Mag-log inNala mengangguk kecil. Ia meraih permen yang dimaksud, lalu membuka freezer kecil di sudut warung untuk mengambil es mambo.
"Permennya dua ribu, es mambo seribu lima ratus," ucapnya pelan, lebih ke mengingatkan diri sendiri daripada si pembeli. "Jadi totalnya tiga ribu lima ratus." Anak itu mengulurkan uang lima ribuan yang sudah agak lecek. Nala menerimanya, membuka laci, lalu menghitung kembalian. "Ini kembaliannya seribu lima ratus," katanya sambil menyerahkan uang itu. "Makasih, Tante," ujar si anak ceria sebelum berlari keluar warung. Nala menghela napas lega setelah pintu warung kembali tertutup. Ia melirik buku kecil di depannya, lalu menuliskan transaksi pertama dengan tulisan rapi, meski sedikit terlalu serius untuk pembelian permen dan es mambo. Tak lama kemudian, seorang bapak datang membeli rokok, disusul ibu muda yang membeli minyak goreng dan telur. Nala sempat salah menyebut harga minyak, tapi cepat membetulkannya setelah mengecek daftar harga di laci. Jantungnya sempat mencelos, namun ia berhasil tersenyum dan menyelesaikan transaksi dengan lancar. Dari belakang, Papa Bakti sesekali melirik sambil menyusun karung beras di gudang. Melihat Nala yang mulai terbiasa, ia tersenyum sendiri. Menjelang siang, matahari mulai terasa terik. Warung kembali sepi. Nala berdiri dari kursi kasir, meregangkan punggungnya pelan. "Pa, ternyata jadi kasir itu nggak gampang, ya," katanya saat Papa keluar dari gudang sambil mengelap keringat. Papa tertawa kecil. "Makanya Papa bilang, harus teliti. Tapi kamu cepat nangkap. Lumayan buat hari pertama." Nala tersenyum bangga. Ia melirik ke luar warung, ke jalan desa yang lengang. Entah kenapa, pikirannya kembali melayang pada sosok Hanggara, pada caranya bekerja tanpa banyak bicara, pada tatapannya yang singkat namun terasa berat. Nala menggeleng pelan, menertawakan dirinya sendiri. Ia kembali fokus merapikan etalase, tak tahu bahwa pertemuan singkat pagi itu hanyalah awal dari hari-hari yang jauh lebih rumit di desa kecil ini. Tak lama, sebuah motor matic berhenti di depan warung. Seorang laki-laki dengan kaus penuh oli itu turun dari motor dan berjalan memasuki warung. Laki-laki itu adalah Banyu, tangannya menenteng rantang berwarna putih. Sebelum menghampiri ayah dan adiknya, Banyu mengambil air mineral dari showcase yang terpajang di depan. Setelah itu langkahnya membawa laki-laki itu ke hadapan Nala. Rantang putih itu ia letakan dengan hati-hati di atas meja. "Makan siang buat Papa dan Nala, Mas Banyu disuruh mampir ke sini buat nganterin itu." Ujarnya. "Gimana hari pertama bantuin Papa? Capek?" Tanyanya yang langsung dibalas anggukan oleh Nala. "Capek, tapi nggak apa-apa, aku nggak kapok. Mas Banyu abis dari rumah?" Tanya Nala. "Iya, abis makan. Terus disuruh Mama ke sini," Banyu meneguk air mineral berukuran kecil itu dengan sekali tegukan, setelah itu ia mengeluarkan selembar uang limapuluh ribu dan menyerahkannya pada si kasir. "Simpen aja kembaliannya, buat kamu kalau mau jajan." Ujarnya langsung membuat Nala sumringah. "Asyik, makasih!" "Loh, ada Banyu?" Pak Bakti yang sedari tadi berada di gudang kini memunculkan batang hidungnya. "Dari rumah, Mas?" Banyu mengangguk, "Iya, Pa. Disuruh Mama anterin makan siang ke sini. Kalau gitu aku balik ke bengkel, ya." Pamitnya sambil menyalami ayahnya, lalu mengacak lembut rambut sang adik. "Nggih, hati-hati." Setelah kepergian Banyu, warung kembali sepi. Nala segera membuka rantang tiga susun itu, senyumnya kembali terbit saat melihat makanan yang disiapkan ibunya, ayam