Share

Naik Ranjang
Naik Ranjang
Penulis: Sity Mariah

Ch.1

Penulis: Sity Mariah
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-15 23:24:57

***

"Jangan sok peduli! Jangan berlagak layaknya seorang istri shalehah! Apa pun yang kamu lakukan, tidak akan pernah membuatku jatuh cinta sedikitpun terhadapmu!" desis laki-laki bermanik hazel yang kini tengah menggulung lengan kemejanya di hadapanku.

Tanganku yang semula cekatan menyiapkan makan malam serta air minumnya berhenti seketika. Setelah kata-kata tajam yang dilayangkan pria di hadapanku itu terasa menusuk hati. Lagi dan lagi.

Aku berdehem pelan kemudian menegakan tubuh yang terduduk di kursi makan saat ini.

"Lalu kamu pikir, aku akan mengemis cintamu? Aku akan menghamba untuk bisa mendapatkan cinta yang kamu miliki?" tanyaku pada laki-laki yang menjadi lawan bicaraku saat ini.

Laki-laki itu mendecih. Laki-laki bermanik hazel dengan garis wajah tegas dan rahang yang kokoh. Tatapannya tajam bak elang yang siap menerkam mangsa.

Apalagi saat berbicara denganku. Selalu ketus dan kata-katanya selalu tajam bak belati. Seakan aku ini adalah kelinci kecil yang rapuh dan begitu membutuhkannya.

Pria dengan status suamiku itu tersenyum kecut. Makanan di hadapannya telah kusajikan, lengkap dengan gelas berisi air yang juga tersedia.

Sore tadi, aku memasak tempe bacem, ayam goreng, serta sambal bawang, untuk hidangan makan malam dan akan cukup untuk sarapan pagi esoknya.

Aku melayaninya dengan sangat baik setiap harinya. Bukan karena mengharapkan untuk dicintainya. Sama sekali tidak. Karena bersama dengannya pun adalah di luar keinginanku.

Aku melakukannya atas tuntutan ibuku dan ibunya. Kedua orangtua kami yang menghendaki pernikahan tanpa cinta ini.

"Jika bukan itu yang kamu tunggu, sudah pasti kamu angkat kaki dari rumahku. Sudah pasti kamu pergi dari hidupku. Karena aku, tidak pernah menganggap keberadaanmu! Harusnya kamu tahu diri!" ujarnya lagi begitu menyudutkan.

Makan malam di depanku belum tersentuh. Nafsu makanku selalu lenyap jika dia telah datang.

Aku mengangkat wajahku menatapnya yang begitu dingin terhadapku. Mata itu, seperti biasanya, tidak ada pendar rasa di sana.

"Apa kamu pikir, kamu begitu berarti dalam hidupku? Sampai aku harus menunggu hal itu? Sampai aku harus menanti kamu mencintaiku? Tidak! Cintamu bukan hal penting buatku. Aku di sini bukan untuk kamu. Aku di sini untuk Arka dan Arsa. Jangan menganggap kalau aku akan mengemis cintamu. Aku bisa tetap hidup meski tanpa kamu sekali pun. Tapi, aku memikirkan Arka dan Arsa jika mereka harus jauh dari Ayah kandungnya!" tukasku.

Aku memilih beranjak dari kursi makan dengan piring berisi makanan di tanganku.

"Dengar, Hilma! Sampai kapanpun kamu tidak akan pernah bisa menggantikan posisi Khanza di sini. Apalagi di hatiku!"

Aku tidak menyahut. Tidak peduli lagi dengan apa yang diucapkan olehnya.

Ucapan yang sejak awal hubungan ini terikat selalu memenuhi telingaku. Hingga aku terbiasa lalu memilih untuk mengabaikannya saja.

Aku tidak pernah ingin menggantikan posisi siapa pun di sini. Sungguh.

Aku menjauh dari meja makan dan keluar dari ruangan yang tiba-tiba menjadi pengap karena kedatangannya.

Kuhempaskan bobot di sofa ruang keluarga, kemudian memulai makan malamku sendirian.

Di sinilah aku, di rumah adik perempuanku yang sudah meninggal enam bulan yang lalu. Adik perempuanku, meninggal setelah melahirkan bayi kembarnya.

