Share

Ch. 2

**

Meninggalkan ruang makan, kini aku sudah masuk ke kamar. Di mana si kembar tertidur dengan pulas di dalam box kayu yang sama.

Kututup pintu yang sejak tadi dibiarkan terbuka. Aku menempelkan punggung di balik daun pintu. Memejamkan netraku demi menguatkan hati.

Jika bukan karena si kembar. Aku tidak akan kuat sampai detik ini. Si kembar lah, obat yang menetralisir racun dari ucapan menusuk di relung hati ini setiap harinya.

Saat membuka mata, aku melihat kartu undangan tergeletak di atas meja penyimpanan samping lemari.

Aku menjauh dari daun pintu. Lalu mengambil kartu undangan tersebut, dan mulai membacanya.

Ternyata undangan acara family gathering di perusahaan tempat Yuda bekerja. Acara diadakan di ballroom hotel mewah di pusat kota ini.

Di situ tertulis, jika undangan ditujukan pada kepala divisi keuangan dan juga istri. Artinya, undangan untuk Yuda dan tentunya aku.

Karena kantor tempat Yuda bekerja sudah mengetahui kabar kematian Khanza, dan pernikahan Yuda denganku yang digelar sangat sederhana tiga bulan lalu.

Klek!

Pintu kamar yang tidak terkunci dibuka dari luar. Aku menengok sekilas sebelum akhirnya membuang pandangan. Kusimpan kartu undangan kembali ke tempatnya.

Lalu bergegas ke box kayu untuk mengecek si kembar, yang ternyata masih lelap menyelami alam mimpi mereka.

"Kamu sudah membaca undangan ini 'kan?" tanya laki-laki bersuara bariton itu di dekat pintu sana.

Aku hanya mengangguk tanpa berbalik badan dari ranjang kayu si kembar.

"Jangan mimpi aku akan membawa kamu!" tukasnya.

Aku memejamkan mata sejenak. Menenangkan gemuruh riuh dalam hati. Aku memilih tak menggubris suara sumbangnya itu.

Tanpa ingin melihatnya, aku bergeser dari ranjang tidur si kembar. Beringsut naik ke sofa putih panjang tanpa mempedulikan laki-laki bermanik hazel itu.

Berbaring menghadap box berisi si kembar sambil memasangkan selimut menutup hingga dada. Membenahi posisiku dan memejamkan mata kemudian.

Terdengar pintu yang ditutup kemudian disusul derap langkah. Aku tidak tahu lagi, apa yang dilakukan laki-laki penuh keangkuhan itu.

Namun dari derap langkahnya yang bisa ditangkap telinga. Sepertinya dia tengah melihat putra kembarnya di box kayu.

Aku masih memejamkan mataku. Pura-pura tertidur adalah lebih baik. Dari pada harus berdebat lagi dengan Yuda. Laki-laki angkuh yang sayangnya adalah suamiku sendiri.

Derap langkahnya kembali terdengar, diikuti suara decitan dari springbed kings size di kamar ini yang ada di sebrang box kayu si kembar.

Aku masih memejamkan mataku, walau sebenarnya tidak mengantuk sama sekali. Entah kapan aku akan tertidur, tapi yang pasti, berpura-pura tertidur adalah lebih baik.

Tiga bulan pernikahan, aku dan Yuda memang tidur dalam kamar yang sama, tapi tidur terpisah.

Aku di sofa dan dia di ranjangnya.

Kami tidur terhalang box kayu si kembar.

Tidak ada malam pengantin yang seharusnya. Tidak ada bulan madu nan indah pasca hari pernikahanku dengannya.

Pernikahan yang seharusnya menjadi ladang ibadah bagi sepasang suami istri, tidak berlaku dalam pernikahanku.

Semuanya beku. Semuanya pahit. Tanpa cinta hanya kehampaan yang terasa.

Namun demi si kembar, aku tetap bertahan.

