Home / Rumah Tangga / Naik Ranjang CEO / Perang Pemikiran

Share

Perang Pemikiran

Author: Wafa Farha
last update Last Updated: 2023-01-04 16:16:35

Anya memegangi ponsel dengan gemetar. Pikirannya berkecamuk antara ingin tetap bertahan demi sang ibu, dan teriakan sisi hati yang lain meronta, ingin kabur dari Arga.

"Hanya air mata yang kudapat jika terus bertahan dengan monster sepertinya!"

Lagi, Anya mengusap matanya kasar. Cairan yang keluar itu menghalangi pandangan. Kini, jari-jari lentik milik Anya terus bergerak mengetik pesan untuk Irham. Siapa lagi yang peduli padanya? Sang ibu bahkan tak juga bisa dihubungi dan tak bisa diajak bicara.

Anya butuh seseorang untuk bersandar.

Hanya calon suaminya yang tengah terluka yang punya ikatan emosi dengannya selain Mira ibunya. Ia juga sangat yakin, meski dirinya bukan gadis suci, Irham masih mau menerima.

[ .... tolong aku! ]

Pesan terakhir telah terkirim.

Semenit, dua menit tak ada balasan. Sampai satu jam, dua jam ... Irham tak membalas. Anya menghela lelah. Barang kali Irham masih sibuk, atau dia terlalu percaya diri dan berani berharap hal mustahil? Mana ada pria yang sudi mengambil wanita ternoda untuk diperistri?

Baru saja mata Anya akan terpejam, sebuah pesan masuk ponselnya. Ia mengucek mata untuk membuang keinginan terpejam lantaran lelah.

[Angkat teleponku] balasan dari Irham.

Anya memandangi layar dengan nanar, ia mematikan dering karena ingin mengurangi beban di kepala dengan tak mendengat ponsel yang berbunyi berkali-kali. Baik dari panggilan atau pun notif chat dari teman-teman atau pun customer yang menginginkan hasil karyanya menyulap tempat resepsi dengan dekor yang memukau.

Lalu, kali ini ia ingin tahu jawaban pria yang seutuhnya masih menghuni hati. Tempat selama ini hati dilabuhkan karena jatuh cinta.

Anya terus saja bingung ia perlu waktu untuk berpikir. Saat perasaannya ingin segera lepas dari belenggu Arga tapi akal dan nurani melawan keninginan itu.

Jika saja boleh ia ingin berbagi kisah dan rasa perihnya dengan dengan sang ibu tapi jangankan untuk itu menghubunginya saja dari kemarin-kemarin tidak bisa.

"Bagaimana ini apa aku pergi saja? Toh Mas Irham sudah mau menolong. Sebentar lagi dia akan datang," ucapnya sembari melirik benda bundar yang tergantung di dinding kamar.

Dengan ragu ia melangkah ke luar. Membawa ransel kecil yang sudah dipersiapkan sebelumnya saat hatinya kalut, saat ia ingin bebas dari semua, saat ia benar-benar muak pada Arga.

"Ini bukan pernikahan ini hanyalah ajang balas dendam, pernikahan seharusnya tidak membawa penderitaan seperti sekarang" ketusnya sambil mengusap sudut mata yang basah, seolah tak pernah kering sejak pernikahan ini berlangsung.

Tak ada jalan lain, bahwa sekarang Anya hanya perlu menguatkan hati karena ini adalah pilihan terbaik. kaki jenjangnya terus bergerak, meski sisi hatinya merutuki perbuatan.

'Ini bukan perbuatan wanita shalihah yang sabar dengan takdir Allah, An!'

_______

Masjid tampak sepi, hampir semua jamaah sudah kembali ke rumah mereka. Hanya ada beberapa orang yang tetap duduk dengan 'amalan' masing-masing dalam ruang yang minim pencahayaan. Di bawah lampu remang -yang sengaja dipasang pengurus masjid ketika hari beranjak semakin malam- Arga bangkit dari posisi duduknya menyudahi wirid.

