Share

Bab 4

Penulis: widiabd
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-14 13:22:36

Setelah mandi dan berganti dengan pakaian sederhana—kaus putih lengan pendek dan celana jeans—Nala kembali ke ruang tengah. Rambutnya diikat asal, masih sedikit lembap. Papa Bakti sudah menunggu di teras dengan tas kain besar berisi daftar belanja dan uang pecahan.

"Siap?" tanya Papa.

"Siap, Pa," jawab Nala ceria.

Mereka berjalan kaki menuju warung yang jaraknya tak sampai lima menit dari rumah. Warung itu berdiri di pinggir jalan utama desa, bangunan yang lebih mirip dengan minimarket dengan rolling door hijau yang sudah mulai pudar warnanya. Begitu Papa membuka pintu, aroma khas warung—campuran kopi, gula, sabun, dan plastik—langsung menyambut.

"Pertama-tama, kita bersih-bersih dulu," kata Papa sambil menyingsingkan lengan kemejanya.

Nala mengangguk dan langsung sigap. Ia menyapu lantai, mengelap etalase kaca, lalu menata ulang beberapa barang yang terlihat berantakan. Tangannya sempat kikuk saat menyusun mi instan dan snack, tapi lama-lama ia menikmati kegiatan itu. Ada kepuasan kecil melihat rak yang tadinya semrawut kini tersusun rapi.

Belum lama mereka membuka warung, satu per satu pembeli mulai berdatangan. Ibu-ibu membeli bumbu dapur, anak-anak kecil membeli permen dan es lilin, sampai bapak-bapak yang singgah untuk membeli rokok dan kopi saset.

"Loh, ini Kanala kan, Pak Bakti?" tanya ibu-ibu berdaster pink yang baru saja masuk ke dalam warung. Wanita itu menatap Nala dari atas ke bawah, "Pangling sekali, makin ayu." Sambungnya.

Nala sedikit tersenyum kikuk. "Ibu bisa aja," jawabnya sopan.

"Kapan pulangnya, Nala? Kok betah sekali di kota sampai jarang pulang."

"Baru pulang dua hari ini, Bu."

"Iya, iya… tapi baguslah, sesekali pulang. Orang tua di rumah jadi ada temannya," ujar si ibu sambil mengambil beberapa bungkus bumbu dapur. "Ini gula setengah kilo sama kecap satu, ya."

"Sebentar, Bu," sahut Nala cepat. Ia mengambil pesanan, menimbang gula dengan hati-hati, lalu menyerahkannya ke Papa untuk dihitung.

"Lincah juga sekarang," komentar ibu itu lagi. "Dulu disuruh beli ke warung aja suka salah."

Nala tertawa kecil. "Sekarang juga masih sering salah, Bu."

Setelah membayar, ibu berdaster pink itu pamit sambil kembali melirik Nala. "Nanti main ke rumah, ya. Biar nggak lupa sama orang kampung."

"Iya, Bu," jawab Nala.

Seiring berjalannya waktu, warung makin ramai. Nala mulai terbiasa berdiri di balik etalase, menghafal letak barang, dan menghitung kembalian meski sesekali masih harus memastikan ulang ke Papa. Setiap ada pembeli yang mengenalinya, selalu ada komentar yang sama—tentang wajahnya yang berubah, tentang Jakarta, tentang betah atau tidaknya ia tinggal di kota.

Menjelang pukul sepuluh, suasana sedikit lengang. Nala meregangkan pundaknya, merasa pegal namun puas.

"Capek?" tanya Papa sambil menyeruput kopi.

"Dikit, tapi seru, Pa," jawab Nala jujur.

Belum sempat Papa menimpali, sebuah mobil bak terbuka berhenti di depan warung. Nala refleks menoleh, dan kembali melihat sosok yang pagi tadi sempat membuatnya canggung.

"Nah, itu, beras datang. Sebentar, Papa samperin dulu." Papa Bakti bergegas keluar warung. Nala ikut melirik ke arah depan. Tidak ada orang lain di sana—hanya satu sosok yang turun dari balik kemudi.

Hanggara.

Ia melompat turun dengan cekatan, lalu membuka bak belakang mobil. Satu per satu karung beras ia turunkan sendiri. Gerakannya cepat dan terlatih, seolah sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan berat tanpa bantuan siapa pun.