penyet dengan sambal dipisah. "Ayo, Pa, makan." Lalu sepasang ayah dan anak itu menyantap makanannya dengan diselingi obrolan yang membuat keduanya sesekali tertawa. --- Pukul lima sore, Pak Bakti menyuruh Nala untuk memasukkan rak-rak kecil yang ada di depan karena akan tutup. Nala pun menurut, kemudian ia mulai memindahkan rak-rak itu satu persatu. Saat akan memindahkan rak yang terakhir, sebuah motor lagi-lagi berhenti di depan warung. Nala menghentikan aktivitasnya lalu matanya tertuju pada si pemilik motor. Lagi-lagi Hanggara. Kini laki-laki itu berpakaian sedikit rapi. Celana kargo abu-abu dari bahan katun dipadukan dengan kaos berkerah berwarna hitam, hal itu membuat Nala sedikit... terpaku. Ia bahkan tidak menyadari kalau laki-laki itu kini sudah berdiri di hadapannya. "Mau tutup ya, Mbak? Maaf ya, saya ganggu." Katanya yang berhasil membuat Nala tersentak kaget. "Ah? I-iya, nggak apa-apa, Mas. Nggak ganggu. Ada perlu apa ya, Mas?" Tanyanya. Jujur! Nala gugup, apalagi saat mencium aroma parfum maskulin dari pria ini. Hanggara mengulas senyum tipis—jenis senyum yang tidak sampai membuat matanya menyipit, tapi cukup untuk membuat Nala lupa bagaimana cara bernapas dengan normal selama beberapa detik. "Saya mau beli kopi saset. Tiga renteng, yang hitam tanpa gula ada?" tanya Hanggara sambil melirik ke arah dalam warung yang sudah mulai temaram karena lampu tidak dinyalakan. "Ada, Mas. Sebentar ya," jawab Nala cepat. Ia bergegas masuk ke balik etalase, gerakannya sedikit terburu-buru hingga ujung jarinya sempat menyenggol tumpukan sabun cuci. "Kopi hitam ya? Merek yang biasa atau yang ada aromanya?" "Yang biasa saja." Hanggara mengikuti langkah Nala, namun ia tetap berdiri di ambang pintu. Nala mengangguk-angguk paham. Tangannya sedikit gemetar saat melepaskan rentengan kopi dari gantungannya. Ia bisa merasakan tatapan Hanggara yang tenang memperhatikannya bekerja. Suasana desa yang mulai mendingin di sore hari entah kenapa terasa sedikit gerah bagi Nala. "Ini, Mas. Tiga renteng, kan?" Nala menyodorkan kantong plastik berisi kopi itu. "Iya. Berapa semuanya?" Nala menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia mendadak lupa dengan harga per rentengnya. "Bentar ya, Mas. Saya cek dulu, " ujarnya sambil membuka laci, mengambil selembar kertas berisi daftar harga barang-barang yang ada di warung. "Kopi hitam merek Kapal Terbang..." gumamnya. "Totalnya tiga puluh enam ribu, Mas." Hanggara merogoh saku celana kargonya, mengeluarkan dompet kulit yang sudah tampak usang namun terawat. Saat ia menyerahkan uang, jemarinya sempat bersentuhan dengan kulit tangan Nala. Dingin, namun memberikan sensasi seperti sengatan listrik kecil yang membuat Nala refleks menarik tangannya setelah uang berpindah tangan. Hanggara tampaknya menyadari kegugupan itu. Ia terdiam sejenak, lalu bertanya dengan suara rendah, "Pak Baktinya ke mana?" "Lagi ke belakang, nggak tahu ngapain. Kembaliannya empat belas ribu ya, Mas." Kata Nala sambil menyerahkan kembalian. "Terima kasih." "Sama-sama, saya pamit kalau begitu. Mari, Mbak." "Iya, Mas. Hati-hati." Nala terpaku di posisinya, memandangi punggung tegap itu saat ia menaiki motornya dan berlalu menjauh, meninggalkan kepulan asap tipis dan aroma parfum maskulin yang masih tertinggal di udara. "Siapa, Nala?" Suara Papa Bakti dari arah dapur mengejutkannya. "Itu... Mas Hanggara, Pa. Beli kopi," jawab Nala sambil berpura-pura sibuk merapikan buku catatan, berusaha menyembunyikan rona merah yang merayap di pipinya. Papa Bakti muncul