"Yud, bangun, Yud!"
Samar aku mendengar suara disertai tepukan pada bahuku."Bangun, udah jam enam! Gak kerja kamu?" Kembali aku mendengar suara serta guncangan cukup keras di bahuku.Mau tak mau aku akhirnya bangun seraya mengucek kedua mata bergantian.Mengitari tempatku terbangun dan aku masih di ruangan bermain. Dini hari tadi, setelah aku membaringkan Hilma dan mengecup keningnya diam-diam.Si kembar terbangun dari box tidurnya. Aku membawa mereka di ruang bermain sambil memberikan susu. Tak lama mereka pun tertidur dalam pelukan.Tapi saat ini, saat aku telah terbangun. Si kembar sudah tidak ada di sampingku. Justru berganti dengan keberadaan Ibuku."Udah jam enam. Kamu gak kerja?" tanya Ibu membuatku terkejut."Jam enam?" Aku terperanjat serta merta berdiri. Meninggalkan Ibu tanpa menjawab pertanyaannya. Melesak ke kamar utama dan secepatnya ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Semalaman susah"Woyyyy! Bengong aja. Kenapa, sih?" Aku terkesiap. Satu tepukan mendarat cukup di keras di pundakku."Apa sih? Ngagetin aja, Lo!" hardikku pada Fahreza. Kepala divisi bagian pemasaran. Dia teman karibku di kantor."Mikirin apa sih? Sampai gue Dateng Lo gak tahu?!" tanyanya kemudian."Enggak ada. Gue inget si kembar di rumah," jawabku cepat.Fahreza menyikut lenganku cukup keras. Membuat tubuhku sedikit oleng ke kanan. Dia temanku yang agak usil memang."Inget ibunya kali, Lo! Bukan inget si kembar. Inget Hilma ya? Cie cie!" ledeknya persis seperti meledek pada anak SMA yang sedang jatuh cinta."Enggak! Gue inget si kembar, Za. Ngapain inget Hilma, dia udah gede!" sanggahku."Jujur aja lagi. Malu-malu kucing segalaq!" cetusnya dengan nada meledek.Aku menyambar gelas berisi jus mangga di hadapanku. Sudah masuk waktu makan siang. Aku duduk sendirian di meja kantin sebelum akhirnya Fahreza datang dan menggangguku s
POV Hilma–Srettt!Kartu undangan yang tengah kubaca, tiba-tiba ditarik begitu saja oleh Yuda. Membuatku berdiri cepat dari sofa di ruangan bermain si kembar. Yuda nampak tengah membaca undangan yang bahkan belum selesai kubaca."Apa-apaan sih! Main ambil aja. Aku belum selesai baca!" sentakku kesal. Yuda tak menyahut. Dia masih membaca undangan dari yayasan yang diantar Azmi untukku. Tidak tahu juga Azmi bisa sampai mengantarnya ke sini.Aku hendak mengambil kartu undangan itu di tangan Yuda. Namun buru-buru Yuda menarik tangannya dan menyembunyikan di balik punggungnya.Aku menatapnya tak mengerti. Apa-apaan dia ini?Yuda balas menatapku. Hingga dia memutusnya dengan beranjak dari hadapanku. Dia berjalan dengan kartu undangan yang masih di tangannya.Aku mengejarnya dan bermaksud merebut apa yang ada di tangannya."Kembalikan, Yud!" pintaku coba mengambil kartu undangan itu dari tangannya. Tetapi Yuda menepis. Dia terus berjalan bahkan kini telah sampai di ruang depan rumahnya."Y
"Yud, kamu kenapa? Kamu lagi sakit?""Enggak, aku gak sakit, Bu. Emang kenapa?""Tumben kamu pake sarung. Biasanya kamu pake celana denim atau boxer gitu. Udah dua hari ini, ibu liat kamu sarungan gini. Kayak anak abis disunat.""Ckk, apa sih Ibu! Ini … enak aja Bu pake sarung gini. Emm … lebih bebas bergerak."Aku yang mendengar obrolan Yuda bersama Ibunya di ruangan bermain si kembar ini, turut terkekeh pelan mendengar ucapan Bu Aida yang menyebut Yuda seperti anak habis sunat.Memang sudah dua hari ini, sepulangnya dia dari kantor, Yuda selalu mengenakan sarung dengan atasan hanya kaus singlet. Menampakkan tubuhnya yang berotot dan tentunya putih bersih.Yuda benar-benar mengira, jika aku mengagumi Azmi karena dia selalu mengenakan sarung ke mana pun. Padahal bukan hanya sebatas itu saja aku mengagumi Azmi.Yuda tidak akan pernah bisa menjadi Azmi, pun sebaliknya. Yuda adalah Yuda, dan Azmi tetaplah Azmi. Mereka tidak akan pernah bisa sama.Aku pun tidak mengerti, kenapa Yuda menir
Selepas menunaikan shalat isya, aku keluar dari mushola kecil di rumah ini. Kembali ke kamar utama untuk memeriksa si kembar yang tadi kutinggalkan karena Ayah mereka sudah pulang.Klek!Memutar knop pintu dan mendorongnya lantas masuk ke dalam kamar. Aku tertegun saat baru saja masuk.Karena harus menyaksikan Yuda tengah membenahi sarung di pinggangnya. Lebih mengejutkan lagi, tubuh atasnya yang tidak tertutup.Memperlihatkan dada bidangnya yang berotot. Serta perutnya yang kotak-kotak.Lalu wangi sampo serta sabun mandi menguar menyapa indera penciumanku.Meski aku dan dia sah sebagai suami istri. Aku dan dia juga telah halal dalam hubungan ini. Tapi tetap saja, aku merasa aneh dengan apa yang kulihat.Yuda seakan tidak mempedulikan kedatanganku. Dia masih terus membenahi sarung berwarna hitam bercorak.Bungkusan paket yang kusimpan di meja penyimpanan memang telah robek. Mungkin memang sudah dia buka.Aku masih tertegun di tempatku.Melihat Yuda saat ini memasang singletnya. Lalu m
