Share

4. Rahasia

Ilena mengetuk pintu kelasnya, waktu menunjukkan pukul setengah delapan, berarti bel sudah berbunyi tiga puluh menit yang lalu.

Padahal hari ini adalah minggu pertama bulan mei, di mana ujian sekolah sedang di laksanakan. Anak perempuan dengan kuncir kuda itu memegang lututnya sambil terengah-engah.

"Kenapa kamu terlambat?" tanya Bu Aina saat Ilena sampai di depan kelas.

Semua murid menatapnya penuh tanya, terutama Nafta yang menatap khawatir dan marah.

"Maaf, Bu. Saya tadi sempat kecelakaan di jalan." jawabnya sambil menunjukkan beberapa goresan di lutut dan sikunya.

Bu Aina sedikit heran, menggelengkan kepala, guru yang masih single itu mempersilakan Ilena duduk.

Luka tadi pagi, tapi ... Luka itu tidak kelihatan segar, beberapa sudah mengering.

Murid-murid mengerjakan soal-soal dalam senyap, detik-detik terakhir mereka di sekolah dasar tak terasa sudah semakin sedikit, waktu terus saja menghitung tanpa jeda.

Nafta meremas kertas kosong untuk coret-coretan yang masih putih bersih di tangannya setelah menyelesaikan soal terakhir.

Anak itu berdiri, menimbulkan bunyi deritan hasil gesekan kursinya dan lantai yang membuat seluruh atensi kelas sesaat beralih padanya, lalu kembali normal.

Anak itu menjadi yang pertama keluar kelas.

Menimbulkan efek yang luar biasa bagi anak-anak lainnya, seperti tergesa-gesa untuk keluar juga.

"Baik, Ibu harap nilai kalian semua memuaskan, ibu permisi." Bu Aina membubarkan kelas tiga puluh menit kemudian saat gerombolan murid terakhir termasuk Ilena mengumpulkan kertasnya.

Ilena sebenarnya telah menyelesaikan soal-soalnya tepat setelah Nafta meninggalkan kelas.

Ia hanya takut dengan pandangan sahabatnya itu sesaat sebelum ia keluar. 

Pandangan yang terlalu mengintimidasi, membuatnya takut.

Anak itu melangkah cepat ke arah atap lantai tiga, menoleh kanan kiri kalau saya Nafta melihatnya.

Ia harus bersembunyi, atau akibat akan buruk, pikirnya.

Menahan perih di seluruh kulit persendiannya anak itu sedikit meringis saat menaiki tangga terakhir lalu membuka pintu rooftop. Angin langsung menyapa, menerbangkan rambutnya pelan.

Duk!

Nafta yang sedari tadi mengikutinya diam-diam mendorong Ilena hingga menghantam pintu yang baru saja Ilena tutup, setelah itu Nafta membuka pintu pelan dan menguncinya.

Ilena ingin mundur dan kabur saat melihat Nafta yang menatapnya datar. Memutar handle pintu anak itu semakin takut saat pintu itu terkunci.

"Kamu kemana, hm?" tanya anak itu berdehem singkat. "Kenapa menghindar?"

Nafta meletakkan tangannya di dinding samping kepala Ilena saat sahabatnya itu ingin pergi dari samping.

"A-aku—"

"Bukankah kamu sangat tau diriku dengan baik, Ilen." ujar anak laki-laki itu menggeram marah. "Jangan berpikir untuk pergi atau kamu tahu dengan pasti apa akibatnya." ancamnya memotong perkataan Ilena.

Anak laki-laki tiga belas tahun itu memandangi Ilena tajam, seakan siap mengulitinya hidup-hidup.

Ilena suka segala hal tentap Nafta padanya, kecuali satu hal. Yaitu saat sahabatnya itu marah.

Nafta sangat benci jika ada suatu hal tentangnya yang tidak diketahuinya, itu membuat Ilena yang memang sudah menggantungkan hidupnya pada anak laki-laki itu tak pernah menutupi apapun.

Dan pagi tadi, sejak pukul enam anak itu menunggu Ilena di gang rumahnya seperti biasa, anak itu menggila saat hampir satu jam ia menunggu di dalam mobil bersama supir pribadinya namun anak perempuan yang rambutnya sering di ikat kuda itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya.

Sopirnya yang sudah cerewet sejak tadi membuat anak itu bertambah geram dan memilih memberi perintah untuk melajukan mobilnya ke sekolah.

Dengan kepala yang hampir pecah oleh amarah.

Maju selangkah, Nafta semakin memojokkan Ilena dengan tubuh mereka yang bahkan tanpa jarak, fokus Nafta hanya pada mata Ilena yang menatap kesana kemari menghindari matanya.

Ilena yang semakin terpojok gemetar ketakutan.

Nafta memang tak mungkin melakukan kekerasan padanya, tapi tatapan dan perbuatan sahabatnya itu lebih menakutkan dari itu.

"Bukankah kamu harus menatapku saat bicara?" 

Nafta mengangkat dagu Ilena paksa sambil menekankan kata-katanya. 

Ilena sontak menutup matanya, berkata dengan gemetar. "A–aku ... enggak kemana-mana."

Katanya, memunculkan rahasia pertama antara mereka berdua ke permukaan.