Papa Bakti menghampirinya. "Lho, Mas Hanggara? Kok sendirian? Biasanya yang ke sini karyawannya."

Hanggara mengangkat satu karung lagi ke pundaknya. "Iya, Pak. Karyawannya lagi sibuk semua. Daripada nunggu, saya antar sendiri aja," jawabnya singkat.

"Oh, begitu," Papa mengangguk, lalu ikut membantu memegangi pintu warung agar karung-karung itu bisa langsung dibawa masuk. "Nggak repot, Mas?"

"Enggak, Pak. Sudah biasa," balas Hanggara datar.

Dari balik etalase, Nala memperhatikan dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ia pura-pura merapikan rak minyak goreng, padahal susunannya sudah rapi sejak tadi. Sesekali matanya melirik ke arah Hanggara yang mengangkat karung beras terakhir, kemejanya sedikit basah oleh keringat.

Setelah semuanya beres, Papa Bakti menepuk-nepuk tangannya. "Nala, ambilin air minum buat Mas Hanggara."

Nala sedikit tersentak, tapi segera mengangguk. "Iya, Pa."

Ia mengambil sebotol air mineral dari kulkas kecil, lalu melangkah keluar. Hanggara berdiri di dekat mobilnya, mengelap keringat dengan punggung tangan.

"Ini, Mas," kata Nala sambil mengulurkan botol.

Hanggara menerimanya. "Makasih."

"Sama-sama," jawab Nala.

Hening sesaat, hanya diisi suara kendaraan yang lewat. Nala sempat ragu untuk pergi begitu saja.

"Ayo, Mas, di dalam saja. Sekalian mau ngelunasin bon yang kemarin," ajak Papa Bakti, yang sudah kembali ke meja kasir.

Hanggara mengangguk, lalu berjalan masuk ke warung, diikuti Nala. Ia membuka botol air mineral dan menyesapnya, matanya yang tajam sempat menyapu isi warung sekilas sebelum berhenti di Papa Bakti.

"Totalnya Rp 2.500.000, Pak," kata Hanggara, suaranya kembali datar. Ia menyebutkan angka tagihan beras tanpa perlu melihat catatan, menunjukkan daya ingat yang kuat.

Papa Bakti mengambil amplop berisi uang dari laci kasir, lalu menghitungnya dengan teliti di depan Hanggara. "Pas ya, Mas. Dua setengah juta."

Hanggara menerima amplop itu dan memasukkannya ke saku celana. Proses transaksi mereka sangat singkat dan profesional.

"Semua berasnya sudah yang kualitas super, Pak. Minggu depan saya kirim lagi yang gilingan baru," kata Hanggara.

"Siap, Mas. Matur nuwun. Terima kasih sudah repot-repot mengantar sendiri," jawab Papa Bakti ramah.

Saat Hanggara berbalik hendak keluar, pandangannya sempat bertemu dengan Nala yang masih berdiri di dekat meja kasir. Nala segera menunduk, pura-pura menghitung tumpukan uang receh di kotak.

Hanggara berhenti sejenak di ambang pintu, namun ia tidak mengatakan apa-apa pada Nala. Ia hanya mengangguk tipis ke arah Papa Bakti.

"Saya permisi dulu, Pak Bakti," pamitnya, lalu melangkah menuju mobil bak terbuka.

Papa Bakti kembali ke dalam warung. "Mas Hanggara itu memang begitu, Nak. Bicaranya irit, tapi kerjanya cepat dan amanah," komentar Papa sambil tersenyum ke Nala. "Kadang Papa merasa nggak enak, dia juragan besar kok malah ikut-ikutan angkat karung berat."

Nala hanya menggumam, "Iya, Pa." Ia merasa sedikit lega Hanggara sudah pergi, namun di saat yang sama, rasa penasaran itu muncul lagi. Laki-laki itu benar-benar berbeda dari semua pria yang pernah ia temui di Jakarta. Dingin, berwibawa, dan sangat fokus pada pekerjaan. Ingin rasanya ia bertanya pada sang ayah tentang laki-laki itu, namun ia urungkan niatnya karena ia merasa... malu?