POV Yuda.–Kuharap perempuan dengan mata teduh di hadapanku saat ini, tidak bisa mendengarkan degup jantungku yang berlomba-lomba.Berada di hadapannya sedekat ini, nyaris tanpa jarak, membuat pembuluh darahku bekerja dua kali lipat.Aku tidak suka. Aku benci. Hilma selalu menyebut-nyebut nama Azmi. Apalagi memuji sosoknya itu.Bagaimana pun juga, aku adalah suaminya yang sah.Aku menatapnya tajam. Setelah berhasil mengikis jarak di antara kami. Bahkan, aku telah menyentuh ujung hidung mancungnya saat ini."K–kamu mau apa?!" tanya Hilma terbata.Aku bisa melihat dan merasakan kegugupan yang menderanya.Apa dia tidak pernah dekat dengan lelaki manapun? Sehingga bersentuhan denganku yang notabene adalah pasangan halalnya, tetap membuat dia gugup."Mau menghukum istri yang enggak sopan kayak kamu!" cetusku dengan nada mengancam.Hilma terdiam. Aku semakin menatap mata indahnya yang teduh ini.Seperti mendapatkan komando. Kepalaku bahkan telah miring. Mencari posisi yang pas, untuk membe
POV Yuda.–Aku sudah mandi dan berpakaian rapi. Keluar dari kamar utama dengan membiarkan pintunya terbuka lebar.Melangkah cepat ke tempat berwudhu di samping tembok mushola. Meski sudah lama sekali aku tidak melakukannya. Tapi aku masih mengingat setiap gerakan beserta doanya.Bapak yang mengajarkanku sejak masih kecil. Semua terpatri dalam ingatan yang masih tanpa bebas kala itu. Sehingga aku tetap bisa mengingatnya dengan baik.Selesai mengambil wudhu. Kubenahi gulungan lengan kemeja di tangan. Gegas aku pun memasuki mushola.Akan tetapi, Hilma tidak ada di sini. Aku celingukan mencarinya.Aku akan mewujudkan mimpiku semalam. Agar tidak hanya sekedar mimpi.Aku akan menjadi imam Hilma shalat Subuh hari ini. Tapi, Hilma tidak ada di sini.Aku pun akhirnya keluar dari mushola. Mencari-cari keberadaan Hilma dan kudapati dia ada di dapur.Dia sudah memakai celemek. Duduk di meja makan tengah mengiris-iris sayuran.Aku melangkah lebar hingga berada di dekat meja makan."Kamu enggak de
Duh Gusti.Ini karma atau apa? Tapi rasanya terlalu manis untuk disebut karma.Lantas kuraih ponsel yang tergeletak di samping laptop. Menghubungi nomor Ibu untuk melakukan video call. Sebab aku tidak memiliki nomor Hilma. Entah dia memiliki ponsel atau tidak. Karena tidak pernah kulihat Hilma bermain ponsel.Kuarahkan ponsel lurus ke depan dengan dipegangi kedua tangan. Cukup lama panggilan terhubung sebelum akhirnya Ibu menerimanya.Klik!Layar ponselku telah memperlihatkan si kembar. Wajah Ibu hanya terlihat sedikit. Karena Ibu sudah tahu, jika aku menghubunginya di jam kerja, artinya aku sedang merindukan kedua putraku.Padahal bukan hanya si kembar yang ingin kulihat."Say hello sama Ayah, Nak," ucap Ibu mengarahkan layar ponselnya pada si kembar. Mulut mereka belepotan. Pun dengan pakaiannya.Mereka berceloteh di depan layar ponsel. Aku tersenyum melihat tingkah mereka, yang semakin hari, semakin lucu dan menggemaskan.Setelah dirasa cukup, Ibu pun mengarahkan kembali layar pons
POV Yuda ***Setelah membisikkan sebuah pengakuan di telinganya. Aku merebahkan tubuhku di samping Hilma. Semula terlentang lalu kini miring ke kanan. Menghadap punggung Hilma di depanku.Kupasangkan selimut yang sama dengan Hilma. Lalu seperti sebuah tuntutan, aku melingkarkan tanganku melewati pinggangnya. Memeluk Hilma dari belakang saat dia sedang tertidur.Desiran halus memenuhi hati.Serta satu rasa lain yang baru aku rasakan lagi.Hangat.Rasa yang telah lama tidak pernah kurasakan, sejak kepergian Khanza.Pantas saja si kembar selalu anteng dan tenang saat bersama dengan Hilma.Aku ikut merasakannya malam ini.Bibirku tersenyum simpul. Sebelum akhirnya memejamkan mata untuk tidur.Menikmati desiran halus dalam hati serta hangatnya pelukan malam ini.*********Hawa dingin terasa semakin menyeruak. Aku menggeliat pelan dan terbangun dari tidur. Membuka mata perlahan dan aku masih di ruangan bermain.Lantas kutarik selimut yang hanya sampai pinggang. Menarik hingga ke atas dada,