Share

Rasa yang Aneh

Perlahan Anya memasukkan benda pipih ke kantongnya sembari mendesah berat. Tak lama ia menjatuhkan ransel kecil di tangan. Lalu tubuhnya dibiarkan jatuh, jongkok dengan menumpu kedua kaki.

Dua mata Arga menyipit tatkala mendengar suara tangis. Yah, lagi-lagi tangis Anya. Kenapa bukan Mira yang banyak menangis di depannya? Agar ia puas melihat wanita lacur itu menderita. Kenapa harus Anya? Dalam sekejap Arga merasa semakin bodoh dan rasa bersalah yang semakin dalam.

Tubuh kekar Arga berbalik menyandar sejenak punggung ke dinding. Mengatur deri dalam dadanya. Ia akan hargai apa pun keputusan Anya. Pergi atau bertahan. Tak ada gunanya melarang perempuan muda yang ia sahkan sebagai istri beberapa hari lalu, bukan puas mendapati Mira menderita justru rasa bersalah yang menghantam qolbu.

Arga merebahkan tubuh ke kasur king size dengan motif sprei bunga yang Anya pasang tadi pagi. Harumnya masih menguar, membuat rileks bagian tubuhnya yang ikut remuk karena stres. Baru saja memutuskan untuk memejam mata, ia mendengar deru mobil dari bawah. Matanya terbuka, rasa penasaran memaksanya bangkit dan melihat asal suara.

Dari jendela, ia melihat mobil Irham meninggalkan rumahnya. Pria dengan manik kelam itu mendesah panjang, akhirnya istrinya pergi bersama pria lain. Arga tak mencintai wanitanya, tapi rasa kehilangan itu jelas ada. Walau bagaimana, mereka telah sah menjadi suami istri, dan tak seharusnya Arga memperlakukan Anya dengan buruk terlepas bagaimana cara mereka berada dalam status sekarang.

Detik kemudian, suara langkah kaki mendekat. Arga terhenyak.

"Siapa?"

Pasalnya wanita yang sudah banyak menderita karena sikapnya sudah pergi, lalu siapa lagi yang ada di rumahnya sekarang? Arga berjalan ke arah pintu untuk melihatnya.

Alangkah terkejut, ketika pintu di buka Anya berdiri di sana. Tatapan mereka beradu. Wajah Anya masih juga sendu. Tentu saja karena tak kebahagiaan yang dimiliki wanita dengan pakaian syari itu.

"Ka-kamu?" Arga pikir wanita sudah kabur bersama Irham. Kesempatan yang tak banyak ia dapat. Bukan kah dengan pergi bersama pria yang dicintainya, Anya bisa menemukan kebahagiaan? Istrinya itu sangat aneh.

Tidak menjawab, Anya masuk dengan lesu. Meletakkan ransel lalu berbaring di ranjang yang kosong dari pemiliknya. Tatapannya kosong dan wajahnya sembab.

Mendadak Arga tak mampu berkata-kata. Ada kecanggungan. Jelas Anya sangat marah atas kejadian tadi siang. Arga sangat tak berperasaan bukan cuma menyiksa fisik perempuan itu tapi juga mengintimidasi perasaan dan hatinya.

Arga mengacak rambut kasar, entah seperti apa kehidupannya dengan Anya ke depan jika terus seperti ini?

________

Ainun membawakan semangkuk sup untuk Mira, kakaknya. Wanita berusia hampir kepala empat itu masih terlihat lesu. Beberapa kali Ainun bertanya apa yang sedang terjadi, Mira memilih bungkam dan memperlihatkan senyum agar terlihat tegar.

"Tidak ada apa-apa, Nun. Apa ... kamu keberatan aku tinggal lama di sini?" Mira bertanya dengan ekspresi menggoda.

"Ehm. Bukan begitu." Ainun menjawab tak nyaman. "Maksudku, gak enak aja lihat Mbak murung. Siapa tau aku bisa bantu. Lagian mana mungkin aku keberatan ketempatan Mbak. Hampir seluruh isi rumah ini adalah hadiah dari Mbak. Sejak Mas Hadi meninggal Mbak tau aku kesulitan ekonomi dan cuma Mbak Mira yang bantu keluarga kami.

Mira tersenyum tipis, ia senang bisa membantu adiknya yang kesusahan sejak jadi janda. Namun, ia sendiri sebenarnya merasa terbebani karena tak bisa bercerita apa yang sebenarnya terjadi antara dirinya, Arga dan Anya. Ainun pasti akan memakinya kalau tahu Anya lah yang sekarang tidur seranjang dengan Arga sebagai istri.

Sedang bicara dengan sang adik, ponsel Mira bergetar menimbulkan suara karena bergesekan dengan permukanan nakas.

Saat melihat nomor baru di atas layar pipih itu, dahi Mira mengerut.

"Nomor baru?" Diraihnya ponsel tersebut dengan perasaan heran. Mungkin kah, pria tua itu yang menghubunginya?

"Ya, sudah. Mbak. Lanjutkan. Aku keluar dulu. Jangan lupa dimakan supnya. Aku gak mau Mbak sakit." Ainun bangkit tak ingin mengganggu perbincangan antara Mira dan orang yang menghubunginya.

Mira hanya mengangguk sembari mengklik icon hijau menerima panggilan.

"Benar dengan Bu Mira?" tanya seorang pria di ujung telepon. Suara yang asing baginya

"Benar."

"Mari bertemu sebentar, Bu. Biar saya yang ke desa," ajak sang penelepon. Mira makin heran, dari mana pria itu tahu dirinya tengah berada di desa.

"Tapi ini siapa?"

"Hemh. Besok saja saya jelaskan." Sang penelepon menutup panggilan. Dengan jelas Mira mendengar seringai yang membuatnya membayangkan orang di ujung telepon tengah tersenyum.

"Tapi, tap ...."

Mira mendesah. Pria itu tak memberi kesempatan untuk bicara dan malah menyisakan banyak tanda tanya.

________

Arga tercenung di sofa dengan memegangi handuk yang bertengger di pundaknya. Suara gemericik dari kamar mandi membentuk irama yang membuat pikirannya melayang ke mana-mana. Jika saja petaka malam pertama tak terjadi sekarang ia pasti tengah menjalani malam-malam yang manis dengan wanita yang dicintainya.

Tak lama suara itu berhenti. Arga mendongak, menatap pintu yang tertutup rapat. Ia lalu bangkit. Derit terdengar seiring Anya yang ke luar dari sana.

Perempuan dengan rambut terurai basah itu kaget hingga ia mundur selangkah. Arga berdiri tepat di depannya dengan pandangan yang entah ....

"A-ada apa, Om?" tanya Anya gugup.

Tidak menjawab, Arga berjalan mendekatinya hingga Anya mundur. Namun Arga terus bergerak, begitu pun Anya tampak bingung. Ia terus berjalan hingga punggungnya terhantuk dinding.

Tatapan Arga semakin nyalang seolah akan memangsa seseorang. Kini ia berdiri sangat dekat dengan Anya. Satu tangan pria itu mengunci tubuh istrinya ke dinding sampai tak mampu bergerak. Perasaan Anya sungguh tak karuan. Apa yang sebenarnya Arga inginkan darinya?

Meminta untuk dilayani dengan paksa?

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status