"Nah, sekarang giliran kamu yang jadi kasir," kata Papa Bakti, menarik Nala dari lamunannya. "Papa mau angkat karung beras ini ke belakang, susun di gudang."

Papa Bakti menyingkirkan kursi kasir. Nala duduk di sana, jantungnya berdebar sedikit lebih cepat.

"Ini notanya. Kalau ada yang beli banyak, kamu catat harganya di sini, lalu hitung totalnya. Di laci ada daftar harganya. Uang kembalian, taruh di kotak ini. Ingat, harus teliti. Jangan sampai salah hitung," pesan Papa Bakti.

"Iya, Papa,"

Ini adalah pertama kalinya ia benar-benar bertanggung jawab penuh melayani pembeli. Ia mengambil pulpen dan buku bon kecil di depannya, siap memulai 'kelas kilat kasir' yang dijanjikan Papa. Beberapa saat kemudian, seorang anak kecil dengan seragam pramuka masuk ke warung.

"Tante, beli permen yang dua ribuan itu, sama es mambo satu," ujar anak itu.

Nala menarik napas, tersenyum, dan beraksi.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Nala dan Mas Juragan   Bab 6

    Nala mengangkat rak plastik berisi makanan ringan itu dengan tenaga ekstra. Setelah semuanya rapi di dalam, ia membantu ayahnya menarik rolling door yang berderit nyaring saat ditarik, lalu membiarkan ayahnya menguncinya rapat-rapat. Setelah itu mereka bergegas untuk pulang.Sepanjang perjalanan pulang yang hanya memakan waktu lima menit dengan motor, angin sore menerpa wajah Nala. Pikirannya masih tertambat pada aroma parfum Hanggara. Wanginya tidak menusuk, tapi meninggalkan jejak yang kuat, seperti kepribadian pria itu sendiri. "Sudah sampai," suara Pak Bakti memecah lamunan Nala. "Besok mau ikut Papa ke warung lagi?" tanyanya. Nala turun dari boncengan, lalu menganggukan kepalanya cepat-cepat. "Mau, biar Papa ada temennya." ujarnya sambil terkekeh kecil. "Kalau mau di rumah aja nggak apa-apa loh, Dek. Papa nggak akan maksa kamu buat ikut ke warung terus," Nala tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. "Di rumah juga nggak ngapa-ngapain, Pa. Lagian aku seneng bantu Papa," jawabny

  • Nala dan Mas Juragan   Bab 5

    Nala mengangguk kecil. Ia meraih permen yang dimaksud, lalu membuka freezer kecil di sudut warung untuk mengambil es mambo. "Permennya dua ribu, es mambo seribu lima ratus," ucapnya pelan, lebih ke mengingatkan diri sendiri daripada si pembeli. "Jadi totalnya tiga ribu lima ratus." Anak itu mengulurkan uang lima ribuan yang sudah agak lecek. Nala menerimanya, membuka laci, lalu menghitung kembalian. "Ini kembaliannya seribu lima ratus," katanya sambil menyerahkan uang itu. "Makasih, Tante," ujar si anak ceria sebelum berlari keluar warung. Nala menghela napas lega setelah pintu warung kembali tertutup. Ia melirik buku kecil di depannya, lalu menuliskan transaksi pertama dengan tulisan rapi, meski sedikit terlalu serius untuk pembelian permen dan es mambo. Tak lama kemudian, seorang bapak datang membeli rokok, disusul ibu muda yang membeli minyak goreng dan telur. Nala sempat salah menyebut harga minyak, tapi cepat membetulkannya setelah mengecek daftar harga di laci. Jantu

  • Nala dan Mas Juragan   Bab 4

    Setelah mandi dan berganti dengan pakaian sederhana—kaus putih lengan pendek dan celana jeans—Nala kembali ke ruang tengah. Rambutnya diikat asal, masih sedikit lembap. Papa Bakti sudah menunggu di teras dengan tas kain besar berisi daftar belanja dan uang pecahan. "Siap?" tanya Papa. "Siap, Pa," jawab Nala ceria. Mereka berjalan kaki menuju warung yang jaraknya tak sampai lima menit dari rumah. Warung itu berdiri di pinggir jalan utama desa, bangunan yang lebih mirip dengan minimarket dengan rolling door hijau yang sudah mulai pudar warnanya. Begitu Papa membuka pintu, aroma khas warung—campuran kopi, gula, sabun, dan plastik—langsung menyambut. "Pertama-tama, kita bersih-bersih dulu," kata Papa sambil menyingsingkan lengan kemejanya. Nala mengangguk dan langsung sigap. Ia menyapu lantai, mengelap etalase kaca, lalu menata ulang beberapa barang yang terlihat berantakan. Tangannya sempat kikuk saat menyusun mi instan dan snack, tapi lama-lama ia menikmati kegiatan itu. Ada k