Entah sampai kapan, aku tidak tahu pastinya. Aku hanya serahkan pada sang pemilik takdir kehidupan.

"Assalamualaikum …."

"Wa'alaikumsalam …."

Suara Ibu mertua terdengar memasuki rumah. Aku baru saja selesai memandikan si kembar. Arka sudah rapi dan wangi, karena aku mendahulukannya. Tinggal Arsa yang sedang kupasangi bajunya

"Wah, cucu cucu Oma udah mandi ya? Adudu … tampan sekali …."

Bu Aida—Ibunya Yuda—mengambil Arka dari atas tempat tidur.

Aku memandikan mereka bergantian. Kini Arsa pun sudah selesai kupakaian baju yang sama dengan Arka.

Bu Aida menggendong Arka keluar dari kamar. Sedangkan aku membawa Arsa. Kami sama-sama keluar dari kamar.

Lalu bersama-sama mengisi ruang bermain dengan memangku si kembar.

Tak lama, Pak Candra nampak melewati ruang bermain ini sambil menjinjing kresek putih lalu menaruhnya. Kemudian melanjutkan berjalan memasuki dapur.

Kedua mertuaku ini memang akan datang saat pagi atau sore hari. Berkunjung saat pagi dengan membawa sarapan pagi yang akan kami nikmati bersama.

Begitu juga jika datang sore hari. Tidak pernah datang dengan tangan kosong.

Pak Candra kembali dari dapur dengan membawa perlengkapan makan.

"Pak, biar aku saja yang siapkan," ucapku saat Pak Candra membongkar kresek yang tadi dibawanya. Hendak menyalin pada piring makan yang juga dibawanya dari dapur.

"Biar bapak saja, kamu 'kan lagi pegang Arsa," tolaknya dengan tangan cekatan menyalin lontong ayam yang wanginya menggugah selera.

Hingga empat piring berisi lontong ayam telah tersaji kini.

"Nak Hilma, sarapan sudah siap, sekarang kita sarapan dulu," ajak Bu Aida.

Dipindahkannya Arka ke dalam bouncer, hingga terayun pelan, dan Arka tenang di dalamnya.

Begitu juga dengan Arsa yang turut kupindahkan pada bouncer yang berbeda dan disimpan bersebelahan dengan Abangnya.

Kami duduk melingkar di ruang bermain saat ini. Pak Candra sudah menyiapkan piring sarapan di tengah kami. Juga dengan gelas air mineral.

Seperti ini setiap harinya. Jika tidak orang tua Yuda yang datang, maka terkadang orang tuaku. Kadang juga datang berbarengan dan sore hari tidak ada yang datang.

Andai Khanza masih hidup, dia pasti akan menjadi wanita paling beruntung memiliki mertua seperti Bu Aida dan Pak Candra ini.

Tiga bulan aku menjadi menantu barunya, mereka begitu hangat dan tulus terhadapku. Apalagi terhadap cucunya, Arka dan Arsa.

Yuda merupakan anak bungsu laki-laki di keluarga ini. Dua kakaknya perempuan, terlahir kembar seperti Arka dan Arsa.

Kak Naisha dan Natya. Mereka tinggal jauh dari sini bersama keluarga kecilnya.

Sementara rumah ini, bisa ditempuh dengan lima belas menit berkendara menggunakan roda empat dari rumah orang tua Yuda. Sehingga membuat mereka setiap hari datang ke mari.

"Yud, mau ke mana? Sarapan dulu, Bapak bawa lontong ayam kesukaan kamu ini, Yud!" ajak Pak Candra pada anak bontotnya yang baru menginjak ruang bermain ini.

Aku melirik sekilas pada ayah kandung si kembar itu.

Dia sudah rapi. Rambutnya tersisir klimis. Pakaiannya selalu wangi dan bersih. Pagi ini dia memakai kemeja putih lengan pendek, dibalut vest rajut navy dan celana panjang warna senada.