***

Satu bulan berlalu, mengikuti putaran waktu di mana setiap detiknya terus habis tanpa menunggu. Ujian nasional yang menjadi saat-saat terakhir bagi Ilena dan teman-teman seangkatannya berada di sekolah dasar pun telah selesai dengan hasil yang akan di umumkan hari ini.

Bu Aina yang sudah memasuki kelas dengan puluhan raport di tangannya membuat Ilena khawatir, selain gugup anak itu juga terus memandangi kursi kosong di sampingnya yang membuat kepala kecilnya itu penuh dengan tanda tanya.

Bahkan, setelah wali kelasnya membagikan seluruh raport, Nafta tidak kunjung datang.

"Ssst!" Yuka yang duduk dibelakangnya hari ini mendesis sambil menusuk bahunya dengan pulpen. "Nyariin Nafta?"

Ilena mengerjap, "Iya,"

"Lho? Memangnya kamu enggak dikasih tau?" tanya anak perempuan manis itu berbisik.

Ilena baru saja ingin bertanya, namun tepukan tangan Bu Aina mengambil atensinya untuk kembali fokus ke depan.

"Seperti dugaan, nilai tertinggi untuk angkatan tahun ini di raih oleh Nafta dan nilai tertinggi kedua dan ketiga berturut-turut adalah ... Ilena dan Aldan!" tutur Bu Aina yang mendapat tepuk tangan heboh dari satu kelas.

Melambaikan tangannya, Bu Aina memberi syarat untuk kembali hening, wanita dengan seragam khas guru itu Melanjutkan ucapannya. "Dan, Ibu ingin kalian mendoakan salah satu teman kalian, Nafta. Dia akan menjadi salah satu perwakilan negeri ini yang berkesempatan melanjutkan pendidikan hingga S1 di Amerika. Beasiswa ini diberikan langsung oleh pemilik yayasan Randawa."

Ilena terkejut, anak itu terdiam seribu bahasa dengan tubuh menegang. Kenapa ia tidak tahu?

Atau, se-tidak pentingkah itu ia dalam hidup Nafta? Seseorang yang ia percayakan seluruh elemen kehidupannya.

Ilena berjalan linglung keluar kelas, benaknya terus memutar ribuan tanya tanpa jawab. 

"Kaget, ya?" tanya Yuka, anak manis itu tersenyum miring, mensejajari langkah Ilena yang tidak tentu arah. "Kasian."

"Maksudnya?" Ilena mengerenyit, mulutnya menggumam pelan. "Kamu ..."

Yuka menatap sinis, melipat kedua lengannya, anak itu terlihat angkuh. "Sesuatu yang kelihatan paling dekat, bisa jadi yang paling jauh. Seseorang enggak punya hak buat merasa berharga di hidup orang lain. Karena, nyatanya dalam kisah hidup seseorang yang paling berharga adalah orang itu sendiri."

Mengulum bibirnya sejenak, Ilena memang sudah kalah telak. Anak itu berucap ragu, "Nafta bukan orang yang egois."

Yuka tertawa keras, namun tetap anggun.

"Aku enggak bilang Nafta egois. Aku cuma mau balikin kamu ke tempat awal. Jangan terlalu melambung tinggi, karena nyatanya kamu enggak lebih dari kenangan yang akan hilang perlahan."

Ilena terdiam, semua bait-baik kata yang sayangnya logis itu terlalu tajam untuk ia cerna. "Bandara jam satu siang." ucap Yuka sesaat sebelum ia berlalu pergi.

Tercenung, anak itu menggigit bibir menahan tangis. Apa yang lebih menakutkan dari kenyataan yang menyakitkan?

Semesta yang bermain tapi kenapa Ilena yang harus menjadi pemain. Meremas amplop putih di tangannya, Ilena melangkah tertatih dengan hati yang tak lagi tertata. Sekelilingnya terasa sunyi dan berdenging seolah berputar pada poros waktu yang menyedihkan.

Ilena menaiki taksi, menuju bandara dalam diam, sekolahnya dan bandara hanya memakan waktu tempuh lima belas menit menggunakan mobil. 

Sesampainya di bandara anak perempuan dua belas tahun yang memegang amplop beasiswa SMP favorit di Palembang itu berlari sambil menangis, amplop putih yang berisi kertas-kertas formal yang telah teremas kusut di tangannya itu adalah alasan Ilena berbohong pada Nafta.

Bunyi bising yang memekakkan telinga dengan frekuensi suara yang tinggi tidak lagi membuat Ilena peduli. Fokusnya hanya pada hal di depannya yang membuatnya membeku.

Di sana, sahabatnya memegang belakang kepala Yuka lalu mencium kening anak perempuan anggun itu sambil memejamkan mata, membuat sesuatu di dadanya terasa berdenyut sakit, yang entah apa.

Buliran air mata tapa sadar jatuh, membalikkan badan, Ilena melangkah gontai meninggalkan bandara.

Cukup sampai di sini.

Ilena menghapus air matanya, menoleh ke atas saat sayup-sayup sebuah pesawat melewatinya ia hanya menggeretakkan giginya.

Harapan, impian, dan semua tentang Nafta akan Ilena buang jauh-jauh sebagaimana pesawat itu pergi menjauh.

Sekarang hanya ada dirinya sendiri dan dua pilihan, mati sia-sia atau hidup mati rasa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status