayara sampai anak itu memekik sakit.

"Jangan menjatuhkan harga dirimu. Atau kau tidak akan pernah dihormati sebagai perempuan." Nafta melepaskan tangan Fayara yang sudah memerah dan anak itu pun sudah menangis keras.

Mata anak itu seketika melembut saat mengelus pipi Ilena yang memerah.

Membuat dua anak perempuan yang ada di sana patah hati.

"Kamu bisa memaksa untuk menjadi kekasihku." Anak itu menyembunyikan Ilena di belakangnya lalu berkata dengan tajam.

"Tapi kamu harus tau. Ilena akan menjadi istriku, bagaimanapun caranya."

***

"Baik anak-anak, minggu depan kita akan try out kedua untuk pesiapan US (Ujian Sekolah)." Bu Aina, guru matematika sekaligus wali kelas Nafta menatap anak-anak didiknya.

"Ibu harap, kalian semua lulus dengan nilai yang memuaskan."

"Hari ini Ibu tidak memberikan pelajaran. Ibu hanya ingin kalian menuliskan cita-cita dan impian kalian di masa depan di selembar kertas, lalu kumpulkan ke meja Ibu."

Guru yang masih muda itu memberikan lembaran-lembaran kertas folio pada masing-masing siswanya. "Ibu akan rapat untuk membahas UN kalian."

"Ibu permisi."

"Kalau aku pengen jadi bos, dong!" seru Anta sesaat setelah Bu Aina keluar. "Biar bisa nyuruh-nyuruh tapi enggak bisa disuruh!"

"Otak cuma sejengkal gitu mana bisa." timpal Tara. "Paling juga nanti jadi pemulung."

"Sembarangan!"

Aldan tergelak. "Kalau aku mah jadi apa aja juga enggak apa-apa." sahut anak itu masih tertawa.

"Apalagi kalau jadi presiden. enggak apa-apa banget!" sambungnya membuat seisi kelas riuh dengan suara tawa.

"Ilen mau jadi dokter aja, hehehe ..." Ilena terkekeh kecil. "Biar bisa obatin orang-orang yang sakit."

"Memang cuma Ilena yang paling normal." Yuka mengetuk kepala Aldan yang tidak berhenti tertawa. 

"Kalau aku pengen jadi tuan putri, aja." Yuka memasang wajah bodoh.

"Tenang! Kamu selalu jadi tuan putri di hatiku, kok." goda Aldan pada gadis anggun juga manis yang mendapat siulan-siulan dari anak-anak lain.

Yuka tersenyum malu. Namun, tidak juga senang.

Anak itu hanya mencoba terlihat anggun seperti etika-etika yang diajarkan di keluarganya.

Nafta hanya diam memperhatikan sambil memaikan jari-jari Ilena. Otak anak itu sedang berpikir jauh.

Tentang ayahnya dan Yuka.

Tentang Ilena dan keluarganya.

Tentang dirinya dan Ilena.

Sesaat anak itu takut. Takut akan kata pergi dan perpisahan diantaranya dan Ilena, juga tentang kebersamaan mereka kini yang bisa saja menjadi kenangan kapanpun ayahnya ingin.

"Nafta kok bengong?" Ilena menepuk pundak anak itu membuatnya tersentak.

"Tidak. Hanya sedang memikirkanmu."

Aldan memangku wajahnya di atas meja. "Ah, so sweet!!"

"Dunia milik berdua. Ya, gak?" timpal Anta yang dilanjutkan Tara. "Yoi, kita yang ngontrak, mah bisa apa?"

"Jadi, kapan kita akan menulis?" Nafta membuat seluruh kelas terdiam, satu persatu anak mulai menulis di kertasnya.

Tidak lagi menjadi pusat perhatian, Nafta menyunggingkan senyum kecil.

"Sepertinya aku suka kamu." bisik Nafta di telinga Ilena pelan.

***

Nafta membawa Ilena bersamanya untuk pergi berdua ke taman bermain yang tak jauh dari sekolah, berdua.

Walau bisa menggunakan supir pribadinya sesuka hati, Nafta memilih berjalan kaki.

Anak itu tidak keberatan, asal bersama Ilenanya.

Ya, Ilenanya.

Beberapa orang bilang, laki-laki akan lebih cepat mengerti tentang cinta di banding wanita.

Nafta belum terlalu mengerti, di usianya sekarang anak itu hanya menafsirkankan rasa nyaman dan rasa-rasa lain saat bersama Ilena itu sebagai rasa suka, sayang. 

Begitupun dengan Ilena yang bahkan lebih tidak mengerti apapun. Ia dan Nafta saling menyayangi sebagai seorang sahabat, pikirnya.

Bergandengan di bawah langit biru, dua anak yang tanpa sadar sudah saling membutuhkan, saling menggantungkan satu sama lain itu sesekali tertawa bersama.

Tanpa tahu, takdir Tuhan punya rencana yang indah, tapi juga menyakitkan.

Entah melalui perpisahan atau kehilangan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status