Dia memang tampan. Aku mengakuinya. Sangat serasi dengan Khanza yang cantik dan modis. Tidak denganku. Aku sangat menyadarinya.

"Aku sarapan di luar aja, Pak. Aku buru-buru, ada acara!" jawabnya hendak meraih tangan Pak Candra untuk diciumnya.

"Acara apa? Baru juga jam tujuh ini, Yud! Kita sarapan bareng dululah!" pinta Pak Candra kembali.

"Iya, Yud! Kamu ada acara apa sampai buru-buru kayak gitu?" Kali ini Bu Aida yang berbicara.

Yuda nampak berjalan ke arah bouncer. Menciumi kedua putra kembarnya bergantian. Sekilas aku bisa melihat dia tersenyum pada anaknya.

Senyum yang menjadi sangat mahal untukku.

"Acara kantor, Pak, Bu, makanya aku buru-buru. Aku berangkat sekarang, ya!" Yuda meraih tangan Ibunya kali ini, menciumnya takzim dan hendak berangkat. Namun Bu Aida menahannya cepat.

"Acara apa atuh, Yud? Kalau acara kantor, biasanya family gathering, itu berarti kamu harus pergi sama keluarga kamu. Terus kenapa kamu pergi sendiri? Hilma gak kamu ajak?!" cecar Bu Aida pada anak bontotnya itu.

Aku menundukkan kepalaku dan melanjutkan sarapan pagiku.

"Aku pergi sendiri ajalah, Bu. Hilma 'kan harus jaga si kembar. Gak mungkin aku bawa dia," sahut Yuda dengan nada merendahkan.

"Lho kamu kok gitu. Mana ada family gathering Dateng sendiri," sahut Pak Candra.

"Ya terus gimana, Pak? Acaranya di hotel. Gak mungkin si kembar aku bawa. Di sana banyak orang. Takutnya dia gak nyaman, terus rewel, kan kasian. Jadi mendingan aku pergi sendirian, Pak, Bu!" timpal Yuda pada kedua orangtuanya.

"Nak Hilma, kamu siap-siap sana! Kamu dampingi Yuda. Si kembar biar ibu sama Bapak yang jaga!" Aku mendongak mendengar ucapan Bu Aida.

"Bu! Aku enggak akan ajak Hilma, Bu!" sengit Yuda pada ibunya.

Bu Aida nampak tak mempedulikan putranya. Dia mengangguk padaku yang masih menatapnya tak percaya. "Cepat, Nak!" titahnya padaku.

"Bu! Aku pergi sekarang!" tukas Yuda serta angkat kaki.

"Tunggu istri kamu, Yud! Biarkan Nak Hilma siap-siap sebentar. Kamu kenapa seperti ini? Sekarang Nak Hilma ini istri kamu. Jadi dia yang akan mendampingi kamu ke mana-mana!" sergah Pak Candra.

Secepatnya aku meneguk air minum karena sarapanku telah habis. "Pak, Bu, aku gak ikut. Mas Yuda mau berangkat sendiri, semalam kami sudah sepakat. Kasian si kembar kalau ditinggal atau dibawa," jelasku akhirnya.

"Si kembar biar ibu sama Bapak yang jagain. Kamu pergilah, Nak! Dampingi Yuda seperti seharusnya!" tukas Bu Aida. Kukuh ingin aku pergi ke acara kantor putranya itu.

"Iya, Nak Hilma. Jangan khawatirkan si kembar, mereka 'kan dijaga opa sama Omanya. Kamu pergi saja dengan Yuda. Aneh rasanya kalau Yuda pergi sendiri," sambung Pak Candra.

"Iya, sana kamu siap-siap dulu! Kamu, Yud, tunggu istri kamu!" titah Bu Aida kembali.

Terdengar hembusan napas berat dari ayah si kembar. "Aku tunggu di mobil! Jangan lelet!" tukasnya seraya melangkah pergi dari ruangan ini.

Bu Aida memintaku segera bersiap. Kutarik napas sepenuh dada. Beranjak dari karpet yang kududuki dan bergegas ke kamar.