Saat di teras ia enggan melangkah dan kembali duduk bersandar dinding, menatap jalanan. Satu dua orang maish terlihat berlalu lalang di jalanan. Netranya memandangi atap rumah miliknya yang terlihat dari masjid. Ia tengah membayangkan apa yang Anya perbuat saat tak ada dirinya di rumah? Tidurkah? Masih menangis? Atau justru sudah kabur dari rumahnya.

Ia tak mengerti rasa bersalahnya kali tak juga pergi. Sungguh menyiksa batin pria berusia 33 tahun itu. Dihela napas berkali-kali, tapi rasa sesaknya tak juga berkurang. Kalau saja hari di mana ia dapati Mira hamil, Arga memilih ke luar rumah dan pergi jauh-jauh, mungkin sekarang perasaannya tak sesakit dan setersiksa sekarang. Bukan hanya tak bisa move on, ia juga harus dianggap pria keji.

"Lho, Mas Arga kok masih di sini?" Seorang pria sepuh yang juga warga kompleknya menghampiri.

"Em, saya baru selesai, Pak."

"Em." Pria paruh baya itu manggut-manggut. "Biasanya kalau pengantin baru, maunya di rumah saja. Hehe."

Arga dibuat meringis karenanya. Ia tak memikirkan apa kata orang sebelumnya.

"Apa Mas baru mengalami kecelakaan tadi?" tanya pria yang sering disapa Pak Tomo ketika melihat luka lebam di wajah tampan milik Arga.

"Oh, ini." Arga sontak tersenyum. "Saya, bertemu maling tadi."

"Lho, lho ndak lapor polisi."

Arga menggeleng. "Salah saya, sudah lalai. Dia sudah pergi setelah memukuli saya."

"Oo. Lain kali hati-hati Mas. Nanti biar saya sampaikan pada pihal keamanan untuk lebih ketat lagi berjaga. Walau bagaimana saya ikut bertanggung jawab."

Arga hanya mengangguk. Tak mungkin bercerita yang sebenarnya tentang masalah pribadinya pada Pak Tomo.

Setelah basa-basi sebentar akhirnya, pria yang belum berganti pakaian sejak siang itu pamit. Harusnya memang pulang lebih dulu sebelum ke masjid dan menggunakan pakaiam terbaik. Hanya saja, apa yang ia alami hari ini, membuatnya memilih singgah ke masjid dan malas untuk pulang. Kalau saja bisa mungkin Arga ingin tidur di masjid saja, tapi apa yang akan orang katakan tentangnya?

________

Kaki Arga seketika mengurangi tekanan gas pada pedal mobilnya begitu melihat seorang pria berdiri di depan rumahnya. Entah, apa yang Irham lakukan di sana? Beberapa kali ia melongok ke halaman rumah, sedang Arga hanya menerka-nerka.

Tidak ingin Irham curiga, mobilnya tak ia belokkan ke rumah. Ia penasaran apakah mungkin Irham datang atas permintaan Anya? Mobil terus melaju berbelok dan memasuki rumahnya melalui halaman belakang. Setelah ke luar mobil, langkahnya berjalan cepat ke depan.

Benar saja, ia melihat Anya sudah berdiri di depan pintu rumah menenteng ransel di tangan. Lelaki itu tak bisa berbuat apa pun. Ia hanya memandangi sosok wanita yang telah dihancurkan dari balik dinding.

Arga pasrah, jika pun Anya pergi, mungkin ini adalah jalan terbaik. Apa bagusnya bertahan dengan pria sepertinya? Setiap hari harus tersiksa tak berkesudahan. Lagi pula mempertahankan wanita itu hanya membuatnya semakin merasa bersalah.

Pria yang mengenakan topi itu membeku memandangi Anya yang memaku tak bergerak di depan sana.

'Ada apa dengannya?'

Perempuan yang mengenakan setelan gamis berwarna peach itu hanya memandangi layar ponselnya yang menyala. Panggilan dari Irham yang sudah gelisah sejak tadi menunggunya di depan.