sambil membawa kunci toko yang disatukan dengan kunci motor dan kunci-kunci lainnya. "Mas Hanggara? Kok beli kopi saja jauh-jauh ke sini, di dekat rumahnya juga pasti ada warung." Ujarnya keheranan. Nala terdiam. Ucapan ayahnya ada benarnya juga. Hanggara kan berasal dari desa sebelah, kenapa laki-laki itu harus jauh-jauh ke sini hanya untuk membeli tiga renteng kopi? Memang di desanya tidak ada warung yang serupa dengan warung milik papanya ini? Atau setidaknya warung yang lebih kecil juga menjual kopi kan? Nala buru-buru menggelengkan kepalanya, siapa tahu laki-laki itu sedang ada urusan di desa ini lalu sekalian mampir ke warung ini. Atau bisa saja; "Habis dari sawah kali, Pa. Terus pulangnya mampir ke sini," katanya yang langsung disetujui oleh sang ayah. Masuk akal, karena sawahnya memang searah dengan warung ini. "Ya sudah, ayo pulang. Mama pasti udah nungguin di rumah," ajak Pak Bakti. "Bentar, aku belum selesai beresin yang di luar." Ucap Nala lalu berlari kecil ke depan warung untuk menyelesaikan tugas beres-beresnya tadi. *** TBC.Nala mengangkat rak plastik berisi makanan ringan itu dengan tenaga ekstra. Setelah semuanya rapi di dalam, ia membantu ayahnya menarik rolling door yang berderit nyaring saat ditarik, lalu membiarkan ayahnya menguncinya rapat-rapat. Setelah itu mereka bergegas untuk pulang.Sepanjang perjalanan pulang yang hanya memakan waktu lima menit dengan motor, angin sore menerpa wajah Nala. Pikirannya masih tertambat pada aroma parfum Hanggara. Wanginya tidak menusuk, tapi meninggalkan jejak yang kuat, seperti kepribadian pria itu sendiri. "Sudah sampai," suara Pak Bakti memecah lamunan Nala. "Besok mau ikut Papa ke warung lagi?" tanyanya. Nala turun dari boncengan, lalu menganggukan kepalanya cepat-cepat. "Mau, biar Papa ada temennya." ujarnya sambil terkekeh kecil. "Kalau mau di rumah aja nggak apa-apa loh, Dek. Papa nggak akan maksa kamu buat ikut ke warung terus," Nala tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. "Di rumah juga nggak ngapa-ngapain, Pa. Lagian aku seneng bantu Papa," jawabny
Nala mengangguk kecil. Ia meraih permen yang dimaksud, lalu membuka freezer kecil di sudut warung untuk mengambil es mambo. "Permennya dua ribu, es mambo seribu lima ratus," ucapnya pelan, lebih ke mengingatkan diri sendiri daripada si pembeli. "Jadi totalnya tiga ribu lima ratus." Anak itu mengulurkan uang lima ribuan yang sudah agak lecek. Nala menerimanya, membuka laci, lalu menghitung kembalian. "Ini kembaliannya seribu lima ratus," katanya sambil menyerahkan uang itu. "Makasih, Tante," ujar si anak ceria sebelum berlari keluar warung. Nala menghela napas lega setelah pintu warung kembali tertutup. Ia melirik buku kecil di depannya, lalu menuliskan transaksi pertama dengan tulisan rapi, meski sedikit terlalu serius untuk pembelian permen dan es mambo. Tak lama kemudian, seorang bapak datang membeli rokok, disusul ibu muda yang membeli minyak goreng dan telur. Nala sempat salah menyebut harga minyak, tapi cepat membetulkannya setelah mengecek daftar harga di laci. Jantu