Tiga puluh menit dari rumah. Honda Brio merah yang dikendarai Yuda akhirnya menepi di parkiran hotel bintang lima pusat kota.

Sepanjang perjalanan tadi, hanya keheningan yang tercipta. Tapi itu jauh lebih baik, dibandingkan harus berdebat seperti biasanya.

Hingga Yuda turun lebih dulu dari mobil tanpa sepatah kata pun terucap. Sementara aku baru melepaskan seatbelt yang terpasang lalu keluar dari mobil.

Parkiran ini sudah dipenuhi jejeran kendaraan roda empat. Aku membenahi dress navy serta kerudung pashmina yang kukenakan pagi ini. Juga tas slempang yang tersampir.

Sedangkan Yuda, dia telah lebih dulu berjalan ke arah pintu masuk hotel. Tanpa memperdulikanku yang masih berdiri di dekat mobil saat ini.

"Hilma?"

Sapaan seseorang membuat kaki yang baru saja akan melangkah berhenti.

Aku memutar badan untuk melihat pada pemilik suara.

"Azmi?"

Aku tertegun melihat sosoknya di hadapanku.

Laki-laki di hadapanku saat ini membungkuk dengan kedua tangan yang menangkup. Sebagai ucapan salam tanpa harus berjabat tangan.

Aku pun membalas salamnya. Meski sejujurnya tak menyangka dapat bertemu dengan dia di sini. Karena setahuku, dia tinggal di Kairo untuk melanjutkan pendidikannya.

Laki-laki jangkung ini bahkan tak sungkan dengan sarung yang dipakainya. Sarung sebagai pelengkap kemeja hitamnya.

Dia masih anggota keluarga dari dewan yayasan tempatku mengajar dan mondok.

Dialah, laki-laki yang namanya diam-diam kuselipkan di sepertiga malam. Namun, takdir kami seakan tak pernah tertulis di lauhul mahfudz.

"Apa kabar?" tanyanya lembut. Suaranya seperti mata air yang menyejukkan di tengah teriknya gurun pasir.

"Alhamdulillah, baik, Mi. Kamu sendiri?" tanyaku kembali.

"Aku juga baik. Kamu ada acara di hotel ini?"

Aku mengangguk pelan. "Kamu di sini juga? Emm … mana Teh Diba?" tanyaku sembari celingukan. Mencari-cari perempuan yang menjadi istri dari laki-laki di hadapanku saat ini.

"Adiba? Kamu tidak tahu berita tentang Adiba?" Azmi balik bertanya.

Aku menggeleng. "Berita apa?"

"Ehhem! Kamu masih di sini? Sebentar lagi acara dimulai. Ayok kita masuk!"

Tiba-tiba Yuda datang dan aku tersentak, karena tangannya yang merangkul pinggangku tanpa permisi. Suaranya pun terdengar lembut. Tidak tajam seperti biasanya.

Ingin aku menepis dengan kasar tapi aku tersadar, jika dia suamiku yang sah.

Kulihat raut wajah Azmi yang keheranan. Sedangkan Yuda semakin merangkulku erat. Hingga tubuhku rapat dengannya.

Jantungku dibuat berdegup hebat. Karena Yuda tak pernah seperti ini.

"Mari!" Yuda berpamitan pada Azmi. Tangannya masih melingkar di pinggangku. Membawaku berjalan beriringan memasuki lobby hotel.

Aku yang masih terkejut dengan perlakuannya, bahkan sampai lupa telah meninggalkan Azmi di belakang sana.

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Dwi MaRITA
heleh..... yuda modus..... ... gus azmi.... ning hilma padamu tuh... ...
goodnovel comment avatar
Raudlatul Jannah
kugetok juga tuh kepala si yuda ... ga ada sopan santun nya sama istri
goodnovel comment avatar
Sri Handayani
Apa cuma jaga image aja tuh yuda
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status