"Pergilah, An. Aku ridho," gumam Arga lemah.

BERSAMBUNG

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Naik Ranjang CEO    Aku yang Akan Datang Padanya

    Sampai di dalam, Arga melihat Dilla sudah duduk manis di mejanya. Sepertinya wanita itu tengah mempelajari laporan. Namun, ada sesuatu yang membuat Arga gagal fokus. Sepatu yang Dilla kenakan sama persis dengan wanita yang bersama Denward tadi di rumah sakit, begitu juga dengan jas berwarna marun yang ia kenakan."Jangan-jangan?" Mata CEO itu memicing.Dilla terus saja sibuk, seolah tak melihat apa yang Arga lakukan tak jauh dari tempatnya duduk. Ia merasa sudah pandai menghindar saat di rumah sakit tadi. Dan itu berhasil. Lalu, apa yang membuat Arga kini tampak memperhatikannya. 'Apa dia menyukaiku?' pikir Dilla kemudian. 'Laki-laki ternyata sama saja di dunia ini. Tidak bisa lihat wanita cantik sedikit. Apa perlu aku melancarkan sisiku sekarang? Tapi ini terlalu dini,' batinnya lagi. Dia bahkan masih berpenampilan polos. Belum lagi memoles make-up andalannya ketika hendak menaklukkan seorang pria. Dada Dilla berdesir, kala lelaki tampan itu datang mendekat. Suara yang timbul dari l

  • Naik Ranjang CEO    Kebetulan

    Begitu datang ke kamar yang Harry -manajernya- beritahu, ia melihat seseorang sedang terbujur kaku. Seorang pria yang biasa menyodorkan laporan saat di kantor, tak pernah sekalipun menentang selama bekerja. Patuh dan menjaga attitude sebagai seorang pegawai.CEO muda itu mendesah. Berat hidup yang dia jalani, rupanya belum ada apa-apanya dibanding orang lain yang kini terkapar tak berdaya itu, yang kini sedang berjuang melawan kematian. Entah, jika selain adiknya ada orang-orang yang mestinya ia lindungi.Arga lalu bertanya pada perawat mengenai kondisi lelaki itu. Dan semua penjelasan mereka sama dengan yang Dilla katakan. Persis."Kalau begitu tak ada alasan untuk tidak mempercayai wanita itu. Huft," desah Arga lega. Dari sini, ia akhirnya memercayai gadis itu. Namun, PR nya lebih berat pula sekarang, bahwa ia harus menjelaskan pada Anya secepatnya sebelum istrinya itu mengetahui semuanya. Mengingat bahwa Anya bakal cemburu, membuat Arga kembali merasa berada dalam masalahUsai den

  • Naik Ranjang CEO    Percaya Diri

    Arya merasa lelah. Setelah menenggak air mineral lebih dari setengah botol ukuran 500 mililiter, langkahnya beranjak meninggalkan dapur yang sepi. Yah, sejak pindahnya Arga dan Anya ke rumah mereka yang baru, Arya memutuskan mengosongkan rumah tanpa siapapun termasuk pembantu. Mereka hanya diperkerjakan kala sang mama berada di rumah. Dan hari ini wanita tua yang tampak lebih muda dari usianya itu tenafh tengah mengadakan perjalaan ke luar negeri bersama dua saudaranya.Langkahnya terhenti kala mendengar bel pintu. Diurungkan membuka pintu kamar dan berbalik ke arah depan di mana tamu sudah menunggu.Mata Arya melebar kala seseorang berdiri di depannya."Assalamualaikum, Tuan Arya." Nara berdiri dengan senyum mengembang di wajahnya."Wa-alaikumsalam," jawab Arya kelu. "Kamu?"Dua alis tebal lelaki itu tertaut dengan mata menyipit. Seolah telah menyelidik, dan menduga-duga tujuan wanita itu datang ke rumahnya.Nara tersenyum tipis. Ia celingukan ke dalam seperti tengah mencari perhat