  • Nala dan Mas Juragan   Bab 3

    Keesokan harinya, Nala terbangun oleh suara ayam berkokok dan aroma kopi tubruk yang samar-samar menyelinap ke kamarnya. Ia membuka mata perlahan, butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa langit-langit lilac di atasnya bukanlah plafon kosan sempit di Jakarta, melainkan kamar lamanya—rumah. Ia melirik jam di meja kecil. Pukul lima kurang sepuluh. Refleks, Nala langsung duduk tegak. Di Jakarta, jam segini biasanya ia baru saja tertidur setelah semalaman begadang. Di sini, rumah sudah hidup sejak subuh. Dari balik pintu, terdengar suara Mama berbincang dengan Papa di dapur, diselingi bunyi sendok yang berada dengan gelas. Nala menghela napas pelan, lalu bangkit dari ranjang. Ia meraih cardigan tipis, menyampirkannya ke bahu, dan melangkah keluar kamar. Dapur tampak hangat. Papa sudah duduk di bangku kayu, menyesap kopi, sementara Mama berdiri di depan kompor, menggoreng tahu dan tempe. Begitu melihat Nala, Mama tersenyum lebar. "Lho, sudah bangun, tidurnya nyenyak, Nduk?" Tan

  • Nala dan Mas Juragan   Bab 2

    Nala menarik napas pelan, merasakan aroma masakan brongkos yang langsung menyambutnya. Rasa lelah dan penat yang ia bawa dari Jakarta perlahan menguap, digantikan oleh ketenangan yang menaungi. Ia membiarkan langkahnya dipandu oleh Papa dan Mama, melewati ruang tamu menuju ruang makan. Di sana, di atas meja makan kayu jati tua yang masih terlihat kokoh, terhidang berbagai macam lauk pauk yang sudah lama ia rindukan. Bukan hanya brongkos dan tempe mendoan, tapi juga sambal terasi, ayam goreng laos, dan semangkuk besar sayur asem kesukaan Papanya. Banyu menjatuhkan ransel dan koper Nala di dekat sofa, lalu tanpa basa-basi ia sudah duduk di kursi, langsung menyambar sepotong tempe mendoan. "Wah, tempe mendoan paling enak sedunia," komentarnya sambil mengunyah dengan mata terpejam. Mama menggelengkan kepala melihat tingkah putranya, lalu menunjuk sebuah kursi di samping Banyu untuk Nala. "Ayo, Nduk, duduk. Makan yang banyak ya," titah Mama Raras penuh perhatian. Nala tersenyum. Ia

  • Nala dan Mas Juragan   Bab 1

    Setelah perjalanan panjang yang diisi keheningan, kereta yang membawa Nala dari ibu kota akhirnya tiba di stasiun kecil yang letaknya tidak jauh dari kampung halamannya. Dengan ransel di punggung dan koper kecil di tangan, Nala melangkah keluar dari peron, menghirup udara pedesaan yang lembap dan dingin yang menusuk paru-parunya, jauh berbeda dari asap knalpot yang selama ini ia hirup. Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar, mencari seseorang yang akan menjemputnya. Lalu matanya berbinar saat melihat sosok yang tinggi besar dengan kaus oblong yang terlihat lusuh dan sedikit belepotan oli di bagian lengan. Itu Banyu—kakak keduanya—yang sedang berjalan ke arahnya dengan senyum tengil khas miliknya. "Mas Banyu!" seru Nala, segera melompat ke pelukan sang kakak. Pelukan Banyu terasa hangat dan sedikit berbau oli mesin, aroma yang familiar yang langsung mengendurkan sedikit ketegangan di pundak Nala. Banyu membalas pelukan Nala dengan satu tangan, sementara tangan yang lain ia gunakan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status