Setelah mandi dan berganti dengan pakaian sederhana—kaus putih lengan pendek dan celana jeans—Nala kembali ke ruang tengah. Rambutnya diikat asal, masih sedikit lembap. Papa Bakti sudah menunggu di teras dengan tas kain besar berisi daftar belanja dan uang pecahan. "Siap?" tanya Papa. "Siap, Pa," jawab Nala ceria. Mereka berjalan kaki menuju warung yang jaraknya tak sampai lima menit dari rumah. Warung itu berdiri di pinggir jalan utama desa, bangunan yang lebih mirip dengan minimarket dengan rolling door hijau yang sudah mulai pudar warnanya. Begitu Papa membuka pintu, aroma khas warung—campuran kopi, gula, sabun, dan plastik—langsung menyambut. "Pertama-tama, kita bersih-bersih dulu," kata Papa sambil menyingsingkan lengan kemejanya. Nala mengangguk dan langsung sigap. Ia menyapu lantai, mengelap etalase kaca, lalu menata ulang beberapa barang yang terlihat berantakan. Tangannya sempat kikuk saat menyusun mi instan dan snack, tapi lama-lama ia menikmati kegiatan itu. Ada k
Keesokan harinya, Nala terbangun oleh suara ayam berkokok dan aroma kopi tubruk yang samar-samar menyelinap ke kamarnya. Ia membuka mata perlahan, butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa langit-langit lilac di atasnya bukanlah plafon kosan sempit di Jakarta, melainkan kamar lamanya—rumah. Ia melirik jam di meja kecil. Pukul lima kurang sepuluh. Refleks, Nala langsung duduk tegak. Di Jakarta, jam segini biasanya ia baru saja tertidur setelah semalaman begadang. Di sini, rumah sudah hidup sejak subuh. Dari balik pintu, terdengar suara Mama berbincang dengan Papa di dapur, diselingi bunyi sendok yang berada dengan gelas. Nala menghela napas pelan, lalu bangkit dari ranjang. Ia meraih cardigan tipis, menyampirkannya ke bahu, dan melangkah keluar kamar. Dapur tampak hangat. Papa sudah duduk di bangku kayu, menyesap kopi, sementara Mama berdiri di depan kompor, menggoreng tahu dan tempe. Begitu melihat Nala, Mama tersenyum lebar. "Lho, sudah bangun, tidurnya nyenyak, Nduk?" Tan
Nala menarik napas pelan, merasakan aroma masakan brongkos yang langsung menyambutnya. Rasa lelah dan penat yang ia bawa dari Jakarta perlahan menguap, digantikan oleh ketenangan yang menaungi. Ia membiarkan langkahnya dipandu oleh Papa dan Mama, melewati ruang tamu menuju ruang makan. Di sana, di atas meja makan kayu jati tua yang masih terlihat kokoh, terhidang berbagai macam lauk pauk yang sudah lama ia rindukan. Bukan hanya brongkos dan tempe mendoan, tapi juga sambal terasi, ayam goreng laos, dan semangkuk besar sayur asem kesukaan Papanya. Banyu menjatuhkan ransel dan koper Nala di dekat sofa, lalu tanpa basa-basi ia sudah duduk di kursi, langsung menyambar sepotong tempe mendoan. "Wah, tempe mendoan paling enak sedunia," komentarnya sambil mengunyah dengan mata terpejam. Mama menggelengkan kepala melihat tingkah putranya, lalu menunjuk sebuah kursi di samping Banyu untuk Nala. "Ayo, Nduk, duduk. Makan yang banyak ya," titah Mama Raras penuh perhatian. Nala tersenyum. Ia
Setelah perjalanan panjang yang diisi keheningan, kereta yang membawa Nala dari ibu kota akhirnya tiba di stasiun kecil yang letaknya tidak jauh dari kampung halamannya. Dengan ransel di punggung dan koper kecil di tangan, Nala melangkah keluar dari peron, menghirup udara pedesaan yang lembap dan dingin yang menusuk paru-parunya, jauh berbeda dari asap knalpot yang selama ini ia hirup. Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar, mencari seseorang yang akan menjemputnya. Lalu matanya berbinar saat melihat sosok yang tinggi besar dengan kaus oblong yang terlihat lusuh dan sedikit belepotan oli di bagian lengan. Itu Banyu—kakak keduanya—yang sedang berjalan ke arahnya dengan senyum tengil khas miliknya. "Mas Banyu!" seru Nala, segera melompat ke pelukan sang kakak. Pelukan Banyu terasa hangat dan sedikit berbau oli mesin, aroma yang familiar yang langsung mengendurkan sedikit ketegangan di pundak Nala. Banyu membalas pelukan Nala dengan satu tangan, sementara tangan yang lain ia gunakan