  • Naik Ranjang CEO    Bukan Suami Takut Istri

    "Jadi keluhan Anda?" Nara meletakkan dua tangan di atas meja. Menatap lurus pada pasiennya yang berada di seberang meja."Aku tak bisa melupakanmu." Suara itu meluncur begitu saja. Seolah tak lagi ada sesuatu yang menahan Arya untuk bicara. Mungkin karena dia berhadapan dengan seorang psikiater. Bukan orang lain yang tidak ia mengerti motif mereka dekat dengannya."Apa?""Maksud saya, aku tak bisa melupakannya." Arya tersentak, meralat ucapan. Sadar pikirannya terlalu fokus pada Dara."Siapa?" "Namanya Dara." Arya masih menatap wanita tersebut. Hingga mereka saling tatap. "Dara? Nama itu tak asing." Nara tersenyum tipis. Ia kemudian ingat, cerita sang ibu kala kakak sepupunya di kota yang bernama Dara meninggal. Lalu, semua orang yang mengenal gadis itu, mengatakan wajah mereka sangat mirip. Ia sempat berpikir bahwa kedatangan Yahya ada hubungannya dengan pasien ini dan nama gadis yang ia sebut. Namun, itu terlalu jauh. Tidak layak baginya mencampur soal pribadi dengan masalah ya

  • Naik Ranjang CEO    Dokter Nara

    "Da-dara?" Suara Arya terdengar lirih. Namun, orang di sampingnya mampu mendengar dengan jelas. Yahya mengulum senyum, apa yang dipikirkan benar terjadi. Kali ini Arya pasti akan kembali terpikat oleh sosok berwajah sama. Barangkali ini juga bisa menjadi obat mujarab untuk trauma Arya yang tiba-tiba datang tanpa ada tanda-tanda lebih dulu.Lelaki tampan berusia 37 tahun itu menoleh pada Yahya, dengan tatapan penuh tanya. Garis lengkung di bibir pria yang lebih tua darinya itu memanjang. Arya menyelidik arti ekspresi tersebut. Apa yang direncanakan Yahya? Apa selama ini sebenarnya Dara masih hidup? Namun, melihat sosok wanita berjilbab itu, sepertinya usianya masih sekitar 25 tahun."Dia bukan Dara Mas Arya. Dia seorang Psikiater." Yahya mengucap enteng. "Mari!" ajak lelaki tersebut mendekat ke arah wanita yang membuat Arya terpana.Kaki-kaki mereka bergerak, Arya mengikuti Yahya dengan ragu. Ia sangat penasaran dengan wanita tersebut, tapi berusaha mengendalikan diri. Arya yakin, bah

  • Naik Ranjang CEO    Semua karena Dara

    "Apa Mas Arya sakit?" Yahya bingung melihat lelaki bersamanya tampak syok. Lelaki yang telah menjadi ayah tiri bagi Anya dengan menikahi Mira tersebut terlanjur percaya pada Arya. Pasti yang ditangkap dari ucapan Arya tak seperti dalam pikirannya. Mana mungkin Dara, gadis yang dulu selama bertahun-tahun dijaga pria tampan itu mati di tangannya. Tak mungkin.Lagi pula selama lebih sepuluh tahun, Yahya tak mendapati hal mencurigakan dari Arya. Semua prasangka buruk sudah terpatahkan sejak kali pertama Yahya mendapati kebaikan anak majikannya itu. Hal mustahil pula, jika ia pembunuhnya akan mengidap trauma karena kehilangan, yang menyiksa seluruh sisa hidupnya.Kakak Arga tersebut tersenyum samar mendengar pertanyaan yang Yahya lontarkan. Sebagai lelaki sakit itu aib baginya, apalagi sakitnya seperti seorang pengecut. Ia tak bisa menguasai diri kala trauma datang."Maaf, sebelumnya Mas. Jika saya lancang. Dulu tanpa sengaja saat keluar dari ruang kerja Tuan Admaja, saya mendengar perbin

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status