Arkana dan Arsaka.

Kedua orangtuaku mendesak agar aku  menikah dengan Ayah si kembar. Mereka memaksaku untuk hidup bersama laki-laki yang tidak mencintaiku. Pun denganku yang juga tidak mencintainya.

Khanza Kirana, adik perempuanku yang meninggal pasca koma satu Minggu lamanya.

Khanza dinyatakan koma usai melahirkan melalui operasi. Pendarahan hebat yang dialaminya membuatnya koma dan akhirnya meninggal dunia.

Khanza menghadap Sang Khalik dan meninggalkan sang suami, Batara Yuda. Laki-laki yang sudah menjadi suaminya selama dua tahun.

Sependek yang aku tahu pun, mereka menjalani masa pacaran hampir tiga tahun sebelum akhirnya resmi menikah.

Kepergian Khanza meninggalkan putranya sejak lahir. Membuatku sebagai seorang kakak, mengambil alih tanggung jawab dan peran sebagai ibu untuk Arka dan Arsa. Sejak si kembar keluar dari rumah sakit, akulah yang mengurusnya.

Hal itu justru dianggap lain kedua orangtuaku juga orangtua Yuda.

Mereka sepakat dengan tradisi naik ranjang yang harus dijalani Yuda.

Yuda diharuskan menikahiku, si perawan tua yang tak kunjung menikah di usia menyentuh kepala tiga.

Bukan hanya Yuda, tapi aku pun dipaksa untuk mau menerima pernikahan ini. Kedua orangtuaku menginginkan merawat kedua cucunya bersama-sama. Tidak bergantian. Tidak berat sebelah. Tidak terbagi dua.

Jika salah satu dari si kembar dibawa oleh orang tuaku, tentu akan jauh dengan ayahnya sendiri. Pun dengan Yuda yang harus bergantian membagi waktu untuk kedua anaknya.

Sehingga tercetuslah keputusan besar. Di mana aku dan Yuda harus menikah.

Aku dan Yuda akhirnya terikat dalam pernikahan tanpa cinta ini.

Pernikahan yang seharusnya menjadi mahligai paling indah, nyatanya menjadi sebuah belenggu bagiku.

Yuda menolakku mentah-mentah usai acara pernikahan kami tiga bulan yang lalu.

Dia menilaiku tidak pantas menjadi istrinya. Aku hanya perawan tua dengan pemikiran yang kolot di matanya.

Tidak seperti Khanza yang lebih berpikir modern dan selalu mengikuti perkembangan zaman.

Penampilan kami memang berbanding jauh.

Aku dengan gamis gamis panjang dan hijab lebarku. Sedangkan Khanza terbiasa tampil lebih modis dengan rambut panjangnya.

Khanza lulusan kampus ternama di kota ini.

Sementara aku, menghabiskan selama tiga tahun untuk mondok di pesantren di sebuah desa jauh dari kota ini. Lalu dilanjutkan mengabdi pada yayasan selama dua tahun.

Hingga selesai masa bakti dan bertepatan dengan libur panjang.  Aku lantas pulang kembali ke kota ini. Berbarengan dengan Khanza yang masuk rumah sakit saat itu karena akan melahirkan.

Hingga Tuhan menggariskan takdir ini di hidupku.

Kuhela napas kasar. Makanku telah selesai. Lekas aku pun beranjak dari sofa dan kembali ke ruang makan.

Di meja makan, Yuda terlihat masih melanjutkan makan malamnya. Namun, dia bukan makan malam dengan makanan yang sudah kusiapkan. Dia memakan seporsi nasi goreng yang biasa dibelinya.

Aku berlalu menuju bak wastafel. Menyimpan piring makanku dan mencuci tangan dengan segera.

"Makanan kampung! Terus saja dimasak. Jangan harap aku mau memakannya. Baunya saja boro-boro menggugah selera. Yang ada bikin mual!" tukasnya masih bisa kudengar dari bak wastafel ini.

Cepat aku mengeringkan kedua tanganku. Berbalik ke meja makan yang diisi oleh Yuda seorang diri.

Kuambil semua makanan yang tersaji lalu menyimpannya ke dalam rak penyimpanan khusus makanan.

Begitu juga dengan piring makan yang sudah kusiapkan, yang sama sekali tidak ia sentuh.

Tidak akan basi untuk besok pagi dihangatkan. Meja makan telah kosong. Hanya terdapat keranjang buah dan teko air.

Tanpa bersuara aku berbalik dari rak penyimpanan untuk segera meninggalkan ruang makan ini.

"Wanita primitif!" desisnya mencibirku di belakang sana.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (20)
goodnovel comment avatar
Larose
br bab pertama jd blm faham tp shrsnya suaminya gak begitu,kl blm bisa nganggep istri minimal sopan sih kan dulu kk iparnya,
goodnovel comment avatar
Catra Hadiansyah
saya suka kali
goodnovel comment avatar
Triya - Pretikhaa
mantap banget
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Naik Ranjang   263

    Aku membawa Halwa ke dalam kamar. Menutup pintu menggunakan kaki hingga berdebam kencang. Melanjutkan langkah menuju tempat tidur, lalu menjatuhkan bobotku tanpa menurunkan Halwa lebih dulu. Posisinya yang digendong seperti bayi koala, membuat ia kini berada di atas tubuhku yang sudah setengah bersandar di headboard kasur.Kedua tanganku terulur mengusap sisi rambutnya. Membelai wajah cantik itu lalu menyelipkan rambut ke belakang dan telinganya bersama pandangan kami yang saling mengunci."Syaratnya ... apa boleh aku meminta hak sebagai suami? Apa kamu tidak keberatan aku memintanya malam ini?" tanyaku seraya mengungkap syarat yang kumaksud.Halwa menunduk sambil menggigit bibirnya. Menggerakkan bola matanya tak tentu arah seakan salah tingkah. "Kamu ... menginginkannya malam ini, Mas? Tapi ... kondisiku seperti ini. Bagaimana jika tidak berjalan maksimal? Emmh, maksudku, tanganku sedang cedera seperti ini, apa tidak akan jadi masalah?"Aku tersenyum kecil dengan kedua tangan masih ak

  • Naik Ranjang   262

    Secangkir teh tawar hangat akhirnya tersaji. Aku bersama Halwa duduk berdua mengisi meja makan. Ia menikmati segelas susu vanila dengan roti selai kacang meski menggunakan tangan kirinya. Sampai kemudian Halwa selesai lebih dulu dan barulah aku. Halwa telah bangkit, membereskan meja makan bekas kami sarapan dengan satu tangannya."Udah, biar aku yang beresin," ujarku sembari menahan tangan Halwa.Ia menggeleng dan menarik tangannya dariku. "Gak papa, Mas. Biar aku aja," tolaknya masih terus membereskan meja.Aku lantas membiarkan. Halwa selesai menumpuk piring serta cangkir yang tadi kami gunakan. Ia beranjak dari meja makan ini, membawa perabot kotor menuju wastafel pencuci piring.Namun, tentu saja aku tak tinggal diam. Lekas aku menyusul dan berdiri di belakangnya. Terlihat sekali Halwa tak mampu bekerja dengan normal hanya dengan satu tangan. Aku menyentak napas membuatnya berbalik badan. Cepat aku meraih pinggangnya. Membawa tubuhnya sedikit bergeser lalu mengangkat hingga ia te

  • Naik Ranjang   261

    Setibanya di kamar, aku menurunkan Halwa di tempat tidur. "Aku siapkan dulu airnya, ya?"Halwa mengangguk cepat. Aku menjauh dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi berdinding kaca. Menyiapkan air hangat memenuhi bath tub, tak lupa menambahkan bath bomb hingga berbuih dan wangi semerbak.Setelah air siap, aku kembali menemui Halwa yang terduduk di bibir tempat tidur."Air hangat sudah siap," ucapku memberitahu. Aku lalu menjatuhkan tubuh di hadapan Halwa. Bertumpu dengan kedua lutut hingga tinggi kami sejajar.Aku mengulurkan tangan menangkup wajahnya yang bulat. Manik mata itu seakan menghipnotis membuatku selalu ingin menatapnya lama-lama. Semburat senyum tersungging di bibir Halwa. Tangannya tergerak meraih tanganku yang tengah membelai pipinya."Buka kerudungnya, ya?" ucapku merasa perlu meminta izin. Halwa mengangguk tanpa protes. Tanganku lalu dengan cepat menyingkap kain penutup kepalanya hingga terlepas.Aku tak mampu berpaling. Kupandangi Halwa dengan tangan menyelipkan si

  • Naik Ranjang   NR - SEASON 5 (260)

    260#Aku membawa kepala Halwa tenggelam di dada. Tidak peduli di jalanan umum, aku masih tetap mendekapnya erat. Kubelai lembut kepalanya yang tertutup kerudung instan. Wajahku tenggelam, menciumi puncak kepalanya. Entah keberanian darimana, entah bagaimana bisa aku melakukan semua, mendekapnya erat dan tanpa ragu seperti saat ini.“Jangan pergi …,” ucapku lirih tanpa berhenti mengecup puncak kepalanya. Terasa dekapan tangan Halwa kian erat di pinggang.“Aku sudah mengecewakan kamu, Mas. Aku bukan perempuan yang baik. Aku rasanya tidak pantas menjadi pendamping pria setulus dan sebaik kamu,” sahutnya membuatku menggeleng.“Gak ada yang bilang seperti itu. Abi dan Ummi tidak akan membiarkanku menikahi perempuan yang salah,” jawabku tanpa melepaskan dekapan.“Ehhem, ehhem. Jadi gimana nih? Mau peluk-pelukan terus di sini gitu?” Suara Abi membuat Halwa menarik diri dari dekapanku. Sementara aku membalik badan hingga berhadapan deng

  • Naik Ranjang   NR - SEASON 5 (259)

    259.Zulfikar mendengkus. “Mas Seno kenapa kayak kaget gitu, sih? Masa’ istrinya pergi ke rumah orang tuanya Mas gak tahu?”Aku menggeleng menanggapi keheranan dari adikku itu, “Mas gak tahu, Fik.”“Emangnya Mas ke mana? Mas gak tidur di rumah? Mas biarin Mba Halwa sendirian di rumah?”Aku menggeleng pelan. “Gak gitu, Mas Cuma ketiduran di masjid.”“Ya ampun … Mas. Bisa-bisanya malah ketiduran di masjid dan gak tahu istrinya pulang ke rumah orang tuanya.”Aku merasa gusar. Benar-benar tidak menyangka jika Halwa akan pergi ke rumah orang tuanya. Hatiku mendadak tidak enak. “Tolong sekarang kamu telfon Abi atau Ummi, Fik,” pintaku pada adik bontotku tersebut.“Mau ngapain, Mas?”“Ya bilang sama Abi, kalau Mas mau ikut.“Mas tinggal nyusul aja nanti. Mas belum siap-siap juga!”Aku mendesah. Aku lantas menjelaskan pada Fikar apa yang sednag terjadi.

  • Naik Ranjang   NR - SEASON 5 (258)

    258.Detik dari jarum jam duduk di atas nakas terus terdengar. Menemani malamku yang berlalu tanpa bisa tidur. Sejak masuk kamar dan memutuskan untuk membawa tubuh ini rebah di atas kasur, aku sama sekali belum dapat tidur. Entah sudah berapa kali aku berguling ke kana juga kiri. Tengkurap lalu terlentang lagi. Menutup wajah dengan bnatal. Membaca wirid tapi tetap sama. Aku tak dapat tidur. Aku masih terjaga. Entah kenapa, tapi satu yang terasa mengganggu malamku ialah Halwa dan pembicaraan kami tadi. Wajah cantik yang tak lagi dipenuhi keangkuhan itu tertus membayang di pelupuk mata. Juga pelukannya yang tiba-tiba ia lakukan padaku. Semua terasaa membekas dan menari-nari dalam ingatan.“Fiuhh …’’ Aku mendesah seraya memutar badan hingga terlentang. Menatap langit-lagit kamar dengan perasaan entah.Terdiam sesaat sebelum kemudian tangan ini terulur meraih jam di atas nakas. “Jam dua malam, tapi aku masih gak ngantuk,” gumamku lirih. Kuhembus napas kasar dan akhirnya menyibak selimut.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status